Bunuh Diri

Baca Juga :
    Judul Cerpen Bunuh Diri

    Air mataku tak berhentinya mengalir. Kenapa? Kenapa harus ibu yang pergi? Pemakaman ibu dilangsungkan dengan penuh tangis dan doa. Tapi, kenapa harus ibu? Kenapa bukan aku saja? Aku tidak mau ibu pergi!

    “RIO! Kamu tidak usah menangis lagi! Ibumu itu sudah pergi! Jika kau menangis, maka-”
    “Itu berarti ayah tidak sayang sama ibu! Aku benci ayah!!!” ucapku sambil berlari ke kamar, membanting pintu dan menguncinya kuat-kuat, agar ayah -atau siapapun- tidak bisa masuk. Sudah kuduga, pintu pasti digedor. “Buka pintunya, Rio!”
    “Enggak! Ayah jahat!” ucapku. Pernah terpikir olehku untuk bunuh diri saat itu juga. Mungkin, dengan bunuh diri, aku bisa menyusul jiwa ibu yang sudah pergi. Tapi pisau itu kulepas begitu ujungnya mengenai leherku, tepat setelah bibi Aisyah melihatku melakukannya.
    “Astaghfirullah! Rio! Kamu ngapain?!” setidaknya, itulah kata-kata yang kuingat sebelum segalanya menjadi gelap.

    Rumah sakit, warna putih, obat bius dan bau yang menusuk menyambutku begitu membuka mata. Dokter itu berbicara dengan ayah. Apa pisau itu membelah leherku? “Pak, anak anda harus dirawat inap di RS. Bisa jadi, anak anda mengalami depresi berat karena kehilangan ibunya,”
    “Tapi dok, apa anak saya… tidak akan kesepian?”
    “Tenang saja, pak. Ada beberapa anak dan orang yang dirawat inap juga disini. Terkadang, mereka diperbolehkan ke luar untuk bermain di koridor saat RS ini tutup, kira-kira jam sebelas, pak,”

    Aku tidak ingat lagi. Seorang suster melihat mataku terbuka dan langsung menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuhku. Gelap, lagi.
    Ibu. Satu kata, tiga huruf, sejuta makna. Aku tidak pernah mengira akan begitu merindukan sosoknya yang penyayang, tegas, lembut dan murah senyum. Ibu ditemukan meninggal di kamarnya setelah ayah mencoba membangunkan ibu dari tidur.

    Menginjak usia 17 tahun, sekolah mulai membuatku melupakan kesedihan tentang ibu. Tapi tidak begitu ayah meninggal karena kecelakaan. Saat itu, niat bunuh diri terlaksanakan lagi. Aku mencoba meminum racun tikus, tapi selamat karena detoksifikasi oleh rumah sakit, aku tidak tahu bagaimana. Tapi depresi itu membuatku putus sekolah dan tinggal bersama nenek dan kakek di desa. Rumah ayah dan ibu ditinggalkan begitu saja, sisanya dijual. Padahal, jual saja rumah itu.

    Hidup. Satu kata, lima huruf, sejuta makna. AKu tidak pernah tahu kapan aku akan terus hidup. Sejak tinggal bersama nenek dan kakek, aku bekerja menjadi petani di usia 20 tahun. Kakek yang mengajariku. Tapi entah kenapa, semua anggota keluargaku yang tersisa harus “pergi”. Kakek dan nenek ditemukan meninggal di rumah. Olehku. Bunuh diri… mati… hidup tidak bermakna… kata-kata itu terus terngiang ngiang di kepalaku. Sampai aku mengambil keputusan untuk menenggelamkan diri di sungai. Sial, warga berhasil menyelamatkanku.

    Sudah banyak upaya bunuh diri yang kulakukan, tapi gagal. Gantung diri, talinya putus. Menabrakkan diri ke mobil, ada orang yang menyelamatkan. Dan masih banyak lagi. Saat mencoba bunuh diri dengan pisau, kuingat saat bibi Aisyah menghentikanku. Cara apa lagi?

    Aku mulai berjalan. Kulihat sejenak mesjid itu. Tampaknya sepi, jadi aku masuk. Tak kusangka, seorang ustadz ada disitu, i’tiqaf. Dia menanyaiku perihal kemari. Sejak kuceritakan, mulutnya mengucapkan “Astaghfirullah ha’aldzim, subhanallah dan terkahir, masyaallah,”. Dia memberiku solusi.

    Kira-kira, ini yang kuingat “Bunuh diri itu tidak baik. Seharusnya kau berterimakasih pada Allah karena telah diselamatkan oleh-Nya. Jika ayah, ibu, atau siapapun meninggal, kau tidak boleh bunuh diri. Bunuh diri itu dosa besar, nak. Mari, apa kau mau mengaji?”

    Aku tersenyum getir ketika mengingat hal itu. Terkadang, air mata mengalir membasahi pipi, dan muridku akan menanyakan, “Pak, kenapa nangis?”
    Ya… seharusnya aku berterimakasih kepada Allah. Bunuh diri… kusingkirkan jauh-jauh pikiran itu. Sekarang, aku tersenyum.
    “Pak, apa bunuh diri itu dosa, pak ustadz?”
    “Ya… itu dosa besar,” ucapku sambil tersenyum sedih.

    Cerpen Karangan: Muhammad Rasyid T. H.
    Facebook: tmuhammadrasyid[-at-]gmail.com

    Artikel Terkait

    Bunuh Diri
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email