Tasbih Cinta Ahnaf

Baca Juga :
    Judul Cerpen Tasbih Cinta Ahnaf

    Allah..
    Aku telah melalaikan ridho yang menjadi ridho-Mu. Telah mengabaikannya untuk aku meniti setiap ruang kehidupan di jalan-Mu. Aku telah membuka hati ini begitu luas untuk sebuah perasaan duniawi yang tertuju untuknya.

    Allah..
    Kenapa kau memberikan rasa ini untuk manusia seperti aku? Saat hati ini menjelma menjadi jembatan yang terputus, sementara aku ada di atasnya, bagaimana aku harus memilih di antara dua jalan yang kelak akan bisa menyelamatkanku dan pula menjerumuskanku?

    Allahu rabbi..
    Sesungguhnya Kau telah menentukan pertemuan kami. Entah akan ada keajaiban apa di sepanjang alur skenario yang telah kau gerai dalam tema hidupku.

    Allahu rabbi..
    Izinkan aku menghargai cinta yang ada, karena-Mu. Sama seperti aku memuliakan untaian do’a dan keridhoan yang ada dalam genggaman-Mu. Izinkan aku menghalalkan cinta yang Kau simpan dalam jiwa kami. Walau entah dengan siapa Kau izinkan aku untuk mensucikan kasih dan sayang yang selama ini Kau rahasiakan.
    Antara Aku dan jodohku..

    Sudah hampir menginjak 3 bulan setelah Fariz, lelaki yang Ahnaf cintai sejak kelas 1 SMA itu datang ke rumahnya. Meminta restu kepada Ayah Ahnaf untuk meminang putrinya di langkah yang lebih serius. Jujur, setelah lima tahun lamanya menjalin hubungan dengan lelaki bersih itu, mungkin itulah saat yang paling ditunggu Ahnaf. Kedatangan Fariz dengan niatnya yang suci sebelum mengkhitbah gadis itu. Meyakinkan Ayah Ahnaf dengan bukti kesetiaan dan tanggungjawabnya dalam menjaga Ahnaf, serta tanggungjawabnya sebagai pria yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Yang dengan keberaniannya menyatakan kesiapannya untuk menjadi kepala rumah tangga, menjadi imam bagi anak gadis pertamanya. Langkah seperti itulah yang selalu Ahnaf tunggu. Meski memang harus ia akui, tidak mudah meyakinkan Ayahnya untuk sekali menerima dan membiarkan Fariz datang dengan setumpuk tujuannya bersama Ahnaf. Terutama dalam meraih ridho orangtua gadis berusia dua puluh tiga tahun itu. Berulang kali sang ayah menentang hubungan yang Ahnaf sendiri tahu bahwa hubungan itu sama sekali tidak diperkenankan dalam agamanya. Hubungan dengan istilah pacaran itu sama sekali tidak direstui oleh Tuhan-nya yang memberikan rasa. Menciptakan rasa itu sebagai wujud bahwa cinta adalah hal yang fitrah untuk mereka yang segera dihalalkan. Namun Ahnaf tetap optimis, ia tetap berharap bahwa segala penolakan yang secara terang-terangan ditunjukan ayahnya hanyalah bukti kecemasan pada dirinya. Karena jika hanya begitu, Ahnaf setidaknya merasa bersyukur. Meski ia telah mengungkapkan begitu serius perasaan yang telah diamanahkan Allah kepadanya, Ahnaf bersyukur ia mampu menjaga dirinya sendiri.

    Fariz adalah lelaki yang meski usianya hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Ahnaf, namun sikap dan cara berpikirnya sangat dewasa. Tak jarang ia selalu mengingatkan, menuntun dan bercerita dengan kalimat-kalimat khasnya yang lebih terkesan seperti pidato. Tak jarang ia juga selalu membicarakan tentang agama. Membuat Ahnaf malu karena sejujurnya Fariz lebih banyak tahu tentang hal-hal seperti itu dibanding dirinya. Dan yang lebih membuat bangga Ahnaf terhadap lelaki itu adalah, Fariz mampu menjaga kehormatannya. Ia tidak pernah berani menyentuh bagian termudah dari dirinya bahkan selama lima tahun mereka berpacaran. Keberhasilan Fariz dalam menjaga Ahnaf secara lahiriyah dan dalam mengukir prestasi menjadi harapan Ahnaf untuk Ayahnya meletakan kepercayaan kepada lelaki itu, meski hanya sedikit demi sedikit.

