Orang Baru

Baca Juga :
    Judul Cerpen Orang Baru

    Aku berjalan menyusurui gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu buah sepedah motor. Disini suasana cukup nyaman. Penduduknya hidup saling akur dan tentram. Tidak ada pembeda antara warga asli pribumi dan pendatang sepertiku. Semua saling menyapa.

    Kulihat jalanan masih begitu sepi, hanya ada beberapa pedagang sayur dan orang-orang, terutama ibu-ibu yang berjalan pulang dari pasar sambil membawa barang belanjaan. Kendaraan belum begiku ramai. Para jemaah gereja hanya terlihat beberapa saja, belum datang semuanya. Biasanya mereka akan penuh pada saat jam delapan hingga siang hari.
    Aku sedikit bingung, kemana akan kulangkahkan kaki, aku tak biasa berjalan pagi-pagi seperti ini. Biasaya aku hanya bermalas-malasan apabila hari Minggu tiba. Ada beberapa orang yang berpakaian sama sepertiku, berpenampilan seperti akan berolah raga. Namun bedanya, mereka menjalankan dengan serius, sedangkan aku, hanya berjalan-jalan saja.

    Dari kejauhan, terlihat pak Rohim sedang menggoreng beberapa bakwan yang siap dijual. Aku berjalan mendekatinya. Sudah banyak orang yang berkumpul disitu. Aku kenal beberapa. Mereka adalah pelanggan setia pak Rohim yang selalu nongkrong di warungnya.

    Aroma kopi yang dituang, sudah tercium dari jarak lima meter. Program penurunan berat badan, mungkin harus kembali kutunda. Aku sudah semakin ingin memasuki warung itu dan meminum kopi hitam seperti biasa. Pak Rohim sudah melihatku dari kejauhan. Dia sudah tahu bahwa akan ada seorang anak muda yang memasuki warungnya. Dan memang benar itu terjadi.

    “Kemana De, sudah rapi begitu?” tanya pak rohim saat aku memasuki warungnya.
    “Lari pagi, pak,” jawabku, bohong.
    “Ahh, masa lari pagi gak ada keringatnya?” tanya pak Rohim. Dia mulai curiga padaku.
    “Kan sudah aku minum,” candaku pada pak Rohim.
    “Gak lari ya, Cuma jalan saja?” tebak pak Rohim yang memang benar begitu kenyataannya.
    “Hehe, tahu aja, pak, ini kopi menggoda, bikin gak jadi lari,” ujarku.
    “Ehh, nyalahin kopi,” protes pak Rohim.

    Aku memakan beberapa gorengan disitu, hingga sudah saatnya pulang. Kakiku mulai terasa panas dengan balutan kaus kaki dan sepatu.

    Selepas aku pulang dari warung pak Rohim, di depan gapura gang menuju kostanku, ada seorang bapak yang sudah cukup tua, berpakaian ala tentara jaman dulu, baju warna hijau yang gak ada lorengnya, lebih terlihat seperti pakaian Hansip. Dari penampilan terlihat baju itu sudah lama dipakai, karena warnanya yang sudah pudar. Celana yang ia pakai, yaitu dari bahan kain halus, kaki kanan celana dimasukan kedalam kaus kaki warna putih. Sepatu yang ia gunakan adalah sepatu dari bahan kulit warna hitam. Jika dilihat lagi, dia seperti seorang gelandangan yang biasa meminta-minta di pinggir jalan, tapi dari sorot matanya, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.
    Banyak orang yang berjalan di depannya memberikan bebarapa lembar uang sisa belanja tadi pagi. Bapak itu hanya menerima dengan wajah dingin. Begitupun denganku.

    Aku berjalan di depannya, memasukan kedua tangan ke dalam celana, berharap ada uang sisa beli kopi tadi pagi di warung pak Rohim. Dan… ya, ada selembar uang dua ribu. Aku berikan pada bapak itu. seperti pada orang lain, ekspresi yang ia berikan begitu dingin. Seperti tidak ada ucapan terima kasih dan rasa bahagia seperti para penemis kebanyakan. Tapi aku tidak peduli, tugasku adalah memberi sebagian hartaku pada orang yang kukira harus mendapatkannya.
    Ada rasa bahagia saat aku memberinya. Kukira itu akan dirasakan semua orang. Karena mungkin sejahat apapun manusia, jika dia sudah melakukan kebaikan, dia akan merasakan hal yang sama sepertiku dan merasa jadi orang baik walau hanya saat itu saja.

