Judul Cerpen Cinta Dalam Novel
Aku Kirana, kerap disapa Nana. Aku siswi kelas 12 IPA di salah satu SMA favorit di Bali. Aku baru setahun di sekolah ini. Iya.. aku pindahan dari SMAN 7 Jakarta. Mengingat di Jakarta tidak ada keluarga lagi semenjak ayahku meninggal setelah 1 tahun mengidap penyakit jantung. Keputusan yang memang berat harus pindah ke Bali bersama pamanku dan harus meninggalkan banyak kenangan di kota metropolitan itu. Tapi kini aku sangat mencintai sekolah baruku. Banyak sekali program-program unggulan di sekolahku ini. Seperti program Gerakan Literasi Sekolah yang kini menjadi trending topic. Di sekolah ini juga aku merasa seperti anak SMA kebanyakan. Aku mengerti apa itu cinta.
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarmya tidak gatal. Pemandangan yang tidak biasa pagi ini membuat aku bingung. Seseorang yang kucoba hindari malah menghancurkan moodku di pagi ini. Entah mengapa, program sekolah yang biasa dipegang osis kini malah dipandu orang itu. Kesal memang melihatnya, tapi rasa kesal itu tertimbun manisnya kata-kata bijak yang ia lontarkan. Ia selalu berkata “have a nice day” di setiap ia mengakhiri kata-kata bijaknya. Aku selalu menggumam “gimana gak “have a nice day” kalau setiap pagi kata-katamu itu selalu menyemangati”
Aku memang plin plan. Aku tidak bisa sejalan dengan pikiranku yang mencoba menghindarinya. Aku tidak bisa sepenuhnya membenci ataupun menghindarinya. Menghindari? Sebenarnya antara aku dan dia tidak ada sesuaatu yang spesial. Ini karena kekonyolanku yang berani mengutarakan perasaanku langsung kepadanya tanpa peduli akibat dan perasaannya. Semenjak itu ia membenciku. Aku tidak menyangka orang yang seharusnya bisa lebih dewasa, malah menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Rasanya ingin sekali aku berteriak di depannya, aku memang suka, tapi aku tidak pernah memaksamu untuk membalasnya.
“Chand.. salah aku sama dia apa sih?” tanyaku pada Chandra, sahabatku sejak SMP.
Ia sama sekali tidak menggubris, malah asyik menjejali mulutnya dengan bakso yang tadi kami pesan. Hampir 3 kali aku mengulang pertanyaanku dengan hasil yang sama. Chandra tetap asyik dengan bakso itu. Kupukul meja di depan sembari berteriak “Salaaaahhh aku apaaa???”.
Sontak seantero jagat kantin terkejut. Begitu pula Chandra yang baru menyadari keberadaanku.
“Ehhh loo kira ini hutan.. teriak-teriak gak jelas.. Lo kira gua tuli??” bentak Chandra.
“siapa suruh ngacangin…”
Jujur, aku masih tertarik dan terus memerhatikannya. Aku yakin dia tahu itu, hanya dia berpura-pura cuek. Sempat terlintas perasaan menyesal pernah mengungkapan perasaan itu hingga keadaan kacau balau seperti ini.
“Selamat pagiii semua… Abaikan orang yang mengatakan Anda sok tahu, jika hidupnya tidak lebih baik dari Anda. Woles aja! 99.99 % orang yang bilang Anda sok tahu, adalah orang yang tidak tahu tapi tidak tahu dirinya tidak tahu. Have a nice day” aku selalu membayangkan kata-kata yang selalu ia ucapkan ditujukan kepadaku. Bagaimana aku tidak semangat menjalani program sekolah yang hanya membaca buku selama 30 menit sebelum berkutat dengan pelajaran di kelas, setelah itu diakhiri dengan sesi kata-kata manisnya itu. Cukup memotivasiku untuk gemar membaca. Membaca dengan cinta.
“Na.. aku mau ngomong sama kamu.” Kata Rehan mengejutkanku. Dia cowok yang aku suka sekaligus kubenci. Entah angin apa yang membawa dia menghampiriku di pagi ini. Rasa bahagia tidak bisa kusembunyikan bisa menatap ia sedekat ini.
“Apaan?” jawabku sok cuek.
