Dialog Pikiran

Baca Juga :
    Hawa panas mulai memasuki kamarku. Gorden jendela kamar kubiarkan tetap menutup. Suasana kamar terasa sedikit pengap, tapi kubiarkan saja. Keadaan di sekitar sudah tidak berpengaruh banyak. Aku sudah tenggelam dalam pikiranku. Pikiranku melayang kesana-kemari, seolah isi kepalaku ini adalah kapas yang mudah ditiup angin. Melamum sudah menjadi kebiasaan bagiku, ketika menghadapi suatu masalah. Melamun menjadi pekerjaan yang menyenangkan, karena aku bisa menggapai apapun yang kuinginkan, meskipun hanya sebatas khayalan.

    Hari ini tidak seperti biasanya, karena lamunanku sore ini terasa hidup dan nyata. Sore ini lamunanku seperti bukan lamunan melainkan suatu realitas nyata, bahkan diriku sendiri seolah kalah nyata dari lamunanku. Aku merasa heran dan bertanya pada diriku sendiri, “Perasaan macam apa ini? Kenapa lamunan ini begitu nyata?” Aku berusaha mencari penyebabnya, tapi hasilnya nihil. Aku tidak menemukan apapun.

    “Sial, jadi pusing kepalaku.”

    Lamunanku pada sore itu, seolah merangkum semua lamunan-lamunanku sebelumnya. Begini kira-kira isi lamunanku.

    “Sial kenapa semua ini selalu terjadi dan menimpaku. Semua yang sudah aku lakukan, seolah hanya berujung kesia-siaan. Apapun yang aku usahakan selalu gagal.”
    “Kenapa lagi kamu Pesimis, kerjamu hanya mengeluh saja setiap hari.”
    “Sudah jangan ganggu aku lagi, Optimis. Biarkan aku sendiri kali ini. Tolong berikan aku sedikit privasi. Kamu dan aku sudah hidup lama dalam pikiran Andi, meski begitu kamu sudah mendapat jatah ruangan dalam pikiran anak ini, jadi jangan ganggu aku lagi dan kembali ke kamarmu!!!!”
    “Justru itu aku bertanya kepadamu. Aku bukan bermaksud menggagumu. Sebagai sosok imajinasi yang sudah lama tinggal bersama di kepala Andi, aku ingin membantumu.”
    “Aku tidak perlu dibantu. Sudah, urusi saja urusanmu sendiri!!!”

    Sore itu Andi melamunkan dua sosok yang sedang berdebat dalam pikiranya. Sosok itu bernama Optimis dan Pesimis. Entah kenapa, Andi merasa kedua sosok begitu hidup dalam pikiranya. Sosok itu berdebat dan saling beradu argumen satu sama lain. Andi hanya menjadi penonton yang pasif melihat keduanya. Andi tidak ingin memisahkan keduanya, baginya pertarungan kedua sosok itu menjadi dialektika yang bisa membuat pikiranya semakin matang.

    “Aku tidak akan pergi sampai kau menceritakan masalahmu.”
    “Dasar pengganggu! Hai optimis dengarkan baik-baik. Sifatmu yang terlalu percaya diri akan mencelakakan dirimu suatu hari nanti. Jadi aku ingatkan sekali lagi, jangan kau merasa bahwa hidup ini hanya lurus seperti jalan tol, jadi ubahlah sifatmu itu walau hanya sedikit.”
    “Tapi aku banyak menolongmu, ketika kau menghadapi banyak masalah. Lagipula jika aku ingin merubah sifat percaya diriku, maaf aku tidak akan bisa. Itu sudah menjadi kodratku. Sejak pertama kali aku dilahirkan, aku sudah dianugerahi sifat ini. ini sudah bawaan sejak lahir.”
    “Baiklah kalau kau memaksa, tapi ingat jangan mendebatku. Aku sedang malas berdebat denganmu hari ini.”
    “Baiklah akan aku usahakan.”

