Emas Berharga

Baca Juga :
    Judul Cerpen Emas Berharga

    Dia tak kunjung sembuh. Sudah bertahun-tahun dia mengidap penyakit itu. Bagaimana bisa, aku pun tak percaya. Tapi aku baru mengenalnya selama sebulan. Karena aku baru pindah ke rumah ini sebulan yang lalu. Dan walaupun aku baru sebulan mengenalnya, aku tahu seluk beluknya. Banyak cerita yang sedikit demi sedikit mengalir dari mulut ke mulut. Sehingga cerita itu sampai padaku. Cerita itu sungguhan, bukan rekaan. Dan hal ini membuatku merasa kasihan padanya.

    Kesehariannya hanya di kamar, tidak bekerja, hanya makan, tidur, dan jalan-jalan di sekitar rumah. Setiap sebulan sekali dia periksa ke dokter. Dan tepat satu bulan obatnya habis dicerna oleh perutnya. Sungguh kasihan. Aku saja tidak tega melihatnya. Kamarnya saja sudah berbau obat dan apek. Selimut-selimut berteteran tidak jelas di kamarnya. Pertanda dia selalu tertidur sebagian besar hari dengan selimutnya.

    Air putih bertumpahan di lantai kamarnya, karena dia selalu meminum air sambil tiduran. Jika bangun sebentar, dia selalu pusing. Kecuali kalau bangun lama. Kalau mau bangun lama dan jalan-jalan, ia selalu bangun pelan-pelan. Itu justru membuatnya tidak pusing. Kalau makan, sama saja. Dia selalu makan di kamar sambil tiduran. Kadang disuapi oleh ibu.

    Umurnya kira kira 24 tahun. Tetapi wajah dan sekujur tubuhnya sudah keriput dimakan penyakit yang dideritanya. Giginya sudah keropos, hitam, berlubang, pokoknya sudah tidak pantas. Rambutnya tidak karuan, selalu teracak-acak karena rontok sehingga menjadi tidak rapi. Matanya lebam, pucat, memiliki kantung mata yang sangat dalam, seperti orang baru bangun tidur. Sudah tidak ada lagi kemungkinannya untuk bekerja dengan kondisi fisik dan kesehatannya yang memprihatinkan seperti itu. Apalagi menikah.

    Padahal pada usia-usia itu, sedang subur-suburnya seorang pria. Sedang produktif-produktifnya seorang pria. Dan sedang manis-manisnya masa-masa seorang pria. Namun sayang, semua itu tidak bisa dirasakan oleh dia. Kakak tiriku.
    Benar. Kakak tiriku. Jadi ceritanya begini.

    Ibuku meninggal sebulan yang lalu, ketika itu beliau terkena penyakit gagal ginjal. Sehingga dia harus pergi ke alam lain. Aku ditinggal sendiri bersama ayah. Sehingga ayah harus menikah lagi untuk mendapatkan pendamping hidup. Begitu pula aku yang masih harus mendapatkan kasih sayang dari orangtua. Tidak apa-apa bagiku, walaupun awalnya berat untuk memiliki ibu tiri, tapi ini yang terbaik untukku.

    Tepat sebulan lalu, aku pindah ke rumah ini bersama ayahku. Memang pada dasarnya ayahku adalah orang yang tidak punya. Sehingga ayah terpaksa selalu hidup menumpang di rumah istrinya. Oh ya, ibu tiriku ini adalah seorang janda. Sama seperti ayah, ibu tiriku juga ditinggal suaminya karena memiliki penyakit. Sungguh malangnya mereka berdua.
    Tetapi sekarang, mereka dipersatukan dan telah menjadi insan yang berbahagia. Bersama aku, dan anak darinya, yang tadi aku ceritakan.

    Kesehariannya sangat berbeda denganku. Ketika aku bangun pagi-pagi untuk persiapan sholat subuh ke masjid, dia masih tidur. Bukannya memohon kepada Tuhan agar penyakitnya disembuhkan, tetapi dia tidak peduli. Ini juga menjadi penghambatnya mungkin. Kasihan sekali, bahkan ayah dan ibu sudah mencoba mengatakan soal ibadah padanya. Namun dia selalu menghiraukan itu dan tidak peduli. Apalagi dia seorang pria! Paling tidak dia berusaha untuk ibadah saja sudah cukup menurutku.