“Aku tahu kamu masih suka sama aku, tapi tolong jangan terlalu memerhatikanku seperti itu, aku merasa terganggu saat aku berbicara di depan dan kau memandangku tanpa berkedip. Aku mohon jangan seperti itu.” Tuturnya
Aku terkejut mendapati penjelasan yang menurutku sama sekali tidak penting itu. Kutinggalkan dia tanpa berbicara sepatah kata pun. Sakit sekali. Kini aku benar-benar dibuat benci. Perasaanku ini memang tidak dihargai. Andai saja aku bisa memutar waktu, aku akan berpikir dua kali untuk menaruh hati pada Rehan.
Mungkin hal itu begitu penting, hingga ia rela mengejarku untuk mengatakan hal yang sama. Saat ini ia benar-benar muak dan ingin membuatku tidak mencintainya lagi.
“Naa.. mengertilah, aku gak bisa suka sama kamu, aku harap kamu buang rasa sayang kamu itu.”
Kulangkahkan kakiku menjauhi orang sialan itu. Sakit sekali mendengar kata-kata yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Aku akan coba Han. Ini hanya masalah waktu saja, lambat laun kau akan enyah dari pikiranku” tuturku dalam hati.
Seperti biasa program di pagi itu berjalan layaknya hari-hari kemarin. Juga dengan sesi kata-kata motivasi dari Rehan. Kini aku menuruti permintaannya dulu. Aku tidak lagi memerhatikan layaknya kambing congek yang tetap asyik membaca buku mesikpun waktu membaca sudah habis.
“Na.. kuliah nanti lo mau ke mana?” tanya Chandra.
“Entah.. aku masih memikirkannya.” Jawabku singkat.
Ujian Nasional memang tinggal menghitung hari saja. Kami kelas 12 semakin disibukkan dengan jadwal-jadwal les yang cukup padat. Fokus kami hanya pada UN. Tidak lagi mengurusi kegiatan organisasi ataupun program-program sekolah khususnya gerakan literasi sekolah itu. Di satu sisi aku senang waktuku semakin banyak untuk belajar, namun di sisi lain aku tidak pernah bisa mendengar kata-kata yang selalu memotivasiku di setiap paginya. Rehan kini seperti menghilang. Ia semakin jarang kulihat. Mengingat kelas kita beda, Setahuku kelas Rehan berada di lantai 3. Semakin membuatku sulit untuk bisa mencuri-curi kesempatan untuk bisa menatapnya.
Tidak terasa kami kelas 12 sudah menghadapi ujian itu dengan hasil yang tidak mengecewakan. Kini kami disibukkan dengan hal yang berbeda. kami sibuk dengan universitas kami masing-masing. Aku sendiri akan melanjutkan kuliah dengan jurusan ilmu politik. Aku dengar Rehan akan melanjutkan studynya di UI.
“Rehan bakal lanjut di UI, katanya sih mau ngambil ilmu politik juga. Sama kaya kamu.” papar Avin sahabat Rehan.
Aku sempat bertemu dia beberapa kali di sekolah saat kami disibukkan mengurus ijazah kami. Kami seperti tidak saling kenal. Mungkin ia memang muak kepadaku.
“Naa.. ini aku Rehan.. bisa ketemu di seklolah gak?”
Pesan yang mengejutkanku. Aku sama sekali tidak pernah bermimpi mendapat pesan dari orang ini. Kebetulan saat itu aku akan menuju ke sekolah untuk menyelesaikan urusanku. Langsung saja aku mengiyakan ajakan Rehan itu. Aku tidak ingin mati penasaran dibuatnya.
“Hai Han.. kenapa?” tegurku sok dekat.
“Naa.. aku mau lanjut ke UI, seminggu lagi aku berangkat. Maafin semua kesalahanku ya.”
Sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi siang itu. Mengapa Rehan yang juteknya bukan main bisa berbicara halus seperti itu. Terdiam dan terdiam. Aku masih berpikir apa ini hanya mimpi. Memang tidak ada yang spesial. Tapi ini kali pertamaku mendengar suara lembutnya berbicara kepaaku.
“Iya iya.. good luck ya.. maafin gue juga.”
Dia merogoh tas yang dibawanya sedari tadi. Sebuah novel ia berikan kepadaku. Sungguh keadaan yang membingungkan.
“Mak-sud k-a-mu?” bicaraku terbata
“anggap saja ini kenangan dariku. Aku harap kamu tetap rajin membaca meskipun tidak lagi mendengar kata-kata bijakku” katanya sedikit menggoda
Sebuah novel bersampul biru dengan judul “Bila Esok Kau Tiada” itu kuterima. Tak lupa kuucapkan terimakasih padanya. Saat aku ingin beranjak meninggalkannya, Rehan menarik tanganku dan mencium keningku.