    Namun saat ini justru rasa percaya diri itu seperti melenyap ditelan waktu. Fariz menghilang setelah kedatangannya beberapa bulan yang lalu. Ia tidak tahu apa saja yang telah dikatakan sang ayah kepada Fariz. Namun ketika Ahnaf bertanya kepada ayahnya sendiri, ayahnya itu hanya berkata bahwa Fariz harus memikirkan kembali keseriusannya dalam memilih Ahnaf untuk menjadi istrinya kelak. Berkali-kali Ahnaf bertanya perihal perbincangan mereka saat itu, dan berkali-kali pula Ayah Ahnaf memberikan jawaban yang sama. Kalau sudah begitu, ia tidak bisa menyangkal lagi. Ahnaf yakin bahwa ayahnya berkata jujur. Namun yang ia tidak habis pikir adalah, mengapa Fariz menghilang begitu saja ketika ayahnya hanya menyuruhnya untuk berpikir kembali? Apa sesuatu telah terjadi? Tidak. Terlalu ekstrim untuk berpikir ke arah seperti itu. Namun ia benar-benar tidak habis pikir. Segala jejak yang seharusnya bisa ia ikuti, sama sekali tidak menampakan diri. Nomor handphonenya sudah jelas tidak aktif. Media sosial yang biasa menjadi tempat ia menyebarkan dakwah dalam kalimat-kalimat sederhana sama sekali tidak memberi petunjuk. Tidak ada postingan yang tampak sekalipun. Berulang kali Ahnaf menghubungi beberapa teman dekat dari Fariz, namun mereka juga mengatakan tidak tahu. Entah benar atau tidak keadaannya, Ahnaf hanya bisa mempercayai apa yang ia dengar. Meski di dalam hatinya terbesit keraguan bahwa teman-teman Fariz memang mencoba menutupi keberadaan lelaki itu.

    Minggu pertama setelah berbulan-bulan dalam kegalauan, Ahnaf mencoba untuk berhenti mengkhawatirkan keadaan Fariz dan sebab kemana ia menghilang setelah hari itu, serta alasan apa secara tiba-tiba lelaki itu meninggalkannya. Barangkali dengan seperti itu, Fariz akan datang memberi kejutan bersama kedua orangtuanya untuk segara melamar Ahnaf. Itulah harapan terbesarnya saat itu. Harapan yang mungkin memang lebih terkesan seperti khayalan. Dan saat ini hanya Pipit lah satu-satunya teman yang bisa ia andalkan, untuk menjadi tempat curahan hatinya. Saat ia benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa membantunya dengan memberikan rangkaian solusi. Karena selain itu, ia tidak bisa lagi mengharapkan solusi dari paman, adik-adik atau sang nenek, keluarga kecilnya di rumah.

    Awalnya memang keluarga Ahnaf tidak begitu menyukai Fariz. Entah karena alasan apa mereka tidak setuju dengan pilihan Ahnaf. Namun semenjak kedatangan Fariz waktu itu, mereka mulai sedikit demi sedikit menerima kepribadian lelaki itu. Sopan dan santunnya yang dipandang baik oleh keluarga Ahnaf tentu membuat Ahnaf bahagia bukan main. Penerimaan itu seolah menjadi penghargaan atas apa yang selama ini Ahnaf lakukan untuk memperjuangkan Fariz, pria yang diyakini sebagai masa depannya. Tapi apalah daya, ketika sekuntum bunga mulai merekah, angin yang menerpa bagai menerjangkan setangkai bunga yang sedang kuncup itu. Mematahkan duri dan setiap kelopaknya. Tindakan Fariz yang seperti teroris meruntuhkan kembali dinding kepercayaan keluarga Ahnaf menjadi tumpukan bebatuan pada jurang yang semakin dalam dari sebelumnya. Karena itulah jika sesekali Ahnaf bercerita tentang keresahannya, mereka hanya mengungkapkan kepasrahan dengan apa adanya.

    Sudahlah Naf, jangan terlalu dipikirkan.
    Mungkin dia ingin sukses dulu. Baru nanti setelah mapan, dia akan datang ke sini.

