Segenggam Bunga Abadi

Baca Juga :
    Judul Cerpen Segenggam Bunga Abadi

    Mentari merangkak naik perlahan saat seorang gadis mengintipnya dari balik jendela. Matanya yang sayu menyimpan setangkup kerinduan akan cerita yang memang telah lama tak diperankannya bersama sahabat-sahabatnya. Berhari-hari terbaring di ranjang dengan seonggok rasa sakit yang digelutinya membuat gadis itu tak sabar menanti kedatangan seorang kakak yang berjanji akan menjemputnya pagi ini. Mutiara, ialah nama gadis itu. Gadis yang terlahir dengan rupa ayu dan pendiam ini amat menyayangi sahabat-sahabtnya, terlebih sahabat yang menemaninya menganyam ilmu di bangku SMP dulu.

    Mutia tersentak kaget saat mendapati sebuah tangan yang dingin menepuk pundaknya.
    “Kakak, membuat kaget saja.” Ia memalingkan wajah ke arah kakaknya sembari tersenyum.
    “Udah siap kan?” Tanya sang kakak. Mutia mengangguk tanpa melepas senyumnya. Senyum yang telah sekian lama bermain dari bibir mungilnya. Senyum yang amat dirindukan kakaknya. Seolah ternaung keteduhan, Harry terdiam melihat senyum sejuk Mutia membasuh kerinduannya. Jika saja bisa ia ingin melihat senyum itu lebih lama. Kalau saja mampu ia ingin senyum itu terjerat di wajah Mutia untuk selamanya. Itulah hal yang paling Harry inginkan untuk waktu kemarin, sekarang, sampai seterusnya.

    Usai memakaikan sweater biru muda adiknya, Harry mengajak Mutia berpamitan pada ibu. Ibu terdiam saat Mutia mencium tangannya dan berkata,
    “Kami pamit, Bu…” Ada rasa tak tenang saat kalimat itu singgah di telinganya. Ibu menggeleng pelan mencoba menepis netthinknya dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Tangan kiri ibu terulur membelai lembut rambut panjang Mutia. Tak sampai hati ia mengizinkan putrinya pergi, tapi ia jauh lebih tidak bisa jika harus merenggut senyum itu dari wajah putrinya. Senyum yang telah sekian lama raib. Lagi, ibu menghela nafas dalam menahan air mata yang memaksa keluar dari balik kantung matanya. Dengan berat ia berkata,
    “Hati-hati, Nak. Turuti nasihat kakakmu…”
    “Iya Bu, Ibu jangan khawatir… Mutia akan baik-baik saja.” Terang Mutia menggenggam tangan ibu. Ibu memeluk Mutia erat.
    “Kami pergi dulu, Bu…” ucap Harry menggandeng tangan Mutia meninggalkan ibu yang berdiri lemas di muka rumah. Tatapan hangat mata ibu berubah menjadi kegusaran mengantar kepergian putrinya yang samar terhalang tirai-tirai kabut lalu hilang di balik rerimbunan pohon. Tak ada yang dapat ia lakukan selain terus memohon pada Tuhan agar menjaga dan menuntun putrinya kembali dengan selamat. Hanya itu.

    Sapa dan senyum manis yang sahabatnya berikan menjadi sambutan pertama yang Mutia terima selagi jarak masih beberapa meter memisahkan mereka. Pelukan hangat dari sahabat yang sangat dirindukannya terasa begitu dalam di wajah Mutia. Satu tahun tak bertemu membuat mereka harus memendam rasa rindu yang teramat akan tibanya masa-masa seperti saat ini. Mereka, Mutia dan sahabat-sahabatnya memang sangat menyenangi tempat-tempat yang menyuguhkan panorama alam yang elok. Mereka sering bepergian bersama saat libur dulu, ketika mereka semua masih satu sekolah. Harry tertegun melihat Mutia dan semua sahabatnya. Ia baru mengerti alasan Mutia segan menolak ajakan kawannya. Karena hal itu pula ia mengerti arti ikhlas dalam persahabatan. Ia berkata dalam hati, “Tuhan… semoga Engkau tak enggan menjaga senyum itu agar tetap hadir menghias kesejukkan wajahnya.”

    “Kami sangat merindukanmu Mutia, bagaimana keadaanmu?”
    “Aku juga… baik. Kalian bagaimana?”
    “Seperti yang kau lihat, dua mata, dua telinga, satu hidung dan satu mulut, tangan dan kaki yang tetap dua, masih utuh tanpa bagian dari tubuh kami yang hilang.” Mendengar jawaban Duwi sontak mereka semua tertawa.

