Judul Cerpen Cuplikan Masa Lalu
Mataku terlalu asik mengikuti sebuah bola merah yang dikejar kejar 10 orang anak SMA yang wajahnya penuh keringat. Mereka sangat bergembira berlari dari sudut lapangan ke sudut lain. Sore sabtu adalah saat semua anak kelas X SMA ini mengkuti extrakulikuler. Ada banyak, bahkan terlalu banyak extrakulikuler yang ditawarkan SMA ini. Namun sepertinya diriku tak pernah tertarik pada extrakulikuler apa pun. Kemampuan olahraga atau pun dalam bidang seni. Aku bukan orang yang berjiwa besar seperti anak pramuka dan PMR. Dan pada akhirnya aku mengambil kelas ilmiah untuk mengisi kolom extrakulikuer di rapotku, kelas yang banyak berinteraksi dengan artikel, makalah, kliping dan perpustakaan.
“Yois udah selesai di rak matematika?” senior dengan kaca mata kedodoran dan aura kemarahan berdiri membawa tempat sampah. Aku hanya mengangguk seperti robot. Sudah lama aku berdiri di rak buku matematika tapi aku malah mengamati lapangan basket bukan membersihkan buku buku “bisa buang ini ke tempat pembuangan sampah depan sekolah?” apa lagi yang bisa kulakukan selain nyengir kuda dan mengangkat tempat sampah nan berat ini. Saat aku melihat isi tempat sampah, betapa mirisnya hatiku menemukan kliping tentang “JENIS JENIS KOPI” milikku menjadi penghuni teratas tempat sampah. Seharusnya aku mengambil extra tenis meja saja. Setidaknya aku bisa jadi spesialis pemungut bola yang dari keluar lapangan, menjadi spesialis pemungut bola lebih menggembirakan ketimbang melihat karyaku di tempat sampah ini.
Dengan langkah gontai nan lesu aku ke luar dari perpustakaan, melewati anak paduan suara yang sedang menyanyikan gugur bunga. Mungkin itu dipersembahkan sebagai tanda belasungkawa masuknya klipingku ke tempat sampah, aku melewati lapangan basket dan akhirnya berjumpa dengan bak maha besar di pojokan kompleks sekolah. Tunggu, tidak ada wangi busuk di tempat sampah. Syukurlah. Baknya tertutup. Aku memutarkan bola mataku dan menurunkan tempat sampah setinggi pinggang dengan mulut terbuka. Aku melihat tulisan bercetak tebal warna putih “perhatian di larang membuang sampah dari jam 15.00-03.00 WIB. Terimakasih”. Aku melirik jam 15:35. Kutukan apa ini. Setidaknya jika aku ada di kelas tenis meja dan menjadi spesialis pemungut bola aku tak perlu membuang bola bola itu ke tempat pembuangan sampah. Aku bejongkok dan menatap bak sampah itu. Mau ku buang kemana sampah yang dominannya adalah kertas yang sudah usang bahkan sudah dimakan rayap, tidak mungkin aku kembali ke perpustakaan, aku akan dikeluarkan dari kelas karena tugasku tidak dituntaskan. Lebih tak masuk akal jika aku menumpahkan sampah ini ke lapangan basket atau memberikan kertas kertas ini untuk mengelap air mata haru paduan suara yang menyanyikan lagu gugur bunga. Apa aku harus menunggu sampai jam 3 pagi?
