Judul Cerpen Bunga Tidur Jagoan Mama
Terlahir menjadi seorang laki-laki dari sepasang raja dan ratu yang telah mengindahkan hidupku. Ucapan beribu terimakasih sama sekali tidak cukup untuk kupersembahkan kepada mereka. Bahkan sekuat apapun usahaku tetap saja akan kalah dengan kasih sayangnya yang tidak terhingga.
Mereka yang sering dipanggil bapak dan ibu ataupun ayah dan mama ataupun memanggil dengan panggilan spesial lainnya, setiap hari membanting tulang demi buah hati tercinta. Dimulai dari fajar yang masih enggan nampak di persinggahannya, hingga sang mega datang menjemput bola raksasa menuju peraduannya. Itu semua tidak lain hanya untuk permata tercinta. Permata yang terkadang mematahkan hati pejuangnya, dengan segala tingkah yang terkadang tidak terarah.
Aku putra satu-satunya dari dua bersaudara. Kakakku adalah seorang wanita cantik yang sudah bisa membanggakan ayah dan ibu. Sedangkan aku masih menempuh jenjang perguruan tinggi. Itu pun dengan rasa malas yang selalu membebani. Kuliah mendadak, dosen ribet minta ini-itu, revisi, presentasi, dan tugas-tugas lain yang selalu teringat disela-sela ngopi, layaknya hantu yang selalu mengikuti. Menyeramkan!!
Sewaktu duduk di bangku SMA aku berfikir bahwa kuliah itu menyenangkan, dengan segala warna-warni cerita layaknya yang tayang di televisi. Setelah benar-benar dijalani, semua warna-warni cerita itu hanya sebuah mimpi. Arrghh!! Tenang. Bagi anak laki-laki semua masih bisa dibuat santai.
“Kamu tidak berangkat kuliah?” tanya ibu yang entah di mana keberadaannya. Hanya suara khasnya yang terdengar keras memenuhi seisi ruangan. Aku masih terbaring di istana terindahku, kamar. Ibu yang terus saja mengulangi pertanyaannya membuatku bangkit dan segera menampakkan diri. Setelah mencuci muka segera saja kupacu gas motor dengan sedikit cepat. Ada saatnya mandi merupakan hal yang kurang diminati untuk beberapa kondisi. Sekitar pukul tiga sore aku berangkat menuju kampus. Menyusuri jalan yang semakin hari kian ramai dengan berbagai macam bentuk manusia.
“Wuisstt, tumben jagoan mama datang lebih awal” sapa salah satu temanku yang umurnya paling tua di kelas.
Huh!! Lagi-lagi nama panggilan itu keluar dari mulut seseorang. Telingaku sudah cukup panas mendengarnya. ‘Jangoan mama’ adalah nama panggilanku sewaktu SMA. Aku yang begitu diperhatikan oleh kedua orangtuaku, terlihat seperti anak kecil yang begitu dimanja. Lengkap dengan sikapku yang terlihat konyol dan kekanak-kanakan muncullah nama panggilan tersebut. Aku sendiri terkadang merasa lucu sekaligus aneh dengan nama panggilan itu, jagoan mama.
Kulangkahkan kaki menuju ruang kelas yang jaraknya tidak jauh dari tempat parkir.
“Dosennya belum datang?” tanyaku kepada gadis berwajahkan ayu, teman satu kelasku.
“Hari ini jam kosong. Dosen hanya memberikan beberapa tugas yang harus segera dikumpulkan.”
Bagus. Semangat yang mencoba kubangun demi berangkat kuliah akhirnya hilang seketika. Jam kosong. Kuliah akan berakhir buruk jika jam kosong. Main, ngegosip, nonton film, memutar lagu, dan yang lainnya. Itu adalah sebagian dari kebiasaan yang teman-teman lakukan jika jam kosong, baik laki-laki maupun perempuan. Aku pun juga tidak lupa turut berpartisipasi di dalamnya. Saat itulah kelas seketika berubah menjadi pasar. Suatu saat nanti saat-saat seperti itulah yang akan dirindukan ketika semua sudah berjauhan.