    “Emmm, ini siapa Mutia?” Tanya Fatikha mengedip-ngedipkan matanya lucu. Pertanyaan yang memang ingin mereka tanyakan sedari awal Mutia datang bersamanya.
    “Perkenalkan, ini Harry. Dia kakakku. Tak apakan jika dia ikut bersama kita pagi ini?” Tanya Mutia ragu.
    “Kakak?” tanggap Fatikha, Duwi dan Nia bersamaan. Mereka saling menatap sambil menaikan sebelah alisnya.
    “Ehemm…” Mutia mengangguk, tersenyum.
    “Salam kenal, senang bertemu denganmu Kak…”
    “Salam kenal kembali, terima kasih. Aku juga.” Jawab Harry dengan air muka yang ramah.

    Iyaahh, Mutia adalah putri tunggal Ibu Fatimah. Itu yang mereka tahu selama ini. Wajar mereka merasa heran. Namun mereka mengenal Mutia anak yang jujur, setiap yang dia katakan pasti ada alasan untuk mempertanggung jawabkan kebenarannya. Jadi mereka segera melupakan masalah itu.
    Memeng benar, Harry bukanlah kakak kandung Mutia. Mereka tinggal di bawah atap yang berbeda. Sebenarnya, Harry adalah sahabat Mutia saat masih sekolah. Dia yang menjaga Mutia di perjalanan, juga di sekolah. Setiap kegiatan ekstra dan kembali pulang, dia yang selalu memastikan Mutia sampai di rumah dengan baik. Karena rasa sayangnya, kemudian ia menganggap Mutia sebagai adiknya sendiri. Karena memang ia ingin mempunyai adik perempuan. Begitulah kemudian rasa persaudaraan mereka terjalin semakin kuat hingga hari ini.

    “Bagaimana, udah siap semua? Ayo kita berangkat!!” ajak Duwi memulai perjalanan.
    “Tentu, ayo berangkat!!” jawab yang lain serentak.

    Alam sekitar adalah sahabat yang tidak pernah berdusta. Mereka selalu memberi banyak cerita berjuta keindahan. Panorama alam perbukitan hijau seperti sebuah nyanyian yang mengalun. Berjalan di antara pematang sawah, menerabas celah-celah pohon dan melewati jalan setapak yang kadang membutuhkan sebuah kekompakkan membuat kebersamaan di antara mereka terikat semakin erat. Kebersamaan, berbagi. Itu yang mereka suka dari banyak perjalanan yang mereka arungi. Bersama terpanggang terik matahari serta menggigil ditelan dingin hujan yang menusuk tulang, adalah bagian dari perjalanan yang mengantar mereka sampai tujuan. Menyapa ilalang, melambaikan tangan pada daun terbang, dan menitipkan pesan pada pesawat kertas untuk disampaikan pada Tuhan, selayak sebuah ritual dalam setiap perjalanan mereka. Alasan klasik mengapa kelompok sahabat itu gemar bepergian bersama. Sederhana bukan? Tapi di dalam kesederhanaan itulah terselip sebuah keistimewaan, kebahagiaan yang hakiki.

    Namun tidak seperti biasanya, sahabat-sahabat Mutia menemukan sesuatu yang ganjil di perjalanan kali ini. Mutia tidak lagi seperti dulu. Jalannya kini pelan, bahkan beberapa kali terjatuh. Wajah Mutia pucat dan terlihat amat lelah.

    “Hati-hati Mutia!” pekik Febi yang berjalan di belakang Mutia.
    “Aku tidak papa…”
    “Apa kau kelelahan? sebaiknya kita istirahat dulu.”
    “Iya… mungkin aku butuh istirahat sebentar.”

