Judul Cerpen Tumbal Kabut Pembalasan
Gunung Panglimun…
Sore mulai beranjak malam, para anggota Basarnas, relawan dan Jagawana mulai terlihat turun dari area pendakian menuju Basecamp pos utama di bawah. Mereka pun segera beristirahat di pelataran basecamp itu, sebagian ada yang langsung rebah-rebahan. Sedangkan para ketua regu masuk ke dalam sebuah ruangan yang ada di basecamp itu untuk briefing dan saling memberikan laporan hari ini.
Ada apa gerangan?,
Ternyata mereka sedang dalam proses misi pencarian pendaki yang hilang beberapa hari yang lalu, dan hari ini sudah hari kelima pencarian dari tujuh hari yang telah disepakati oleh tim. Jika sampai tujuh hari pencarian dan pendaki yang hilang tersebut masih juga belum dapat ditemukan, maka proses pencarian akan dihentikan.
Menurut laporan yang mereka terima bahwa, seminggu yang lalu ada rombongan pendaki remaja berjumlah lima orang dari daerah Depok telah mendaftar di pos utama atau basecamp. Terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan, atas nama Angga, Aris, Dicky, Rina dan Yuni. Para pendaki remaja itu mendaftar pada pagi hari, sekitar jam enam pagi dan mereka berencana bahwa mereka akan pulang hari itu juga, tidak berencana untuk menginap atau camping di gunung tersebut. jadi, setelah sampai puncak, istirahat sebentar dipuncak sambil menikmati pemandangan lalu langsung turun lagi.
Di hari kejadian itu, waktu itu sekitar pukul setengah enam sore, mereka telah turun kembali dan sampai ke pos utama basecamp sambil berlari tergopoh-gopoh dan langsung melapor ke petugas jagawana bahwa salah satu dari teman mereka telah hilang di sekitar pos dua saat mereka turun. Dan yang hilang itu adalah teman mereka yang bernama Rina.
Segera saja petugas jagawana membawa mereka berempat ke ruangan di dalam pos utama basecamp tersebut untuk diintrograsi dan meminta mereka untuk menjelaskan kronologisnya secara rinci. Lalu, salah satu perwakilan dari mereka yaitu Angga, menuturkan bahwa setelah mereka mendaftarkan diri di pos utama pada pagi hari itu dan setelah mendapat izin mendaki dari petugas, segera saja mereka langsung berangkat mendaki gunung. Kira-kira lima jam perjalanan mendaki akhirnya tepat pukul 12.30 siang mereka sampai juga dipuncak, lalu mereka istirahat sambil menikmati pemandangan dari atas puncak, berfoto-foto dan lain-lain. Lalu, setelah puas menikmati puncak, kira-kira pukul dua siang mereka pun segera beranjak turun dari puncak untuk kembali melalui rute yang sama dengan waktu mereka naik.
Gunung halimun memiliki tinggi kurang lebih 1.428 mdpl, dan memiliki lima pos pendakian. Gunung Panglimun termasuk gunung yang sering turun kabut. Mungkin oleh sebab itu, gunung tersebut dinamai gunung Panglimun, yang asal katanya dari kata “Halimun” yang berarti kabut.
Dalam perjalanan turun dari pos lima sampai pos tiga, Angga menuturkan perjalanan mereka aman-aman saja. Tidak ada keanehan sedikit pun. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore dan sebentar lagi sudah sampai di pos dua. Dan menurut perkiraan mereka, bahwa mereka akan sampai di pos utama basecamp itu sebelum jam enam sore. Cuaca saat itu juga sangat cerah, tidak ada awan mendung atau gerimis. Bahkan, tidak terlihat kabut sedikitpun yang menemani perjalanan mereka turun.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai juga di pos dua. Karena untuk mengejar waktu sebelum malam tiba, mereka sepakat untuk langsung melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat terlebih dahulu di pos dua itu. Disamping itu, dari pos dua ke pos satu ‘track’nya pun sudah agak landai, jalan setapaknya agak besar dan lurus, serta kiri dan kanannya cuma diapit pohon-pohon dan semak belukar pendek saja. Jadi, tidak ada jurang sampai pos satu. Aman…
Tapi, sesuatu pun terjadi…!
Baru beberapa meter saja mereka berjalan, kabut tiba-tiba turun dengan lebatnya. Lalu Angga pun segera mengeluarkan sebuah tali tambang dari dalam tas ‘carrier’nya dan menginstruksikan kepada teman-temannya agar segera mengikatkan tali tersebut di pinggang masing-masing secara tersambung berurutan, agar tidak ada yang terpisah dari rombongan. Setelah semua terikat bersama, benar saja!, kabut pun akhirnya menutupi pandangan mereka total!. Mereka tidak bisa melihat teman yang ada di depan atau pun belakangnya. Hanya bisa memegang tali yang terikat di pinggang mereka masing-masing, dan yang terdengar hanya suara saja untuk berkomunikasi.
Angga menginstruksikan untuk terus jalan menembus kabut. Karena menurut dia ‘track’nya aman, landai, tidak ada jurang dan hanya tinggal berjalan lurus saja pelan-pelan walaupun jalannya tidak kelihatan sama sekali. Yang lain pun menyetujuinya. Selain itu pula mereka merasa khawatir jika keburu malam tiba, dikarenakan memang mereka tidak berencana untuk bermalam atau camping, sehingga mereka sama sekali tidak membawa peralatan camping seperti tenda atau sleeping bag. Dan jika sampai mereka kemalaman lalu ditambah kabut terus turun seperti ini, bisa-bisa mereka kolaps karena hypothermia.
Dengan pelan-pelan mereka terus berjalan lurus menuruni jalan setapak antara pos dua menuju ke pos satu itu, sambil sesekali terus berkomunikasi secara menghitung satu sampai lima. Angga paling depan, lalu diikuti Yuni, Rina, Dicky dan Aris paling belakang. Sejauh ini situasi masih aman terkendali. Komunikasi secara hitung-menghitung pun masih lengkap terdengar sampai urutan lima.
