Tak Harus

Baca Juga :
    Judul Cerpen Tak Harus

    Ratusan buku tertata dengan rapi, begitupun dengan meja kursi yang sengaja dibuat untuk singgahan para pembaca. Terukir beberapa tulisan di dinding dinding yang membangun jiwa. Gadis itu masih terfokus pada tulisan yang ia telusuri dengan bola matanya. Namanya adalah Silvi. Gadis berkacamata itu masih terus membaca bukunya tanpa mendengar hiruk pikuk di sekelilingnya. Baginya perpustakan adalah tempat yang tepat untuk menghabiskan waktunya, dimana ia bisa membuka jendela dunia dengan ilmu yang ia dapat dari buku yang ia baca. Perasaan cintanya pada buku membuatnya tak sedikitpun jatuh cinta dengan seorang lelaki. Itulah yang membuatnya berbeda dengan yang lain. Tak ada yang bisa mengusiknya ketika membaca di perpus kecuali bel sekolah yang berbunyi. Ketika pandangannya masih terfokus tiba tiba bel masuk pun berbunyi, ditaruhnya kembali buku itu ke raknya kemudian Silvi pun beranjak keluar dengan menenteng beberapa buku yang dipinjamnya.

    Langkah para sisiwa SMA Harapan Bangsa memburu karena bel masuk yang menggema. Silvi pun segera mempercepat langkahnya. Dan tiba tiba.. Brakkk!! Seorang laki laki bertubuh tegap itu menabraknya membuat Silvi jatuh dan buku yang ia bawa berserakan. Tanpa menunggu lama Silvi pun segera memunguti bukunya. “Maaf ya” kata laki laki itu sambil membantunya memungut buku. Silvi tercengang kemudian berdiri. “Iya, nggak papa” kata Silvi dengan membenarkan posisi bukunya. “Sekali lagi maaf ya. O iya, ini buku kamu” kata laki laki itu mengulurkan bukaunya pada Silvi dan membuat Silvi mendongakkan kepala menatap laki laki itu. Kedua mata itu bertemu untuk pertama kalinya, Silvi terdiam cukup lama menatap wajah itu. “Hey?” ujar laki laki itu menyadarkan lamunan Silvi. “Eh? I.. Iya nggak papa kok” jawab Silvi sedikit terbata. Laki laki itu tersenyum. Silvi pun segera menuju ke kelasnya dengan perasaan aneh yang baru saja ia rasakan.

    Angin berhembus perlahan mengiringi para pengemudi dan pejalan kaki yang menyusuri jalanan kota. Suara klakson menjadi melodi tersendiri dalam menemani tiap langkah Silvi yang akan menuju ke sekolahnya. Ia pun berlari menyeberang jalan melihat gerbang sekolah yang ada di depan matanya. Tapi, langkahnya terhenti ketika melihat sesosok yang mampu membuatnya tercengang. Sosok itu tersenyum padanya. Dia? Dia yang menabrakku kemarin? Kenapa dia senyum ke aku? Batin Silvi sambil menengok siswa siswi di belakangnya, setelah ia tahu tidak ada seorang pun yang melihat laki laki itu ia pun melanjutkan langkahnya bahkan mempercepat langkahnya.

    Sesampainya di kelas ia duduk lalu menghela napas membuat Alya yang duduk di sampingnya heran. “Kamu kenapa, Vi?” tanya Alya.
    “Nggak papa kok, cuma.. ” jawab Silvi tanpa melanjutkan kata katanya.
    “Cuma apa?” ujar Alya dengan nada penasaran
    “Ah, nggak papa kok, lupain aja. Kamu udah bawa bahan buat praktek belum?” kata Silvi berusaha mengalihkan pembicaraan. Alya menatapnya sambil menggelengkan kepala.

