Judul Cerpen Hurt
Hari itu, hari yang kutunggu-tunggu. Hari yang selalu kuharapkan. Hari yang kupikir akan menjadi kenangan yang indah. Adalah awal kehancuranku.
Hari itu, semua musnah. meninggalkan rasa sakit dan kehampaan. Hari dimana peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang merenggut kebahagianku. Peristiwa yang mengambil mereka, orangtuaku untuk selamanya.
Di bawah guyuran hujan aku menyaksikan sendiri. Betapa tak berdayanya mereka, orangtuaku.
Sejak hari itu semua menjadi berbeda. Hanya ada tatapan iba dan rasa kasihan mereka untukku. Membuatku muak. Membuatku terjerat dalam sepi dan tak ingin beranjak darinya.
Sampai dia hadir menghancurkan pertahananku. Ashad, begitulah mereka memanggilnya. Murid pindahan dengan wajah tampan dan tingkah konyolnya. Mengulurkan tangannya kepadaku dan menawarkan sebuah pertemanan.
—
Kring kring kring
Bel masuk pun berbunyi. Siswa-siswi menempati kursinya masing-masing. Sunyi. Sampai akhirnya bu Rika, guru matematika kami pun masuk.
“Selamat pagi anak-anak” sapanya dengan ramah.
“Selamat pagi bu” sapa kami serempak.
“Oh ya hari ini kita kedatangan murid baru. Silahkan masuk nak Ashad” kata bu Rika memanggil Ashad.
“Silahkan perkenalkan dirimu terlebih dahulu” lanjut bu Rika.
“Perkenalkan nama saya Ashad, Ashad Firaz Dhyiaulhaq. Pindahan dari SMAN 3 Bandung. Sekian”
“Silahkan duduk di samping Adna. Adna angkat tanganmu” perintah bu Rika.
Aku mengangkat tanganku. Memasang wajah dingin yang menjadi perisai tiga bulan terakhir ini. Aku hanya tak ingin dia mengganggu ketenanganku. Tapi..
“Hai, gue Ashad. Salam kenal” Ashad mengulurkan tangannya dihadapanku.
“Adna Abira Ganiyah” ucapku dingin tanpa membalas uluran tangannya.
“Ohh oke” dia menarik uluran tangannya kembali.
Perkenalan ini menjadi awal kedekatan kami. Bukan, bukan kami tapi dia yang selalu menempel padaku. Risih? Pasti, aku sudah terbiasa sendiri.
“Na.. Na.. Pelan dikit kek jalannya” protesnya.
“Gue gak minta lo buat ikut sama gue” ucapku dingin.
“Iya iya tapi bisa kan pelan dikit jalannya” ucapnya memelas.
Membuatku tak bisa menahan senyum. Tanpa tersadar aku memendekan langkahku.
“Nah gitu kek dari tadi” ucapnya dengan senyuman khasnya.
Awalnya aku merasa risih karena dia terus mengikutiku. Tapi akhirnya aku terbiasa dengannya. Tanpanya aku merasa sepi.
Rintik hujan mulai turun membasahi jalan. Hari ini kami akan menghabiskan waktu bersama. Senang rasanya bisa berkumpul dengan mereka karena jarang sekali orangtuaku memiliki waktu luang seperti ini.
Suasana di mobil saat itu sangat menyenangkan. Kami bernyanyi dan bersenda gurau bersama. Sampai..
Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku melihat wajah papa yang memucat. Mama yang berteriak, meminta papa untuk berhati-hati. Seketika suasana menjadi tegang. Sampai di detik berikutnya mobil yang dikendarai papa sudah menabrak pohon di depan kami.
Aku merasakan sakit yang luar biasa. Tak tertahankan. Sayup-sayup aku mendengar seseorang berteriak, meminta bantuan karena ada sebuah kecelakaan.
“Kecelakan? Benarkah?” tanyaku dalam hati. Aku membuka mataku, untuk pertama kali nafasku tersedat. Tak percaya dengan apa yang aku lihat. Mereka, orangtuaku, ada darah menyelimuti tubuh mereka. Tak bergerak.
Keringat dingin membasahi dahiku. Mimpi buruk itu lagi. Sampai kapan aku harus terperangkap seperti ini. Menyakitkan.
Hari ini aku memilih untuk beristirahat di rumah. Menenangkan diri.
Aku memilih pergi ke taman dekat rumah. Di siang hari yang terik ini banyak sekali anak-anak yang sedang bermain. Melihat senyum mereka membuatku ikut tersenyum.
Entah karena apa airmataku menetes. Disaat itu juga aku melihat sebuah saputangan di hadapanku.
“Hapus airmata lo. Gue gak suka liat lo nangis” ucapnya tanpa menatapku. Aku mengambil saputangan pemberiannya.
“Kenapa lo ada di sini?” tanyaku heran.
“karena lo ada di sini” jawabnya.
Hening, tak ada satu pun dari kami yang berbicara setelahnya.
“Kalo lo ada masalah cerita sama gue. Gue di sini ada buat lo” ucapnya meyakinkanku.