Sudah hampir dua puluh menit berlalu kabut pun masih menutupi pandangan mereka, sedangkan hitung-menghitung di antara mereka sudah tak terdengar lagi, karena mungkin sudah merasa bosan juga jika harus terus menerus teriak-teriakan menghitung. Mereka berfikir tidak akan terjadi apa-apa lah, tidak akan ada yang sampai keluar dari rombongan. Toh, mereka kan terikat bersama dalam satu tali. Jadi tidak mungkin ada yang terpisah.
Tak berapa lama, kabut pun akhirnya sedikit demi sedikit menghilang dari pandangan mereka. Angga lalu menyuruh semua untuk berhenti sejenak.
Perlahan-lahan pandangan mereka pun mulai terlihat jelas. Mereka mulai bisa melihat sekeliling satu sama lain, hingga akhirnya kabut pun lenyap tak berbekas. Ternyata kini mereka sudah hampir beberapa meter saja dari pos satu.
“RINA!, RINA MANA RINA!!?”, tiba-tiba terdengar suara Dicky berteriak.
Sontak yang lain pun segera melihat ke arah dimana seharusnya Rina berada, yaitu di antara Yuni dan Dicky. Tapi yang terlihat hanya sebuah simpul ikatan tali seukuran pinggang yang menggantung, alias Rinanya tiba-tiba menghilang!?.
Kontan saja mereka berempat langsung panik. Angga pun segera meminta mereka bertiga untuk melepaskan ikatan tali itu masing-masing dan mengajak mereka langsung berlari turun secepatnya menuju pos basecamp karena mereka takut sesuatu yang aneh terjadi menimpa mereka berempat juga. Akhirnya, setengah jam kemudian mereka sampai juga di basecamp dan segera melaporkan yang baru saja terjadi. Begitulah Angga menuturkan…
Segera setelah mendapat laporan dari Angga tersebut dan konfirmasi dari petugas catatan pendaftaran, Kepala Jagawana langsung menghubungi kantor sekretariat Basarnas di daerah tersebut. sedangkan Angga, Yuni, Dicky dan Aris dibawa ke kantor Polsek untuk dimintai keterangan lebih lanjut serta membuat laporan tertulis pada polisi, untuk selanjutnya akan dilakukan penyelidikan dan intrograsi secara intensif terhadap mereka. Karena laporan atau keterangan dari Angga dkk tidak logis, dan pihak kepolisian tetap mencurigai bahwa Rina itu terpisah dari rombongan dan tersesat, atau bisa juga dibunuh oleh mereka di atas gunung sana karena suatu motif. Tapi Angga dkk tetap bersikeras bahwa Rina hilang ditelan kabut saat mereka turun gunung. Tepatnya di jalan setapak antara pos dua dan pos satu itu.
Esok paginya gabungan antara tim Basarnas, jagawana, relawan dan beberapa anggota TNI dan Polri segera memulai misi pencarian terhadap Rina dan menyisir semua area pendakian, termasuk lembah dan jurang-jurang. Pencarian dilakukan dari pagi hingga petang hari. Dan sampai lima hari pencarian telah berlalu, masih juga belum mendapatkan titik terang keberadaan Rina. Di tempat lain, Angga dkk dengan ditemani orangtua mereka masing-masing dikenai wajib lapor 1 x 24 jam ke kantor Polsek selama pencarian masih berlangsung.
Sedangkan Bu Firda, ibunda dari Rina. Sampai saat ini masih belum bisa ditemui dan dimintai keterangan oleh polisi dikarenakan masih mengalami ‘shock’ setelah mendapat kabar bahwa putrinya Rina hilang di gunung Panglimun. Pihak polisi hanya bisa menerima keterangan dari Pak Ma’ruf, beliau adalah adik ipar dari Bu Firda atau paman dari Rina, karena suami Bu Firda atau ayahnya Rina sudah lama meninggal dunia.
Menurut Pak Ma’ruf, bahwa Rina keponakannya itu adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakaknya semua sudah menikah dan tinggal di luar kota. Jadi di rumah hanya ada Rina dan ibunya saja berdua. Sehari sebelum Rina pergi mendaki itu, memang teman-teman Rina yaitu Angga dkk juga datang main ke rumah Rina. Mereka juga menemui Bu Firda seraya meminta ijin kepadanya untuk mengajak Rina esok harinya jalan-jalan ke pantai bersama mereka. Alasannya untuk sekedar having fun setelah kemarin lumayan merasa pusing dan tertekan setelah mengikuti ujian akhir di sekolah. Rina dan Angga dkk adalah teman satu sekolah di SMA-nya, dan mereka memang sering main ke rumah Rina sebelum-sebelumnya.
Sepengetahuan Pak Ma’ruf, bahwa bu Firda itu dari dulu memang selalu mengizinkan Rina untuk main atau jalan-jalan kemanapun bersama Angga dkk itu, asalkan tidak pergi atau naik ke gunung. beliau pun tidak tahu alasannya kenapa?. Makanya, saat Rina dan Angga dkk bilang mau jalan-jalan ke pantai, tentu saja Bu Firda mengizinkannya. Hingga akhirnya terjadi kejadian seperti ini. tentu saja Bu Firda shock mendengarnya, dan tak habis fikir kenapa Rina dan teman-temannya bisa tega berbohong kepadanya dan juga untuk pertama kalinya. Sungguh sedih dan kecewa hatinya.
Akhirnya hari terakhir pencarian pun tiba..
Sama seperti hari-hari pencarian sebelumnya. Hasilnya pun NIHIL!.
Hingga detik-detik sore hari pun datang. Pencarian pun resmi dihentikan..
Semua kepala regu atau tim, baik itu dari Basarnas, jagawana, relawan mahasiswa, anggota TNI dan Polri langsung diminta menuju ke kantor Polsek untuk briefing kasus ini bersama Pak Kapolsek. Sesampainya di kantor Polsek, mereka segera masuk ke dalam ruang rapat di kantor Polsek tersebut untuk memulai briefing.