    Ditariknya nafas panjang dari mulutnya, “Tadi siang kau pasti ingat pertemuan Andi dengan Indro.”
    Optimis mengangguk pelan.
    “Aku masih ingat betul dengan ucapanya mengenai pekerjaan. Kau tahu kan, bahwa Tuan kita, Andi sedang dirundung kesusahan mencari kerja, tapi dengan seenaknya Indro justru mengatakan hal-hal yang menyakiti hatinya. Kata-kata Indro yang masih terngiang-ngiang dalam benaku ketika dia bicara seperti ini, ‘Kamu seharusnya tidak usah mendatangi jobfair. Kamu sudah tahu kan pengalaman kakak-kakak kelasmu yang sudah tahu sistem jobfair sebenarnya. Perusahaan-perusahaan itu sebenarnya tidak membuka lowongan, mereka terpaksa membuka lowongan itu atas dasar desakan pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan. Aku yakin surat lamaran yang kau berikan itu hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak dihiraukan, bahkan dibuang ke tempat sampah.’ Jujur aku sungguh tersinggung mendengar perkataan itu, tapi aku menangkap sebuah kebenaran dari ucapan itu. Kau ingat sudah berapa kali tuan kita mendatangi acara jobfair. Aku yakin kau pasti sudah tidak ingat, karena saking banyaknya. Realitas sebenarnya dalam dunia kerja sungguh kejam. Isinya hanya kebohongan saja.”
    Mendengar itu Optimis seolah tidak tahan untuk membantahnya, tapi dia berusaha bungkam, sesuai dengan janjinya.

    “Kau ingat sudah berapa kali kau membisikan semangat dalam kepala Tuan kita. Sudah berapa kali hah? Aku yakin kau pasti sudah lupa, karena sking banyaknya. Dan sebanyak itu pula kau telah dengan keji menipu tuan kita. Buka matamu lebar-lebar Optimis, realitas tidak selalu sejalan dengan apa yang kau harapkan.“
    “Tapi kan,” Optimis berusaha menyela perkataan Pesimis.
    “Sudah diam dulu sejenak. Aku masih belum selesai!”

    Pesmisi yang sejak tadi berbicara tanpa henti merasa lelah. Segala ucapanya seperti peluru yang dimuntahkan senapan mesin, tidak ada jeda sampai amunisinya benar-benar habis. Setelah berfikir sejenak, Pesimis kembali melanjutkan. Unek-unek lain siap dilontarkanya kepada Optimis.
    “Apakah kau juga masih ingat dengan kejadian beberapa minggu lalu? Ingat tidak !!!”
    Optimis hanya terdiam beku, seperti murid sekolah yang dibentak gurunya karena tidak mengerjakan tugas rumah.
    “Tidak ingat juga rupanya. Baiklah akan aku ingatkan lagi, supaya kau bertambah sadar dengan semua omong kosong yang kau sampaikan ke Andi. Apakah kau ingat dengan perempuan bernama Laila?”
    Dengan muka tertunduk lesu, Optimis berusaha mengingat. Pesimis memberikan waktu untuk Optimis berfikir. “Biarkan aku beri dia waktu untuk mengingat, jika memang masih belum ingat juga, maka sudah bisa dipastikan, Optimis memang tidak punya otak dan hal ini jutru membenarkan hipotesaku selama ini, bahwa Optimis hanya bertindak dengan perasaan tanpa melibatkan akal,” ujar Pesimis dalam hati.

    Air muka Optimis tampak sedikit lebih cerah, terlihat ia mulai ingat dengan gadis yang bernama Laila yang disebutkan Pesimis. Seolah mendapatkan sedikit kemenangan, Optimis berani sedikit menatap Pesimis dan menganggukan kepala, sebagai tanda bahwa ia ingat dengan gadis yang bernama Laila.

    “Dari sekian banyak kesalahan, sungguh kesalahanmu yang berhubungan dengan gadis bernama Laila, tidak bisa dimaafkan. Selama tiga tahun, kau dengan lidahmu yang manis telah membohongi Andi.”
    Optimis seolah menjadi paku yang tertancap di batang kayu, diam dan tidak melawan ketika dipukul. Sikap diam yang diambil Optimis, bukan menujukan bahwa Optimis takut pada Pesimis. Optimis hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk membantah semua peryataan Pesimis.

    “Kau membisikan, bahwa Laila menyukai Andi, saat bertemu pertama kalinya, ketika Andi kelas satu SMA. Kau kobarkan api semangat, agar Andi mengejar Laila. Api itu selalu kau tiupkan berulang kali, hingga yang awalnya hanya berupa api kecil kemudian menjadi kobaran api yang membesar. Dampaknya yang ada di isi kepala Andi hanya Laila, hingga sekolahnya terbengkalai. Jika ada laki-laki lain yang mendeati Laila, Andi seolah menjadi gila. Yang terburuk dari itu semua, ketika Andi meminta sejumlah uang kepada orangtuanya, uang itu dibilangnya untuk keperluan sekolah, tapi nyatanya uang itu digunakan untuk membeli telepon genggam untuk Laila, karena Andi tahu telepon genggam Laila rusak pada saat itu. Kau sudah mengajari Andi untuk berbohong kepada orangtuanya!!!”
    Nafas Pesimis mulai tersengal-sengal, setelah melontarkan semua kekesalanya. Melihat Pesimis sudah mulai lelah berbicara, Optimis mulai angkat bicara, “Sudah? Sekarang, bolehkah aku berbicara?”
    Dengan wajah kesal, Pesimis menjawab, “Terserah”