Aku ingin mempercayainya. Membuka diri dan menceritakan masalahku padanya. Tapi mampukah aku melawan rasa takutku? Mampukah aku untuk berdiri tegak bila merasakannya kembali? Mampukah?
Dua Tahun Kemudian
Aku memutuskan untuk berhenti, berhenti merasakan sakit. Mencoba membuka diriku dan berdamai dengan masa lalu.
Aku ingin menceritakan segalanya pada Ashad hari ini. Seseorang yang tetap berada di sisiku meski aku memintanya pergi. Seseorang yang tak pernah menyerah.
“Woy..” teriaknya ditelingaku.
“Apaan sih lo?” tanyaku ketus.
“Salah lo sendiri ngelamun. Ngelamunin jorok ya lo?” tanyanya menggodaku.
“Ish itu mah lo bukan gue” ucapku ketus.
“Jadi apa yang mau lo omongin ke gue?” tanyanya.
“Emm.. Dulu lo pernah bilang gue bisa cerita apapun masalah gue ke lo. Itu masih berlaku?”
“Emm..”
“Nyokap, bokap gue udah gak ada” ucapku.
“Gak ada? Maksud lo?” tanyanya meminta penjelasan.
“Kecelakaan mobil” aku tidak menjawab pertanyaannya tapi melanjutkan ucapan ku.
“Maksud lo? Gue gak ngerti” tanyanya lagi.
“Nyokap bokap gue udah gak ada. kurang lebih 2 tahun yang lalu. Kecelakaan mobil. Kita bertiga. Cuma gue yang selamat. Sampe sekarang rasa sakitnya masih kerasa. karena itu..” Aku tak sanggup melanjutkannya. Terlalu menyakitkan.
“Karena itu lo nutup diri? Takut kehilangan? Lagi?” tanyanya memastikan. Melihat airmataku menetes dia merengkuhku dalam peluknya. Membisikan kata-kata penenang.
“Gak perlu ngomong apapun lagi. Gue ngerti” ucapnya.
“Gue gak bisa janjiin apapun sama lo tapi gue pastiin selama lo butuhin gue, selama itu juga gue bakal ada di samping lo” lanjutnya.
Sangat melegakan. Seharusnya aku melakukan ini dari dulu. Bukannya menutup diri dan terbelenggu dalam rasa sakit. Penyesalan memang selalu ada di akhir bukan?
End
Cerpen Karangan: Mipta Hulzanah
Facebook: nur.hulzanah[-at-]facebook.com
Hari itu, hari yang kutunggu-tunggu. Hari yang selalu kuharapkan. Hari yang kupikir akan menjadi kenangan yang indah. Adalah awal kehancuranku.
Hari itu, semua musnah. meninggalkan rasa sakit dan kehampaan. Hari dimana peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang merenggut kebahagianku. Peristiwa yang mengambil mereka, orangtuaku untuk selamanya.
Di bawah guyuran hujan aku menyaksikan sendiri. Betapa tak berdayanya mereka, orangtuaku.
Sejak hari itu semua menjadi berbeda. Hanya ada tatapan iba dan rasa kasihan mereka untukku. Membuatku muak. Membuatku terjerat dalam sepi dan tak ingin beranjak darinya.
Sampai dia hadir menghancurkan pertahananku. Ashad, begitulah mereka memanggilnya. Murid pindahan dengan wajah tampan dan tingkah konyolnya. Mengulurkan tangannya kepadaku dan menawarkan sebuah pertemanan.
—
Kring kring kring
Bel masuk pun berbunyi. Siswa-siswi menempati kursinya masing-masing. Sunyi. Sampai akhirnya bu Rika, guru matematika kami pun masuk.
“Selamat pagi anak-anak” sapanya dengan ramah.
“Selamat pagi bu” sapa kami serempak.
“Oh ya hari ini kita kedatangan murid baru. Silahkan masuk nak Ashad” kata bu Rika memanggil Ashad.
“Silahkan perkenalkan dirimu terlebih dahulu” lanjut bu Rika.
“Perkenalkan nama saya Ashad, Ashad Firaz Dhyiaulhaq. Pindahan dari SMAN 3 Bandung. Sekian”
“Silahkan duduk di samping Adna. Adna angkat tanganmu” perintah bu Rika.
Aku mengangkat tanganku. Memasang wajah dingin yang menjadi perisai tiga bulan terakhir ini. Aku hanya tak ingin dia mengganggu ketenanganku. Tapi..
“Hai, gue Ashad. Salam kenal” Ashad mengulurkan tangannya dihadapanku.
“Adna Abira Ganiyah” ucapku dingin tanpa membalas uluran tangannya.
“Ohh oke” dia menarik uluran tangannya kembali.
Perkenalan ini menjadi awal kedekatan kami. Bukan, bukan kami tapi dia yang selalu menempel padaku. Risih? Pasti, aku sudah terbiasa sendiri.
“Na.. Na.. Pelan dikit kek jalannya” protesnya.
