Judul Cerpen Biarkan Takdir Yang Menjawab
Selongsong peristiwa masih kau simpan. Entah apa yang membuatmu tak mau jujur padaku. Seketika dalam diammu itu membuatku menjadi beku. Beku yang terkadang mencair sesaat. Dua tahun yang kita lalui ini tak membuatmu terbuka untuk akhir-akhir ini.
Senyum yang menawan tak lagi kulihat, semua kini serba sandiwara. Aku hanya mengikuti semua alur cerita yang kau buat. Aku juga tak mengerti kenapa aku harus mengikuti alur ceritamu. Mungkin, karena aku takut kehilanganmu. Tapi, itu hanya kemungkinan karena sejak kau berubah perasaanku padamu mulai terkikis oleh waktu, tapi terkadang waktu mengembalikan semua rasa itu.
Bimbang.. kini aku dalam kebimbangan, seperti mendung yang ingin mengeluarkan air tapi ada matahari yang membuat mendung malu.
“Rin… Aku rindu dengan senyummu dan raut bahagiamu saat berdua denganku” aku membuka cerita. Dia tersentak kaget dengan pernataan itu. Terdiam lama karena dia harus merajut kata agar tidak menyakitiku atau dia memilih untuk mengalihkan perhatianku dan meloloskan diri dari pernyataan itu. “ah aku merasakan jenuh dalam hubungan ini. Semua yang ada di otakku menjadi abstrak tak ada kejelasan”, rintihan kalbu seiring menunggu dia melontarkan kata untuk membalas pernyataanku.
“Eh ron. kamu pernah lihat senja kaya gini? Bagus ya.. senjanya diselemuti awan gelap tapi cahayanya masih bisa keluar!” sembari senyum dia membalas ucapanku tadi. Dia menggenggam erat tanganku seolah dia tak ingin kehilanganku. Tapi aku bingung dengan apa yang diperbuatnya. Kadang dia seolah tak menganggapku ada, kadang dia mengistimewakan aku bak seperti pangeran. Kali ini aku melewatkan pernyataanku dan enggan meneruskan semua penyataan yang membimbangkan hati. Aku terlena dengan kemanjaan yang kau buat kali ini. Aku rindu romansa romantis denganmu.
“Esstt diam ron!” dengan jari telunjuk kau menutup bibirku, aku diam tak ada sedikitpun suara yang kukeluarkan dan mataku fokus menatap wajah yang menjerumuskanku pada cinta. “coba kamu dengar itu suara azan magrib.. waktunya buka ya?..” sambil senyum kau memberitahuku waktunya buka puasa “selamat buka puasa sayangku”.
“Selamat makan.. terima kasih” aku balas ucapannya. Kami mulai berdoa dangan berbeda cara. Ya aku dan dia sangat berbeda. Kami berdua berbeda keyakinan. Cintalah yang menyatukan kami, hingga kami tak pernah mengetahui bagaiman akhir cerita cinta kami.
Kami jalani semua sesuai sekenario yang kami buat. Kami tak pernah membahas tentang agama dan masa depan. Kami hanya yakin pada cinta yang menyelimuti kami berdua. Memiliki satu sama lain sudah sangat menyempurnakan bagi kami.
Kami bertemu dalam satu ruangan perkuliahan. Kami satu fakultas dan satu jurusan dengannya hanya saja aku lebih tua satu tahun dari dia. Pagi itu aku masuk dengan wajah murung dan pucat, dia melihatku aneh. Tak lama setelah aku duduk hpku bergetar. dia meminta waktu setelah perkuliahannya selesai ingin bertemu denganku.
Aku ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Masalah yang mengeret-ngeret isi kepala agar lekas selesai. Bukan tentang masa lalu tapi tentang sekarang dan masa depan. Tapi bukannya aku telah berjanji dengannya jika tak membahas tentang masa depan. Sekali lagi masalah ini terus memporak-porandakan otakku. aku mulai menyusun kata yang tak menyakiti dan mungkin akan diakhiri dengan puisi. Bak seorang produser film yang sedang memikirkan dialog agar aku dapat memberi akhir indah pada film. Dan aku harus jadi ksatria yang mengayomi hati yang kan lara. “ah pikiranku mulai gila, terlalu banyak berandai-andai” gemerutu hati yang banjir dengan satu masalah.
Tak lama setelah aku berpikir dan mondar-mandir di tempat yang kita janjikan. Kau datang dengan senyum manja yang kau sajikan untukku kemaren, tapi sungguh disayangkan senyummu tak menghapus badai yang melanda otakku dan hubungan kita beberapa saat yang akan datang.
“kamu kenapa! Muka pucat, bibir manyun, mata merah dan kantung mata membesar? Tadi malam begadang ya?” dia menyebut semua yang tak pantas ada di wajahku dengan pertanyaan yang begitu mengkhawatirkanku.