    Ya, mungkin dia hanya butuh waktu. Tapi bukan itulah yang membuat hatinya bimbang. Ada dua hal yang menggamang dalam pikirannya. Dua hal yang menjadi alasan Fariz memutuskan kontak dengannya. Kedua hal itu antara ekspektasi dan realita. Pertama, Fariz memilih pergi karena ia akan mengejar karirnya sementara sebelum ia kembali berniat mempersunting Ahnaf. Kedua, Fariz merasa pengorbanannya adalah hal yang sia-sia ketika Ayah Ahnaf memberikan penolakan secara tidak langsung, dan kemudian ia memilih untuk melepaskan Ahnaf dengan menghilang. Bisa jadi apa yang dilakukan Fariz adalah salah satu di antara dua kemungkinan yang merayap dalam benak Ahnaf. Atau jika tidak keduanya, Ahnaf tidak bisa membayangkan kemungkinan lain. Memikirkan dua hal itu saja sudah cukup membuat pikirannya terbebani. Jika Fariz memang benar-benar telah memutus hubungan di antara mereka, Ahnaf yakin ia merasa batinnya telah dipukul begitu keras. Penantian selama lima tahun yang mereka jalani seolah berjalan sia-sia. Bahkan pepatah yang mengatakan hasil dari kesabaran selalu berbuah manis yang selalu diyakininya kini menjadi entahlah. Semua hal yang telah dilakukannya menjadi bayangan-bayangan mengerikan bila Ahnaf berpikir sampai pada hal itu. Wallahu’alam.

    Menjelang isya ketika Ahnaf sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia menghentikan bacaannya sebelum suara wanita yang dikenalinya itu mengucap salam. Ahnaf segera bergegas untuk membukakan pintu, masih dalam balutan mukenanya. Wanita yang datang itu adalah Pipit. Ahnaf sangat mengenali bagaimana suara sahabatnya itu. Dengan segera ia mempersilahkan Pipit masuk. Hari itu memang sedang tidak ada siapapun di rumah, kecuali dirinya. Namun entah ada ilham apa Pipit menyambangi rumahnya pada jam seperti ini, mengingat hari itu mereka belum juga bersapa lewat sms atau chat.

    “Tumben Pit, kamu ke sini. Kenapa nggak telepon dulu?”
    “Maaf Naf, aku ndak sempat pegang handphone tadi. Lagipula lebih baik mendadak seperti ini kan..” Kata Pipit sambil mengulas senyum.
    “Kenapa lebih baik mendadak? Nggak biasanya lho buat surprise begini.”

    Pipit hanya tersenyum simpul. Ia lalu terdiam. Matanya memandangi wajah Ahnaf dengan sendu. Namun seperti kosong. Tatapan itu seperti tidak ada makna selain hanya keraguan yang tersirat. Setelah memastikan keadaan Pipit yang sebenarnya, Ahnaf baru yakin bahwa ada yang tidak beres pada sahabatnya itu. Ia lalu meraih tangan Ahnaf, menyadarkannya perlahan.

    “Pit, ada masalah apa?” Suaranya nyaris tak terdengar.
    Pipit segera mengalihkan pandangan. Sebutir kristal bening tampak mengalir dari sudut matanya. Ahnaf semakin khawatir menyaksikan keanehan sahabatnya itu.
    “Pit..”

    Tak menghiraukan Ahnaf sama sekali, Pipit segera mengambil sebuah amplop dari tas tangannya. Kemudian mengembuskan nafasnya sejenak sebelum menjawab keheranan yang terpancar dari wajah Ahnaf.

    “Naf, aku baru dapat kabar dan kiriman foto ini sore tadi dari kawan lamaku. Ternyata dia juga teman Fariz. Maaf sebelumnya, bukan aku ingin menyembunyikan hal ini. Tapi aku pun baru tahu yang sebenarnya hari ini..” Pipit menjelaskan dengan nada tertekan, sementara Ahnaf masih belum mengerti maksud sahabatnya itu. Dan entah kenapa jantungnya serasa berdetak lebih cepat. Ahnaf merasa seperti ada hawa panas yang menyergapnya tiba-tiba.

    “Kamu akan tahu setelah membuka amplop ini Naf..” Disodorkannya amplop itu kepada Ahnaf. Air muka Pipit nampak lebih tenang dari sebelumnya.
    “Baiklah, kalau begitu. Aku permisi dulu Naf, sudah malam.. Semoga ini memang yang terbaik untuk kamu.” Pipit beranjak dari kursinya untuk segera meninggalkan kediaman Ahnaf. Membiarkan Ahnaf bergumul dengan pikirannya sendiri.

    Setelah mengantar Pipit sampai di teras rumah seraya membalas ucapan salamnya, ia segera memasuki rumah. Di atas sajadah yang masih terhampar di lantai kamarnya, cukup lama Ahnaf memandangi amplop yang diberikan Pipit. Pikirannya kembali mengatur gambar-gambar wajah Fariz dan segala hal yang mengusik memorinya selama ini. Lalu jari-jemarinya yang lentik perlahan membuka kepala amplop yang tidak begitu tertempel itu.