Selang setengah jam kemudian, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu disaat rapat sedang berlangsung. Pak Kapolsek pun mempersilahkan masuk. Pintu pun terbuka dan seorang ajudan polisi pun masuk, melaporkan bahwa di lobby ada Bu Firda, ibunda dari Rina ingin bertemu dengan Pak Kapolsek. Tentu saja ini sesuatu hal yang sangat ditunggu, berhubung sejak terjadinya kasus ini pihak kepolisian sama sekali belum pernah bisa menemui atau meminta keterangan dari Bu Firda sendiri, walaupun dari tujuh hari yang lalu pihak polisi sudah beberapa kali memanggil bu Firda melalui pihak keluarganya termasuk Pak Ma’ruf, supaya untuk bisa datang ke kantor Polsek tapi bu Firda tidak pernah memenuhi panggilan dari pihak kepolisian itu. Dan tak disangka hari ini beliau datang juga. Hari dimana proses pencarian sudah dihentikan.
Segera saja Pak Kapolsek memerintahkan ajudannya itu untuk segera menjemput bu Firda di lobby dan membawa ke ruangan rapat ini. tak lama kemudian, dengan diantar ajudan polisi tersebut, bu Firda pun masuk ke dalam ruang rapat itu dan menyalami semua yang ada disitu. Pak Kapolsek memperkenalkan mereka satu persatu dan menjelaskan bahwa beliau-beliau ini adalah para ketua regu dari tim pencarian kasus Rina ini, yang berasal dari beberapa instansi yang berbeda dan beberapa juga perwakilan dari para relawan mahasiswa. Pak Kapolsek juga menjelaskan bahwa hari ini tepatnya tadi sore, pencarian terhadap Rina telah resmi ditutup atau dihentikan. Mengingat kesepakatan yang telah tim sepakati bersama sebelumnya. Jadi briefing kali ini hanya sebatas agenda untuk merekapitulasi hasil laporan-laporan dari setiap ketua tim selama tujuh hari pencarian itu berlangsung.
Jadi intinya, Pak Kapolsek meminta maaf kepada bu Firda, bahwasanya tidak akan ada lagi agenda pencarian terhadap kasus hilangnya Rina ini lagi kedepannya.
Bu Firda pun menggangguk dan tersenyum ‘legowo’ kepada semua yang ada disitu, dan dia pun mulai buka suara untuk pertama kalinya,
“Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Kapolsek dan semua Bapak-Bapak yang ada disini. Karena selama tujuh hari ini telah berusaha keras bersama anggota-anggota timnya yang lain untuk mencari keberadaan putri saya Rina yang telah hilang, walaupun tidak menemukannya. Tapi saya sangat menghargai usaha Bapak-Bapak semua”, ucapnya berusaha tegar.
“Tapi kedatangan saya ke sini bukan untuk meminta penambahan waktu pencarian lagi atau lain sebagainya, saya sudah ikhlaskan itu semua. Tapi kedatangan saya kesini adalah hanya ingin mencurahkan hati saya kepada bapak-bapak sekalian tentang apa yang sebenarnya terjadi terhadap Rina anak saya. Karena walaupun ini adalah sebuah aib keluarga yang seharusnya tidak boleh diungkapkan pada orang lain, tapi menurut saya sekaranglah saat yang tepat untuk menceritakannya, agar hati saya bisa lebih tenang sedikit dengan berbagi pengalaman ini pada bapak-bapak sekalian..”, ujarnya lagi sambil dengan mata berkaca-kaca.
Semua yang ada disitu pun saling berpandangan heran satu sama lain, mendengar penuturan dari bu Firda tersebut.
“Maksud ibu bagaimana?, aib apa?, kami tidak mengerti??..”, tanya pak Kapolsek menegaskan. Karena semua yang ada disitu berfikir ini mungkin cuma kasus kecelakaan atau bisa juga kriminal. Tetapi kenapa tiba-tiba bisa jadi menjurus ke masalah aib keluarga?.
“Baiklah saya akan cerita. Tapi, sebelumnya saya mau bilang bahwa saya tidak masalah jika setelah saya bercerita ini nanti, bapak-bapak sekalian menganggap saya sakit jiwa, gila atau apalah. Karena yang nanti akan saya ceritakan ini adalah sesuatu hal yang jauh dari fikiran yang logis, yang mungkin tidak pernah ada dalam disiplin ilmu yang bapak-bapak pernah pelajari sebelumnya…”,
“Sekali lagi, buat saya itu tidak masalah…”,
“Saya cuma ingin curhat dan berbagi pengalaman saja. Supaya hati saya ini bisa sedikit tenang walaupun akhirnya harus tetap kehilangan putri saya tercinta…”, lirihnya.
Bu Firda pun memulai ceritanya,
Begini ceritanya…
Pada zaman dahulu, tepatnya era sebelum kemerdekaan atau zaman kolonial Hindia Belanda, kakeknya Rina atau ayahanda dari bu Firda adalah seorang saudagar dagang yang cukup terpandang dan kaya pada zamannya. Sebut saja Ki Oyo…
Nah, Ki Oyo ini asalnya adalah anak dari seorang petani miskin. Tapi berkat kecakapannya berbicara dan bergaul walaupun ia masih anak-anak, dia bisa punya banyak teman baik dari anak kalangan pribumi ataupun kolonial. Dia pun anak yang tekun dalam belajar dan mempelajari ilmu tentang perdagangan. Apalagi urusan hitung menghitung. Dan berkat ketekunannya dalam mendalami bidang itu, terutama dagang dan hitungan maka, di usia remaja dia berhasil diangkat menjadi pekerja bagian tata usaha pembukuan di sebuah serikat dagang yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial.
Hingga suatu ketika dimana Ki Oyo sudah beranjak dewasa, dia jatuh cinta kepada seorang gadis pribumi yaitu seorang anak dari demang kaya di daerahnya. Tak berapa lama Ki. Oyo pun mendatangi rumah gadis tersebut bermaksud untuk meminangnya. Tapi sayang seribu sayang, syarat yang diajukan ayah gadis itu terlampau berat baginya…
Ki. Oyo harus menyediakan 300 kepeng emas sebagai mas kawinnya. Karena jika dia tidak mampu, sudah ada seseorang yang mampu menyanggupinya, yaitu seorang saudagar asal Malaka.