    Bel pulang pun berbunyi, membuat para siswa bersorak karena hal yang ditunggunya telah tiba. Berbeda dengan Silvi yang masih dengan wajah khawatirnya yang menyimpan seribu tanya. Ditaruhnya buku itu ke dalam tas lalu dibawanya tas itu dan beranjak meninggalkan kelas. Silvi masih termenung memikirkan laki laki itu, hingga tanpa disadari sosok laki laki itu sudah berdiri di hadapannya. “Eh?” ujar Silvi kaget saat melihat laki laki itu. Laki laki itu tersenyum. “Lain kali kalau jalan lihat jalan, jangan melamun” kata laki laki itu dengan senyumnya yang menghias lesung pipi di wajahnya. “O iya, ini punya kamu kan?” lanjut laki laki itu menyerahkan jepit rambut milik Silvi. Silvi menatap laki laki itu dengan heran sambil mengambil benda itu dari tangannya. “Kenapa ini bisa di kamu?” tanya Silvi.
    “Kayaknya itu jatuh pas kita tabrakan kemarin” jawab laki laki itu
    “Emm, makasih ya..” ujar Silvi lalu tersenyum
    “O iya, kenalin namaku Dito Bagus Prasetya. Nama kamu siapa?” kata laki laki itu menjulurkan tangannya membuat mata Silvi terbelalak.
    “Namaku.. Silvi Anindya Putri” jawab Silvi menjabat tangan Dito.
    “Tangan kamu kok dingin? Kamu sakit?” tanya Dito menatap wajah Silvi lebih dekat.
    “Eh? Ngg.. nggak papa kok” jawab Silvi dengan wajah yang memerah.
    “Bener? Ah gini aja, aku anterin kamu pulang ya?” usul Dito
    “Aku nggak papa kok, udah kamu tenang aja. Kalo gitu aku duluan ya?” ujar Silvi lalu meninggalkan Dito yang menatapnya.

    Mentari mulai menampakkan sinarnya menembus dinding kaca tanpa menyisakan celah. Langit pun setia membiru, tapi Silvi masih bertutupkan selimut tebal. Hingga dering ponselnyalah yang seketika membuka matanya. Ditatapnya layar ponsel itu lalu dibacanya pesan yang tanpa nama pengirim itu. “Hah? Dito?” ujarnya dengan nada keras. Dilihat dan dibacanya pesan itu berulang ulang berusaha meyakinkan bahwa ia tidak salah membacanya. Tak lama kemudian ponsel itu bergetar. Aduh gimana dong ini? Dia dapet nomorku dari mana sih? Angkat nggak ya? Batinnya lalu memutuskan untuk mengangkat telepon itu.
    “Halo?” ujar Dito dibalik teleponnya
    “Halo. Ada apa? Kamu dapet nomorku dari mana?” jawab Silvi
    “Nggak papa cuma pengen tau keadaan kamu, aku dapet dari Tania saudara aku, katanya dia sekelas sama kamu”
    Dengan tersenyum Silvi pun menjawabnya “Emm, aku baik baik aja kok”
    Lewat telepon itu mereka mulai berbincang banyak hal. Suasana beku yang awalnya dirasakan Silvi mulai mencair. Tak berselang lama Silvi pun menutup telepon sebelum melanjutkan rutinitasnya di hari Minggu.

    Setelah kejadian itu, mereka pun semakin dekat. Hingga akhirnya keduanya menyadari bahwa mereka menyimpan perasaan lebih dari seorang teman. Tak sedikit cowok dan cewek yang menyukai mereka merasa iri dengan kedekatan mereka. Tapi mengetahui hal itu justru kedekatan mereka semakin bertambah.

    Burung burung menebar menghias langit langit sekolah. Beberapa siswa menaiki tangga menuju kelas mereka. Seperti halnya yang lain, Silvi pun menuju kelasnya dengan penuh semangat. Sesampainya di kelas dibukanya pintu kelas yang kemudian membuat matanya terbelalak melihat Dito yang membawa kue tart diiringi temannya yang menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Silvi menutup mulutnya dan tanpa disadari bulir air haru itu keluar dari sudut matanya.
    “Selamat Ulang Tahun, Nona Silvi” ujar Dito dengan nada menggodanya. Senyum bahagia pun terukir diantara keduanya. “O iya make a wish dulu dong sebelum tiup lilinnya” lanjut Dito disusul dengan Silvi yang memejamkan mata lalu meniup lilin. Seketika ruangan itu pun ramai dengan teriakan semua teman laki laki Silvi. Satu persatu ucapan ulang tahun dari temannya pun diterimanya.