“Lihat apa?” suara bariton mengalir di telingaku. “Tempat sampah menyebalkan!” aku mendongak. Melihat bayangan seorang pria “kamu…” aku berdiri mencoba mengingat orang yang ada di hadapanku. Seingatku dia adalah orang yang selalu membuang sampah di sini setiap kamis, sama sepertiku. Oke kamis jadwal piket kelasku “kamu.. anak SMA sebelah kan?” Ini bukan kalimat yang baik yang diucapkan saat berkenalan dengan orang yang baru kau lihat. Tunggu, aku tak ingin berkenalan dengannya “iya, kamu kenal padaku” dia tersenyum penuh harapan. Harapan apa? “aku sering lihat kamu buang sampah setiap hari kamis tapi aku nggak tau siapa nama kamu” aku memang sepertinya mengenal dia, matanya sudah familiar di ingatanku, “aku Yois Natasya, kamu?” orang yang ada di hadapanku hanya melihat tanganku yang terulur dengan kikuk. Dengan waktu yang sedikit lama dia menjabat tanganku dan berkata “Wisnu Sanubari” aku tersenyum. Nama yang unik. Tunggu, Wisnu Sanubari, Sanubari. Bari. Apa benar dia Bari teman SD ku. “sudah kenal sekarang, dia tersenyum” apa jadi dia mengenaliku, sejak kapan?. Aku tersenyum dan menepuk lengannya “ahh, sudah lama tidak bertemu” aku mengamati tubuhnya dari rambut hingga kaki. Dia terlihat jauh sangat berbeda saat terakhir kali aku melihatnya kelas 5 SD. Postur tubuhnya kini tinggi tegap. Rambutnya dipotong cepak rapih. Aku masih ingat kalau dia adalah anak yang sangat dekil dulu “eh Bari dulu kamu kan rendah dari aku sekarang buat jitak kepala kamu aku harus loncat” aku tertawa saat menyadari betapa rendahnya aku. Bahkan puncak kepalaku tak mampu menyetarai pundaknya. Bari hanya berdiri kaku dengan tatapan aneh kepadaku. “kamu sekolah di sana?” aku menunjuk gedung putih di sebelah sekolahku. Setauku itu adalah SMK. “iya setiap hari kamis kita bertemu di tempat sampah ini.” aku mengerjap ngerjapkan mataku. Apakah sekecil itu memori otakku? Sehingga tak bisa mengingat wajah Bari. Seingatku Bari adalah teman SD ku yang paling akrab. Setiap sore menjelang aku dan dia selalu bersama sama pergi ke lapangan basket untuk bermain. Aku dan dia sangat dekat. Astaga aku sekarang baru ingat Bari cinta monyetku. Seketika aku langsung canggung. Bagaimana bisa aku pacaran pada usia itu. Aku yakin saat itu aku bahkan belum hafal perkalian 8. Tunggu aku juga sekarang sering lupa perkalian 8.
“Mau kamu apakan sampah itu?” aku enggan menjawab pertanyaannya. Aku masih sibuk mengingat apakah aku sudah memutuskan hubungan cinta monyet dengan Bari atau belum “Yo?” aku tersentak saat dia memangil namaku dan melambai lambaikan tangannya kepadaku “Dibuang tapi bak sampahnya tutup” “aku temanin buang ke depan yuk” ah terimakasih Tuhan kamu menurunkan cuplikan kenangan masa lalu ku dan membiarkanya membantuku dari permasalahan buang sampah ini.
Dia mengambil alih tempat sampah dan berjalan mendahuluiku. Langkahnya terlalu cepat untuk diikuti “Bari, pelan pelan aku pendek.” Dengan terpaksa aku akui kalau aku pendek “kamu udah lama pindah ke kota ini” “emhh 2 tahunan. Ayahku selalu saja pindah tempat tugas dan itu sangat merepotkan kami sekeluarga. kamu tau saat SMP aku pernah dalam satu tahun ajaran pindah sebanyak 3 kali. Aku yakin pasti ada yang mengira kalau aku adalah vampir karena pindah pindah sekolah terus. Karena menurut komik yang aku baca. Vampir akan