Karena Ki. Oyo sudah terlanjur jatuh cinta pada gadis itu, bagaimanapun dia tidak mau sampai kehilangannya atau direbut oleh saudagar asal Malaka itu. Dia sadar, bahwa pekerjaannya sebagai pegawai tata usaha serikat dagang tidak akan bisa banyak membantunya. Jika ditotal setahun gajinya hanya 15 kepeng emas saja!. Lalu nafsu dan keinginan pun akhirnya membutakan matanya dengan mengambil jalan yang tidak pernah sekalipun pernah terfikirkan olehnya. Yaitu dengan menjalani pesugihan.
Hingga suatu hari dengan didampingi oleh seorang dukun, akhirnya ki Oyo pun berhasil menjalani pesugihan di gunung Panglimun, dan syarat-syarat yang diajukan oleh jin pesugihan tersebut adalah tumbal nyawa setiap tahun, dimana setiap tahunnya ki Oyo akan mendapatkan satu peti emas pada purnama yang ke tujuh. Ki Oyo pun berhasil meminang gadis pujaannya itu, anak demang kaya itu setelah memberi mas kawin sebanyak 500 keping emas, melebihi syarat yang diajukan demang itu sebelumnya.
Sekarang, ki Oyo pun sudah punya serikat dagang sendiri dan mempunyai puluhan pekerja. Dia menjadi salah satu saudagar dagang kaya di Batavia. Dan tiap tahunnya pekerja-pekerjanya itulah yang jadi tumbalnya.
Tahun demi tahun berlalu…
Entah kenapa pada suatu malam tiba-tiba ki Oyo mendapat mimpi sangat buruk yang sebelum-sebelumnya tidak pernah ia alami selama bertahun-tahun. Dalam mimpinya ia melihat anak perempuannya yang bernama Firda yang baru berumur dua tahun itu sedang dicengkram dalam genggaman sesosok mahluk menyeramkan, dan makhluk itu meminta anak ini harus menjadi tumbal selanjutnya. Lalu ki Oyo pun tersentak dan terbangun dari mimpinya. Ia lalu segera saja melihat ke arah anak perempuannya itu yang masih terlelap tidur di sampingnya, sambil memeluk ibunya. Tidak tega rasannya jikalau anak sendiri harus jadi tumbal pesugihan, apalagi sedang lucu-lucunya seperti ini. batinnya…
Ki Oyo pun bertekad untuk memutuskan perjanjian pesugihan ini bagaimana pun caranya, sebelum purnama ke tujuh datang dan takut anaknya nanti malah yang jadi korban. Dia pun mengunjungi rumah dukun yang waktu itu membimbingnya melakukan pesugihan. Tapi ternyata sang dukun itu telah meninggal dunia. Tak patah arang, berkat koneksi kenalannya yang cukup banyak, ada salah satu teman dagang ki Oyo yang menyarankan untuk menemui seorang kyai linuwih di daerah Banten. Ki Oyo berpura-pura kepada temannya itu bahwa ia hanya ingin berobat, bukan untuk memutus pesugihan, untuk menjaga nama baiknya.
Akhirnya ki Oyo bertemu dengan kyai linuwih tersebut, dan ia pun menceritakan semuanya. Lalu kyai itu pun bersedia untuk menolongnya asalkan ki Oyo mau bertobat nasuha dan menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak pekerjanya yang telah jadi korban tumbalnya di masa lalu. Ki Oyo menyanggupinya, asalkan ia terbebas dari perjanjian hitam itu dan keluarganya bisa selamat.
Dengan kesaktiannya, kyai itu berhasil mengalahkan mahluk pesugihan gunung Panglimun itu, tapi tidak membunuhnya. Karena jin itu menyerah lebih dulu dan setuju untuk mencabut perjanjian pesugihan antara dia dan ki Oyo. Tapi jin itu meminta satu permintaan yang bernada ancaman kepada ki Oyo. Permintaannya adalah jangan sampai ada anak atau keturunan-keturunan dari ki Oyo nanti berani menginjakan kaki di gunung Panglimun ini. jika sampai itu terjadi, maka jin itu akan membawa keturunan dari ki Oyo tersebut ke alamnya melalui kabut. Sebagai pelampiasan dendam atas kekalahannya hari ini.
“Nah, begitulah ceritanya bapak-bapak sekalian…”, tutup bu Firda bercerita.
“Makanya, dulu saya dan adik-adik saya diwanti-wanti agar jangan pernah sekalipun naik ke gunung oleh almarhum ayah saya, baik itu gunung di mana pun juga, terutama di gunung Panglimun itu. Padahal saya dan adik-adik saya selalu berusaha untuk mematuhi larangan itu seumur hidup kami. Tapi kenapa justru anak saya yang kena apesnya. Bisa-bisanya dia naik ke gunung yang paling dilarang untuk dikunjungi oleh keluarga kami… hu.. hu. hu..”, terdengar isak bercampur rasa sesalnya.
“Kenapa, bukan saya saya yang diambil..!?”,
“Saya yang sudah tua dan bau tanah ini… hu.. hu.. hu”, isaknya semakin menjadi-jadi dan terdengar menggaung memenuhi ruangan ini.
Semua bapak-bapak yang ada di ruangan ini pun hanya bisa tertunduk, ikut bersimpati dan merasakan apa yang bu Firda alami. Walaupun mereka adalah orang-orang berpendidikan yang beretika logis, tapi sama sekali dari mereka tidak ada yang menganggap bu Firda itu gila atau sedang mengada-ada. Karena dalam lubuk hati kecil mereka, sebagai orang yang beragama pasti mereka pun mempercayai pada hal-hal yang gaib…
Segala sesuatu yang musykil mungkin saja bisa terjadi…
Mungkin…
TAMAT
Cerpen Karangan: Nanay Dorman
Facebook: nanaymalmsteen13[-at-]gmail.com
Gunung Panglimun…
Sore mulai beranjak malam, para anggota Basarnas, relawan dan Jagawana mulai terlihat turun dari area pendakian menuju Basecamp pos utama di bawah. Mereka pun segera beristirahat di pelataran basecamp itu, sebagian ada yang langsung rebah-rebahan. Sedangkan para ketua regu masuk ke dalam sebuah ruangan yang ada di basecamp itu untuk briefing dan saling memberikan laporan hari ini.