    “Sebelumnya aku minta maaf kepadamu, jika beberapa tahun ini, aku membatmu kesal. Jujur aku juga tidak mengharapkan semua itu terjadi kepada Andi. Mungkin kau benar, aku memang jarang bertindak dengan akalku dan itulah salah satu kelemahanku, tapi itu memang sudah kodratkku dan aku tidak bisa mengubahnya.”
    Pesimis mendengar acuh tak acuh, tapi nampak jelas raut kemenangan terpancar di muka Pesimis.
    “Jujur, aku tersinggung mendengar semua tuduhanmu kepadaku, terutama soal Andi yang sudah berbohong kepada orangtuanya. Tapi bolehkah aku sedikit membela diri? Pembelaanku ini jangan kau anggap sebagai bentuk tindakan menutupi kesalahan. Aku memang merasa turut andil, jika Andi melakukan kesalahan, tapi apakah hanya aku penyebab semua itu?”
    Pesimis mulai melihat ada perlawanan yang diberikan Optimis.

    “Aku yakin, kau masih tetap menuduhku sebagai penyebab kemalangan yang menimpa Andi, tapi mari kita luruskan dulu kedua persoalan ini, agar matamu bisa terbuka lebar. Mari kita bahas soal pekerjaan dan Laila, untuk masalah lainnya, kita bicarakan lain waktu.”
    “Baiklah, meskipun aku sangat membencimu, tapi aku berikan kau kesempatan untuk bicara.”
    “Terima Kasih. Pertama soal pekerjaan. Tadi kau sudah bicara panjang lebar. Kau mengatakan bahwa aku membisikan kesia-siaan kepada Andi yang selalu datang ke jobfair. Sudah aku jelaskan sebelumnya, bahwa aku bertindak dengan perasaan, bukan dengan akal. Dan untuk masalah ini kau sudah melihat dengan mata-kepalamu sendiri bahwa Andi sudah mengirimkan banyak lamaran pekerjaan, tapi tetap saja belum ada panggilan.”
    Seolah belum mau menyerah, Optimis melanjutkan ucapanya yang terpuutus sejenak, “Kau lihat sendiri kan, dengan reaksi Andi setelah itu? Dia putus asa. Api semangat yang dulu ada untuk mendapat pekerjaaan selepas kuliah, seolah padam. Bahkan dari rasa putus asa itu timbulah pemikiranya untuk bunuh diri. Sadarkah kau akan hal itu Pesimis?”
    Optimis berhasil mendapat perhatian dari Pesimis. Dia mulai merasa perkataan Optimis ada benarnya juga.
    “Jadi yang ingin aku tekankan di sini, aku hanya ingin menghindarkan Andi dari perbuatan yang tercela.“

    “Terus, bagaimana kau menjelaskan soal Laila?”
    “Soal laila, hmmm. Sebenarnya, Aku tidak ingin menjeaskanya lebih detail soal ini, tapi untuk menjernihkan masalah, baiklah, akan aku jelaskan. Andi terlahir sebagai seorang introvert, aku dan kamu sudah tahu itu. Sifat introvertnya membuat Andi sering dibully di kelas. Andi dianggap oleh temanya sebagai orang yang aneh, karena tidak mau bergaul. Akibat dari perlakuan dari teman-temanya itu, Andi merasa tertekan dan ingin berhenti sekolah. Untuk mencegah niat itu, aku membisikan ke Andi rasa percaya diri untuk mengejar cinta Laila, teman satu sekolah Andi. Tujuanku agar Andi merasa betah di sekolah.”
    “Aku tahu niatmu baik, tapi aku masih belum menerima segala akibat yang ditimbulkan, karena tindakanmu itu.”
    Optimis yang mendengar itu, mulai terpancing emosinya, tapi dia berusaha untuk menahanya. Menurutnya, Pesimis tidak lebih baik dari dirinya. Sesungguhnya dia juga ingin melontarkan unek-uneknya kepada Pesimis, tapi dia sadar hal itu justru akan membuat keadaan semakin kacau.

