Judul Cerpen Hujan dan Kamu
Aku mulai menghitung dari hari ini, menghitung hari untuk sebuah perpisahan, perpisahan karena tak ada lagi pertemuan untuk waktu yang cukup lama. Memang, hari itu masih jauh, tapi aku sudah mulai resah. “Entah apa yang aku takutkan, entah apa yang aku resahkan.” itulah kebohongan yang selalu aku pertanyakan pada hatiku. Aku takut kita tak bisa bertemu lagi, aku takut tak bisa memandang senyum itu lagi. Senyum dari kamu yang bukan milikku lagi.
Hari demi haripun kini telah berlalu. Dan tak terasa waktuku berasamamu makin singkat. Bukan waktu untuk bersamamu, namun waktu yang aku miliki hanya untuk sekedar melihatmu. Kamu begitu dekat namun terasa jauh. Kamu di depan mata tapi tak bisa untuk kugenggam. Kamu nyata tapi bagai tak ada. Aku selalu bergantung pada sebuah harapan dan janji. Perjanjian kita untuk bertemu.
28 April 2016, belum beberapa lama waktu itu berlalu. Waktu dimana aku dan kamu kembali bertemu. Waktu dimana aku dan kamu berada di satu tempat berdua lagi. Waktu dimana kurasa itu adalah pertemuan berdua kita untuk yang terakhir kalinya. Hatiku hancur mengingat bahwa aku dan kamu akan terpisah oleh jarak. Jarak yang tidak bisa disepelekan. Jarak yang bukan dekat. Aku terus melamun di sepanjang jalan menuju tempat kamu menunggu. Hatiku benar-benar terluka. Karena belum saja aku bertemu denganmu, hujan sudah menemaniku terlebih dulu. Hujan yang membangkitkan semua ingatan dimasa lalu. Dimana dimasa itu “aku dan kamu” masih disebut “kita”.
Ya, sore itu kita pergi berdua. Kita kembali mengunjungi tempat yang pernah kita lalui bersama disaat hujan. Aku terus tertawa menutupi luka yang sebenarnya makin membesar. Aku menutupi kesedihan itu darimu karena kamu tidak boleh tau betapa hancurnya aku. Kamu tidak boleh tau betapa rapuhnya aku. “Aku mencintaimu, aku menginginkanmu, aku mau menjadi kita lagi,” itulah kata-kata yang keluar dari dalam hatiku yang tak mampu kuucapkan kepadamu. Kamu dengan ketegaranmulah yang membuatku semakin yakin, bahwa semuanya akan baik-baik saja walau ada jarak. Dan kamu akan baik-baik saja tanpa aku.
Sore ini pun berlalu. Malam pun menjelang, malam yang kulalui sendiri lagi. Kulalui tanpa kamu lagi. Dan malam itu yang membuatku sadar, aku akan melewati hari-hari beratku tanpa kamu. Benar-benar tidak akan ada kamu lagi. Benar-benar dunia yang akan baru lagi. Ini adalah malam yang berat. Malam terakhirku berada di daerah yang sama denganmu.
29 April 2016, aku akan beranjak pergi. Meninggalkan semua yang ada disini. Meninggalkanmu dengan ribuan kenangan yang ada disini. Sore itu kamu menemuiku. Kamu datang seusai hujan setempat di kamarku. Membawa sebuah kantong berisikan barang berbalut kertas kado. Senyum penuh kebohonganmu itu, membuatku berada di posisi sulit. Tidakkah kita bisa untuk saling memahami bahwa kita sama-sama terluka? Bahwa kita sama-sama terpuruk? Aku melihatmu berbohong terlalu kuat, terlalu kokoh berdiri di atas kebohonganmu. Kamu benar-benar tampak baik-baik saja. Tidak seperti aku yang sangat hancur menerima sebuah perpisahan yang aku mau.
Aku ingin terlihat sekuat dirimu, aku ingin setegar dirimu, tapi aku tidak pernah bisa. Aku selalu gagal menahan semuanya. Aku selalu gagal menyembunyikan semuanya. Cinta yang kamu berikan begitu sempurna sayang, hingga aku tidak dapat lagi untuk bersembunyi. Bersembunyi dari luka yang timbul akibat dari sebuah perpisahan yang akan kita lalui. Ini berat sungguh, namun karena kamu terlihat biasa saja, aku mencoba untuk lebih santai menghadapinya. Santai dalam sebuah hujan di mata.