Ada apa gerangan?,
Ternyata mereka sedang dalam proses misi pencarian pendaki yang hilang beberapa hari yang lalu, dan hari ini sudah hari kelima pencarian dari tujuh hari yang telah disepakati oleh tim. Jika sampai tujuh hari pencarian dan pendaki yang hilang tersebut masih juga belum dapat ditemukan, maka proses pencarian akan dihentikan.
Menurut laporan yang mereka terima bahwa, seminggu yang lalu ada rombongan pendaki remaja berjumlah lima orang dari daerah Depok telah mendaftar di pos utama atau basecamp. Terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan, atas nama Angga, Aris, Dicky, Rina dan Yuni. Para pendaki remaja itu mendaftar pada pagi hari, sekitar jam enam pagi dan mereka berencana bahwa mereka akan pulang hari itu juga, tidak berencana untuk menginap atau camping di gunung tersebut. jadi, setelah sampai puncak, istirahat sebentar dipuncak sambil menikmati pemandangan lalu langsung turun lagi.
Di hari kejadian itu, waktu itu sekitar pukul setengah enam sore, mereka telah turun kembali dan sampai ke pos utama basecamp sambil berlari tergopoh-gopoh dan langsung melapor ke petugas jagawana bahwa salah satu dari teman mereka telah hilang di sekitar pos dua saat mereka turun. Dan yang hilang itu adalah teman mereka yang bernama Rina.
Segera saja petugas jagawana membawa mereka berempat ke ruangan di dalam pos utama basecamp tersebut untuk diintrograsi dan meminta mereka untuk menjelaskan kronologisnya secara rinci. Lalu, salah satu perwakilan dari mereka yaitu Angga, menuturkan bahwa setelah mereka mendaftarkan diri di pos utama pada pagi hari itu dan setelah mendapat izin mendaki dari petugas, segera saja mereka langsung berangkat mendaki gunung. Kira-kira lima jam perjalanan mendaki akhirnya tepat pukul 12.30 siang mereka sampai juga dipuncak, lalu mereka istirahat sambil menikmati pemandangan dari atas puncak, berfoto-foto dan lain-lain. Lalu, setelah puas menikmati puncak, kira-kira pukul dua siang mereka pun segera beranjak turun dari puncak untuk kembali melalui rute yang sama dengan waktu mereka naik.
Gunung halimun memiliki tinggi kurang lebih 1.428 mdpl, dan memiliki lima pos pendakian. Gunung Panglimun termasuk gunung yang sering turun kabut. Mungkin oleh sebab itu, gunung tersebut dinamai gunung Panglimun, yang asal katanya dari kata “Halimun” yang berarti kabut.
Dalam perjalanan turun dari pos lima sampai pos tiga, Angga menuturkan perjalanan mereka aman-aman saja. Tidak ada keanehan sedikit pun. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore dan sebentar lagi sudah sampai di pos dua. Dan menurut perkiraan mereka, bahwa mereka akan sampai di pos utama basecamp itu sebelum jam enam sore. Cuaca saat itu juga sangat cerah, tidak ada awan mendung atau gerimis. Bahkan, tidak terlihat kabut sedikitpun yang menemani perjalanan mereka turun.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka sampai juga di pos dua. Karena untuk mengejar waktu sebelum malam tiba, mereka sepakat untuk langsung melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat terlebih dahulu di pos dua itu. Disamping itu, dari pos dua ke pos satu ‘track’nya pun sudah agak landai, jalan setapaknya agak besar dan lurus, serta kiri dan kanannya cuma diapit pohon-pohon dan semak belukar pendek saja. Jadi, tidak ada jurang sampai pos satu. Aman…
Tapi, sesuatu pun terjadi…!
Baru beberapa meter saja mereka berjalan, kabut tiba-tiba turun dengan lebatnya. Lalu Angga pun segera mengeluarkan sebuah tali tambang dari dalam tas ‘carrier’nya dan menginstruksikan kepada teman-temannya agar segera mengikatkan tali tersebut di pinggang masing-masing secara tersambung berurutan, agar tidak ada yang terpisah dari rombongan. Setelah semua terikat bersama, benar saja!, kabut pun akhirnya menutupi pandangan mereka total!. Mereka tidak bisa melihat teman yang ada di depan atau pun belakangnya. Hanya bisa memegang tali yang terikat di pinggang mereka masing-masing, dan yang terdengar hanya suara saja untuk berkomunikasi.
Angga menginstruksikan untuk terus jalan menembus kabut. Karena menurut dia ‘track’nya aman, landai, tidak ada jurang dan hanya tinggal berjalan lurus saja pelan-pelan walaupun jalannya tidak kelihatan sama sekali. Yang lain pun menyetujuinya. Selain itu pula mereka merasa khawatir jika keburu malam tiba, dikarenakan memang mereka tidak berencana untuk bermalam atau camping, sehingga mereka sama sekali tidak membawa peralatan camping seperti tenda atau sleeping bag. Dan jika sampai mereka kemalaman lalu ditambah kabut terus turun seperti ini, bisa-bisa mereka kolaps karena hypothermia.
Dengan pelan-pelan mereka terus berjalan lurus menuruni jalan setapak antara pos dua menuju ke pos satu itu, sambil sesekali terus berkomunikasi secara menghitung satu sampai lima. Angga paling depan, lalu diikuti Yuni, Rina, Dicky dan Aris paling belakang. Sejauh ini situasi masih aman terkendali. Komunikasi secara hitung-menghitung pun masih lengkap terdengar sampai urutan lima.