    Lanjut. Ketika pukul setengah tujuh pagi, waktu dimana aku akan berangkat sekolah, dia masih tidur. Benar-benar tidak memikirkan soal ibadah. Aku yakin dia akan mendapatkan pencerahan kalau dia sholat. Kalau dia semangat dan mendekatkan diri pada Tuhan. Dia bangun biasanya jam delapan. Itu pun masih malas-malasan di kasur. Maklum saja, karena dia kan punya penyakit ganas. Tapi kalau soal ibadah, cobalah dipikir lagi.

    Waktu aku pulang, belum pasti. Biasanya dia sedang tertidur atau sedang di depan rumah menikmati indahnya dunia sebelum terlambat. Iya! Aku berani mengatakan seperti itu! Karena saking ganasnya penyakit yang dideritanya, membuat ia hanya memiliki waktu beberapa bulan lagi untuk hidup. Penyakit ini sudah dideritanya setahun yang lalu. Ia divonis oleh dokter bahwa beberapa bulan lagi ia akan pergi ke alam lain.

    Aku tidak tahu bagaimana kejadian ketika dokter memvonis akan jangka waktu hidupnya karena aku belum di sini. Yang jelas aku mendengar semua ini dari mulut ke mulut. Kan tadi aku sudah bilang. Kasihan. Orang-orang sini pun juga sering khawatir akan keberadaannya.

    Bagaimana dengan rumah sakit? Mengapa tidak suruh opname di rumah sakit saja? Oh. Pertanyaan yang bagus. Asal kalian tahu. Kami tidak memiliki cukup uang untuk menginapkannya di rumah sakit. Kami hanya memiliki uang untuk berobat ke dokter biasa saja. Dan hanya diberikan obat yang satu bulan habis. Belum pasti sembuh, hanya perelaksasi dan penenang saja. Juga ada penghilang rasa sakit.

    Komplikasi, dengan stadium yang berbahaya. Terutama jantung, dan pankreas.
    Oh! Tidakkah kalian kaget?
    Dia lahir tanggal 23 April 1989. Ketika itu, dia masih sehat-sehat saja. Ya iyalah. Namanya saja baru lahir.
    Bukan, maksudku bukan itu. Masa-masa sekolahnya dulu sangat membahagiakan. Masa SD, SMP, dan SMK, karena dia masuk ke SMK bukan SMA. Jurusannya teknik mesin. Namun sekarang semua ilmu itu tidak bisa bermanfaat karena, yah baru saja aku ceritakan.

    Setelah lulus SMK, dia bingung karena untuk memulai sebuah pekerjaan adalah suatu hal yang sulit baginya. Sehingga dia mencari peluang lain untuk bekerja. Salah satu temannya, yang berusia dua tahun lebih tua memberikan kabar bahwa ada suatu proyek pembuatan beberapa unit mobil di luar pulau. Hal ini tentu sesuai dengan keahliannya sebagai seorang teknik mesin. Langsung tancap gas, dia langsung menyetujui permintaan itu. Habis mau gimana lagi, tidak ada pekerjaan lain selain ini. Tidak ada yang perlu dipertimbangkan lagi.

    Simulasi kejadian 5 Februari 2008, hari dimana dia berangkat untuk bekerja di luar pulau.


    Awalnya ibu tidak memperbolehkannya bekerja di luar pulau karena terlalu pemula baginya untuk merawat diri sendiri. Dari dulu kaka tidak pernah mandiri. Untuk mencari makan sendiri saja mungkin susah. Apalagi kalau bekerja di luar pulau. Ibu tidak tega dan pada akhirnya ibu melarang.

    Tapi kakak berusaha meyakinkan ibu akan pentingnya hal ini. Kakak juga meyakinkan ibu bahwa di sana ia akan baik-baik saja. Akhirnya ibu pun percaya ketika kakak sudah memaksa membeli tiket bus untuk ke bandara sebelum dia mengatakan hal itu.