berpindah pindah tepat tinggal karena takut identitasnya terbongkar” Bari hanya bisa mendengar dengan senyum. Senyuman aneh tepatnya “kamu nggak berubah tetap berisik, yang berubah cuman sekarang kamu lebih cantik” apa ada orang yang mengatakan aku cantik ingin rasanya aku kembali ke sekolah dan berteriak ‘teman teman ada yang mengatakan aku cantik’ “rambutmu dulu lucu” aku tak ingat potongan rambutku saat SD. kenapa Bari selalu berbicara masa lalu, apa dia tidak tau aku kesulitan mengingat masa laluku “kamu masih suka main basket?” Hanya itu yang aku ingat dari Bari. “masih” aku yakin postur tubuhnya ini pasti dia dapat dari latihan rutin basket “kakak kamu masih suka nonton my heart the series?” aku sekarang ingat dulu Bari dan aku juga sering mengerjakan tugas bareng di rumahku dan ikut nonton sinetron my heart the series bersama. Dan kerena tokoh di sinetron itu aku dan Bari mengalami cinta monyet. Terimakasih sinetron. Aku yakin pasti wajahku merah saat ini “udah enggak. Kan sinetronnya udah enggak tayang.” Aku tersenyum, dia juga “kamu mirip Rachel, kamu tomboy dulu” Bari tersenyum tersipu. Dia sangat manis saat tersenyum “kamu juga mirip Farel dulu, kamu bisa main basket” entah kenapa berbicara dengan Bari membuatku lupa akan probelamtika hidupku “lucu yah kita dulu. Eh Yois kamu ingat nggak sih dulu waktu kita kelas 5 kita pacaran kan?” aku berhenti melangkah. Kenapa Bari selalu ingat kenangan masa kecil yang bodoh itu “iya. Lucu yah. Kita kayanya kena efek sinetron” aku tersenyum kikuk.
Kenapa tempat smapah yang ia bicarakan tak kunjung terlihat. Apa jangan jangan dia berbohong dengan mengatakan kalau ada tempat pembuangan sampah di dekat sini. Ini sebenarnya adalah perjalanan untuk melihat ‘seberapa idiotnya masa kecil Yois Natasaya’. Dia ikut berhenti melangkah “kamu pergi tiba tiba. Tanpa kata perpisahan dulu. Aku jadi bingung nyari kamu kemana” tunggu dia mencari aku? Untuk apa? Apa aku belum mengembalikan mainannya saat aku pindah rumah “kami pergi mendadak Bari. Aku aja kaget” dia hanya mengangguk ngangguk dan mulai berjalan lagi “keluarga kamu pindah ke sini Bar?” “Enggak, aku ikut bibi aku disini” aku mengejar langkahnya dan berusaha berjalan di sampingnya. “Kenapa? Kamu pasti kepingin masuk SMK nya yah” “enggak aku dengar kalo kamu ada di kota ini jadi aku kesini” aku yakin ia sedang bergurau. Dan aku menantikan kata ‘tapi boong’. Namun kata kata itu tak kunjung ia ucapkan “serius Bari, tapi kenapa?” Bari tak menjawab. Hanya berjalan dengan tatapan kosong “Bari” aku menepuk lengannya perlahan “aku suka kamu” aku tersentak mendengar ucapan Bari. Benarakah yang dia ucapkan atau telingaku yang salah menangkap apa yang dibicarakan Bari. Bagaimana bisa ada orang yang menyukaiku. Aku adalah Yois. Anak SMA yang cupu dan sering mendapat dugaan vampir. Aku Yois anak yang tak punya bakat apa apa. Aku Yois anak yang selalu aneh dan berisik “sejak kapan” bibirku begetar mengucapkan itu. Ada mantra apa sebenarnya di kalimat Bari. Kenapa kalimatnya bisa membuat seluruh tubuhku tak bisa berkoordinasi dengan baik ‘sejak kecil’. Sejak kamu mengatakan aku keren karena seperti Farel, sejak aku memberimu mahkota dari rumput. Aku tau kita memang masih sangat kecil saat itu. Tapi aku juga tak tau kenapa kamu tak bisa hilang dari ingatanku.
