Bertahan

Baca Juga :
    Judul Cerpen Bertahan

    Berawal dari rasa yang dianggap biasa lalu tumbuh menjadi butiran mutiara penghias jiwa. Sesosok pria mencoba menyimpan sendiri rasa yang ia miliki. Seperti ingin menjadi pahlawan dalam hidup seseorang, namun hanya khayalan. Bukan pahlawan yang berjuang dalam medan pertempuran atau semacamnya, hanya saja ingin menjadi berarti dalam hidup wanita yang ia sayangi dan ia anggap sebagai mutiara penghias jiwa. Adi, begitu orang lain memanggilnya.

    Menimba ilmu dalam sebuah kampus, Adi yang satu angkatan dengan Fani memulai hubungan pertemanan mereka sejak masa ospek. Perempuan cantik yang mempercayai adanya keajaiban cinta itu semakin membuat Adi kagum, kagum tanpa alasan. Fani sendiri mempunyai teman dekat yang bernama Fajar, cowok tampan yang terkenal di lingkungan kampus.

    Pada awalnya Fani ragu akan kedekatannya dengan Fajar. Pertemuan singkat dan perkenalan yang terjadi begitu saja menjadi keajaiban tersendiri dalam pertemanan kedua anak manusia itu. Namun seiring berjalannya waktu, keduanya saling merasa nyaman. Terjalinlah sebuah alur cerita yang terbingkai indahnya cinta. Menjalani hari dengan kebersamaan yang hampir setiap hari terjadi tentu membuat hubungan mereka semakin erat. Hari-hari indah yang mereka lewati terekam rapi dalam memori yang tidak akan terganti. Meninggalkan kenangan yang sulit dilupakan. Semua terlihat membahagiakan. Bagaimana tidak, Fajar yang satu jurusan dengan Fani rela menjemput sang gadis pujaan yang rumahnya dua kali lebih jauh dari rumah Fajar. Itulah sebagian dari perjuangan sang pangeran untuk putri impian. Tanpa rasa malu ataupun sungkan, Fani selalu mengiyakan tawaran Fajar untuk menjemputnya. Terkadang pacar pun bisa dijadikan ojek, tidak perlu menguras kantong, gratis.

    Bersama bergantinya malam menjadi siang, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Layaknya kisah cinta cinta Romeo-Juliet yang berakhir tragis karena sebuah kematian. Kisah cinta Fajar dan Fani pun tidak berjalan mulus. Munculnya orang ketiga dalam hidup Fajar membuat Fani seakan tidak percaya. Namun akhirnya ia melihat sendiri bahwa itu adalah benar adanya. Fani putus asa. Rasa yang terlanjur ada harus terbayar dengan perihnya luka. Memang terkadang ketulusan tidak terbalaskan, akan tetapi setidaknya mendapat pengertian, bukan sebuah penghianatan.

    “Ada satu alasan yang akan lebih baik jika kamu tidak mengetahuinya” kata Fajar di suatu sore. Sinar jingga masih samar terlukis di ujung sana. Wajah sendu Fani jelas terlihat di bawah topi merah bermotifkan bunga yang ia pakai. Fajar terus saja menjelaskan kalimat-kalimat yang membuat hati Fani semakin kacau. Tidak terasa air mata memenuhi setiap sudut bola matanya. Tertunduk, mencoba menguatkan diri sendiri. Hasil akhirnya adalah Fani tetap menangis. Ya, itulah perempuan. Ketika ia tidak mampu lagi menjelaskan apa yang ia rasa, air matalah yang berbicara.
    “Apakah aku yang terlalu sabar dalam cerita ini, ataukah aku yang terlalu bodoh, mempercayai cinta yang pada kenyataannya itu tidak pernah ada. Lalu dimana janji-janji manis yang kamu ucapkan waktu itu, Fajar?” Kata Fani dengan suara yang hampir tidak terdengar karena menangis.
    “Maafkan aku” jawab Fajar singkat.
    Lagi-lagi kata maaf terucap untuk yang kesekian kalinya dari mulut Fajar. Maaf yang hanya sekedar maaf. Fani benar-benar tidak menyangka jika hubungannya dengan Fajar akan berhiaskan air mata hanya karena orang ketiga.
    “Lupakan cerita kita Fajar. Kamu sudah bersama yang lain. Lalu kenapa kamu masih disini bersamaku? Aku bukan siapa-siapa lagi untukmu. Ya, aku akan pergi. Itukah yang kamu inginkan?”
    “Yang aku inginkan bukan seperti itu Fani. Aku memang salah disini. Tapi aku akan tetap bersamamu. Sekali lagi maafkan aku”
    Tanpa sepatah kata Fani pergi meninggalkan Fajar. Tertatih bersama langkah yang seakan tidak mampu lagi menyusuri gelapnya jalanan malam. Gelap, semua turut menjadi gelap dalam hati Fani. Berkali-kali ponselnya berdering. Tujuh panggilan tidak terjawab dari Fajar. Baginya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semua sudah telihat jelas. Mulai saat itulah Fani mengganggap hubungannya dengan Fajar hanya sebuah kesalahan yang telah berakhir.