“Gue gak minta lo buat ikut sama gue” ucapku dingin.
“Iya iya tapi bisa kan pelan dikit jalannya” ucapnya memelas.
Membuatku tak bisa menahan senyum. Tanpa tersadar aku memendekan langkahku.
“Nah gitu kek dari tadi” ucapnya dengan senyuman khasnya.
Awalnya aku merasa risih karena dia terus mengikutiku. Tapi akhirnya aku terbiasa dengannya. Tanpanya aku merasa sepi.
Rintik hujan mulai turun membasahi jalan. Hari ini kami akan menghabiskan waktu bersama. Senang rasanya bisa berkumpul dengan mereka karena jarang sekali orangtuaku memiliki waktu luang seperti ini.
Suasana di mobil saat itu sangat menyenangkan. Kami bernyanyi dan bersenda gurau bersama. Sampai..
Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku melihat wajah papa yang memucat. Mama yang berteriak, meminta papa untuk berhati-hati. Seketika suasana menjadi tegang. Sampai di detik berikutnya mobil yang dikendarai papa sudah menabrak pohon di depan kami.
Aku merasakan sakit yang luar biasa. Tak tertahankan. Sayup-sayup aku mendengar seseorang berteriak, meminta bantuan karena ada sebuah kecelakaan.
“Kecelakan? Benarkah?” tanyaku dalam hati. Aku membuka mataku, untuk pertama kali nafasku tersedat. Tak percaya dengan apa yang aku lihat. Mereka, orangtuaku, ada darah menyelimuti tubuh mereka. Tak bergerak.
Keringat dingin membasahi dahiku. Mimpi buruk itu lagi. Sampai kapan aku harus terperangkap seperti ini. Menyakitkan.
Hari ini aku memilih untuk beristirahat di rumah. Menenangkan diri.
Aku memilih pergi ke taman dekat rumah. Di siang hari yang terik ini banyak sekali anak-anak yang sedang bermain. Melihat senyum mereka membuatku ikut tersenyum.
Entah karena apa airmataku menetes. Disaat itu juga aku melihat sebuah saputangan di hadapanku.
“Hapus airmata lo. Gue gak suka liat lo nangis” ucapnya tanpa menatapku. Aku mengambil saputangan pemberiannya.
“Kenapa lo ada di sini?” tanyaku heran.
“karena lo ada di sini” jawabnya.
Hening, tak ada satu pun dari kami yang berbicara setelahnya.
“Kalo lo ada masalah cerita sama gue. Gue di sini ada buat lo” ucapnya meyakinkanku.
Aku ingin mempercayainya. Membuka diri dan menceritakan masalahku padanya. Tapi mampukah aku melawan rasa takutku? Mampukah aku untuk berdiri tegak bila merasakannya kembali? Mampukah?
Dua Tahun Kemudian
Aku memutuskan untuk berhenti, berhenti merasakan sakit. Mencoba membuka diriku dan berdamai dengan masa lalu.
Aku ingin menceritakan segalanya pada Ashad hari ini. Seseorang yang tetap berada di sisiku meski aku memintanya pergi. Seseorang yang tak pernah menyerah.
“Woy..” teriaknya ditelingaku.
“Apaan sih lo?” tanyaku ketus.
“Salah lo sendiri ngelamun. Ngelamunin jorok ya lo?” tanyanya menggodaku.
“Ish itu mah lo bukan gue” ucapku ketus.
“Jadi apa yang mau lo omongin ke gue?” tanyanya.
“Emm.. Dulu lo pernah bilang gue bisa cerita apapun masalah gue ke lo. Itu masih berlaku?”
“Emm..”
“Nyokap, bokap gue udah gak ada” ucapku.
“Gak ada? Maksud lo?” tanyanya meminta penjelasan.
“Kecelakaan mobil” aku tidak menjawab pertanyaannya tapi melanjutkan ucapan ku.
“Maksud lo? Gue gak ngerti” tanyanya lagi.
“Nyokap bokap gue udah gak ada. kurang lebih 2 tahun yang lalu. Kecelakaan mobil. Kita bertiga. Cuma gue yang selamat. Sampe sekarang rasa sakitnya masih kerasa. karena itu..” Aku tak sanggup melanjutkannya. Terlalu menyakitkan.
“Karena itu lo nutup diri? Takut kehilangan? Lagi?” tanyanya memastikan. Melihat airmataku menetes dia merengkuhku dalam peluknya. Membisikan kata-kata penenang.
“Gak perlu ngomong apapun lagi. Gue ngerti” ucapnya.
“Gue gak bisa janjiin apapun sama lo tapi gue pastiin selama lo butuhin gue, selama itu juga gue bakal ada di samping lo” lanjutnya.
Sangat melegakan. Seharusnya aku melakukan ini dari dulu. Bukannya menutup diri dan terbelenggu dalam rasa sakit. Penyesalan memang selalu ada di akhir bukan?
End
Cerpen Karangan: Mipta Hulzanah
Facebook: nur.hulzanah[-at-]facebook.com
Hurt
4/
5
Oleh
Unknown