Jodohku Tanpa D

Baca Juga :
    Judul Cerpen Jodohku Tanpa D

    Aku berkaca melihat diriku sendiri, malam itu aku mengenakan gaun putih berenda silver dengan sedikit balutan lipstik merah di bibirku. Berlenggak-lenggok di depan cermin, sesekali aku memutar badan layaknya seorang puteri yang mengenakan gaun istana. Air mata tak terasa menetes dan membasahi pipiku, gaun yang sekarang melekat di tubuhku adalah gaun pernikahanku dengan mas Ferdi. Mas Ferdi adalah calon suamiku, namun keluarganya membatalkan pernikahanku dengan mas Ferdi setelah mengetahui penyakit yang dideritaku saat ini. Padahal segala sesuatunya telah disiapkan hampir 80%, dari mulai gaun pengantin, surat undangan, dan makanan untuk resepsi pun telah dipesan. Bukan hanya duka yang saya rasakan sekarang, tetapi rasa malu juga sangat saya rasakan karena undangan telah tersebar kemana-mana.

    Malam terasa begitu sunyi, sepertinya menambah rasa nelangsa hatiku yang terluka. “Tok.. Tok.. Tok! Desy?.. Desy?” seruan lelaki terdengar memanggil namaku dari luar. Suara itu tidak asing di telingaku, aku sangat mengenalinya. Mas Ferdi memanggilku, aku bingung apakah aku harus menemuinya atau tidak. Ah mungkin lebih baik aku menemuinya saja, aku tidak mau terlihat sebagai perempuan yang lemah. Aku mengusap air mataku dan bergegas menemui mas Ferdi. “Des, tujuan saya ke sini mau meminta maaf dan memberikan undangan ini untukmu” jawabnya sambil mengulurkan sepucuk surat undangan yang bersampul merah itu. “Saya sudah memaafkanmu mas,” jawabku singkat. “Ya sudah, mas pamit pulang dulu ya. Wassalamualaikum,” matanya seolah-olah berbicara. “Waalaikumussalam,” jawabku sambil menutup pintu, aku tidak kuat menahan perasaanku. Air mata kembali menetes setelah aku membaca surat undangan itu, hatiku bagaikan teriris dan tertusuk sembilu! rasanya begitu sangat pedih. Terlulis di dalamnya: menikah Ferdi Nugraha dengan Ririn Lestari. Batinku sangat terpukul, rasanya hatiku telah hancur lebur! melihat seseorang yang dahulu akan menjadi pendamping hidupku, kini akan segera menikah dengan wanita lain. Malam ini aku ingin meluapkan kesedihan dan nestapaku, aku tidak mau berlarut-larut seperti ini. “Akan kuhadiri pernikahanmu mas,” ungkapku dalam hati.

    Pernikahan mas Ferdi akan dilaksanakan malam ini, aku mencoba mengenakan gaun putih berenda silver itu, namun aku mengurungkan niatku tersebut. Aku memilih memakai gaun merah muda, dengan balutan hijab yang berwarna selaras. “Aku harus tegar! Aku harus kuat! aku tidak boleh rapuh!” gumamku dalam hati sambil berdandan di depan cermin menghias wajah dan bersolek diri. Aku bergegas menuju acara pernikahan itu, aku tidak mau datang terlambat apalagi sampai tidak menghadirinya. Aku tidak mau dianggap pecundang oleh keluarga mas Ferdi.

    Aku memacu mobil sedanku dengan kecepatan 80 km/jam. Akhirnya, aku pun sampai di depan rumah mas Ferdi. Acaranya sangat meriah, tamu-tamunya banyak, banyak hiasan pita dan bunga juga di depan rumah mas Ferdi. Para tamu undangan secara bergantian mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Aku juga ikut mengantri untuk memberikan ucapan selamat. Keluarga mas Ferdi seolah-olah tidak mengenaliku, mereka hanya menatap kaku. Sekarang mas Ferdi ada di hadapanku “selamat ya mas” ucapku padanya. “Iya terima kasih,” jawabnya kaget matanya menatapku seolah-olah merasa sangat bersalah. Di sampingnya Ririn, mulai menyadari yang sedang terjadi di hadapannya. “Selamat ya mbak”. “Iya terima kasih” jawabnya kaku. Malam itu aku pulang dengan perasaan yang bercampur aduk, ada sedih, terluka, dan perasaan lega. Sedih dan terluka karena hati kecilku masih belum menerima semuanya, seharusnya aku yang berdiri mendampingi mas Ferdi tadi. Dan lega karena saya mampu menunjukkan kepada keluarga mas Ferdi bahwa saya bukanlah wanita lemah.

