Aku Ingin Amnesia Dari Egoisentrum Diri

Baca Juga :
    Judul Cerpen Aku Ingin Amnesia Dari Egoisentrum Diri

    Pagi ini, mentari bersembunyi di antara butiran-butiran air yang dirangkul oleh gas di udara. Ketika waktu makin berjalan saat itu pula mentari tersapu oleh awan yang makin menghitam, menyelubungi pagi hariku yang kelam. Kelam akan hariku dan juga hatiku, tak lama langit sengaja memotretku dengan cahaya kilatnya. Yang membuatku terkagum sekaligus terkejut, kini langit marah. Dia marah kepadaku karena sikapku, karena sifatku dan juga karena aku. Kini suasana menjadi kacau, mentari pagi yang aku harapkan menyapaku dengan kehangatan andalannya berubah menjadi kemarahan sang langit. Langit tak henti-hentinya menggaur, seakan-akan memarahi diriku. Aku takut, sungguh ini bukan yang aku inginkan. Tak lama kemudian mentari menangis, yang menyebabkan bola biru ini basah kedinginan.
    “Maafkan aku, ini bukan keinginanku…”

    Andai waktu dapat diulang kembali, aku janji aku akan memperbaiki segalanya. Namun rasanya aku terlambat, hingga akhirnya kau menjadi korban dari sifatku yang amat ditakuti semua orang di dunia ini. “kenapa harus kamu yang merasakan? Kenapa tidak yang lain? Aku sungguh menyesal, sangat-sangat menyesal..”.

    Entah waktu itu siapa yang salah, apakah memang aku dengan sifatku atau kamu dengan kepolosanmu. Saat itu aku benar-benar sangat emosi, andai kau tau itu. Waktu itu aku sedang membutuhkan dirimu, ingin cerita banyak tentang kehidupanku yang kini tak sama dengan kehidupanmu disana, aku yang sedang rindu serindu-rindunya, yang ingin bertemu dan sedikit bergurau denganmu, tapi apa alasanmu? “aku sibuk disini, kurikulum baru membuatku susah untuk meluangkan waktu. Bersabarlah, suatu saat nanti aku akan menemuimu, merealisasikan semua keinginanmu hari ini. Tunggulah…”.

    Rasanya masih terngiang-ngiang alasanmu itu, hingga suatu saat aku menemukan bahwa alasanmu itu aku anggap sebuah kebohongan. Kamu, yang tidak mengabariku satu detikpun di waktu luangmu, tidak menanyakan kabarku seolah-olah aku bukan siapa-siapa lagi bagimu tiba-tiba berkicau di salah satu media sosial. Sakit rasanya yang kudapat saat itu, apa kamu tahu itu? Waktu itu aku benar-benar emosi, karena aku merasa aku sudah tak dihargai. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak ingin mengenalmu lagi.

    Keputusanku itu sebenarnya bukan keinginanku, tapi keinginan dari emosi hatiku. Entah karena aku yang terlalu sayang atau hatiku yang lelah dan tak sanggup untuk bersabar, lalu kamu menambah bumbu yang pas hingga akhirnya aku bisa memutuskan keputusan itu. Sungguh, saat itu aku tidak merasakan apa-apa. Entah apakah saat itu aku sedih, bahagia, atau suasana yang lainnya, aku tidak merasakannya. Hampa, mungkin kata yang cocok untuk saat itu, aku melepasmu dan kau tak ingin melepasku. Sekali lagi, entah itu salahku ataukah salahmu.

    Beribu kali aku merasakan penyesalan yang amat mendalam, kamu memang hebat. Membuat aku merasa menyesal sekaligus merindukanmu disini, sebuah penyesalan yang mengajakku menuju sebuah kegilaan. Tunggu, kegilaan tidak cukup untuk itu. Mungkin kata kematian yang cocok. Rasanya, ketika aku merasa bersalah dan menyesal sepertinya lebih baik aku mati. Menebus semua kesalahanku dan menghentikan rasa menyesal dan rinduku yang tidak akan pernah habis terhadapmu, hingga saat ini aku selalu bertanya pada diriku sendiri “apa yang harus aku lakukan? Untuk menebus semua kesalahnku terhadapmu dan menghentikan semua penyesalan ini?…”.

    Jujur, aku lelah dengan semua ini. Mencoba lalu gagal lagi, mencoba lalu gagal lagi hingga detik ini aku tidak bisa menghilangkan semuanya. Penyesalan, rindu, marah, rasa bersalah semuanya bercampur aduk. Inilah diriku sekarang, entah apakah aku membaik atau memburuk. Kamu bisa melihatnya sendiri, disini.

    Hingga akhirnya sang mentari mulai membaik, dia mulai berani melawan rasa takutnya. Namun itu tak sama dengan diriku, aku tak sanggup melawannya. Tak sanggup memulai lagi dari awal lalu terngiang lagi tragedi itu, kini aku bingung. Aku ingin menghilangkanmu tapi aku tak bisa, ataukah aku harus menunggumu tapi tak berarti alias sia-sia? Pernah dulu kamu bilang kita tak akan mungkin bersama lagi, karena kita memiliki alur kehidupan masing-masing. Aku dengan kesibukan dan duniaku dan kamu juga, namun sampai kapanpun aku tak bisa menerimanya. Sulit bagiku, mungkin karena rasa bersalah dan penyesalan ini penyebabnya. Lantas apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua itu? Apa aku harus mati? Atau apa yang harus aku lakukan? Jawab aku, tolong aku jika kamu tak mau lagi diganggu. Tapi kumohon maafkan aku, karena aku tak bisa melepaskanmu dari ingatanku.

    Apakah ini sifat egoisku yang hanya menginginkanmu? Aku merasa bahagia untuk memilikimu sedangkan kamu sengsara ketika memilikiku? Setahuku cinta tak begitu, harusnya ketika aku bahagia kamu juga bahagia. Kita sama-sama merasakan hal yang sama, tapi apa kau ingat hal itu sebenarnya sudah terjadi pada kita. Namun dulu, Dulu sekali.
    Siang ini, mentari bersinar kembali. Dia berhasil melawan rasa takutnya, mengalahkan kemarahan sang langit. Aku iri dengannya, iri karena kenapa aku tak bisa melakukan hal yang sama, melawan rasa takut? Kenapa aku selalu mengalah pada amarah hati dan mengikuti keegoisan diri. Sungguh aku lelah dan ingin bangkit, namun tak ada lagi yang mampu merealisasikannya bahkan diriku sendiri. Aku sudah tak sanggup lagi menanggung semuanya.

    Apa aku harus meminta dan mengemis untuk meminta kesempatan kali kedua kepadamu? Karena aku tak mampu melepasmu, atau aku harus mati saja biar selesai semua hal ini? Tidak, aku masih ingin melihat senyummu meski itu tanpa kamu sadari. Mungkin yang aku butuhkan ialah AMNESIA, supaya aku lupa siapa dirimu dan siapa diriku. Mungkin.

    Cerpen Karangan: Ajeung Nur Fauziah
    Blog / Facebook: ajeungnf.blogspot.co.id / Ajeung Nur Fauziah

    Artikel Terkait

    Aku Ingin Amnesia Dari Egoisentrum Diri
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email