Kini waktupun sudah mulai berlalu. 1 minggu sudah jarak ini berkuasa. Jarak pun kini seakan menjadi Raja yang serba mengatur hidupku. Aku tak lagi pada tekadku. Tekad yang akan mencoba untuk melupakanmu dengan adanya orang baru. Namun kamu, masih aku ingat. Kamu masih bersarang di sini, di otakku, di hatiku. Baru kusadar, ada yang tertinggal saat aku beranjak pergi. Hati, hati yang aku titipkan padamu tak kunjung bisa untuk aku bawa kemanapun aku ingin pergi. Hati yang masih tetap melekat padamu.
Aroma apa ini? Kenapa aroma ini tak asing bagiku? Padahal ini adalah tempat baru. Ini aroma khasmu. Ini aroma tubuhmu. Kamu mengikutiku? Kenapa aroma ini ada disini? Aku makin merindukanmu, aku makin mengingatmu. Aku makin terpuruk dalam kesunyian ini. Aku merasa terlalu akrab dengan aromamu. Aku terpuruk dalam kerinduan ini. Rindu yang tak pernah bisa aku ungkapkan sepenuhnya kepadamu. Aroma yang membuatku tertidur dalam kesedihan dan kerapuhan. Aroma yang membawaku pada keheningan senja.
Seketika keheningan itu pecah, aku mulai bertanya suara apa itu? kenapa tidak asing bagiku? Aku mulai bangkit dari tempat tidurku dan berjalan ke jendela asrama kala itu. Dan ternyata benar, itu suara hujan. Ada apa dengan hujan? Aku hanya mencoba untuk tidak terlalu berpikir tentang makna dari tiap rintikan hujan. Namun, semakin kuat hatiku menolak untuk melupakannya, semakin besar luka dan rindu akan dirimu. Pikirku melayang, terbang jauh meninggalkan ragaku. Pikiranku pergi menjemputmu ke masa lalu. Masa-masa dimana kita pernah menikmati hujan berdua. Masa-masa dimana kita tidak pernah menolak hujan untuk datang. Karena dimasa itu hujan adalah kamu, yang selalu memelukku erat yang tak mampu untuk aku lepaskan sampai saat ini.
Hujan selalu punya cerita tentang kita. Aku pernah merasakan pelukmu yang tak ingin aku lepaskan. Dan tanpa kusadari pelukan terbaikmu adalah disaat hujan. Disaat kita berjalan menyusuri sudut kota. Pelukan itu tak pernah lepas di sepanjang perjalanan. “aku mencintaimu, aku tak ingin kehilangan kamu,” kata-kata yang selalu aku katakan di dalam hati. Kata-kata yang telah bosan kamu dengarkan.
Banyak hal yang kita lalui, namun tak ada yang semenarik ketika hujan. Kamu bernyanyi, kita tertawa, dan kita bahagia. Karena hujan saat itu bukanlah tentang rindu, karena hujan dikala itu hanya tentang bahagia. Bukan tentang kenangan yang aku rasakan saat ini.
Aku selalu mengutuk hujan, aku selalu berusaha membenci hujan, karena hujan selalu berhasil membawamu kepadaku. Karena hujan selalu menimbulkan kenangan yang indah itu. Yang selalu berhasil membuatku berduka. Hujan yang selalu menggambarkan kamu. Aku makin hancur, aku makin terluka, hujan itu selalu berhasil menggambarkan kamu. Hujan itu selalu berhasil menimbulkan penyesalan di hatiku. Menyesal tak menikmati setiap rintik hujan bersamamu.
Kini aku sadar, tak ada gunanya aku membenci hujan. Karena jika aku membenci hujan, sama saja aku membenci kamu. Bagaimanapun hujan akan tetap turun. Hujan akan tetap bercerita tentang kamu. Hujan akan tetap seperti dulu. Semoga kita bertemu lagi, dipertemukan seperti air dan awan. Dipertemukan sebagai kita, tidak hanya tentang hujan dan kamu.