“ini novel pertama. Aku akan mengirimkan novel setiap bulannya untukmu Na. dan di setiap novel itu akan ada kata-kata bijak. Anggap saja setelah kau membaca novel itu dan kau akan mendengar kata-kata penyemaangat dariku, layaknya yang kulakukan dulu. Dulu kata-kata itu kulontarkan untuk semua orang yang mendengarkanku, tapi ini hanya untuk kamu Na” jelasnya.
Tanpa aku sadari air mataku menetes. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada Rehan.
“aku sayang kamu” kataku sambil memeluknya.
Aku tidak tahu apa rencana Tuhan. Mengapa Rehan bisa seperti ini.
“Dulu aku seperti itu karena aku tidak ingin kamu terlalu sayang. Aku juga menyayangimu, tapi aku tidak ingin larut dalam kasih sayang itu. Karena aku tahu, setelah SMA nanti aku melanjutkan studyku di UI. Keluargaku pindah ke Jakarta karena rumah yang kami tempati di Bali milik tanteku. Aku tahu kita saling mencintai tapi aku ingin tidak ada hubungan yang spesial di antara kita. Aku tidak ingin jika kita tidak kuat dengan keadaan jarak jauh ini dan kita saling membenci. Aku ingin kita tetap seperti ini. Kau mengerti maksudku Na?” paparnya panjang.
Aku hanya menggangguk sebagai tanda jawaban. Kini aku mengerti mengapa dulu Rehan seperti itu.
Hari demi hari berlalu. Aku tetap menjalankan rutinitas membaca novel yang selalu dikirim Rehan setiap bulannya disela-sela kesibukanku. Kulakukan hal itu dengan sepenuh hati. Aku selalu semangat menghabiskan tiap novelnya dengan kata-kata manis di setiap cover novel itu.
“Terkadang, kamu berusaha menghindari sesuatu, bukan berarti kamu membencinya. Kamu menginginkannya tapi kamu tahu bahwa itu salah.” Sepenggal kata manis Rehan yang ada di cover novel ke tujuh dengan judul “You and Me” itu kian membuatku merindukannya. Aku mencintai rutinitas membacaku saat ini karena kamu, Rehan..
Cerpen Karangan: Trisna Widhi Yanti
Facebook: Putu Trisna Widhi Yanti
Aku Kirana, kerap disapa Nana. Aku siswi kelas 12 IPA di salah satu SMA favorit di Bali. Aku baru setahun di sekolah ini. Iya.. aku pindahan dari SMAN 7 Jakarta. Mengingat di Jakarta tidak ada keluarga lagi semenjak ayahku meninggal setelah 1 tahun mengidap penyakit jantung. Keputusan yang memang berat harus pindah ke Bali bersama pamanku dan harus meninggalkan banyak kenangan di kota metropolitan itu. Tapi kini aku sangat mencintai sekolah baruku. Banyak sekali program-program unggulan di sekolahku ini. Seperti program Gerakan Literasi Sekolah yang kini menjadi trending topic. Di sekolah ini juga aku merasa seperti anak SMA kebanyakan. Aku mengerti apa itu cinta.
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarmya tidak gatal. Pemandangan yang tidak biasa pagi ini membuat aku bingung. Seseorang yang kucoba hindari malah menghancurkan moodku di pagi ini. Entah mengapa, program sekolah yang biasa dipegang osis kini malah dipandu orang itu. Kesal memang melihatnya, tapi rasa kesal itu tertimbun manisnya kata-kata bijak yang ia lontarkan. Ia selalu berkata “have a nice day” di setiap ia mengakhiri kata-kata bijaknya. Aku selalu menggumam “gimana gak “have a nice day” kalau setiap pagi kata-katamu itu selalu menyemangati”
Aku memang plin plan. Aku tidak bisa sejalan dengan pikiranku yang mencoba menghindarinya. Aku tidak bisa sepenuhnya membenci ataupun menghindarinya. Menghindari? Sebenarnya antara aku dan dia tidak ada sesuaatu yang spesial. Ini karena kekonyolanku yang berani mengutarakan perasaanku langsung kepadanya tanpa peduli akibat dan perasaannya. Semenjak itu ia membenciku. Aku tidak menyangka orang yang seharusnya bisa lebih dewasa, malah menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Rasanya ingin sekali aku berteriak di depannya, aku memang suka, tapi aku tidak pernah memaksamu untuk membalasnya.
“Chand.. salah aku sama dia apa sih?” tanyaku pada Chandra, sahabatku sejak SMP.
