Judul Cerpen Bocah Lak Laki dan Ibunya
Comment ça va? bukan hanya ucapan basa-basi. Ia telah sedikit mengisi harapan seorang bocah laki-laki. Itu adalah kalimat bahasa Perancis pertama yang diingatnya. Hampir setiap jam diucapkannya. Ia ucapkan kepada Ibunya dan tetangganya yang lewat di depan rumah.
Buku ensikopledia tentang Perancis tentu saja memuat Bonaparte, Jacobin, Komune Paris, Zinedine Zidane, hingga Anggun C. Sasmi. Ia pun berkesimpulan bahwa Perancis adalah negeri yang penuh perjuangan.
Tapi seorang anak tujuh tahun belum sampai pada tindakan mengambil hikmah dari sebuah perjuangan. Barangkali kelak ia akan memahami jika perjuangan, berarti atau tidak, adalah cerita. Dan cerita selalu diawali dengan doa atau barangkali doa selalu mengiringi cerita.
Hikmah berada dibalik derita atau suka sebuah cerita, apalagi cerita perjuangan. Seperti ketika le prolétarie ditendang oleh le bourgeois. Ada rasa pahit di satu pihak dan manis bagi pihak yang otaknya separuh.
Ketika bocah laki-laki itu sedang asik membaca sambil berkhayal. Si ibu datang membawa jus apel dan menanyai anaknya, “Comment ça va?”
Dijawab oleh anak itu, “ça va bien.”
“Ulu ulu ulu, pintarnya,” kata Ibunya memuji sambil mengelus kepala anaknya. Bocah laki-laki itu pun tersenyum manja. Maklum, ibunya bisa dikatakan mirip Marion Cotillard, pengisi suara bunga The Rose di film Le Petit Prince. Maka sah bagi bocah laki-laki itu untuk bermanja-manja. Tidak hanya bocah laki-laki itu, pria dewasa yang sudah tak tahu lagi hal selain ngocok -yang mampu menyenangkannya, akan insyaf dan langsung menikahi perempuan seperti ibunya.
Tapi seandainya ada seorang pria dewasa bujang atau duda yang menikahi ibu bocah laki-laki itu. Ia harus berlapang dada. Sebab cinta seorang ibu kepada anak dan suaminya tidak bisa dibeda-bedakan. Sekali muncul perasaan terbagi dari suami atau anak, semua menjadi kacau balau. Bahkan kiamat tanpa ujung yang tidak akan melahirkan dunia dengan wajah baru.
Ibu dan Ayah bocah laki-laki itu bukan Mashechka dan Sergey Mikhaylych di novela Family Happiness karangan Leo Tolstoy. Jika Mashechka dan Sergey Mikhaylych pada akhirnya mampu membagi dan tak merasa terbagi cintanya setelah anaknya lahir. Hal itu tidak terjadi pada keluarga bocah laki-laki itu. Ayahnya mati bersama perempuan lain. Perempuan lain itu dipanggil dan diajak bertemu di suatu penginapan murah dan bebas. Ayah bocah laki-laki itu mengenalnya lewat akun media sosial. Bisnis seperti itu masih laris sekarang.
Sekali bertemu, Ayahnya berpikir telah jatuh cinta dengan perempuan itu. Padahal ia tahu cinta adalah sesuatu yang rumit bagi seorang perempuan panggilan. Ayahnya pun menetapkan pilihan akan pergi dan menikah dengan perempuan itu. Ia bermaksud untuk menikahinya dan tetap meminta perempuan itu melakukan pekerjaannya.
Bisa dibilang itu rencana gila.
Sayang Ayahnya tertangkap basah Satpol PP dan Polisi di kamar bersama perempuan itu. Kebetulan ada razia mendadak dari pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan Kepolisian. Perempuan itu meloncat dari jendela kamar dan si Ayah mati tertembak. Polisi yang melepaskan tembakan berpikir si Ayah akan kabur. Secara spontan tembakan dilepaskan dan mengenai punggung Ayahnya. Peluru masuk begitu dalam dan merusak rusuknya.
Bocah laki-laki itu baru berumur empat tahun saat kehilangan Ayahnya. Barangkali kelak ia akan bertanya apakah betul semua kisah atau cerita diawali sekaligus diiiringi doa? Jika iya, doa yang bagaimana? Doa untuk siapa? Tapi untuk saat ini ia sedang minum jus apel, membolak-balik halaman buku ensiklopedia Perancis, dan berkhayal. Perkara serumit itu belum terpikirkannya.
Hari ini ibunya libur. Ia bisa bermain di dalam rumah sepanjang hari atau jalan-jalan bersama pengawasan ibunya. Pada hari kerja, karena sanak saudara begitu jauh dan kenal dekat tetangganya, bocah laki-laki itu dititipkan di tetangganya.
Ibunya melamun sesaat setelah mengusap kepala anaknya. Ia memikirkan kejadian yang menimpa suaminya sekaligus terbayang sedikit pertanyaan mengenai masa depan anaknya. Di situlah masa lalu dan masa depan bertemu untuk menciptakan kebingungan. Kata orang itu disebut refleksi. Tetapi tentu itu bukan waktu yang tepat bagi si Ibu untuk berefleksi.
Setelah meletakkan gelas yang berisi jus apel itu, si bocah laki-laki membangunkan ibunya dari lamunannya. “Comment ça va?” tanya dirinya. Sambil tersenyum si Ibu menjawab, “ça va bien.”