Aku melihat tempat pembuangaan sampah. Aku berhenti dan memperhatikan Bari membuang kertas kertas bekas itu. Aku tak pernah sadar kalau ada orang yang mencari keberadaanku selama ini. “ayo kita pulang. Hari sudah senja, nanti kamu dimarah seniormu” tunggu bagaimana dia tau tentang senior yang selalu menindasku. “bagaimana kamu tau?” “Aku sering meperhatikanmu” Aku tak pernah mengira kalau cuplikan masa laluku yang indah sekarang kutemukan dan kini dia ada di sebelahku. Cuplikan masa lalu membuat hari hariku yang penuh kehampaan kini membuatnya sedikit berwarna “jika aku kembali aku hanya disuruh membersihkan perpustakaan, Bari apa kamu ingat kita sering menirukan adegan adegan di sinetron my heart the series?” Bari tersenyum. “tentu aku ingat. Yang paling kamu sukai adalah mahkota rumput itu kan.” Aku terenyum “eh Bari aku mau bertanya” apa ini kenapa jantungku berdegup kencang. “apa bertanyalah. Aku akan menjawab” aku menyiapkan hatiku “kita masih pacaran kan?” Bari tersenyum dan menatapku. Aku mengalihkan pendanganku. Kenapa Bari yang sekarang begitu tampan dan begitu mempesona. Kenapa jantungku berdebar begini “seingatku kamu tak megatakan apa apa saat kamu pergi.” Jantungku semakin berdegup cepat “jadi…” Aku meberanikan diri menatap matanya “kamu sudah punya pacar selain aku” Bari bertanya “heh, tidak. Mana ada orang yang jatuh cinta kepada orang aneh seperti aku” “ada. Aku” aku tersenyum dan menepuk lengannya. “seharusnya aku bicara dari dulu, setiap kamis kita bertemu dan kita tak pernah bicara apa apa” aku tersenyum. Hari ini aku sangat bahagia “jadi kamu jangan selingkuh dariku yah Yois” apa secepat ini kah aku menemukan cinta. Atau selama ini aku sudah dicintai tapi aku tak pernah sadar. Hari ini sangat bahagia. Aku menemukan cuplikan masa laluku dan aku yakin cuplikan masa lalu ini akan membuatku bahagia. Akan mengangkatku dari relung penderitaan “tentu saja” aku tersenyum dan menggandeng tangannya.
Cerpen Karangan: Hana Decy Evita Noviana
Mataku terlalu asik mengikuti sebuah bola merah yang dikejar kejar 10 orang anak SMA yang wajahnya penuh keringat. Mereka sangat bergembira berlari dari sudut lapangan ke sudut lain. Sore sabtu adalah saat semua anak kelas X SMA ini mengkuti extrakulikuler. Ada banyak, bahkan terlalu banyak extrakulikuler yang ditawarkan SMA ini. Namun sepertinya diriku tak pernah tertarik pada extrakulikuler apa pun. Kemampuan olahraga atau pun dalam bidang seni. Aku bukan orang yang berjiwa besar seperti anak pramuka dan PMR. Dan pada akhirnya aku mengambil kelas ilmiah untuk mengisi kolom extrakulikuer di rapotku, kelas yang banyak berinteraksi dengan artikel, makalah, kliping dan perpustakaan.
“Yois udah selesai di rak matematika?” senior dengan kaca mata kedodoran dan aura kemarahan berdiri membawa tempat sampah. Aku hanya mengangguk seperti robot. Sudah lama aku berdiri di rak buku matematika tapi aku malah mengamati lapangan basket bukan membersihkan buku buku “bisa buang ini ke tempat pembuangan sampah depan sekolah?” apa lagi yang bisa kulakukan selain nyengir kuda dan mengangkat tempat sampah nan berat ini. Saat aku melihat isi tempat sampah, betapa mirisnya hatiku menemukan kliping tentang “JENIS JENIS KOPI” milikku menjadi penghuni teratas tempat sampah. Seharusnya aku mengambil extra tenis meja saja. Setidaknya aku bisa jadi spesialis pemungut bola yang dari keluar lapangan, menjadi spesialis pemungut bola lebih menggembirakan ketimbang melihat karyaku di tempat sampah ini.