Sudah hampir dua puluh menit berlalu kabut pun masih menutupi pandangan mereka, sedangkan hitung-menghitung di antara mereka sudah tak terdengar lagi, karena mungkin sudah merasa bosan juga jika harus terus menerus teriak-teriakan menghitung. Mereka berfikir tidak akan terjadi apa-apa lah, tidak akan ada yang sampai keluar dari rombongan. Toh, mereka kan terikat bersama dalam satu tali. Jadi tidak mungkin ada yang terpisah.
Tak berapa lama, kabut pun akhirnya sedikit demi sedikit menghilang dari pandangan mereka. Angga lalu menyuruh semua untuk berhenti sejenak.
Perlahan-lahan pandangan mereka pun mulai terlihat jelas. Mereka mulai bisa melihat sekeliling satu sama lain, hingga akhirnya kabut pun lenyap tak berbekas. Ternyata kini mereka sudah hampir beberapa meter saja dari pos satu.
“RINA!, RINA MANA RINA!!?”, tiba-tiba terdengar suara Dicky berteriak.
Sontak yang lain pun segera melihat ke arah dimana seharusnya Rina berada, yaitu di antara Yuni dan Dicky. Tapi yang terlihat hanya sebuah simpul ikatan tali seukuran pinggang yang menggantung, alias Rinanya tiba-tiba menghilang!?.
Kontan saja mereka berempat langsung panik. Angga pun segera meminta mereka bertiga untuk melepaskan ikatan tali itu masing-masing dan mengajak mereka langsung berlari turun secepatnya menuju pos basecamp karena mereka takut sesuatu yang aneh terjadi menimpa mereka berempat juga. Akhirnya, setengah jam kemudian mereka sampai juga di basecamp dan segera melaporkan yang baru saja terjadi. Begitulah Angga menuturkan…
Segera setelah mendapat laporan dari Angga tersebut dan konfirmasi dari petugas catatan pendaftaran, Kepala Jagawana langsung menghubungi kantor sekretariat Basarnas di daerah tersebut. sedangkan Angga, Yuni, Dicky dan Aris dibawa ke kantor Polsek untuk dimintai keterangan lebih lanjut serta membuat laporan tertulis pada polisi, untuk selanjutnya akan dilakukan penyelidikan dan intrograsi secara intensif terhadap mereka. Karena laporan atau keterangan dari Angga dkk tidak logis, dan pihak kepolisian tetap mencurigai bahwa Rina itu terpisah dari rombongan dan tersesat, atau bisa juga dibunuh oleh mereka di atas gunung sana karena suatu motif. Tapi Angga dkk tetap bersikeras bahwa Rina hilang ditelan kabut saat mereka turun gunung. Tepatnya di jalan setapak antara pos dua dan pos satu itu.
Esok paginya gabungan antara tim Basarnas, jagawana, relawan dan beberapa anggota TNI dan Polri segera memulai misi pencarian terhadap Rina dan menyisir semua area pendakian, termasuk lembah dan jurang-jurang. Pencarian dilakukan dari pagi hingga petang hari. Dan sampai lima hari pencarian telah berlalu, masih juga belum mendapatkan titik terang keberadaan Rina. Di tempat lain, Angga dkk dengan ditemani orangtua mereka masing-masing dikenai wajib lapor 1 x 24 jam ke kantor Polsek selama pencarian masih berlangsung.
Sedangkan Bu Firda, ibunda dari Rina. Sampai saat ini masih belum bisa ditemui dan dimintai keterangan oleh polisi dikarenakan masih mengalami ‘shock’ setelah mendapat kabar bahwa putrinya Rina hilang di gunung Panglimun. Pihak polisi hanya bisa menerima keterangan dari Pak Ma’ruf, beliau adalah adik ipar dari Bu Firda atau paman dari Rina, karena suami Bu Firda atau ayahnya Rina sudah lama meninggal dunia.
Menurut Pak Ma’ruf, bahwa Rina keponakannya itu adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakaknya semua sudah menikah dan tinggal di luar kota. Jadi di rumah hanya ada Rina dan ibunya saja berdua. Sehari sebelum Rina pergi mendaki itu, memang teman-teman Rina yaitu Angga dkk juga datang main ke rumah Rina. Mereka juga menemui Bu Firda seraya meminta ijin kepadanya untuk mengajak Rina esok harinya jalan-jalan ke pantai bersama mereka. Alasannya untuk sekedar having fun setelah kemarin lumayan merasa pusing dan tertekan setelah mengikuti ujian akhir di sekolah. Rina dan Angga dkk adalah teman satu sekolah di SMA-nya, dan mereka memang sering main ke rumah Rina sebelum-sebelumnya.
Sepengetahuan Pak Ma’ruf, bahwa bu Firda itu dari dulu memang selalu mengizinkan Rina untuk main atau jalan-jalan kemanapun bersama Angga dkk itu, asalkan tidak pergi atau naik ke gunung. beliau pun tidak tahu alasannya kenapa?. Makanya, saat Rina dan Angga dkk bilang mau jalan-jalan ke pantai, tentu saja Bu Firda mengizinkannya. Hingga akhirnya terjadi kejadian seperti ini. tentu saja Bu Firda shock mendengarnya, dan tak habis fikir kenapa Rina dan teman-temannya bisa tega berbohong kepadanya dan juga untuk pertama kalinya. Sungguh sedih dan kecewa hatinya.
Akhirnya hari terakhir pencarian pun tiba..
Sama seperti hari-hari pencarian sebelumnya. Hasilnya pun NIHIL!.
Hingga detik-detik sore hari pun datang. Pencarian pun resmi dihentikan..
Semua kepala regu atau tim, baik itu dari Basarnas, jagawana, relawan mahasiswa, anggota TNI dan Polri langsung diminta menuju ke kantor Polsek untuk briefing kasus ini bersama Pak Kapolsek. Sesampainya di kantor Polsek, mereka segera masuk ke dalam ruang rapat di kantor Polsek tersebut untuk memulai briefing.