Aku diam beberapa saat. Aku binggung harus mulai dari mana. Kata yang kurajut sebelum dia datang hilang seketika saat kau ada di hadapanku. tapi mau tak mau aku harus menceritakan semua kejadian tadi malam denganmu. Eeeggh aku sangat kesal karena hati dan pikiran kini berlawanan.
“kini orangtuaku tau jika kita menjalin hubungan”, aku berusaha membuka pembicaraan, dengan penuh kehati-hatian aku mulai menceritakan jika orangtuaku tak menyetujui hubungan kita. Kau hanya diam dan mendengarkanku. Dengan penuh dengan kebingungan ini aku bercerita berulang-ulang seperti huruf abjad dari A ke Z kembali lagi A ke Z lagi hingga aku tak tahu dengan kata apa lagi aku mengakhiri bicara ini. Dengan sigap tanganmu menggenggam tanganku sembari melemparkan senyuman manis. Aku terbuai lagi dalam bui manjamu, kau sangat mengetahui bagaimana cara menenangkanku. Dan kini aku yang kembali terdiam saat kau mulai bercerita semua tentang beberapa minggu ini kenapa kau diam yang membuatku membeku beberapa waktu yang lalu.
“ternyata kamu yang lebih dulu mendapatkan masalah seperti ini! gimana caramu buat selesaikan masalah ini?”. Aku bertanya setelah dia menyelesaikan semua yang dia pendam beberapa akhir ini. kau diam dan membiarkan pertanyaanku mengambang ditelan angin. Tanpa jawaban kau memelukku erat sambil mengucapkan mantra yang membuatku tak ingin kehilanganmu. Sebuah pernyataan “I LOVE YOU” kau sumpalkan berkali-kali di telingaku.
“Ron.. jangan ungkit masalah ini lagi ya!” dengan alis yang mengkerut kau ibarat memohon padaku “biarkan waktu yang memberikan jawaban, apakah kita selamanya apa hanya sekedar bertemu dan mengukir kisah cinta yang akan abadi dalam hati”
Kami adalah dua insan yang saling mencinta, kami takkan mengorbankan agama untuk menyatukan kami. Aku dan dia tetap kukuh dengan agama yang kami anut, kami takkan menyalahkan waktu, takdir apalagi cinta, kami masih saling mencintai, kami masih berpacaran dan kami takkan berpisah untuk sekarang. Hanya saja aku dan dia menunggu titik terang tentang cinta. Kami pasrahkan semua pada takdir.
Cerpen Karangan: Farezza Afia (Reza)
Facebook: Kotak.reza[-at-]yahoo.co.id
Selongsong peristiwa masih kau simpan. Entah apa yang membuatmu tak mau jujur padaku. Seketika dalam diammu itu membuatku menjadi beku. Beku yang terkadang mencair sesaat. Dua tahun yang kita lalui ini tak membuatmu terbuka untuk akhir-akhir ini.
Senyum yang menawan tak lagi kulihat, semua kini serba sandiwara. Aku hanya mengikuti semua alur cerita yang kau buat. Aku juga tak mengerti kenapa aku harus mengikuti alur ceritamu. Mungkin, karena aku takut kehilanganmu. Tapi, itu hanya kemungkinan karena sejak kau berubah perasaanku padamu mulai terkikis oleh waktu, tapi terkadang waktu mengembalikan semua rasa itu.
Bimbang.. kini aku dalam kebimbangan, seperti mendung yang ingin mengeluarkan air tapi ada matahari yang membuat mendung malu.
“Rin… Aku rindu dengan senyummu dan raut bahagiamu saat berdua denganku” aku membuka cerita. Dia tersentak kaget dengan pernataan itu. Terdiam lama karena dia harus merajut kata agar tidak menyakitiku atau dia memilih untuk mengalihkan perhatianku dan meloloskan diri dari pernyataan itu. “ah aku merasakan jenuh dalam hubungan ini. Semua yang ada di otakku menjadi abstrak tak ada kejelasan”, rintihan kalbu seiring menunggu dia melontarkan kata untuk membalas pernyataanku.
“Eh ron. kamu pernah lihat senja kaya gini? Bagus ya.. senjanya diselemuti awan gelap tapi cahayanya masih bisa keluar!” sembari senyum dia membalas ucapanku tadi. Dia menggenggam erat tanganku seolah dia tak ingin kehilanganku. Tapi aku bingung dengan apa yang diperbuatnya. Kadang dia seolah tak menganggapku ada, kadang dia mengistimewakan aku bak seperti pangeran. Kali ini aku melewatkan pernyataanku dan enggan meneruskan semua penyataan yang membimbangkan hati. Aku terlena dengan kemanjaan yang kau buat kali ini. Aku rindu romansa romantis denganmu.
“Esstt diam ron!” dengan jari telunjuk kau menutup bibirku, aku diam tak ada sedikitpun suara yang kukeluarkan dan mataku fokus menatap wajah yang menjerumuskanku pada cinta. “coba kamu dengar itu suara azan magrib.. waktunya buka ya?..” sambil senyum kau memberitahuku waktunya buka puasa “selamat buka puasa sayangku”.