    “Sekarang apa yang kau inginkan dariku, Pesimis?”
    “Aku ingin kau pergi dari kehidupan Andi. Aku ingin kau menyingkir, kau sudah membuat Andi terbuai dengan semua omong kosongmu!!!”
    Perkataan itu sudah tidak bisa diterima oleh Optimis. Amarah yang selama ini ditahanya, agar harmoni tetap terjaga sudah mulai goyah. Harga dirinya sudah merasa diinjak.
    Deangan nada tinggi Optimis berkata, “Dasar bodoh, kau sadar dengan ucapanmu hah? Jika salah satu kita hilang atau mati, maka Andi akan menjadi pribadi yang tidak lengkap. Andi bisa mengalami guncangan dalam jiwanya, bahkan yang lebih parah andi bisa sakit jiwa.”
    “Hahahahaha, dasar Optimis, lihat siapa yang bodoh sekarang. Kau dengan sifatmu itu, sudah berani berkata bahwa Andi akan menjadi gila. Sombong sekali kau, seolah yang kau katakan itu akan menjadi kenyataan. Kau sudah lupa atau pura-pura lupa hah!!! Semua prediksimu, sebelum-sebelumnya jarang terbukti, bahkan cenderung mencelakakan Andi. Sudah pergilah dari diri Andi, jika kau masih menyayanginya.”
    “Tidak akan!!!”
    Pertengaran keduanya berlangsung sengit, bahkan sampai melibatkan adu fisik. Andi yang hanya menjadi penonton mulai pusing dan mual, melihat keduanya bertengkar.



    Rani sedang sibuk memasak di dapur. Adik andi itu sudah berumur 15 tahun. Selain sekolah, membantu orangtua di dapur sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Sore itu Rani sedang memasak sayur asam dan ikan asin. Ibu sudah biasa meninggalkan Rani memasak sendiri, karena Rani sudah dibiasakan untuk membantu ibunya di dapur sejak umur sepuluh tahun. Bumbu-bumbu dan resep memasak sudah ada di luar kepalanya.

    “Alhamdulillah, akhirnya matang juga. Bu ini sayur sama ikan asinya sudah matang,” Teriak Rani dari dapur.
    Ibu yang sedang asyik menonton sinetron, berteriak dari ruang keluarga, “Iya, taruh saja di meja makan. Ran, panggil kakakmu di kamar, suruh makan. Sejak pagi, kerjanya cuman di kamar terus anak itu.”
    “Iya Bu.”

    Tok, tok, tok. Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Andi. Tidak ada jawaban dari dalam. “Mungkin kakak sedang tidur, ya sudahlah aku masuk saja,” pikir rani.
    Pintu kamar Andi tidak dikunci. Pintu kamar dibuka Rani, dan seketika itu pula hawa pengap dalam kamar Andi mulai menyeruak keluar dari dalam kamar. Rani terkejut melihat Andi.
    “Kakak!!!”
    Rani keget melihat kondisi Andi yang sedang kejang. Mata Andi melotot dan mulutnya menganga. Rani bingung sekaligus takut melihat kakaknya.

    Ibunya yang sedang asyik menonton sinetron terkejut dengan teriakan Rani dari dalam kamar Andi.
    “Ada apa Ran !!!?”
    “Ini Bu, Kakak kejang-kejang.”
    “Cepat Panggil Pak Joni, dokter yang ditinggal di RT sebelah !!!”
    “iy-iya Bu.”
    “Rani!!!! Tunggu sebentar. Nanti setelah kamu panggil Pak Joni, kamu cari info tempat rehabilitasi yang ada di dekat sini. Jangan sampai orang lain tahu, kalau kamu cari tempat rehabilitasi, cari infonya di internet saja!!!”
    “Iya Bu, tapi tempat rehabilitasi buat apa Bu?”
    “Sudah jangan banyak tanya, cepat kamu ke rumah Pak Joni. Sekarang !!!”

    Di samping tubuh Andi yang sedang mengejang, nampak oleh Ibunya jarum suntik dan bungkusan plastik kecil. Dugaan ibunya selama ini benar. Air mata mengucur deras dari mata Ibu Andi.

    “Maafkan Ibumu ini Nak. Ibu memang bukan Ibu yang baik, tapi kenapa kau sampai hati meniru tingkah laku Ayahmu yang sekarang sudah masuk kurungan penjara.”

    Cerpen Karangan: Achmad Soefandi
    Blog: siand1k.wordpress.com
    Facebook: @Achmad Soefandi

    Artikel Terkait

    Dialog Pikiran
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email