    Harry yang sejak awal berjalan di samping Mutia memapah Mutia menepi dan membantunya duduk di bawah sebuah pohon maoni yang cukup besar. Ia mengeluarkan sebotol air minum dari dalam tasnya dan memberikannya pada Mutia.
    Sahabat-sahabat Mutia duduk di kanan kiri mengelilinginya. Mereka semua panik namun juga heran. Mutia yang dulu paling bersemangat dalam urusan berjalan sekarang tak berdaya. Masih teringat jelas dalam memory mereka bagaimana Mutia yang kalem dan pendiam berubah menjadi periang dan tidak bisa diam jika sudah berjalan bersama seperti sekarang. Kebiasaannya jail di jalan, mendorong atau menarik tangan sahabatnya jika ada yang tidak semangat atau mulai lelah sambil meneriakkan kata-kata iseng yang berujung membuat ia dikejar-kejar sambil dipukul buku. Atau hobi absurdnya memakan tumbuhan atau buah aneh yang ditemukannya di jalan, lalu memaksa anak lain memakannya. Awalnya itu menjengkelkan, tapi lama-kelamaan membuat yang lain ketagihan. Sehingga mereka menjuluki Mutia ‘GADIS HUTAN’. Pula dengan mottonya ‘JAIL ITU ASIK’ yang selalu membuat sahabat-sahabatnya hipertensi dadakan. Itulah hal-hal yang mereka rindukan dari diri Mutia. Tapi sekarang, ada apa sebenarnya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak mereka masing-masing. Akhirnya Nia mencoba bertanya,
    “Mutia, apa kau sedang sakit?”
    Mutia menjawab dengan tersenyum, namun air mukanya tidak dapat berbohong jika ia menyembunyikan sesuatu. Teman-temannya tahu itu.
    “Aku tidak papa teman-teman. Maaf membuat kalian khawatir.”
    “Apa tidak lebih baik kita kembali saja? Perjalanannya belum terlalu jauh.”
    “Tidak. Aku ingin sampai di sana sebelum siang, bisa, kan?”
    “Kau yakin akan melanjutkan perjalanan ini?”
    “Tentu. Bukankah dulu kita selalu sampai?” ia tersenyum dan melihat kakaknya. Harry yang telah mengerti dengan baik keadaan diri Mutia tersenyum menyambut pandangan Mutia jatuh ke arahnya. Namun Mutia jelas melihat mata Harry yang memancarkan nada khawatir yang amat. Ia mengangguk memberikan isyarat pada kakaknya bahwa ia akan baik-baik saja.

    Desah nafas yang sesak dan pegal yang menggigit kaki mereka seolah terbang bersama angin ketika matahari memuncak bedug doa berkumandang. Alam yang tersenyum membayar lelah mereka berjalan setapak demi setapak merangkul kebersamaan yang hangat.
    “Inilah persahabatan!! Inilah kebahagiaan!!”
    “Wonderfull!!”
    “Amazing!!!”
    “Marvelous!!!” sorak sorai anak remaja yang merasa menang menemukan tujuan perjalanan panjangnya terdengar begitu riuh di telinga Mutia. Ia tersenyum dalam rengkuhan rasa sakit yang memeluknya begitu erat. Wajahnya pias, nafasnya tersengal. Pucuk-pucuk pinus yang menari dengan lincahnya, teriring senandung merdu alunan daun-daun pohon tertiup angin. Gemuruh air-air jernih yang berkejaran jatuh dari atas tebing di bukit seberang terlihat di kanan kiri dari bukit ini. Di bawah sana, jalan-jalan desa yang nampak seperti garis-garis kaligrafi berlatarkan sawah yang tersiram tumpahnya padi yang mulai menguning menjadi lukisan alam yang begitu asri sepanjang mata memandang.

    Mutia duduk di bawah sebuah pohon pinus di bibir jurang. Harry mengikutinya duduk di samping kanan. Sementara sahabat-sahabat Mutia yang lain sibuk dengan gaya dan kameranya sendiri-sendiri. Mutia menatap jauh ke arah hamparan hijau yang menyelimuti pertiwi. Ia tersenyum dan mengucap,
    “Kakak… di sinilah aku menemukan kebahagiaanku. Karna semua ini, aku berjalan ke sini. Bukan tempatnya, tapi seluruh pelajaran yang terselip dalam setiap perjalanannya.” Harry hanya tersenyum, ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun karena ia tak ingin membuat kristal-kristal lembut yang tengah bermain di bola mata Mutia jatuh karena ia mengucapkan kata yang salah.

    Udara pegunungan yang sejuk menyeka kulit. Di saat yang sama Harry merasa, kata-kata yang keluar dari bibir mungil adiknya lebih sejuk dari angin yang menyapu dirinya. Ketika Mutia berucap:
    “Setiap ingin tercipta dari sebuah ke-tidakmiliki-an yang menjelma menjadi satu motif yang mendorong manusia berbuat agar ke-tidakmiliki-an itu dapat ia miliki. Namun Tuhan menciptakan manusia dengan ke-tidaksama-an yang abadi. Satu manusia tidak akan bisa menjadi manusia lain. Dengan se-sama-nya, tetap kesamaan itu akan berbeda. Karena setiap manusia terlahir dengan semua yang tidak dimiliki manusia lain. Satu yang harus kita tahu, Tuhan menitipkan kekuatan di setiap kelemahan. Menitipkan kelebihan di setiap kekurangan. Menjanjikan harapan dalam setiap keputus asaan. Pergunakan kelebihan itu untuk menutup kekurangan kita, dan jika kau berhasil, mungkin kau akan merasa… betapa sempurnanya dirimu”

    Mutia tertunduk selepas mengucapkan kata-kata itu. Matanya melihat sekumpulan bunga pinus berserakan di lereng jurang. Ia bangkit dan berjalan tertatih ke arah bunga itu. Merangkak menuruni lereng. Dengan susah payah diraihnya kemudian berjalan kembali pada kakaknya membawa segenggam bunga pinus. Ia duduk dan mengulurkan sebuah bunga pada kakaknya.