Ada satu perempuan yang selalu mengganggu kedamaian jiwaku. Perempuan mungil berwajahkan ayu. Mencoba mengusik dengan bayang semu disetiap lamunan panjangku. Ia hadir dalam hariku, selalu. Ada sedikit rasa kecewa karena telah melepaskannya. Ya, dulu kami pernah ada hubungan spesial. Namun akhirnya kandas di tengah jalan.
Aku begitu hancur waktu itu, hancur karena kesalahan yang aku perbuat sendiri. ‘Jagoan mama’ sempat mengurai air mata. Terlebih setelah aku mengetahui bahwa dia sudah menggandeng pria lain. Penyesalan memang selalu hadir belakangan. Itu merupakan hal terburuk yang pernah aku lakukan. Tantri, begitulah teman-teman di kampus memanggilnya.
Ada satu hal
Yang akan baik jika kamu tau
Namun sejuta keberanianku
Belum mampu merangkai itu untukmu
Tidakkah kamu tau
Rasaku masih tersimpan rapi untukmu
Satu SMS meluncur untuk perempuan yang selalu mengusik jiwaku. Itulah hal yang sering aku lakukan untuknya. Mengirimkan kata-kata atau sekedar bertanya tentang apa yang sedang ia lakukan. Banyak pesan-pesanku yang tidak mendapat balasan. Namun aku percaya bahwa itu semua ada alasannya.
Ponselku tiba-tiba berdering dengan suara bayi menangis yang berarti bahwa ada pesan masuk.
“Maksudnya?” Yes, pesan balasan dari si dia. Dengan segera aku menjawabnya.
“Iseng aja. Belum tidur?” Lama setelah aku membalas pesan dari dia, ibu terdengar berisik di depan pintu kamar.
“Sudah jam segini belum tidur juga. Masih main gadget. Kamu fikir kamu bisa hidup hanya dengan gadget kamu itu.”
Hah!! Kata-kata ibu selalu saja terdengar berisik. Suaranya yang begitu nyaring menghampiri telingaku hampir setiap jam. Tetapi suara itulah yang membuatku selalu merindukan suasana rumah. Setelah suara ibu tidak lagi terdengar, segera saja aku berpura-pura tidur, hingga akhirnya benar-benar terlelap. Tenggelam bersama mimpi-mimpi indah yang kerap kali membuatku tersenyum sendiri saat terbangun. Ah, tapi tidak, mimpi itu tidak selalu indah.
Malam kian larut dengan suasana gelap yang semakin mencekam. Binatang malam menari riang sedari tadi. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 12. Sinar rembulan nampak mesra bersatu bersama gemerlap cahaya bintang di atas sana.
“Aku hadir disini untukmu.” Sebuah bayangan mengagetkanku dengan suara lembutnya.
Aku tidak dapat mengatakan hal apapun. Bayangan itu semakin nyata, semakin pendekat. Ia ternyata adalah sesosok perempuan yang selama ini sudah tidak asing dalam hidupku. Perempuan cantik yang selama ini mengganggu pikiranku. Berbalut gaun yang menjuntai anggun. Sayap yang begitu kokoh dan indah. Perlahan aku mencoba mendekati sayapnya hingga benar-benar tepat di depanku. Tidak ada lagi yang dapat terlukis selain rasa kagum namun juga kaget.
“Tantri, benarkah itu kamu? Bagaimana bisa kamu menjelma menjadi seorang bidadari, lantas apa yang membuatmu datang menemuiku?” tanyaku dengan gemetar.
“Bukankah ini yang kamu inginkan, aku bisa hadir kembali dalam hidupmu. Memerima cintamu kembali seperti dahulu.”
“Tapi, tapi bagaimana bisa kamu berubah seperti ini?”
“Lupakan itu. Bukankah kamu jagoan mama, seharusnya kamu bisa menjadi jagoan dalam hidup dan hatiku”
Belum sempat aku menjawab, ia telah pergi. Terbang dengan sepasang sayapnya. Dengan langkah yang begitu berat aku mencoba mengikutinya. Menyusuri jalan yang berkabut tanpa seorang pun menemani.
“Dimana kamu bersembunyi?”