Dengan langkah gontai nan lesu aku ke luar dari perpustakaan, melewati anak paduan suara yang sedang menyanyikan gugur bunga. Mungkin itu dipersembahkan sebagai tanda belasungkawa masuknya klipingku ke tempat sampah, aku melewati lapangan basket dan akhirnya berjumpa dengan bak maha besar di pojokan kompleks sekolah. Tunggu, tidak ada wangi busuk di tempat sampah. Syukurlah. Baknya tertutup. Aku memutarkan bola mataku dan menurunkan tempat sampah setinggi pinggang dengan mulut terbuka. Aku melihat tulisan bercetak tebal warna putih “perhatian di larang membuang sampah dari jam 15.00-03.00 WIB. Terimakasih”. Aku melirik jam 15:35. Kutukan apa ini. Setidaknya jika aku ada di kelas tenis meja dan menjadi spesialis pemungut bola aku tak perlu membuang bola bola itu ke tempat pembuangan sampah. Aku bejongkok dan menatap bak sampah itu. Mau ku buang kemana sampah yang dominannya adalah kertas yang sudah usang bahkan sudah dimakan rayap, tidak mungkin aku kembali ke perpustakaan, aku akan dikeluarkan dari kelas karena tugasku tidak dituntaskan. Lebih tak masuk akal jika aku menumpahkan sampah ini ke lapangan basket atau memberikan kertas kertas ini untuk mengelap air mata haru paduan suara yang menyanyikan lagu gugur bunga. Apa aku harus menunggu sampai jam 3 pagi?
“Lihat apa?” suara bariton mengalir di telingaku. “Tempat sampah menyebalkan!” aku mendongak. Melihat bayangan seorang pria “kamu…” aku berdiri mencoba mengingat orang yang ada di hadapanku. Seingatku dia adalah orang yang selalu membuang sampah di sini setiap kamis, sama sepertiku. Oke kamis jadwal piket kelasku “kamu.. anak SMA sebelah kan?” Ini bukan kalimat yang baik yang diucapkan saat berkenalan dengan orang yang baru kau lihat. Tunggu, aku tak ingin berkenalan dengannya “iya, kamu kenal padaku” dia tersenyum penuh harapan. Harapan apa? “aku sering lihat kamu buang sampah setiap hari kamis tapi aku nggak tau siapa nama kamu” aku memang sepertinya mengenal dia, matanya sudah familiar di ingatanku, “aku Yois Natasya, kamu?” orang yang ada di hadapanku hanya melihat tanganku yang terulur dengan kikuk. Dengan waktu yang sedikit lama dia menjabat tanganku dan berkata “Wisnu Sanubari” aku tersenyum. Nama yang unik. Tunggu, Wisnu Sanubari, Sanubari. Bari. Apa benar dia Bari teman SD ku. “sudah kenal sekarang, dia tersenyum” apa jadi dia mengenaliku, sejak kapan?. Aku tersenyum dan menepuk lengannya “ahh, sudah lama tidak bertemu” aku mengamati tubuhnya dari rambut hingga kaki. Dia terlihat jauh sangat berbeda saat terakhir kali aku melihatnya kelas 5 SD. Postur tubuhnya kini tinggi tegap. Rambutnya dipotong cepak rapih. Aku masih ingat kalau dia adalah anak yang sangat dekil dulu “eh Bari dulu kamu kan rendah dari aku sekarang buat jitak kepala kamu aku harus loncat” aku tertawa saat menyadari betapa rendahnya aku. Bahkan puncak kepalaku tak mampu menyetarai pundaknya. Bari hanya berdiri kaku dengan tatapan aneh kepadaku. “kamu sekolah di sana?” aku menunjuk gedung putih di sebelah sekolahku. Setauku itu adalah SMK. “iya setiap hari kamis kita bertemu di tempat sampah ini.” aku mengerjap ngerjapkan mataku. Apakah sekecil itu memori otakku? Sehingga tak bisa mengingat wajah Bari. Seingatku Bari adalah teman SD ku yang paling akrab. Setiap sore menjelang aku dan dia selalu bersama sama pergi ke lapangan basket untuk bermain. Aku dan dia sangat dekat. Astaga aku sekarang baru ingat Bari cinta monyetku. Seketika aku langsung canggung. Bagaimana bisa aku pacaran pada usia itu. Aku yakin saat itu aku bahkan belum hafal perkalian 8. Tunggu aku juga sekarang sering lupa perkalian 8.