“Selamat makan.. terima kasih” aku balas ucapannya. Kami mulai berdoa dangan berbeda cara. Ya aku dan dia sangat berbeda. Kami berdua berbeda keyakinan. Cintalah yang menyatukan kami, hingga kami tak pernah mengetahui bagaiman akhir cerita cinta kami.
Kami jalani semua sesuai sekenario yang kami buat. Kami tak pernah membahas tentang agama dan masa depan. Kami hanya yakin pada cinta yang menyelimuti kami berdua. Memiliki satu sama lain sudah sangat menyempurnakan bagi kami.
Kami bertemu dalam satu ruangan perkuliahan. Kami satu fakultas dan satu jurusan dengannya hanya saja aku lebih tua satu tahun dari dia. Pagi itu aku masuk dengan wajah murung dan pucat, dia melihatku aneh. Tak lama setelah aku duduk hpku bergetar. dia meminta waktu setelah perkuliahannya selesai ingin bertemu denganku.
Aku ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Masalah yang mengeret-ngeret isi kepala agar lekas selesai. Bukan tentang masa lalu tapi tentang sekarang dan masa depan. Tapi bukannya aku telah berjanji dengannya jika tak membahas tentang masa depan. Sekali lagi masalah ini terus memporak-porandakan otakku. aku mulai menyusun kata yang tak menyakiti dan mungkin akan diakhiri dengan puisi. Bak seorang produser film yang sedang memikirkan dialog agar aku dapat memberi akhir indah pada film. Dan aku harus jadi ksatria yang mengayomi hati yang kan lara. “ah pikiranku mulai gila, terlalu banyak berandai-andai” gemerutu hati yang banjir dengan satu masalah.
Tak lama setelah aku berpikir dan mondar-mandir di tempat yang kita janjikan. Kau datang dengan senyum manja yang kau sajikan untukku kemaren, tapi sungguh disayangkan senyummu tak menghapus badai yang melanda otakku dan hubungan kita beberapa saat yang akan datang.
“kamu kenapa! Muka pucat, bibir manyun, mata merah dan kantung mata membesar? Tadi malam begadang ya?” dia menyebut semua yang tak pantas ada di wajahku dengan pertanyaan yang begitu mengkhawatirkanku.
Aku diam beberapa saat. Aku binggung harus mulai dari mana. Kata yang kurajut sebelum dia datang hilang seketika saat kau ada di hadapanku. tapi mau tak mau aku harus menceritakan semua kejadian tadi malam denganmu. Eeeggh aku sangat kesal karena hati dan pikiran kini berlawanan.
“kini orangtuaku tau jika kita menjalin hubungan”, aku berusaha membuka pembicaraan, dengan penuh kehati-hatian aku mulai menceritakan jika orangtuaku tak menyetujui hubungan kita. Kau hanya diam dan mendengarkanku. Dengan penuh dengan kebingungan ini aku bercerita berulang-ulang seperti huruf abjad dari A ke Z kembali lagi A ke Z lagi hingga aku tak tahu dengan kata apa lagi aku mengakhiri bicara ini. Dengan sigap tanganmu menggenggam tanganku sembari melemparkan senyuman manis. Aku terbuai lagi dalam bui manjamu, kau sangat mengetahui bagaimana cara menenangkanku. Dan kini aku yang kembali terdiam saat kau mulai bercerita semua tentang beberapa minggu ini kenapa kau diam yang membuatku membeku beberapa waktu yang lalu.
“ternyata kamu yang lebih dulu mendapatkan masalah seperti ini! gimana caramu buat selesaikan masalah ini?”. Aku bertanya setelah dia menyelesaikan semua yang dia pendam beberapa akhir ini. kau diam dan membiarkan pertanyaanku mengambang ditelan angin. Tanpa jawaban kau memelukku erat sambil mengucapkan mantra yang membuatku tak ingin kehilanganmu. Sebuah pernyataan “I LOVE YOU” kau sumpalkan berkali-kali di telingaku.
“Ron.. jangan ungkit masalah ini lagi ya!” dengan alis yang mengkerut kau ibarat memohon padaku “biarkan waktu yang memberikan jawaban, apakah kita selamanya apa hanya sekedar bertemu dan mengukir kisah cinta yang akan abadi dalam hati”
Kami adalah dua insan yang saling mencinta, kami takkan mengorbankan agama untuk menyatukan kami. Aku dan dia tetap kukuh dengan agama yang kami anut, kami takkan menyalahkan waktu, takdir apalagi cinta, kami masih saling mencintai, kami masih berpacaran dan kami takkan berpisah untuk sekarang. Hanya saja aku dan dia menunggu titik terang tentang cinta. Kami pasrahkan semua pada takdir.
Cerpen Karangan: Farezza Afia (Reza)
Facebook: Kotak.reza[-at-]yahoo.co.id
Biarkan Takdir Yang Menjawab
4/
5
Oleh
Unknown