Lelah aku mencari di tempat itu. Teriakpun tidak membuatnya menampakkan wujud. Berkali-kali aku mencari, berputar-putar kesana kemari tetapi sepertinya aku tetap pada tempat yang sama. Tempat yang penuh kabut hingga mengaburkankan pandangan.
“Apakah kamu ingin bersamaku?” Suara itu terdengar dari kejauhan. Lalu datang sebuah bayangan. Semakin dekat. Bayangan itu semakin mendekat kearahku. Dia kembali.
“Ya, dengan senang hati aku ingin bersamamu. Tetapi kenapa kamu berada di tempat seperti ini?” tanyaku penasaran.
“Tidakkah kamu bermimpi bahwa suatu saat kita dapat hidup bersama di tempat ini? Sebelum kamu menjawabnya aku mempunyai surat untuk kamu. Bacalah.”
Dengan segera aku membukanya, demi mengobati rasa penasaran yang sedari tadi mengikuti.
Bukan dalam nyata aku ada
Mungkin hanya seberkas cahaya tanpa rupa
Yang mencoba kau sentuh
Dengan cinta tulusmu
Kau beranikan terbang dengan sayapmu
Banyak rintangan yang tiada ku tahu
Maafkan
Untuk cintamu yang tidak terbalaskan
Aku tidak tahu apa maksud dari surat itu. Kabut semakin tebal menyelimuti. Rasa dingin terasa semakin menusuk kulit. Baju tebal yang kukenakan tidak dapat mengurangi sedikitpun rasa dingin itu.
“Kamu pernah bilang bahwa rasa itu tidak akan hilang. Namun pada kenyataannya kamu meninggalkanku tanpa alasan. Bukankah ini tidak adil, dan sekarang kamu mulai kacau memikirkanku, berusaha mendapatkanku kembali dengan cinta palsumu. Kamu akan merasakan rasa sakit ini. Itu pasi. Pasti!! Hahaha..” Suara perempuan itu semakin terdengar menyeramkan. Teriakan yang diiringi tawa membuat bulu kudukku merinding. Aku melangkah mundur, berharap dia dapat menjauh. Namun hal lain justru terjadi di depan mataku, sayap anggun yang mempesona itu tiba-tiba berubah menjadi duri-duri tajam layaknya monster yang siap menerkam tubuhku. Gaun putih yang menjuntai indah berubah menjadi jubah hitam mengerikan. Ingin rasanya aku berlari meninggalkan tempat aneh ini. Namun apa daya, aku hanya bisa terdiam lemas tak berdaya.
Nafasku memburu layaknya lomba lari marathon. Kakiku tetap saja terasa membeku. Perlahan aku mendengar sebuah suara lantang yang memanggil namaku.
“Antoooo…”
Perlahan tempat berkabut, bidadari, monster, serta suara-suara aneh itu hilang, seiring kesadaranku kembali.
Brukkk!!
Pintu kamar terbuka dengan cukup keras.
“Jam segini masih saja tidur, cepat bangun.” Suara ibu terdengar begitu keras di telinga.
“Ah, ibu selalu saja mengomel. Ini kan masih pagi.”
“Jam sembilan kamu bilang masih pagi?” Nada bicara ibu semakin meninggi. Memang benar, kulirik jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan.
Mataku masih berat untuk terbuka, rasanya ingin kembali menghempaskan tubuh ke kasur. Namun mengingat suara ibu yang begitu merdu memenuhi seisi ruangan, aku berusaha untuk duduk di tepi ranjang.
Gubrakk!!
Setelah kesadaranku benar-benar kembali sepenuhnya aku baru menyadari bahwa bidadari, monster dan tempat berkabut itu hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang menjadi bunga tidur bagi ‘jagoan mama’ yang hatinya dilanda rasa kecewa.
Tidak mungkin itu bisa menjadi nyata
Melihatku hancur pun dia tidak lagi peduli
Aku tidak lagi kamu anggap pantas
Masih akan terus kucoba memperjuangkan rasa
Meskipun kamu sudah bersama dia
Sebesar itukah kesalahanku?