    Sinar jingga nampak anggun di unjung sana. Mengiri langkah kaki seorang lelaki yang mencoba mengumpulkan keberaniannya demi menemui seseorang yang spesial di hatinya.
    “Permisi”
    “Siapa?” tanya seorang perempuan dari balik pintu.
    Setelah membukakan pintu, raut muka Fani berubah seketika. Adi datang ke rumahnya, sendiri, dengan wajah malu-malu yang membuatnya terlihat semakin lucu. Tidak ada yang salah dengan kedatangan Adi, namun Fani sepertinya belum siap akan hal itu.
    “Kaget ya?” tanya Adi.
    “Tidak. Kamu tumben main ke sini?”
    “Iya, tadi baru dari rumah saudara dan sekalian mampir kesini.”
    Lama mereka saling diam dengan pertanyaan yang sebenarnya sudah memenuhi otak masing-masing tetapi mereka malu untuk mengungkapkan.

    “Ngomong-ngomong ini kan hari Minggu, kok kamu di rumah?” Pertanyaan Adi menyadarkan Fani dari lamunan. Ada apa dengan hari minggu? Bukankah itu hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya, hanya cara menjalaninya yang berbeda.
    Akhirnya mereka berbincang-bincang cukup lama. Baguslah, setidaknya hal itu dapat menghilangkan rasa kacau yang menyerang hati Fani. Adi belum tau benar akan cerita pilu tentang Fani dan Fajar, yang Adi tau hanya kedekatan keduanya, itu pun ia ketahui dari Tino, temannya yang juga teman Fajar sejak SMA. Tino menceritakan sebagian kisah cinta Fajar, bahkan sebelum ia bersama dengan Fina. “Fina jatuh pada lubang yang salah.” Begitu kata Tino pada suatu pagi. Adi sendiri tidak paham dengan kata-kata Tino.
    “Bro, kata anak-anak Fajar putus dengan si Fani”
    Mendengar ucapan Tino Fajar melongo kaget. Ada perasaan senang, kasihan dan perasaan lain yang mendorongnya untuk bertanya lebih jauh kepada Tino.
    “Putus? Arhg, gosip. Mungkin mereka lagi ada masalah jadi ada yang menjauh.”
    “Kok tumben, langsung menjawab. Wah, sepertinya ada sesuatu dengan temanku yang satu ini.” Mendengar ucapan Tino wajah Adi memerah, segera saja ia menutupinya dengan pergi dari hadapan sahabatnya itu. Ya, kamu benar Tino ada sesuatu yang sudah lama terpendam dalam hati ini. Jika saja aku dapat menjelaskannya, mungkin ada sedikit beban yang akan hilang. Namun sebelum itu terjadi, aku sudah berfikir bahwa itu tidak mungkin. Kamu tau Fina, dia cewek cantik yang seleranya cukup berkelas. Aku takut setelah dia mengetahui perasaanku lantas dia membenciku dengan alasan yang membuat hatiku semakin pedih. Itu tidak mungkin terjadi Tino. Cukup aku dan perasaanku yang akan menyimpan rapi semua rasa ini. Selama aku bisa.
    Rupanya cerita Tino kemarin masih saja menari dalam angannya. Terasa mengganggu. Lalu secara diam-diam Adi lebih memperhatikan Fani, demi menjawab rasa penasarannya sendiri. Lama-kelamaan dia semakin percaya dengan cerita Tino, Fani memang putus dengan Fajar. Semenjak putus, Fani lebih sering jalan sendiri ke kampus. Dia juga jarang terlihat nongkrong di kantin bersama teman-temanya. Apakah dengan berakhirnya sebuah hubungan lantas semangatmu juga berakhir bersamanya

    Malam mulai datang menjelang, dengan sinar rembulan yang menemani gemerlap bintang. Lama Adi memutar-mutar ponsel di tangannya. Berkali-kali ia mengetikkan beberapa tulisan di layar ponsel, ujung-ujungnya adalah dihapus. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Tino.

    Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mematikan mesin motor di garasi. Tino, datang dengan wajah lesu karena bangun tidur.
    “Penting banget ya jam segini harus kesini?” Tanya Tino sembari mengehempaskan tubuhnya di kamar Adi.
    “Ini lebih baik dari pada kamu tidur.”
    “Sialan!!”
    Tino berniat meneruskan tidur. Mengambil bantal di atasnya dan melayang menuju alam mimpi. Tetapi selera tidurnya hilang seketika. Di bawah bantal yang ia ambil ada satu foto yang membuat Tino tertawa terbahak-bahak.
    “Oh, jadi ini yang sering membuat seorang Adi kacau tanpa alasan.”
    “Apaan sih!!” Dengan sekali lompatan foto itu kembali dalam genggaman Adi. Tino yang masih tertawa dengan suaranya yang memenuhi seisi ruangan akhirnya penasaran dengan apa yang sebenarnya Adi sembuntikan. Mulailah dia mewawancarai si Adi.
    “Foto Fani sewaktu ospek.”
    “Ada yang salah?” Tanya Adi dengan raut muka yang aneh.
    “Cie malu, pura-pura marah. Ciee.. Eh, ngomong-ngomong lo suka sama si Fani?”
    “Ha? Enggak.” Jawab Adi singkat.
    “Bilang aja iya. Dari awal gue sudah curiga. Setiap kali ada cerita soal Fani pasti lo semangat buat nyimak. Pas Fani jadian sama Fajar, muka lo kucel banget. Terus pas kita ketemu Fani jalan sama Fajar lo tiba-tiba marah ke gue. Fani pulang dari kampus lo yang nawarin mau ngantar, padahal kan jelas-jelas ada Fajar. Jujur aja bro, lo suka sama Fani? Kalau memang iya, kenapa nggak diungkapin sebelum diambil yang lain.” Mendengar ocehan Tino, Adi merasa semakin kepepet. Akhirnya ia menjelaskan perasaannya selama ini.
    “Kamu tidak akan pernah tau apa yang aku rasakan. Dulu aku sempat menyindir Fani tentang hal ini melalui SMS. Kamu tau apa jawabannya? –Aku tidak lebih baik dari seorang Fajar-. Banyak hal yang aku lakukan untuk dia, tetapi itu hanya demi membuktikan bahwa aku benar-benar ada untuknya. Aku tidak mengharap balasan dan yang Fani tunjukkan adalah rasa tidak mau tau.”
    “Sabar bro. Ketulusanmu tidak akan sia-sia. Percaya itu.” kata Tino demi menenangkan hati Adi.
    Sedikit lega ada teman untuk berbagi, tetapi dengan resiko, cepat atau lambat pasti cerita ini bakal terkuak ke permukaan. Tidak. Sebelum itu terjadi, Adi berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan perasaannya sendiri. Ia memberanikan diri untuk bertemu dengan Fani.
    Kala bola raksasa telah lelah berjalan bersama sinarnya dan waktu terus berputar mengikuti kodratnya, Adi melangkahkan kakinya dengan gemetar
    “Ada apa Di, tumben sore-sore main kesini.” Tanya Fani.
    “Jalan-jalan yuk, cari angin”
    “Oke. Kebetulan aku lagi sepi di rumah. Sebentar ya, aku ganti baju dulu”

    Setelah beberapa menit kemudian, mereka melesat jauh ke suatu tempat bersama motor matic kesayangan Adi.
    “Apakah ada hati yang harus dijaga?” tanya Adi setibanya di suatu tempat.
    “Ha?! Maksudnya?” Fani kaget mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terus saja Adi lontarkan. Akhirnya Adi memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya. Ini bukan menembak atau kencan atau apalah yang sering dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta. Ini hanya mengutarakan perasaan yang sudah lama menyiksa.
    “Maaf jika ini akan membuatmu sedikit kacau. Tapi mungkin ini akan lebih baik bila diungkapkan. Jika kamu tanya tentang alasan aku melakukan ini, aku tidak bisa menjawabnya, karena rasa itu hadir dengan begitu saja. Awalnya aku berfikir ini hanya rasa kagum semata, tetapi kenyataannya lebih dari itu.”
    “Apa maksud kamu Di? Kamu tau kan kalau kita ini teman. Aku harap kamu tidak akan merusak pertemanan kita dengan hal-hal seperti itu.”
    Tuhan, tidakkah dia tau tentang apa yang aku rasakan. Tentang gejolak yang menyiksa jiwa setiap kali aku melihat dia dengan yang lainnya. Bagaimana aku harus menjelaskan, bahkan lidahku dibuatnya kelu untuk mengungkapkan. Aku mencintaimu Fani. Aku tau rasa ini tidak seharusnya ada dalam hatiku, namun apakah salah bila aku mendamba sedikit ruang dalam hatimu

    Deburan ombak seakan memecah kebisuan di antara mereka. Semilir angin mencoba membelai dibalik kemuning senja. Suasana sekitar yang nampak damai menciptakan sebuah kenyamanan yang mendamaikan jiwa. Namun tidak bagi jiwa manusia yang sedang dilanda rasa berdosa.
    “Maafkan aku Di. Tidak ada yang salah dengan perasaanmu. Aku hanya tidak bisa jika harus membalasnya. Terimakasih karena sudah peduli padaku. Terimakasih karena aku pernah kau berikan tempat di hatimu. Tapi maaf, aku tidak akan pernah bisa memberikan tempat yang sama untukmu.”
    Mendengar penjelasan Fani, harapan Adi seketika hancur bagai diterjang gelombang. Ia tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Karena sekuat apapun ia mencoba menjelaskan, tetap saja Fani tidak akan menerimanya.
    Haruskah rasa ini kubiarkan tenggelam bersama senja, ataukah cukup kubiarkan terbawa ombak ke tengah samudera dan membiarkanya kembali menepi di tempat yang berbeda? Tidak. Ia tidak akan berada di tempat yang berbeda. Ia masih sama, berada di ruang hatiku dengan kunci yang sama.

    Cerpen Karangan: Mifta K
    Facebook: Mifta

    Artikel Terkait

    Bertahan
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email