Cerpen Karangan: Dwi Ananda Aditya
Blog: dwiananda12.blogspot.co.id
Aku mulai menghitung dari hari ini, menghitung hari untuk sebuah perpisahan, perpisahan karena tak ada lagi pertemuan untuk waktu yang cukup lama. Memang, hari itu masih jauh, tapi aku sudah mulai resah. “Entah apa yang aku takutkan, entah apa yang aku resahkan.” itulah kebohongan yang selalu aku pertanyakan pada hatiku. Aku takut kita tak bisa bertemu lagi, aku takut tak bisa memandang senyum itu lagi. Senyum dari kamu yang bukan milikku lagi.
Hari demi haripun kini telah berlalu. Dan tak terasa waktuku berasamamu makin singkat. Bukan waktu untuk bersamamu, namun waktu yang aku miliki hanya untuk sekedar melihatmu. Kamu begitu dekat namun terasa jauh. Kamu di depan mata tapi tak bisa untuk kugenggam. Kamu nyata tapi bagai tak ada. Aku selalu bergantung pada sebuah harapan dan janji. Perjanjian kita untuk bertemu.
28 April 2016, belum beberapa lama waktu itu berlalu. Waktu dimana aku dan kamu kembali bertemu. Waktu dimana aku dan kamu berada di satu tempat berdua lagi. Waktu dimana kurasa itu adalah pertemuan berdua kita untuk yang terakhir kalinya. Hatiku hancur mengingat bahwa aku dan kamu akan terpisah oleh jarak. Jarak yang tidak bisa disepelekan. Jarak yang bukan dekat. Aku terus melamun di sepanjang jalan menuju tempat kamu menunggu. Hatiku benar-benar terluka. Karena belum saja aku bertemu denganmu, hujan sudah menemaniku terlebih dulu. Hujan yang membangkitkan semua ingatan dimasa lalu. Dimana dimasa itu “aku dan kamu” masih disebut “kita”.
Ya, sore itu kita pergi berdua. Kita kembali mengunjungi tempat yang pernah kita lalui bersama disaat hujan. Aku terus tertawa menutupi luka yang sebenarnya makin membesar. Aku menutupi kesedihan itu darimu karena kamu tidak boleh tau betapa hancurnya aku. Kamu tidak boleh tau betapa rapuhnya aku. “Aku mencintaimu, aku menginginkanmu, aku mau menjadi kita lagi,” itulah kata-kata yang keluar dari dalam hatiku yang tak mampu kuucapkan kepadamu. Kamu dengan ketegaranmulah yang membuatku semakin yakin, bahwa semuanya akan baik-baik saja walau ada jarak. Dan kamu akan baik-baik saja tanpa aku.
Sore ini pun berlalu. Malam pun menjelang, malam yang kulalui sendiri lagi. Kulalui tanpa kamu lagi. Dan malam itu yang membuatku sadar, aku akan melewati hari-hari beratku tanpa kamu. Benar-benar tidak akan ada kamu lagi. Benar-benar dunia yang akan baru lagi. Ini adalah malam yang berat. Malam terakhirku berada di daerah yang sama denganmu.
29 April 2016, aku akan beranjak pergi. Meninggalkan semua yang ada disini. Meninggalkanmu dengan ribuan kenangan yang ada disini. Sore itu kamu menemuiku. Kamu datang seusai hujan setempat di kamarku. Membawa sebuah kantong berisikan barang berbalut kertas kado. Senyum penuh kebohonganmu itu, membuatku berada di posisi sulit. Tidakkah kita bisa untuk saling memahami bahwa kita sama-sama terluka? Bahwa kita sama-sama terpuruk? Aku melihatmu berbohong terlalu kuat, terlalu kokoh berdiri di atas kebohonganmu. Kamu benar-benar tampak baik-baik saja. Tidak seperti aku yang sangat hancur menerima sebuah perpisahan yang aku mau.
Aku ingin terlihat sekuat dirimu, aku ingin setegar dirimu, tapi aku tidak pernah bisa. Aku selalu gagal menahan semuanya. Aku selalu gagal menyembunyikan semuanya. Cinta yang kamu berikan begitu sempurna sayang, hingga aku tidak dapat lagi untuk bersembunyi. Bersembunyi dari luka yang timbul akibat dari sebuah perpisahan yang akan kita lalui. Ini berat sungguh, namun karena kamu terlihat biasa saja, aku mencoba untuk lebih santai menghadapinya. Santai dalam sebuah hujan di mata.