Ketahuilah,
Saat kamu merasa lelah
Menengoklah ke belakang
Aku masih tetap sama
Berdiri disana, selagi aku bisa
Cerpen Karangan: Mifta K
Facebook: Mifta
Terlahir menjadi seorang laki-laki dari sepasang raja dan ratu yang telah mengindahkan hidupku. Ucapan beribu terimakasih sama sekali tidak cukup untuk kupersembahkan kepada mereka. Bahkan sekuat apapun usahaku tetap saja akan kalah dengan kasih sayangnya yang tidak terhingga.
Mereka yang sering dipanggil bapak dan ibu ataupun ayah dan mama ataupun memanggil dengan panggilan spesial lainnya, setiap hari membanting tulang demi buah hati tercinta. Dimulai dari fajar yang masih enggan nampak di persinggahannya, hingga sang mega datang menjemput bola raksasa menuju peraduannya. Itu semua tidak lain hanya untuk permata tercinta. Permata yang terkadang mematahkan hati pejuangnya, dengan segala tingkah yang terkadang tidak terarah.
Aku putra satu-satunya dari dua bersaudara. Kakakku adalah seorang wanita cantik yang sudah bisa membanggakan ayah dan ibu. Sedangkan aku masih menempuh jenjang perguruan tinggi. Itu pun dengan rasa malas yang selalu membebani. Kuliah mendadak, dosen ribet minta ini-itu, revisi, presentasi, dan tugas-tugas lain yang selalu teringat disela-sela ngopi, layaknya hantu yang selalu mengikuti. Menyeramkan!!
Sewaktu duduk di bangku SMA aku berfikir bahwa kuliah itu menyenangkan, dengan segala warna-warni cerita layaknya yang tayang di televisi. Setelah benar-benar dijalani, semua warna-warni cerita itu hanya sebuah mimpi. Arrghh!! Tenang. Bagi anak laki-laki semua masih bisa dibuat santai.
“Kamu tidak berangkat kuliah?” tanya ibu yang entah di mana keberadaannya. Hanya suara khasnya yang terdengar keras memenuhi seisi ruangan. Aku masih terbaring di istana terindahku, kamar. Ibu yang terus saja mengulangi pertanyaannya membuatku bangkit dan segera menampakkan diri. Setelah mencuci muka segera saja kupacu gas motor dengan sedikit cepat. Ada saatnya mandi merupakan hal yang kurang diminati untuk beberapa kondisi. Sekitar pukul tiga sore aku berangkat menuju kampus. Menyusuri jalan yang semakin hari kian ramai dengan berbagai macam bentuk manusia.
“Wuisstt, tumben jagoan mama datang lebih awal” sapa salah satu temanku yang umurnya paling tua di kelas.
Huh!! Lagi-lagi nama panggilan itu keluar dari mulut seseorang. Telingaku sudah cukup panas mendengarnya. ‘Jangoan mama’ adalah nama panggilanku sewaktu SMA. Aku yang begitu diperhatikan oleh kedua orangtuaku, terlihat seperti anak kecil yang begitu dimanja. Lengkap dengan sikapku yang terlihat konyol dan kekanak-kanakan muncullah nama panggilan tersebut. Aku sendiri terkadang merasa lucu sekaligus aneh dengan nama panggilan itu, jagoan mama.
Kulangkahkan kaki menuju ruang kelas yang jaraknya tidak jauh dari tempat parkir.
“Dosennya belum datang?” tanyaku kepada gadis berwajahkan ayu, teman satu kelasku.
“Hari ini jam kosong. Dosen hanya memberikan beberapa tugas yang harus segera dikumpulkan.”
Bagus. Semangat yang mencoba kubangun demi berangkat kuliah akhirnya hilang seketika. Jam kosong. Kuliah akan berakhir buruk jika jam kosong. Main, ngegosip, nonton film, memutar lagu, dan yang lainnya. Itu adalah sebagian dari kebiasaan yang teman-teman lakukan jika jam kosong, baik laki-laki maupun perempuan. Aku pun juga tidak lupa turut berpartisipasi di dalamnya. Saat itulah kelas seketika berubah menjadi pasar. Suatu saat nanti saat-saat seperti itulah yang akan dirindukan ketika semua sudah berjauhan.