    “Ibu, aku berangkat dulu ya. Mohon doa dan restunya.”
    “Pasti nak, kamu hati-hati di sana. Ingat janji kamu.”
    “Iya bu, satu tahun lagi aku pulang kok. Udah bawa uang yang banyak untuk ibu.”

    Cerita dari ibu membuatku membayangkan bagaimana kondisi ketika kakakku akan berangkat. Kurang lebih seperti itulah. Pada saat itu dia masih segar bugar tanpa penyakit apapun. Tapi darimana asal penyakit yang tadi aku ceritakan?
    Sebentar. Aku belum ingin menceritakannya.

    Pada masa ini, aku belum di sini. Ibu kandungku masih hidup sehingga aku masih bersama ibu kandungku, dan ayahku di sana. Aku datang ke sini pada saat dia sudah pulang dari pekerjaannya. Begitu aku datang, keadaanya sudah seperti yang tadi aku ceritakan. Aku tidak berani bertanya, hanya mendengar cerita yang mengalir dari mulut ke mulut saja. Dan pada akhirnya aku pun tahu.

    Kau siap?

    Sebenarnya di sana dia memang bekerja. Tetapi, dia tidak ingat Tuhan yang selalu mengawasinya. Sudah kelihatan dari gerak-geriknya di rumah setelah pulang. Ketika sudah disuruh orangtuanya untuk sholat saja tidak mau, apalagi di sana, keadaannya sendirian. Ibupun tidak tahu apa-apa akan apa yang terjadi di sana. Pokoknya ketika kakak pulang, ibu langsung pergi ke rumah sakit.

    Loh, memang apa!

    Jantung, dan kanker pankreas yang menyerangnya.
    Ratusan pil narkoba yang telah membenih di lambungnya.
    Jutaan mili alkohol yang telah mengalir melalui kerongkongannya.
    Beribu-ribu asap rokok yang telah mewarnai mulut dan giginya.
    “Astaghfirullah nak! Apa yang telah kau lakukan?!”

    Kasus yang sudah biasa. Ketika seorang anak meninggalkan orangtuanya ke perantauan yang kebudayaannya jauh berbeda dari kampung halamannya. Saking tidak ingatnya dia pada Tuhan. Aku pun tidak menyangka dia melakukan itu, demi kesenangan belaka. Hingga pada akhirnya dia merasakan akibatnya yang sangat pedih.
    Semua yang dia miliki hilang begitu saja ditelan penyakit. Alat-alat tubuhnya, alat indranya, sistem tubuhnya, semuanya hilang. Dia hanya bisa terbaring di kasur rumah sakit dan menikmati bau infus serta birunya atap rumah sakit pada saat itu. Ditambah jarum-jarum yang menusuk kulitnya. Sungguh kasihan.

    Pada saat itu ibu hanya bisa menikmati kesedihan yang melanda hatinya, serta memohon doa pada Tuhan. Yang dia inginkan adalah anaknya sembuh. Yah bagaimana lagi, itulah hukuman bagi orang yang lupa pada Tuhannya. Tapi kita tetaplah harus berusaha dulu.
    Kakak juga sadar akan apa yang telah ia lakukan, ia tidak akan mengulanginya lagi. Ya iyalah, namanya saja sudah dihukum dengan penyakit. Dia hanya bisa pasrah dan menikmati sisa-sisa dunia.

    Karena keterbatasan biaya untuk opname di rumah sakit, kakak terpaksa harus dibawa pulang ke rumah. Walaupun penyakit masih ada di tubuhnya. Hingga pada akhirnya, kakak hanya bisa periksa kesehatannya ke dokter biasa, bukan ke rumah sakit. Itu pun hanya diberi obat penenang dan penghilang rasa sakit saja, belum pasti sembuh.

    Ibu bingung apa yang harus dilakukannya ketika sudah terjadi seperti ini. Yang jelas ibu bingung. Tetangga samping rumah pun juga bingung. Lah siapa yang tidak bingung kalau keadaanya seperti ini. Semua ini karena ulahnya yang macam-macam di sana. Ingkar janji pada ibunya. Yang katanya akan bekerja dan membawa pulang uang yang banyak, tapi nyatanya. Memang sih ia bekerja, tapi ternyata pekerjaan sampingannya adalah mabuk-mabukan.