Selang setengah jam kemudian, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu disaat rapat sedang berlangsung. Pak Kapolsek pun mempersilahkan masuk. Pintu pun terbuka dan seorang ajudan polisi pun masuk, melaporkan bahwa di lobby ada Bu Firda, ibunda dari Rina ingin bertemu dengan Pak Kapolsek. Tentu saja ini sesuatu hal yang sangat ditunggu, berhubung sejak terjadinya kasus ini pihak kepolisian sama sekali belum pernah bisa menemui atau meminta keterangan dari Bu Firda sendiri, walaupun dari tujuh hari yang lalu pihak polisi sudah beberapa kali memanggil bu Firda melalui pihak keluarganya termasuk Pak Ma’ruf, supaya untuk bisa datang ke kantor Polsek tapi bu Firda tidak pernah memenuhi panggilan dari pihak kepolisian itu. Dan tak disangka hari ini beliau datang juga. Hari dimana proses pencarian sudah dihentikan.
Segera saja Pak Kapolsek memerintahkan ajudannya itu untuk segera menjemput bu Firda di lobby dan membawa ke ruangan rapat ini. tak lama kemudian, dengan diantar ajudan polisi tersebut, bu Firda pun masuk ke dalam ruang rapat itu dan menyalami semua yang ada disitu. Pak Kapolsek memperkenalkan mereka satu persatu dan menjelaskan bahwa beliau-beliau ini adalah para ketua regu dari tim pencarian kasus Rina ini, yang berasal dari beberapa instansi yang berbeda dan beberapa juga perwakilan dari para relawan mahasiswa. Pak Kapolsek juga menjelaskan bahwa hari ini tepatnya tadi sore, pencarian terhadap Rina telah resmi ditutup atau dihentikan. Mengingat kesepakatan yang telah tim sepakati bersama sebelumnya. Jadi briefing kali ini hanya sebatas agenda untuk merekapitulasi hasil laporan-laporan dari setiap ketua tim selama tujuh hari pencarian itu berlangsung.
Jadi intinya, Pak Kapolsek meminta maaf kepada bu Firda, bahwasanya tidak akan ada lagi agenda pencarian terhadap kasus hilangnya Rina ini lagi kedepannya.
Bu Firda pun menggangguk dan tersenyum ‘legowo’ kepada semua yang ada disitu, dan dia pun mulai buka suara untuk pertama kalinya,
“Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Kapolsek dan semua Bapak-Bapak yang ada disini. Karena selama tujuh hari ini telah berusaha keras bersama anggota-anggota timnya yang lain untuk mencari keberadaan putri saya Rina yang telah hilang, walaupun tidak menemukannya. Tapi saya sangat menghargai usaha Bapak-Bapak semua”, ucapnya berusaha tegar.
“Tapi kedatangan saya ke sini bukan untuk meminta penambahan waktu pencarian lagi atau lain sebagainya, saya sudah ikhlaskan itu semua. Tapi kedatangan saya kesini adalah hanya ingin mencurahkan hati saya kepada bapak-bapak sekalian tentang apa yang sebenarnya terjadi terhadap Rina anak saya. Karena walaupun ini adalah sebuah aib keluarga yang seharusnya tidak boleh diungkapkan pada orang lain, tapi menurut saya sekaranglah saat yang tepat untuk menceritakannya, agar hati saya bisa lebih tenang sedikit dengan berbagi pengalaman ini pada bapak-bapak sekalian..”, ujarnya lagi sambil dengan mata berkaca-kaca.
Semua yang ada disitu pun saling berpandangan heran satu sama lain, mendengar penuturan dari bu Firda tersebut.
“Maksud ibu bagaimana?, aib apa?, kami tidak mengerti??..”, tanya pak Kapolsek menegaskan. Karena semua yang ada disitu berfikir ini mungkin cuma kasus kecelakaan atau bisa juga kriminal. Tetapi kenapa tiba-tiba bisa jadi menjurus ke masalah aib keluarga?.
“Baiklah saya akan cerita. Tapi, sebelumnya saya mau bilang bahwa saya tidak masalah jika setelah saya bercerita ini nanti, bapak-bapak sekalian menganggap saya sakit jiwa, gila atau apalah. Karena yang nanti akan saya ceritakan ini adalah sesuatu hal yang jauh dari fikiran yang logis, yang mungkin tidak pernah ada dalam disiplin ilmu yang bapak-bapak pernah pelajari sebelumnya…”,
“Sekali lagi, buat saya itu tidak masalah…”,
“Saya cuma ingin curhat dan berbagi pengalaman saja. Supaya hati saya ini bisa sedikit tenang walaupun akhirnya harus tetap kehilangan putri saya tercinta…”, lirihnya.
Bu Firda pun memulai ceritanya,
Begini ceritanya…
Pada zaman dahulu, tepatnya era sebelum kemerdekaan atau zaman kolonial Hindia Belanda, kakeknya Rina atau ayahanda dari bu Firda adalah seorang saudagar dagang yang cukup terpandang dan kaya pada zamannya. Sebut saja Ki Oyo…
Nah, Ki Oyo ini asalnya adalah anak dari seorang petani miskin. Tapi berkat kecakapannya berbicara dan bergaul walaupun ia masih anak-anak, dia bisa punya banyak teman baik dari anak kalangan pribumi ataupun kolonial. Dia pun anak yang tekun dalam belajar dan mempelajari ilmu tentang perdagangan. Apalagi urusan hitung menghitung. Dan berkat ketekunannya dalam mendalami bidang itu, terutama dagang dan hitungan maka, di usia remaja dia berhasil diangkat menjadi pekerja bagian tata usaha pembukuan di sebuah serikat dagang yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial.
Hingga suatu ketika dimana Ki Oyo sudah beranjak dewasa, dia jatuh cinta kepada seorang gadis pribumi yaitu seorang anak dari demang kaya di daerahnya. Tak berapa lama Ki. Oyo pun mendatangi rumah gadis tersebut bermaksud untuk meminangnya. Tapi sayang seribu sayang, syarat yang diajukan ayah gadis itu terlampau berat baginya…
Ki. Oyo harus menyediakan 300 kepeng emas sebagai mas kawinnya. Karena jika dia tidak mampu, sudah ada seseorang yang mampu menyanggupinya, yaitu seorang saudagar asal Malaka.