Ia sama sekali tidak menggubris, malah asyik menjejali mulutnya dengan bakso yang tadi kami pesan. Hampir 3 kali aku mengulang pertanyaanku dengan hasil yang sama. Chandra tetap asyik dengan bakso itu. Kupukul meja di depan sembari berteriak “Salaaaahhh aku apaaa???”.
Sontak seantero jagat kantin terkejut. Begitu pula Chandra yang baru menyadari keberadaanku.
“Ehhh loo kira ini hutan.. teriak-teriak gak jelas.. Lo kira gua tuli??” bentak Chandra.
“siapa suruh ngacangin…”
Jujur, aku masih tertarik dan terus memerhatikannya. Aku yakin dia tahu itu, hanya dia berpura-pura cuek. Sempat terlintas perasaan menyesal pernah mengungkapan perasaan itu hingga keadaan kacau balau seperti ini.
“Selamat pagiii semua… Abaikan orang yang mengatakan Anda sok tahu, jika hidupnya tidak lebih baik dari Anda. Woles aja! 99.99 % orang yang bilang Anda sok tahu, adalah orang yang tidak tahu tapi tidak tahu dirinya tidak tahu. Have a nice day” aku selalu membayangkan kata-kata yang selalu ia ucapkan ditujukan kepadaku. Bagaimana aku tidak semangat menjalani program sekolah yang hanya membaca buku selama 30 menit sebelum berkutat dengan pelajaran di kelas, setelah itu diakhiri dengan sesi kata-kata manisnya itu. Cukup memotivasiku untuk gemar membaca. Membaca dengan cinta.
“Na.. aku mau ngomong sama kamu.” Kata Rehan mengejutkanku. Dia cowok yang aku suka sekaligus kubenci. Entah angin apa yang membawa dia menghampiriku di pagi ini. Rasa bahagia tidak bisa kusembunyikan bisa menatap ia sedekat ini.
“Apaan?” jawabku sok cuek.
“Aku tahu kamu masih suka sama aku, tapi tolong jangan terlalu memerhatikanku seperti itu, aku merasa terganggu saat aku berbicara di depan dan kau memandangku tanpa berkedip. Aku mohon jangan seperti itu.” Tuturnya
Aku terkejut mendapati penjelasan yang menurutku sama sekali tidak penting itu. Kutinggalkan dia tanpa berbicara sepatah kata pun. Sakit sekali. Kini aku benar-benar dibuat benci. Perasaanku ini memang tidak dihargai. Andai saja aku bisa memutar waktu, aku akan berpikir dua kali untuk menaruh hati pada Rehan.
Mungkin hal itu begitu penting, hingga ia rela mengejarku untuk mengatakan hal yang sama. Saat ini ia benar-benar muak dan ingin membuatku tidak mencintainya lagi.
“Naa.. mengertilah, aku gak bisa suka sama kamu, aku harap kamu buang rasa sayang kamu itu.”
Kulangkahkan kakiku menjauhi orang sialan itu. Sakit sekali mendengar kata-kata yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
“Aku akan coba Han. Ini hanya masalah waktu saja, lambat laun kau akan enyah dari pikiranku” tuturku dalam hati.
Seperti biasa program di pagi itu berjalan layaknya hari-hari kemarin. Juga dengan sesi kata-kata motivasi dari Rehan. Kini aku menuruti permintaannya dulu. Aku tidak lagi memerhatikan layaknya kambing congek yang tetap asyik membaca buku mesikpun waktu membaca sudah habis.
“Na.. kuliah nanti lo mau ke mana?” tanya Chandra.
“Entah.. aku masih memikirkannya.” Jawabku singkat.
Ujian Nasional memang tinggal menghitung hari saja. Kami kelas 12 semakin disibukkan dengan jadwal-jadwal les yang cukup padat. Fokus kami hanya pada UN. Tidak lagi mengurusi kegiatan organisasi ataupun program-program sekolah khususnya gerakan literasi sekolah itu. Di satu sisi aku senang waktuku semakin banyak untuk belajar, namun di sisi lain aku tidak pernah bisa mendengar kata-kata yang selalu memotivasiku di setiap paginya. Rehan kini seperti menghilang. Ia semakin jarang kulihat. Mengingat kelas kita beda, Setahuku kelas Rehan berada di lantai 3. Semakin membuatku sulit untuk bisa mencuri-curi kesempatan untuk bisa menatapnya.