    “Ini bunga abadi, Kak… satu bunga yang takkan pernah layu sampai kapan pun. InsyaAllah… aku mengambilnya dengan tanganku sendiri, dan memberikannya pada kakak juga dengan tangan ku sendiri. Aku ingin masa-masa ini, persahabatan ini, dan juga kasih sayang ini, abadi seperti bunga ini … ?”
    Harry terdiam mendengar kata-kata yang begitu dalam lepas dari bibir Mutia. Ia memeluk adiknya dan berkata, “Pasti Mutia…”



    “Sudah foto-fotonya?”
    “Emmm, pemandangannya luar biasa indah!”
    “Kemarilah teman-teman, aku ingin memberi kalian sesuatu.”
    “Iyakah? Apa itu?”
    Mutia tak menjawab. Ia hanya menyodorkan segenggam bunga pinus yang diambilnya tadi. Memberikannya satu demi satu pada ke tujuh sahabatnya dan menyisakan satu untuknya.
    “Aku ingin persahabatan kita abadi seperti bunga ini. Tidak pernah layu, sampai kapan pun”

    Mutia tersenyum dan menatap wajah sahabat-sahabatnya. Sahabat Mutia tak berkata apapun, hanya tetesan air mata yang mereka biarkan bicara betapa mereka beruntung punya sahabat seorang Mutia, dan hati mereka menjawab, “itu pasti Mutia.”
    Selayak telletubbies mereka semua berpelukan. Dalam pelukan sahabat-sahabatnya Mutia merasakan kedamaian, ia tersenyum.

    Betapa terkejut semua ketika melepas pelukannya dan mendapati darah segar keluar dari hidung Mutia. Ia telah tak sadarkan diri. Sontak mereka semua berteriak dan mencoba membangunkan Mutia, namun mata Mutia tak jua mau terbuka. Beruntung rumah Andi tak terlalu jauh dari tempat itu, dia teman Nia. Segera Harry meminjam sepeda motor Andi. Dengan bantuan Nia menjaga Mutia di belakang, Harry segera melesat ke rumah sakit. Warga setempat sempat panik akan kejadian tersebut, kemudian sahabat-sahabat Mutia meminta tolong pada warga untuk mengantar mereka menyusul. Dengan senang hati warga menolong.

    Ibu, Harry dan sahabat-sahabat Mutia tak kuasa menahan tangis saat dokter yang memeriksa Mutia mengatakan bahwa Mutia tak bisa diselamatkan karna kanker otak yang dideritanya sudah menyebar ke seluruh tubuh dan menyerang jantungnya. Sontak semua sahabat Mutia menangis sejadi-jadinya. Mereka tak percaya Mutia akan pergi secepat ini. Mereka tak percaya bahwa perjalanan kali ini adalah perjalanan terakhir mereka bersama Mutia. Terlebih mereka sama sekali tidak tahu jika Mutia sakit.

    Ibu terdiam, ia tak mampu menahan kesedihannya yang mendalam. Seketika wajah ibu pias, pundaknya lemas. Ia baru mengerti arti perasaannya yang tidak nyaman sejak pagi adalah alamat kepergian Mutia untuk selamanya.
    Harry menundukkan kepala saat kalimat itu sampai di telinganya. Ia beranjak dari ruang itu. Keseimbangannya hancur, jalannya limbung. Kepergian adiknya merupakan suatu pukulan yang teramat berat baginya. Detik-detik nestapa, kepedihan merengkuh erat jiwanya. Biru langit yang tersenyum telah berlalu. Panas tropika tak kuasa mengeringkan air sungai yang mengalir di pipinya. Bermalam-malam ia mencoba membuat dirinya mengerti akan saat ini. Namun ia tak pernah mampu membuat dirinya siap untuk mengahadapi tibanya saat ini.

    “Jadi, sampai disinilah aku mengantarmu Mutia…
    Tidurlah dengan tenang…
    Jadilah Mutiara kami yang abadi. Kami menyayangimu.
    Selamat jalan Mutia…
    Selamat tinggal adikku sayang…”

    Cerpen Karangan: Nisa Syahrowati
    Facebook: facebook.com/sangmentari17

    Artikel Terkait

    Segenggam Bunga Abadi
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email