Demi Ayahku

Baca Juga :
    Judul Cerpen Demi Ayahku

    Dinginnya pagi bersama terpaan embun yang menuntun langkahku untuk menuntut ilmu, sesuatu yang wajib kulakukan sebagai pelajar. Tidak seperti biasanya, pagi ini dinginnya udara sampai menembus pori pori kulitku dan merasuk ke dalam tulang. Waktu telah menunjukkan pukul 8 tepat. Lari adalah satu satunya hal yang dapat mengejar waktu keterlambatanku untuk sampai ke kampus. Setiap hari, aku selalu mendapat hinaan dan celaan dari semua temanku, lemparan kata kata kasar yang membuat hatiku lemas terkulai karenanya. Begitupun dengan guruku, bukan kasih sayang seorang guru yang kudapat melainkan cacian dan kemarahan yang terus menerus diucapkan padaku, karena sebuah kata terlambat.

    Setiap sore saat pulang dari kampus hingga larut malam. Kegiatan rutinitas yang kulakukan adalah menjual sebuah pem pek sederhana yang hanya dibuat dari sebuah tepung kanji dan sepotong ketela pohon. Yang kujual dengan harga 2 ribu saja. Tidak seperti kebanyakan anak sekolah, yang bisa menyempatkan waktunya untuk belajar. Tidak bagiku, tidak ada sedikitpun waktu untuk kumanfaatkan membuka lembaran lembaran buku. Setiap selesai berjualan rasa kantuk menghinggapiku, itu alasan dari keterlambatan rutinku. Ini semua kulakukan untuk ayahku satu satunya yang masih hidup. Ayahku dahulu bekerja menjadi nelayan, karena kecelakaan yang terjadi 5 tahun silam menyebabkan kelumpuhan permanen pada kaki ayahku. Hal tragis itu membuat ayahku kehilangan pekerjaannya. Dan karena rasa ibaku pada ayah, aku rela menggantikan posisi ayahku sebagai kepala keluarga dengan berjualan, walau hanya sekedar pem pek.

    Namaku Ardian Situmalarang, namaku sangat khas, nama itu diambil ketika ibuku masih hidup. Memang dahulu ibuku berasal dari Minangkabau, itu sebabnya namaku beraroma Padang. Ibukku meninggalkan kami ketika aku masih berusia 2 tahun. Sejak kematian ibukku, ayahku selalu meronta kesedihan. Aku kuliah di Universitas Gajah Putih, Maluku Utara. Pastilah, biaya perkuliahan sangatlah mahal, untunglah aku bisa mendapat beasiswa atas prestasi yang kudapat. Kurang 1 semester lagi, aku bisa membanggakan hati ayahku dikarenakan aku bisa meraih gelar sarjana. Aku tetap bertahan walau terpaan makian yang selalu aku dan ayah dapatkan dari orang orang yang membenciku, entah apa salahku dan ayahku.

    6 bulan kemudian…
    Harapan yang kutunggu tunggu telah terwujud. Akhirnya aku lulus dari perkuliahan selama 4 tahun silam. Hatiku selalu didera dengan kebahagiaan, atas kelulusan yang kucapai. Bangga, bangga, dan rasa bangga yang terus bergejolak sejak kelulusan itu. Tangisan kebahagiaan yang sedang kualami, rasa hati mengatakan tak sabar memberitahu pada ayahku akan semua ini. Lalu aku cepat berlari menuju rumah dan mengatakan hal ini pada ayah.

    “Yah, ayah pasti senang dengan semua ini” girangku pada ayah.
    “Ada apa Ardian anakku, hal apakah yang membuat dirimu tersenyum bahagia seperti ini?” kata ayahku heran melihat kegiranganku.
    “Aku wisuda yah, aku sudah jadi sarjana.” jelasku dengan muka bahagia.
    “Sungguh anakku!” kejut ayahku setelah mendengar kelulusanku.
    “Ya.” kataku.
    “Ayah bangga padamu nak, akhirnya impianmu terwujud juga. Selamat atas kemenanganmu nak! Tidak sia sia perjuanganmu selama ini Ardian.” takjub ayahku sambil memeluk tubuhku.
    “Aku bahagia jika ayah ikut bahagia.” ucapku tersenyum manis pada ayah.

    Perjuanganku selama 21 tahun, telah mencapai tahap akhir dari hidupku. Tahap akhir itu adalah jadi sarjana. Akhirnya aku bisa membangkitkan tawa dan senyuman ayahku, setelah 21 tahun larut dalam kepedihan.

    Ini kisahku…

    Selesai

    Cerpen Karangan: Nanda Dwi Irawan
    Facebook: Nanda Dwi Irawan

    Artikel Terkait

    Demi Ayahku
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email