    Beberapa tahun kemudian, aku dan ayahku datang ke kehidupan ini. Kehidupan dimana aku hidup bersama ibu tiri dan kakak tiri, iya, dia maksudnya. Pertama aku datang ke sini aku bingung, Yang aku tahu dia hanyalah kakakku. Sudah itu saja. Aku pertama kali melihatnya seperti terkena penyakit biasa saja. Seperti panas, atau lainnya.
    Tapi semua itu terungkap ketika banyak cerita yang mengalir dari mulut ke mulut hingga akhirnya sampai pada telingaku. Mendengarnya saja kaget. Ketika aku mendengar itu, ceritanya sama persis ketika kalian membaca paragraf sebelumnya. Aku pun tidak menyangka, dan akhirnya aku tanya lebih dalam tentang dia ke ibuku.
    Aku tidak berani mengatakan sesuatu dengannya, karena dia selalu berada di dalam kamar. Kadang jalan-jalan, seperti yang tadi aku ceritakan. Hanya aku yang hawanya takut mengatakan sesuatu padanya. Entah apa yang aku takuti selama ini. Yang jelas, aku takut mengganggunya saja.

    Aku juga sering menemui keadaan dimana dia periksa ke dokter. Dia jalan menuju depan rumah, kemudian dituntun membonceng sepeda motor bersama tetanggaku yang kebetulan adalah saudaraku juga. Sungguh pahit untuk dilihat. Aku tidak tega!

    Hal itu dilakukan selama beberapa bulan. Siklusnya tidak pernah berhenti. Setiap awal bulan, dia selalu periksa ke dokter, diberi obat penenang dan penghilang rasa sakit, kemudian pulang. Setelah satu bulan obat itu habis, dia kembali periksa ke dokter yang sama, diberi obat, pulang, dan menghabiskan obatnya selama sebulan. Begitu-begitu terus. Kalau aku jadi dia, aku bosan. Harus berhadapan dengan pil-pil obat yang harus menembus kerongkongannya setiap hari.

    Tapi itu semua berubah ketika kakakku tiba-tiba pingsan di rumah. Kami semua panik, iya kami semua, ibu, ayah, dan aku. Tetangga lainnya juga panik. Dengan sigap, tetangga kami langsung menyiapkan sepeda motornya untuk membawa kakak ke dokter. Yah kakak naik sepeda motor dalam kondisi pingsan. Tapi ini semua bisa dikendalikan. Karena mau bagaimana lagi. Pakai mobil? Boro-boro. Ingat kan kita siapa?

    Sesampainya di dokter, iya dokter yang biasa memeriksa kakak.
    “Saya tidak bisa menangani ini. Ini darurat. Bawa dia ke rumah sakit.”
    Aduh. Kami semua makin panik.
    Demi keselamatannya, kami semua membawanya ke rumah sakit. Rumah sakit yang waktu itu lho. Aku, ayah, ibu, dan tetangga kami yang lainnya.
    Langsung para asisten dokter yang berada di depan pintu mengambil kursi roda yang ada. Kakak langsung ditangani di ruang gawat darurat. Berikan keselamatan untuknya.

    Dua jam kami menunggu, alhasil, kami mendapatkan untaian kata dari dokter.
    “Dengan berat hati saya katakan. Jika bukan karena narkoba yang membenih di perutnya. Tidak akan jadi seperti ini.”
    “Yang benar saja!”
    “Tenang. Sabar dulu.”
    “Bagaimana bisa sabar!”
    “Begini. Anak ibu masih selamat. Tetapi beberapa bulan lagi dia akan pergi.”
    “Ke alam lain?”
    “Tepat.”
    “Dokter, jangan beritahukan ini kepadanya ya.”