Cerpen Karangan: Andriyan Yuniantoko
Facebook: facebook.com/yuniantoko
Comment ça va? bukan hanya ucapan basa-basi. Ia telah sedikit mengisi harapan seorang bocah laki-laki. Itu adalah kalimat bahasa Perancis pertama yang diingatnya. Hampir setiap jam diucapkannya. Ia ucapkan kepada Ibunya dan tetangganya yang lewat di depan rumah.
Buku ensikopledia tentang Perancis tentu saja memuat Bonaparte, Jacobin, Komune Paris, Zinedine Zidane, hingga Anggun C. Sasmi. Ia pun berkesimpulan bahwa Perancis adalah negeri yang penuh perjuangan.
Tapi seorang anak tujuh tahun belum sampai pada tindakan mengambil hikmah dari sebuah perjuangan. Barangkali kelak ia akan memahami jika perjuangan, berarti atau tidak, adalah cerita. Dan cerita selalu diawali dengan doa atau barangkali doa selalu mengiringi cerita.
Hikmah berada dibalik derita atau suka sebuah cerita, apalagi cerita perjuangan. Seperti ketika le prolétarie ditendang oleh le bourgeois. Ada rasa pahit di satu pihak dan manis bagi pihak yang otaknya separuh.
Ketika bocah laki-laki itu sedang asik membaca sambil berkhayal. Si ibu datang membawa jus apel dan menanyai anaknya, “Comment ça va?”
Dijawab oleh anak itu, “ça va bien.”
“Ulu ulu ulu, pintarnya,” kata Ibunya memuji sambil mengelus kepala anaknya. Bocah laki-laki itu pun tersenyum manja. Maklum, ibunya bisa dikatakan mirip Marion Cotillard, pengisi suara bunga The Rose di film Le Petit Prince. Maka sah bagi bocah laki-laki itu untuk bermanja-manja. Tidak hanya bocah laki-laki itu, pria dewasa yang sudah tak tahu lagi hal selain ngocok -yang mampu menyenangkannya, akan insyaf dan langsung menikahi perempuan seperti ibunya.
Tapi seandainya ada seorang pria dewasa bujang atau duda yang menikahi ibu bocah laki-laki itu. Ia harus berlapang dada. Sebab cinta seorang ibu kepada anak dan suaminya tidak bisa dibeda-bedakan. Sekali muncul perasaan terbagi dari suami atau anak, semua menjadi kacau balau. Bahkan kiamat tanpa ujung yang tidak akan melahirkan dunia dengan wajah baru.
Ibu dan Ayah bocah laki-laki itu bukan Mashechka dan Sergey Mikhaylych di novela Family Happiness karangan Leo Tolstoy. Jika Mashechka dan Sergey Mikhaylych pada akhirnya mampu membagi dan tak merasa terbagi cintanya setelah anaknya lahir. Hal itu tidak terjadi pada keluarga bocah laki-laki itu. Ayahnya mati bersama perempuan lain. Perempuan lain itu dipanggil dan diajak bertemu di suatu penginapan murah dan bebas. Ayah bocah laki-laki itu mengenalnya lewat akun media sosial. Bisnis seperti itu masih laris sekarang.
Sekali bertemu, Ayahnya berpikir telah jatuh cinta dengan perempuan itu. Padahal ia tahu cinta adalah sesuatu yang rumit bagi seorang perempuan panggilan. Ayahnya pun menetapkan pilihan akan pergi dan menikah dengan perempuan itu. Ia bermaksud untuk menikahinya dan tetap meminta perempuan itu melakukan pekerjaannya.
Bisa dibilang itu rencana gila.
Sayang Ayahnya tertangkap basah Satpol PP dan Polisi di kamar bersama perempuan itu. Kebetulan ada razia mendadak dari pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan Kepolisian. Perempuan itu meloncat dari jendela kamar dan si Ayah mati tertembak. Polisi yang melepaskan tembakan berpikir si Ayah akan kabur. Secara spontan tembakan dilepaskan dan mengenai punggung Ayahnya. Peluru masuk begitu dalam dan merusak rusuknya.
Bocah laki-laki itu baru berumur empat tahun saat kehilangan Ayahnya. Barangkali kelak ia akan bertanya apakah betul semua kisah atau cerita diawali sekaligus diiiringi doa? Jika iya, doa yang bagaimana? Doa untuk siapa? Tapi untuk saat ini ia sedang minum jus apel, membolak-balik halaman buku ensiklopedia Perancis, dan berkhayal. Perkara serumit itu belum terpikirkannya.
Hari ini ibunya libur. Ia bisa bermain di dalam rumah sepanjang hari atau jalan-jalan bersama pengawasan ibunya. Pada hari kerja, karena sanak saudara begitu jauh dan kenal dekat tetangganya, bocah laki-laki itu dititipkan di tetangganya.
Ibunya melamun sesaat setelah mengusap kepala anaknya. Ia memikirkan kejadian yang menimpa suaminya sekaligus terbayang sedikit pertanyaan mengenai masa depan anaknya. Di situlah masa lalu dan masa depan bertemu untuk menciptakan kebingungan. Kata orang itu disebut refleksi. Tetapi tentu itu bukan waktu yang tepat bagi si Ibu untuk berefleksi.
Setelah meletakkan gelas yang berisi jus apel itu, si bocah laki-laki membangunkan ibunya dari lamunannya. “Comment ça va?” tanya dirinya. Sambil tersenyum si Ibu menjawab, “ça va bien.”
Cerpen Karangan: Andriyan Yuniantoko
Facebook: facebook.com/yuniantoko
Bocah Lak Laki dan Ibunya
4/
5
Oleh
Unknown