Kini waktupun sudah mulai berlalu. 1 minggu sudah jarak ini berkuasa. Jarak pun kini seakan menjadi Raja yang serba mengatur hidupku. Aku tak lagi pada tekadku. Tekad yang akan mencoba untuk melupakanmu dengan adanya orang baru. Namun kamu, masih aku ingat. Kamu masih bersarang di sini, di otakku, di hatiku. Baru kusadar, ada yang tertinggal saat aku beranjak pergi. Hati, hati yang aku titipkan padamu tak kunjung bisa untuk aku bawa kemanapun aku ingin pergi. Hati yang masih tetap melekat padamu.
Aroma apa ini? Kenapa aroma ini tak asing bagiku? Padahal ini adalah tempat baru. Ini aroma khasmu. Ini aroma tubuhmu. Kamu mengikutiku? Kenapa aroma ini ada disini? Aku makin merindukanmu, aku makin mengingatmu. Aku makin terpuruk dalam kesunyian ini. Aku merasa terlalu akrab dengan aromamu. Aku terpuruk dalam kerinduan ini. Rindu yang tak pernah bisa aku ungkapkan sepenuhnya kepadamu. Aroma yang membuatku tertidur dalam kesedihan dan kerapuhan. Aroma yang membawaku pada keheningan senja.
Seketika keheningan itu pecah, aku mulai bertanya suara apa itu? kenapa tidak asing bagiku? Aku mulai bangkit dari tempat tidurku dan berjalan ke jendela asrama kala itu. Dan ternyata benar, itu suara hujan. Ada apa dengan hujan? Aku hanya mencoba untuk tidak terlalu berpikir tentang makna dari tiap rintikan hujan. Namun, semakin kuat hatiku menolak untuk melupakannya, semakin besar luka dan rindu akan dirimu. Pikirku melayang, terbang jauh meninggalkan ragaku. Pikiranku pergi menjemputmu ke masa lalu. Masa-masa dimana kita pernah menikmati hujan berdua. Masa-masa dimana kita tidak pernah menolak hujan untuk datang. Karena dimasa itu hujan adalah kamu, yang selalu memelukku erat yang tak mampu untuk aku lepaskan sampai saat ini.
Hujan selalu punya cerita tentang kita. Aku pernah merasakan pelukmu yang tak ingin aku lepaskan. Dan tanpa kusadari pelukan terbaikmu adalah disaat hujan. Disaat kita berjalan menyusuri sudut kota. Pelukan itu tak pernah lepas di sepanjang perjalanan. “aku mencintaimu, aku tak ingin kehilangan kamu,” kata-kata yang selalu aku katakan di dalam hati. Kata-kata yang telah bosan kamu dengarkan.
Banyak hal yang kita lalui, namun tak ada yang semenarik ketika hujan. Kamu bernyanyi, kita tertawa, dan kita bahagia. Karena hujan saat itu bukanlah tentang rindu, karena hujan dikala itu hanya tentang bahagia. Bukan tentang kenangan yang aku rasakan saat ini.
Aku selalu mengutuk hujan, aku selalu berusaha membenci hujan, karena hujan selalu berhasil membawamu kepadaku. Karena hujan selalu menimbulkan kenangan yang indah itu. Yang selalu berhasil membuatku berduka. Hujan yang selalu menggambarkan kamu. Aku makin hancur, aku makin terluka, hujan itu selalu berhasil menggambarkan kamu. Hujan itu selalu berhasil menimbulkan penyesalan di hatiku. Menyesal tak menikmati setiap rintik hujan bersamamu.
Kini aku sadar, tak ada gunanya aku membenci hujan. Karena jika aku membenci hujan, sama saja aku membenci kamu. Bagaimanapun hujan akan tetap turun. Hujan akan tetap bercerita tentang kamu. Hujan akan tetap seperti dulu. Semoga kita bertemu lagi, dipertemukan seperti air dan awan. Dipertemukan sebagai kita, tidak hanya tentang hujan dan kamu.
Cerpen Karangan: Dwi Ananda Aditya
Blog: dwiananda12.blogspot.co.id
Hujan dan Kamu
4/
5
Oleh
Unknown