    Beberapa bulan lagi…
    Aku tak bisa membayangkan kapan itu. Karena tidak pasti. Hanya “beberapa” yang menjadi kunci kapan dia akan pergi untuk pulang. Ibu menangis tak karuan. Aku tidak tega.
    Kakak pun dibawa pulang beberapa jam setelah itu. Tidak dirawat di rumah sakit tadi. Benar. Karena kami tidak punya uang. Bukannya tadi sudah aku ceritakan. Inilah halangan bagi kami. Ketika kami dihadang masalah dan hanya uang yang bisa menyelamatkannya. Mengapa mereka tidak memiliki rasa kasihan sama sekali.

    Di rumah.
    Kurang lebih seperti itu ceritanya. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan ini semua pada kalian. Aku hanya ingin dia bahagia sebelum hari kematiannya beberapa bulan lagi. Satu hal penting yang harus dipersiapkannya sebelum hari kematiannya. Namun sayang, ini akan sangat sulit baginya. Ibadah.

    Berapa tahun dia tidak beribadah. Jika dia dipaksa harus memulai ibadah dari sekarang, tentu akan sangat sulit. Tapi ini harus! Siapa yang berani bilang padanya.
    Aku tidak berani. Aku pun juga sudah bilang pada ibu dan ayah untuk mengatakan akan ini padanya. Namun hasilnya nol. Ibarat diriku mendorong sebuah tembok. Walaupun orangtua sudah mengatakan soal ibadah, dia tetap tidak peduli. Mengingat ini, kami semua sedih. Bagaimana dia bisa tenang di alam sana nanti. Kita tidak tahu kapan hari kematiannya. Yang jelas beberapa bulan lagi.
    Tetapi dia tidak tahu bahwa kematian akan menjemputnya beberapa bulan lagi. Ingat. Beberapa bulan itu sudah dihitung dari kejadian di rumah sakit yang tadi baru saja aku ceritakan. Tentunya ini semakin dekat dengan hari kematiannya. Sungguh menyedihkan. Padahal dia seorang pria.

    Melihat keadaan yang seperti ini, ini membuat aku ingin turun tangan langsung. Aku kasihan. Apa yang akan dia persembahkan untuk Tuhan nanti selain hasil ibadahnya di dunia. Tapi, seperti yang kubilang tadi. Aku tidak berani mengatakan sesuatu padanya. Apapun itu. Selalu tidak ada kesempatan.

    Sebentar. Ada jalan lain.
    Aku akan memberikan sajadah, dan Al Quran padanya.
    Caranya tinggal aku taruh saja di kamarnya ketika dia sedang tidur. Mau dipakai atau tidak, itu terserah dia. Tapi kuharap dia memakainya dan sadar akan ini semua. Sadar apa yang telah dilakukannya adalah hal yang buruk. Mabuk, judi, oh tidak.
    Akan kusediakan besok setelah pulang sekolah. Aku mampir ke toko sebentar untuk membelinya. Tentu saja hal ini tidak kukatakan pada ibu. Semuga berhasil.

    Esok hari, pulang sekolah.
    Ingat aku akan melakukan apa hari ini? Oke, langsung tancap gas.
    Aku pilihkan sajadah dan Al Quran yang paling menarik untuknya. Aku yakin ini lebih berharga daripada jutaan pil yang telah membenih di lambungnya. Aku juga yakin ini lebih berharga dari emas berkarat-karat.

    “Assalamualaikum.”
    Loh, tidak ada orang di rumah.
    “Assalamualaikum.” aku masuk rumah saja. Karena pintunya tidak dikunci.
    “Ibu, ayah, di mana kalian.”

    Suara tangisan yang tidak enak didengar. Suara tangisan yang menusuk telinga kanan dan kiriku. Terdengar langkah kaki tetangga yang berbondong-bondong menuju rumah.
    Sebuah gorden dengan sandal di depannya. Suara ucapan syahadat dari ayah yang terdengar dari ruangan itu. Oh tidak, ini tidak mungkin terjadi!

    Ternyata benar. Dokter mengatakan beberapa bulan. Dan itu jatuh pada hari ini.
    Aku telah terlambat. Baru saja tadi aku membelinya. Tapi Tuhan berkata lain. Aku tidak berhasil melakukannya. Aku terlambat!!

    Cerpen Karangan: Muhammad Hafidz Agraprana
    Facebook: facebook.com/muhammad.agrapranaii

    Artikel Terkait

    Emas Berharga
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email