    Hari ini aku berniat untuk mengobati penyakitku itu, sebenarnya aku menderita penyakit gejala kanker otak. Aku mencoba berobat ke salah satu klinik yang terkenal di Indramayu. Aku merasa sangat terkejut melihat dokter di klinik itu, dokter itu adalah Feri! seseorang yang dulu sangat menyukaiku. “Desy, kamu sakit apa?” tanyanya ramah sambil menyuguhkan senyum padaku. “Aku menderita kanker ringan mas,” jawabku yang saat itu masih malu. “Oh, tenang saja des, saya akan berusaha menyembuhkan penyakitmu secara total,” tegas Feri. “Oh iya, kenapa kamu datang ke sini sendirian? Sudah menikah belum?” tanyanya menggodaku. “Be.. Belum,” jawabku malu. “Aku juga belum nih,” jawab Feri sambil tersenyum lebar. “Hmm maaf des, mari bisa langsung saya periksa,” dia lalu masuk ke ruang pemeriksaan. Setelah dicek, saya harus rutin datang ke sini untuk melakukan terapi.

    Setelah kejadian itu, setiap malam selalu terbayang wajah mas Feri di benakku, perasaanku mulai gelisah. “Oh, apakah hatiku telah terpikat olehnya,” gumamku dalam hati. Malam ini, aku mencoba menikmati suasana malam yang sunyi untuk mengobati kegundahan hatiku serta menghilangkan perasaan gelisah itu, aku membuka jendela kamarku perlahan. “Oh, malam ini langit begitu cerah menawan,” aku menghela nafas panjang. Sang rembulan terlihat begitu ria ditemani gugusan bintang-bintang yang berhamburan, semilir angin malam yang menyelusup ke dalam tubuhku menambah harmoni suasana malam itu. Aku terkejut ketika melihat seseorang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arahku. “Bukannya itu mas Feri ya?” tanyaku dalam hati. Aku kemudian turun ke bawah untuk menemuinya. “Ada apa mas?, malam-malam begini datang ke rumah, kenapa tidak ngabarin dulu?” sapaku padanya. “Sengaja mas datang ke sini tanpa memberitahumu dulu, aku ingin membikin kejutan untukmu” goda mas Feri. Aku hanya tersenyum dan tersipu malu melihat tingkahnya. “Des, asalkan kamu tahu dari dulu perasaanku padamu tak pernah berubah. Bertahun-tahun aku menantimu, hatiku masih milikmu des!. Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” tangannya sambil mengulurkan sebuah cincin berlian yang sangat cantik. Pertanyaan mas Feri tadi membuatku kaget sekaligus bahagia dalam hati. “M..Mau,” jawabku sambil menganggukan kepala, cincin itu pun dipasangkan di jari manisku.

    Cinta kami berdua rupanya disaksikan oleh rembulan dan bintang yang menghiasi malam itu. Namun hatiku masih ragu apakah mas Feri mau menerimaku dengan penyakit yang dideritaku saat ini. “Mas, aku mau mengajukan pertanyaan untukmu, tolong dijawab dengan jujur! apakah mas mau menerimaku dengan penyakit yang dideritaku sekarang? Aku perempuan penyakitan mas!” Air mata membasahi pipiku. Dengan tegas mas Feri menjawab “kamu tak usah memikirkan hal itu, apa kamu lupa? Saya kan seorang dokter. Saya akan mengobati penyakitmu sekaligus mengobati rasa kesendirianmu saat ini,” tangannya mengusap air mataku. Aku kembali tersenyum dan bernafas lega mungkin mas “Feri” lah jodohku untuk menggantikan mas “Ferdi” di hatiku.

    Indramayu, 20 April 2016

    Cerpen Karangan: Harry Handika
    Facebook: Harry Handika
    Blog: harryhandika8.blogspot.com

    Artikel Terkait

    Jodohku Tanpa D
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email