Ada satu perempuan yang selalu mengganggu kedamaian jiwaku. Perempuan mungil berwajahkan ayu. Mencoba mengusik dengan bayang semu disetiap lamunan panjangku. Ia hadir dalam hariku, selalu. Ada sedikit rasa kecewa karena telah melepaskannya. Ya, dulu kami pernah ada hubungan spesial. Namun akhirnya kandas di tengah jalan.
Aku begitu hancur waktu itu, hancur karena kesalahan yang aku perbuat sendiri. ‘Jagoan mama’ sempat mengurai air mata. Terlebih setelah aku mengetahui bahwa dia sudah menggandeng pria lain. Penyesalan memang selalu hadir belakangan. Itu merupakan hal terburuk yang pernah aku lakukan. Tantri, begitulah teman-teman di kampus memanggilnya.
Ada satu hal
Yang akan baik jika kamu tau
Namun sejuta keberanianku
Belum mampu merangkai itu untukmu
Tidakkah kamu tau
Rasaku masih tersimpan rapi untukmu
Satu SMS meluncur untuk perempuan yang selalu mengusik jiwaku. Itulah hal yang sering aku lakukan untuknya. Mengirimkan kata-kata atau sekedar bertanya tentang apa yang sedang ia lakukan. Banyak pesan-pesanku yang tidak mendapat balasan. Namun aku percaya bahwa itu semua ada alasannya.
Ponselku tiba-tiba berdering dengan suara bayi menangis yang berarti bahwa ada pesan masuk.
“Maksudnya?” Yes, pesan balasan dari si dia. Dengan segera aku menjawabnya.
“Iseng aja. Belum tidur?” Lama setelah aku membalas pesan dari dia, ibu terdengar berisik di depan pintu kamar.
“Sudah jam segini belum tidur juga. Masih main gadget. Kamu fikir kamu bisa hidup hanya dengan gadget kamu itu.”
Hah!! Kata-kata ibu selalu saja terdengar berisik. Suaranya yang begitu nyaring menghampiri telingaku hampir setiap jam. Tetapi suara itulah yang membuatku selalu merindukan suasana rumah. Setelah suara ibu tidak lagi terdengar, segera saja aku berpura-pura tidur, hingga akhirnya benar-benar terlelap. Tenggelam bersama mimpi-mimpi indah yang kerap kali membuatku tersenyum sendiri saat terbangun. Ah, tapi tidak, mimpi itu tidak selalu indah.
Malam kian larut dengan suasana gelap yang semakin mencekam. Binatang malam menari riang sedari tadi. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 12. Sinar rembulan nampak mesra bersatu bersama gemerlap cahaya bintang di atas sana.
“Aku hadir disini untukmu.” Sebuah bayangan mengagetkanku dengan suara lembutnya.
Aku tidak dapat mengatakan hal apapun. Bayangan itu semakin nyata, semakin pendekat. Ia ternyata adalah sesosok perempuan yang selama ini sudah tidak asing dalam hidupku. Perempuan cantik yang selama ini mengganggu pikiranku. Berbalut gaun yang menjuntai anggun. Sayap yang begitu kokoh dan indah. Perlahan aku mencoba mendekati sayapnya hingga benar-benar tepat di depanku. Tidak ada lagi yang dapat terlukis selain rasa kagum namun juga kaget.
“Tantri, benarkah itu kamu? Bagaimana bisa kamu menjelma menjadi seorang bidadari, lantas apa yang membuatmu datang menemuiku?” tanyaku dengan gemetar.
“Bukankah ini yang kamu inginkan, aku bisa hadir kembali dalam hidupmu. Memerima cintamu kembali seperti dahulu.”
“Tapi, tapi bagaimana bisa kamu berubah seperti ini?”
“Lupakan itu. Bukankah kamu jagoan mama, seharusnya kamu bisa menjadi jagoan dalam hidup dan hatiku”
Belum sempat aku menjawab, ia telah pergi. Terbang dengan sepasang sayapnya. Dengan langkah yang begitu berat aku mencoba mengikutinya. Menyusuri jalan yang berkabut tanpa seorang pun menemani.
“Dimana kamu bersembunyi?”
Lelah aku mencari di tempat itu. Teriakpun tidak membuatnya menampakkan wujud. Berkali-kali aku mencari, berputar-putar kesana kemari tetapi sepertinya aku tetap pada tempat yang sama. Tempat yang penuh kabut hingga mengaburkankan pandangan.