    Hanya dalam hitungan detik, sebuah foto pernikahan yang bahagia terlukis di sana. Allah. Tidak. Apa yang baru saja dilihatnya? Laki-laki dengan pakaian adat khas Jawa Barat berdiri tersenyum di samping seorang wanita cantik yang juga mengenakan pakaian adat khas pengantin. Cantik. Begitu cantik dengan geraian jilbab putihnya yang tertata indah. Ya Allah. Seketika dada Ahnaf terasa sakit. Tenggorokannya serasa tercekat. Ada sesuatu yang berteriak dalam hatinya. Tangisannya seolah tertahan di dalam dada. Ia memang tidak bisa menjerit saat itu juga, namun hatinya begitu menjerit. Di atas sajadah yang terhampar itu, Ahnaf meluapkan buncahan-buncahan perasaan yang menghimpit dalam benaknya. Air mata deras mengalir. Ya Tuhan, inikah jawaban atas pertanyaan yang tak juga hamba temukan jawabnya selama ini? Inikah kejutan yang Kau sediakan untukku?

    Ahnaf melongok kembali isi amplop tersebut. Tak ada apapun. Tak ada surat atau lipatan kertas di sana. Fariz mungkin telah bahagia dengan wanita pilihannya. Dan mungkin juga lelaki itu telah berhasil melupakan kehadiran Ahnaf sepanjang 1825 hari ia mengenalnya, sehingga tak tersisa satupun surat untuk sekadar memberi penjelasan pada gadis itu. Memberi setidaknya sedikit ketenangan untuk Ahnaf benar-benar bernafas. Ia hampir menggigit ujung mukenanya ketika menahan tangis. Beruntung tidak ada satupun salah satu dari keluarganya yang tinggal di rumah, sehingga ia bisa membiarkan rahasia itu menjadi rahasia yang hanya tercipta antara ia dan Tuhan-nya. Foto yang seolah menggambarkan kebahagiaan di atas penderitaan orang lain itu tak henti-hentinya terlepas dari pandangan Ahnaf. Terkejut? Tentu. Tak menyangka? Tentu saja. Rupanya lelaki yang telah menghilang dan ia tunggu-tunggu itu melunturkan janji yang mereka bangun, dan membangun kembali ikatan janji suci dengan seorang wanita lain. Sakit memang mengetahui kenyataan yang tidak sejalan dengan harapannya. Namun yang lebih sakit adalah kenyataan untuk mengetahui bahwa wanita yang telah dipersunting lelaki itu adalah seseorang yang pernah dikenalnya dulu. Safina. Wanita yang Ahnaf tahu pernah menyukai Fariz ketika masa SMA dulu. Subhanallah. Ahnaf tidak mampu berkata-kata. Kedua matanya terus berkaca-kaca menumpahkan tetes demi tetes air ketulusan.

    Dalam tangisan itu, ia menyadari banyak hal yang selalu ditepisnya selama ini. Cinta memang luar biasa. Dengan keberadaannya, seseorang bisa menjadi sosok di luar dugaan. Dengan keberadaannya pula, seseorang bisa menjadi sosok yang rapuh. Fariz mungkin pernah memberinya kebahagiaan, namun juga telah memberinya pelajaran dengan serangkaian teka-teki yang ia ciptakan. Teka-teki yang telah menjadikannya luruh bagai daun yang disapu angin. Lelaki itu telah membiarkannya memikul penderitaan selama berpuluh-puluh hari, bahkan lebih. Tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa ingin memberinya keputusan.

    Rupanya Allah telah mengujinya. Membiarkan Ahnaf melepas seseorang yang bukan jodohnya. Dalam ketegasan itu, Ahnaf merasa sangat malu di hadapan Yang Kuasa. Selama ini ia terlalu membangga-banggakan orang yang belum pasti disuratkan untuk menjadi pasangan hidupnya. Ia telah begitu terlena memperjuangkan cinta yang belum pasti dihalalkan untuknya.

    Dan satu hal yang ia sadari saat itu.. Cinta memang menipu dan meniupkan perasaan yang tiada pernah mati.

    Cerpen Karangan: Aina Awliya
    Facebook: facebook.com/aina.auliya

    Artikel Terkait

    Tasbih Cinta Ahnaf
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email