    Matahari mulai menyengat kulit, para siswa berjalan menuju gerbang bersiap untuk pulang. Silvi masih duduk terdiam di kelasnya menunggu seseorang yang membuatnya selalu bahagia. Dito. Ya, dialah yang ia tunggu sejak tadi. Tak lama kemudian terdengar suara langkah sepatu menuju kelasnya. Ia menghampiri Silvi. “Vi?” kata Dito mengagetkannya
    “Eh? Kamu ini bikin aku kaget aja. O iya emang mau ngomong apaan sih? Kok kayaknya penting banget” tanya Silvi dengan mata yang masih menelusuri tiap kata dalam novel.
    “Aku suka sama kamu, Vi. Bahkan lebih tepatnya aku jatuh cinta sama kamu” kata Dito membuat Silvi langsung kaku. Konsentrasinya membuyar perasaannya mulai tak karuan, antara perasaan senang, kaget dan sedih menjadi satu.
    “Maaf kalo ini semua bikin kamu kaget, aku cuma nggak mau bohongin perasaanku sendiri kalo aku..”
    “Cukup, Dit!” bentak Silvi sontak membuat Dito tak melanjutkan kata katanya. Dengan derai air matanya Silvi pun keluar tanpa menghiraukan Dito yang mematung penuh kekecewaan. Silvi berlari menuruni anak tangga meninggalkan tetes demi tetes yang mengguyur pipi lesungnya.

    Sudah 2 minggu sejak kejadian itu, tapi tak seharipun Silvi melihat Dito. Bahkan beberapa teman Dito bertanya pada Silvi. Tak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya Silvi juga merasa khawatir dengannya, karena takut terjadi sesuatu pada Dito, sepulang sekolah Silvi berusaha menemui Dito di rumahnya. Tapi saat sampai di rumahnya bukan Dito yang ditemuinya melainkan pembantunya. Ia mengatakan bahwa Dito tidak pulang selama 2 hari ini. Kecemasan Silvi pun bertambah akhirnya dia memutuskan untuk mencari Dito.

    Silvi mulai menyusuri jalanan kota mencari Dito, karena lelah ia pun duduk di tempat kursi taman sambil meminum air yang ia bawa. Matanya mulai berkeliaran mencari sosok yang sedang ia cari, dan pupilnya membesar seketika ketika melihat Dito yang berjalan sempoyongan.
    “Dito!!!” Teriaknya lalu menghampiri Dito dan memeluknya erat.
    “Kamu ngapain di sini?” tanya Dito dengan bibir lemasnya. Isak tangis Silvi pun terpecah melihat keadaan orang yang dicintainya itu.
    “Aku minta maaf, karena waktu itu aku bentak kamu dan langsung pergi gitu aja. Jujur aku seneng pas kamu bilang kamu suka sama aku, aku juga suka sama kamu tapi aku nggak bisa kalo harus jalin hubungan sama kamu. Aku cuma bingung harus gimana bilang ke kamu. Aku takut kamu kecewa denger jawaban dari aku. Maaf, Dit” kata Silvi panjang lebar.
    “Aku lega denger semuanya, sekarang kamu lihat aku” ujar Dito mengangkat wajah Silvi untuk menatapnya “Saling mencintai bukan berarti harus diikat dengan kata pacaran. Status bukan prioritas utama dalam mencintai, Vi, yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga perasaan kita satu sama lain untuk yang kita cintai” lanjutnya lalu menghapus air mata Silvi. Silvi pun tersenyum lalu menelungkupkan wajahnya dalam pelukan Dito. “I love you, Dito”

    TAMAT

    Cerpen Karangan: Ulul Izmi Aulada
    Facebook: Ulul Izmi Aulada

    Artikel Terkait

    Tak Harus
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email