“Mau kamu apakan sampah itu?” aku enggan menjawab pertanyaannya. Aku masih sibuk mengingat apakah aku sudah memutuskan hubungan cinta monyet dengan Bari atau belum “Yo?” aku tersentak saat dia memangil namaku dan melambai lambaikan tangannya kepadaku “Dibuang tapi bak sampahnya tutup” “aku temanin buang ke depan yuk” ah terimakasih Tuhan kamu menurunkan cuplikan kenangan masa lalu ku dan membiarkanya membantuku dari permasalahan buang sampah ini.
Dia mengambil alih tempat sampah dan berjalan mendahuluiku. Langkahnya terlalu cepat untuk diikuti “Bari, pelan pelan aku pendek.” Dengan terpaksa aku akui kalau aku pendek “kamu udah lama pindah ke kota ini” “emhh 2 tahunan. Ayahku selalu saja pindah tempat tugas dan itu sangat merepotkan kami sekeluarga. kamu tau saat SMP aku pernah dalam satu tahun ajaran pindah sebanyak 3 kali. Aku yakin pasti ada yang mengira kalau aku adalah vampir karena pindah pindah sekolah terus. Karena menurut komik yang aku baca. Vampir akan berpindah pindah tepat tinggal karena takut identitasnya terbongkar” Bari hanya bisa mendengar dengan senyum. Senyuman aneh tepatnya “kamu nggak berubah tetap berisik, yang berubah cuman sekarang kamu lebih cantik” apa ada orang yang mengatakan aku cantik ingin rasanya aku kembali ke sekolah dan berteriak ‘teman teman ada yang mengatakan aku cantik’ “rambutmu dulu lucu” aku tak ingat potongan rambutku saat SD. kenapa Bari selalu berbicara masa lalu, apa dia tidak tau aku kesulitan mengingat masa laluku “kamu masih suka main basket?” Hanya itu yang aku ingat dari Bari. “masih” aku yakin postur tubuhnya ini pasti dia dapat dari latihan rutin basket “kakak kamu masih suka nonton my heart the series?” aku sekarang ingat dulu Bari dan aku juga sering mengerjakan tugas bareng di rumahku dan ikut nonton sinetron my heart the series bersama. Dan kerena tokoh di sinetron itu aku dan Bari mengalami cinta monyet. Terimakasih sinetron. Aku yakin pasti wajahku merah saat ini “udah enggak. Kan sinetronnya udah enggak tayang.” Aku tersenyum, dia juga “kamu mirip Rachel, kamu tomboy dulu” Bari tersenyum tersipu. Dia sangat manis saat tersenyum “kamu juga mirip Farel dulu, kamu bisa main basket” entah kenapa berbicara dengan Bari membuatku lupa akan probelamtika hidupku “lucu yah kita dulu. Eh Yois kamu ingat nggak sih dulu waktu kita kelas 5 kita pacaran kan?” aku berhenti melangkah. Kenapa Bari selalu ingat kenangan masa kecil yang bodoh itu “iya. Lucu yah. Kita kayanya kena efek sinetron” aku tersenyum kikuk.