    Hari sudah mulai siang. Program penurunan berat badan harus kembali gagal dengan teriakan demonstrasi dari perutku. Aku lapar. Kukira, jika program ini ingin berhasil, salah satu cara adalah dengan ditutupnya warung pak Rohim. Karena warung itu yang selalu aku singgahi saat aku ingin mengunyah sesuatu. Tapi, itu jangan terjadi. Aku tahu pak Rohim menggantunkan hidupnya pada warung itu. Selain itu, akan hilangnya informasi dari berbagai topik yang diberikan setiap orang yang berkunjung ke warung itu. Bagiku, warung itu sudah seperti acara Talk Show live, tanpa ada halangan apapun, tanpa ada pembatas antara narasumber dan penonton. Semua bebas berekspresi dan bertanya.
    “Kalau bapak tutup, mau makan apa, De, anak-istri, apalagi kamu tahu, mahal banget bayaran di sekolah kamu. Bapak gak ingin kalau si Dandi putus tahu gak bisa ikut ujian cuma gara-gara gak bisa bayar,” curhat pak Rohim. Benar, biaya sekolah cukup mahal, si Dendi itu anak bungsu pak Rohim yang sekolahnya sama denganku, tapi dia masih kelas sepuluh, beda dua tahun denganku. Selain uang bayaran sekolah, ada juga uang yang harus dikeluarkan untuk membuat tugas yang diberikan oleh guru. Aku jadi merasa bersalah pada ibuku saat pak Rohim berbicara seperti itu. Aku sering berbohong pada ibuku soal uang, aku selalu minta dikirim dengan cepat, tapi tidak peduli bagaimana ibuku mencarinya. Oh maafkan aku, bu. Semoga rezeki menyertai kita semua.

    Rasa lapar sudah semakin tidak terkendali, kulihat jam sudah pukul 11:13, sudah saatnya makan siang. Sudah saatnya pula bersilaturrahmi ke warung pak Yusman yang siap memberi sedekah padaku, dan aku pun siap menyumbang uang untuknya.
    Suasana warung cukup ramai, hanya ada satu kursi yang kosong. Mungkin itu khusus untukku, karena tidak ada lagi yang datang untuk makan disitu.

    “Tumben siang De?” tanya pak Yusman, “Biasa juga pagi-pagi udah sarapan,” sambungnya, sambil mengalasakan nasi untuk salahsatu pembeli disitu. Dengan tangan yang sudah cukup mahir dalam menyajika menu makanan.
    “Iya, pak, tadi sarapan kopi, jadi gak langsung makan,” jawabku.
    “Ngopi dimana? kayak orang tua aja, pagi-pagi ngopi,”
    “Di pak Rohim, tadinya mau lari pagi, tapi gak jadi, malah ngopi,”
    “Haha, ngapain lari? Biar kurus?”
    “Biar sehat lah pak,”
    “Kirain biar kurus. Jangan kurus, nanti gak gendut lagi.”
    “Ya, iyalah, kalau kurus gak gendut.”
    “Hehe, mau makan apa?” pak Yusman sudah bertanya soal menu apa yang akan aku makan, itu berarti dia sudah pegal memegang piring yang berisi nasi di tanggannya, dan belum dikasih lauk.
    “Biasa, pak, makanan Minggu,” itu yang biasa aku katakan jika hari Minggu kesini, pak Yusman sudah mengerti dengan menu hari Mingguku, gak usah dikasih tahu, nanti kamu mau.

    Sambil makan, pak Yusman, menanyakan tentang seseorang yang sedang duduk di depan gang menuju kostanku. Ya, si bapak tadi. Ternyata sudah sampai ke penjuru komplek beritanya. Kata pak Yusman, dia itu orang gila, yang suka melempar batu, kepada setiap orang yang lewat dan suka masuk ke dalam rumah yang pagarnya terbuka, lalu merusak barang ia lihat. Informasi itu didapat dari salah seorang pembeli di warung pak Yusman yang penah melihat bapak itu di salah satu tempat, bapak itu ngamuk tak karuan, katanya.
    “De, di depan gang kamu ada bapak-bapak ya?” kata pak Yusman bertanya padaku.
    “Oh iya pak, ada, kayak hansip,” jawabku sambil mengunyah makanan.
    “Katanya itu orang gila, yang suka ngamuk,” pak Yusman, mengatakan itu dengan penuh keyakinan.
    “Wah kata siapa pak?”
    “Tadi, kata yang makan disini, dia pernah lihat si-bapak itu, ngamuk sambil ngelamparin batu ke orang-orang,”
    “Terus bapak percaya?” tanyaku.
    “Ya, gak tahu, kan belum lihat,”
    “Euhh, pak, jangan suudzan dulu,”
    “Eh iya, De, astagfirullah,”
    “Nah, gitu, istighfar, hehe,” kataku sambil kembali menyantap makanan yang sedikit lagi akan habis.

    Aku tak peduli dengan ucapan pak Yusman tadi, jika memang bapak itu orang gila, kenapa dia tidak melemparku tadi, dan malah memberi senyum padaku. Seharusnya jangan suudzan dulu, jika salah, nanti jadi fitnah. Mungkin aku akan menemui bapak itu, dan menanyakan apakah dia orang gila atau bukan? Itu pun kalau aku mau.

    Cerpen Karangan: Ade Septian
    Blog: adeseptianpeace.blogspot.com

    Artikel Terkait

    Orang Baru
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email