Tidak terasa kami kelas 12 sudah menghadapi ujian itu dengan hasil yang tidak mengecewakan. Kini kami disibukkan dengan hal yang berbeda. kami sibuk dengan universitas kami masing-masing. Aku sendiri akan melanjutkan kuliah dengan jurusan ilmu politik. Aku dengar Rehan akan melanjutkan studynya di UI.
“Rehan bakal lanjut di UI, katanya sih mau ngambil ilmu politik juga. Sama kaya kamu.” papar Avin sahabat Rehan.
Aku sempat bertemu dia beberapa kali di sekolah saat kami disibukkan mengurus ijazah kami. Kami seperti tidak saling kenal. Mungkin ia memang muak kepadaku.
“Naa.. ini aku Rehan.. bisa ketemu di seklolah gak?”
Pesan yang mengejutkanku. Aku sama sekali tidak pernah bermimpi mendapat pesan dari orang ini. Kebetulan saat itu aku akan menuju ke sekolah untuk menyelesaikan urusanku. Langsung saja aku mengiyakan ajakan Rehan itu. Aku tidak ingin mati penasaran dibuatnya.
“Hai Han.. kenapa?” tegurku sok dekat.
“Naa.. aku mau lanjut ke UI, seminggu lagi aku berangkat. Maafin semua kesalahanku ya.”
Sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi siang itu. Mengapa Rehan yang juteknya bukan main bisa berbicara halus seperti itu. Terdiam dan terdiam. Aku masih berpikir apa ini hanya mimpi. Memang tidak ada yang spesial. Tapi ini kali pertamaku mendengar suara lembutnya berbicara kepaaku.
“Iya iya.. good luck ya.. maafin gue juga.”
Dia merogoh tas yang dibawanya sedari tadi. Sebuah novel ia berikan kepadaku. Sungguh keadaan yang membingungkan.
“Mak-sud k-a-mu?” bicaraku terbata
“anggap saja ini kenangan dariku. Aku harap kamu tetap rajin membaca meskipun tidak lagi mendengar kata-kata bijakku” katanya sedikit menggoda
Sebuah novel bersampul biru dengan judul “Bila Esok Kau Tiada” itu kuterima. Tak lupa kuucapkan terimakasih padanya. Saat aku ingin beranjak meninggalkannya, Rehan menarik tanganku dan mencium keningku.
“ini novel pertama. Aku akan mengirimkan novel setiap bulannya untukmu Na. dan di setiap novel itu akan ada kata-kata bijak. Anggap saja setelah kau membaca novel itu dan kau akan mendengar kata-kata penyemaangat dariku, layaknya yang kulakukan dulu. Dulu kata-kata itu kulontarkan untuk semua orang yang mendengarkanku, tapi ini hanya untuk kamu Na” jelasnya.
Tanpa aku sadari air mataku menetes. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada Rehan.
“aku sayang kamu” kataku sambil memeluknya.
Aku tidak tahu apa rencana Tuhan. Mengapa Rehan bisa seperti ini.
“Dulu aku seperti itu karena aku tidak ingin kamu terlalu sayang. Aku juga menyayangimu, tapi aku tidak ingin larut dalam kasih sayang itu. Karena aku tahu, setelah SMA nanti aku melanjutkan studyku di UI. Keluargaku pindah ke Jakarta karena rumah yang kami tempati di Bali milik tanteku. Aku tahu kita saling mencintai tapi aku ingin tidak ada hubungan yang spesial di antara kita. Aku tidak ingin jika kita tidak kuat dengan keadaan jarak jauh ini dan kita saling membenci. Aku ingin kita tetap seperti ini. Kau mengerti maksudku Na?” paparnya panjang.
Aku hanya menggangguk sebagai tanda jawaban. Kini aku mengerti mengapa dulu Rehan seperti itu.
Hari demi hari berlalu. Aku tetap menjalankan rutinitas membaca novel yang selalu dikirim Rehan setiap bulannya disela-sela kesibukanku. Kulakukan hal itu dengan sepenuh hati. Aku selalu semangat menghabiskan tiap novelnya dengan kata-kata manis di setiap cover novel itu.
“Terkadang, kamu berusaha menghindari sesuatu, bukan berarti kamu membencinya. Kamu menginginkannya tapi kamu tahu bahwa itu salah.” Sepenggal kata manis Rehan yang ada di cover novel ke tujuh dengan judul “You and Me” itu kian membuatku merindukannya. Aku mencintai rutinitas membacaku saat ini karena kamu, Rehan..
Cerpen Karangan: Trisna Widhi Yanti
Facebook: Putu Trisna Widhi Yanti
Cinta Dalam Novel
4/
5
Oleh
Unknown