Karena Ki. Oyo sudah terlanjur jatuh cinta pada gadis itu, bagaimanapun dia tidak mau sampai kehilangannya atau direbut oleh saudagar asal Malaka itu. Dia sadar, bahwa pekerjaannya sebagai pegawai tata usaha serikat dagang tidak akan bisa banyak membantunya. Jika ditotal setahun gajinya hanya 15 kepeng emas saja!. Lalu nafsu dan keinginan pun akhirnya membutakan matanya dengan mengambil jalan yang tidak pernah sekalipun pernah terfikirkan olehnya. Yaitu dengan menjalani pesugihan.
Hingga suatu hari dengan didampingi oleh seorang dukun, akhirnya ki Oyo pun berhasil menjalani pesugihan di gunung Panglimun, dan syarat-syarat yang diajukan oleh jin pesugihan tersebut adalah tumbal nyawa setiap tahun, dimana setiap tahunnya ki Oyo akan mendapatkan satu peti emas pada purnama yang ke tujuh. Ki Oyo pun berhasil meminang gadis pujaannya itu, anak demang kaya itu setelah memberi mas kawin sebanyak 500 keping emas, melebihi syarat yang diajukan demang itu sebelumnya.
Sekarang, ki Oyo pun sudah punya serikat dagang sendiri dan mempunyai puluhan pekerja. Dia menjadi salah satu saudagar dagang kaya di Batavia. Dan tiap tahunnya pekerja-pekerjanya itulah yang jadi tumbalnya.
Tahun demi tahun berlalu…
Entah kenapa pada suatu malam tiba-tiba ki Oyo mendapat mimpi sangat buruk yang sebelum-sebelumnya tidak pernah ia alami selama bertahun-tahun. Dalam mimpinya ia melihat anak perempuannya yang bernama Firda yang baru berumur dua tahun itu sedang dicengkram dalam genggaman sesosok mahluk menyeramkan, dan makhluk itu meminta anak ini harus menjadi tumbal selanjutnya. Lalu ki Oyo pun tersentak dan terbangun dari mimpinya. Ia lalu segera saja melihat ke arah anak perempuannya itu yang masih terlelap tidur di sampingnya, sambil memeluk ibunya. Tidak tega rasannya jikalau anak sendiri harus jadi tumbal pesugihan, apalagi sedang lucu-lucunya seperti ini. batinnya…
Ki Oyo pun bertekad untuk memutuskan perjanjian pesugihan ini bagaimana pun caranya, sebelum purnama ke tujuh datang dan takut anaknya nanti malah yang jadi korban. Dia pun mengunjungi rumah dukun yang waktu itu membimbingnya melakukan pesugihan. Tapi ternyata sang dukun itu telah meninggal dunia. Tak patah arang, berkat koneksi kenalannya yang cukup banyak, ada salah satu teman dagang ki Oyo yang menyarankan untuk menemui seorang kyai linuwih di daerah Banten. Ki Oyo berpura-pura kepada temannya itu bahwa ia hanya ingin berobat, bukan untuk memutus pesugihan, untuk menjaga nama baiknya.
Akhirnya ki Oyo bertemu dengan kyai linuwih tersebut, dan ia pun menceritakan semuanya. Lalu kyai itu pun bersedia untuk menolongnya asalkan ki Oyo mau bertobat nasuha dan menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak pekerjanya yang telah jadi korban tumbalnya di masa lalu. Ki Oyo menyanggupinya, asalkan ia terbebas dari perjanjian hitam itu dan keluarganya bisa selamat.
Dengan kesaktiannya, kyai itu berhasil mengalahkan mahluk pesugihan gunung Panglimun itu, tapi tidak membunuhnya. Karena jin itu menyerah lebih dulu dan setuju untuk mencabut perjanjian pesugihan antara dia dan ki Oyo. Tapi jin itu meminta satu permintaan yang bernada ancaman kepada ki Oyo. Permintaannya adalah jangan sampai ada anak atau keturunan-keturunan dari ki Oyo nanti berani menginjakan kaki di gunung Panglimun ini. jika sampai itu terjadi, maka jin itu akan membawa keturunan dari ki Oyo tersebut ke alamnya melalui kabut. Sebagai pelampiasan dendam atas kekalahannya hari ini.
“Nah, begitulah ceritanya bapak-bapak sekalian…”, tutup bu Firda bercerita.
“Makanya, dulu saya dan adik-adik saya diwanti-wanti agar jangan pernah sekalipun naik ke gunung oleh almarhum ayah saya, baik itu gunung di mana pun juga, terutama di gunung Panglimun itu. Padahal saya dan adik-adik saya selalu berusaha untuk mematuhi larangan itu seumur hidup kami. Tapi kenapa justru anak saya yang kena apesnya. Bisa-bisanya dia naik ke gunung yang paling dilarang untuk dikunjungi oleh keluarga kami… hu.. hu. hu..”, terdengar isak bercampur rasa sesalnya.
“Kenapa, bukan saya saya yang diambil..!?”,
“Saya yang sudah tua dan bau tanah ini… hu.. hu.. hu”, isaknya semakin menjadi-jadi dan terdengar menggaung memenuhi ruangan ini.
Semua bapak-bapak yang ada di ruangan ini pun hanya bisa tertunduk, ikut bersimpati dan merasakan apa yang bu Firda alami. Walaupun mereka adalah orang-orang berpendidikan yang beretika logis, tapi sama sekali dari mereka tidak ada yang menganggap bu Firda itu gila atau sedang mengada-ada. Karena dalam lubuk hati kecil mereka, sebagai orang yang beragama pasti mereka pun mempercayai pada hal-hal yang gaib…
Segala sesuatu yang musykil mungkin saja bisa terjadi…
Mungkin…
TAMAT
Cerpen Karangan: Nanay Dorman
Facebook: nanaymalmsteen13[-at-]gmail.com
Tumbal Kabut Pembalasan
4/
5
Oleh
Unknown