“Apakah kamu ingin bersamaku?” Suara itu terdengar dari kejauhan. Lalu datang sebuah bayangan. Semakin dekat. Bayangan itu semakin mendekat kearahku. Dia kembali.
“Ya, dengan senang hati aku ingin bersamamu. Tetapi kenapa kamu berada di tempat seperti ini?” tanyaku penasaran.
“Tidakkah kamu bermimpi bahwa suatu saat kita dapat hidup bersama di tempat ini? Sebelum kamu menjawabnya aku mempunyai surat untuk kamu. Bacalah.”
Dengan segera aku membukanya, demi mengobati rasa penasaran yang sedari tadi mengikuti.
Bukan dalam nyata aku ada
Mungkin hanya seberkas cahaya tanpa rupa
Yang mencoba kau sentuh
Dengan cinta tulusmu
Kau beranikan terbang dengan sayapmu
Banyak rintangan yang tiada ku tahu
Maafkan
Untuk cintamu yang tidak terbalaskan
Aku tidak tahu apa maksud dari surat itu. Kabut semakin tebal menyelimuti. Rasa dingin terasa semakin menusuk kulit. Baju tebal yang kukenakan tidak dapat mengurangi sedikitpun rasa dingin itu.
“Kamu pernah bilang bahwa rasa itu tidak akan hilang. Namun pada kenyataannya kamu meninggalkanku tanpa alasan. Bukankah ini tidak adil, dan sekarang kamu mulai kacau memikirkanku, berusaha mendapatkanku kembali dengan cinta palsumu. Kamu akan merasakan rasa sakit ini. Itu pasi. Pasti!! Hahaha..” Suara perempuan itu semakin terdengar menyeramkan. Teriakan yang diiringi tawa membuat bulu kudukku merinding. Aku melangkah mundur, berharap dia dapat menjauh. Namun hal lain justru terjadi di depan mataku, sayap anggun yang mempesona itu tiba-tiba berubah menjadi duri-duri tajam layaknya monster yang siap menerkam tubuhku. Gaun putih yang menjuntai indah berubah menjadi jubah hitam mengerikan. Ingin rasanya aku berlari meninggalkan tempat aneh ini. Namun apa daya, aku hanya bisa terdiam lemas tak berdaya.
Nafasku memburu layaknya lomba lari marathon. Kakiku tetap saja terasa membeku. Perlahan aku mendengar sebuah suara lantang yang memanggil namaku.
“Antoooo…”
Perlahan tempat berkabut, bidadari, monster, serta suara-suara aneh itu hilang, seiring kesadaranku kembali.
Brukkk!!
Pintu kamar terbuka dengan cukup keras.
“Jam segini masih saja tidur, cepat bangun.” Suara ibu terdengar begitu keras di telinga.
“Ah, ibu selalu saja mengomel. Ini kan masih pagi.”
“Jam sembilan kamu bilang masih pagi?” Nada bicara ibu semakin meninggi. Memang benar, kulirik jarum jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan.
Mataku masih berat untuk terbuka, rasanya ingin kembali menghempaskan tubuh ke kasur. Namun mengingat suara ibu yang begitu merdu memenuhi seisi ruangan, aku berusaha untuk duduk di tepi ranjang.
Gubrakk!!
Setelah kesadaranku benar-benar kembali sepenuhnya aku baru menyadari bahwa bidadari, monster dan tempat berkabut itu hanyalah sebuah mimpi. Mimpi yang menjadi bunga tidur bagi ‘jagoan mama’ yang hatinya dilanda rasa kecewa.
Tidak mungkin itu bisa menjadi nyata
Melihatku hancur pun dia tidak lagi peduli
Aku tidak lagi kamu anggap pantas
Masih akan terus kucoba memperjuangkan rasa
Meskipun kamu sudah bersama dia
Sebesar itukah kesalahanku?
Ketahuilah,
Saat kamu merasa lelah
Menengoklah ke belakang
Aku masih tetap sama
Berdiri disana, selagi aku bisa
Cerpen Karangan: Mifta K
Facebook: Mifta
Bunga Tidur Jagoan Mama
4/
5
Oleh
Unknown