Kenapa tempat smapah yang ia bicarakan tak kunjung terlihat. Apa jangan jangan dia berbohong dengan mengatakan kalau ada tempat pembuangan sampah di dekat sini. Ini sebenarnya adalah perjalanan untuk melihat ‘seberapa idiotnya masa kecil Yois Natasaya’. Dia ikut berhenti melangkah “kamu pergi tiba tiba. Tanpa kata perpisahan dulu. Aku jadi bingung nyari kamu kemana” tunggu dia mencari aku? Untuk apa? Apa aku belum mengembalikan mainannya saat aku pindah rumah “kami pergi mendadak Bari. Aku aja kaget” dia hanya mengangguk ngangguk dan mulai berjalan lagi “keluarga kamu pindah ke sini Bar?” “Enggak, aku ikut bibi aku disini” aku mengejar langkahnya dan berusaha berjalan di sampingnya. “Kenapa? Kamu pasti kepingin masuk SMK nya yah” “enggak aku dengar kalo kamu ada di kota ini jadi aku kesini” aku yakin ia sedang bergurau. Dan aku menantikan kata ‘tapi boong’. Namun kata kata itu tak kunjung ia ucapkan “serius Bari, tapi kenapa?” Bari tak menjawab. Hanya berjalan dengan tatapan kosong “Bari” aku menepuk lengannya perlahan “aku suka kamu” aku tersentak mendengar ucapan Bari. Benarakah yang dia ucapkan atau telingaku yang salah menangkap apa yang dibicarakan Bari. Bagaimana bisa ada orang yang menyukaiku. Aku adalah Yois. Anak SMA yang cupu dan sering mendapat dugaan vampir. Aku Yois anak yang tak punya bakat apa apa. Aku Yois anak yang selalu aneh dan berisik “sejak kapan” bibirku begetar mengucapkan itu. Ada mantra apa sebenarnya di kalimat Bari. Kenapa kalimatnya bisa membuat seluruh tubuhku tak bisa berkoordinasi dengan baik ‘sejak kecil’. Sejak kamu mengatakan aku keren karena seperti Farel, sejak aku memberimu mahkota dari rumput. Aku tau kita memang masih sangat kecil saat itu. Tapi aku juga tak tau kenapa kamu tak bisa hilang dari ingatanku.
Aku melihat tempat pembuangaan sampah. Aku berhenti dan memperhatikan Bari membuang kertas kertas bekas itu. Aku tak pernah sadar kalau ada orang yang mencari keberadaanku selama ini. “ayo kita pulang. Hari sudah senja, nanti kamu dimarah seniormu” tunggu bagaimana dia tau tentang senior yang selalu menindasku. “bagaimana kamu tau?” “Aku sering meperhatikanmu” Aku tak pernah mengira kalau cuplikan masa laluku yang indah sekarang kutemukan dan kini dia ada di sebelahku. Cuplikan masa lalu membuat hari hariku yang penuh kehampaan kini membuatnya sedikit berwarna “jika aku kembali aku hanya disuruh membersihkan perpustakaan, Bari apa kamu ingat kita sering menirukan adegan adegan di sinetron my heart the series?” Bari tersenyum. “tentu aku ingat. Yang paling kamu sukai adalah mahkota rumput itu kan.” Aku terenyum “eh Bari aku mau bertanya” apa ini kenapa jantungku berdegup kencang. “apa bertanyalah. Aku akan menjawab” aku menyiapkan hatiku “kita masih pacaran kan?” Bari tersenyum dan menatapku. Aku mengalihkan pendanganku. Kenapa Bari yang sekarang begitu tampan dan begitu mempesona. Kenapa jantungku berdebar begini “seingatku kamu tak megatakan apa apa saat kamu pergi.” Jantungku semakin berdegup cepat “jadi…” Aku meberanikan diri menatap matanya “kamu sudah punya pacar selain aku” Bari bertanya “heh, tidak. Mana ada orang yang jatuh cinta kepada orang aneh seperti aku” “ada. Aku” aku tersenyum dan menepuk lengannya. “seharusnya aku bicara dari dulu, setiap kamis kita bertemu dan kita tak pernah bicara apa apa” aku tersenyum. Hari ini aku sangat bahagia “jadi kamu jangan selingkuh dariku yah Yois” apa secepat ini kah aku menemukan cinta. Atau selama ini aku sudah dicintai tapi aku tak pernah sadar. Hari ini sangat bahagia. Aku menemukan cuplikan masa laluku dan aku yakin cuplikan masa lalu ini akan membuatku bahagia. Akan mengangkatku dari relung penderitaan “tentu saja” aku tersenyum dan menggandeng tangannya.
Cerpen Karangan: Hana Decy Evita Noviana
Cuplikan Masa Lalu
4/
5
Oleh
Unknown