Judul Cerpen Dendam Seorang Anak
Byurrr!!!
Segayung air yang entah dari mana berhasil membasahi tubuh Pak Ferdi dan istrinya yang tak sadarkan diri. Kedua mata mereka perlahan-lahan terbuka. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat diri mereka terduduk saling membelakangi di lantai dapur yang dingin. Kedua kaki dan tangan mereka terikat tambang. Mulut mereka tertutup lakban sehingga mereka tak bisa berteriak meminta pertolongan. Berkali-kali mereka meronta mencoba melepaskan ikatan yang menjerat tangan dan kaki mereka, tapi ikatannya begitu kuat. Tanpa mereka sadari ada seseorang memperhatikan mereka dalam kegelapan. Sebuah senyuman sinis terukir di bibirnya.
Bau minyak tanah tercium sangat kuat. Pak Ferdi dan istrinya yang ketakutan kembali mencoba melepaskan ikatan, tapi tetap tak berhasil. Dalam mulut yang terbekap, istri Pak Ferdi menangis terisak. Dalam hatinya ia berharap ada seseorang yang datang menyelamatkannya dan suaminya. Tanpa diketahui Pak Ferdi, sebuah keputusasaan tergambar jelas di wajah istrinya. Sedangkan Pak Ferdi masih semangat berusaha melepaskan ikatan tangan istrinya. Berharap bila ikatan si istri sudah lepas, si istri segera melepaskan ikatannya dan segera pergi dari rumahnya sendiri tempat ia dan istrinya disekap.
Terdengar samar-samar suara langkah kaki seseorang yang mengarah pada mereka. Suasana yang sepi semakin mencekam tatkala suara langkah kaki semakin mendekat dan semakin terdengar jelas. Seorang gadis misterius kini berada tepat di hadapan Pak Ferdi dan istrinya. Seorang gadis yang menggunakan masker penutup mulut lalu membuka lakban penutup mulut Pak Ferdi dengan kasar.
“Auugh… siapa kamu? Lepaskan kami berdua!” Pak Ferdi mulai berontak.
Gadis itu hanya diam. Ia lalu mengambil minyak tanah dan menyiramkannya pada tubuh Pak Ferdi dan istrinya.
“Apa yang kau lakukan? Lepaskan kami! Kau boleh ambil semua hartaku, asal lepaskan kami sekarang,” tawar Pak Ferdi dengan wajah yang panik.
Plaaaakk
Wajah Pak Ferdi di tampar olehnya. Istri Pak Ferdi yang tak bisa melihat suaminya secara langsung, hanya bisa menangis dan berharap tak terjadi apa-apa dengan suaminya itu.
“Bagaimana rasanya Pak Ferdi? Sakit?” ucap gadis itu tiba-tiba.
“Siapa kamu? Sepertinya aku pernah mendengar suara itu.”
“Tentu kau pernah mendengar suaraku.” Gadis itu lalu membuka mulut masker penutup mulutnya.
“Bukankah kau sudah…?” tanya Pak Ferdi terkejut.
“Mati maksudmu?” gadis itu berjalan mengambil pisau kecil.
“Bagaimana bisa kau meloloskan diri dari kebakaran itu? Seharusnya kau sudah bersama Ayah dan Ibumu di alam baka sana.”
“Kau ingat pisau kecil ini? Pisau yang kau gunakan untuk membunuh Ayah dan Ibuku. Ketika kau membakar rumah kami, aku berhasil selamat berkat pisau kecil yang sengaja kau tinggalkan,” jelas gadis itu sambil memainkan pisau kecil di tangannya.
Gadis itu berjalan menghampiri istri Pak Ferdi. Gadis itu lalu mengarahkan pisau kecil ke wajah istri Pak Ferdi.
Sreeeett…
Pisau kecil gadis itu mendarat langsung di wajah istri Pak Ferdi dan berhasil membuatnya terluka. Gadis itu tersenyum sinis melihat wanita yang dicintai Pak Ferdi meringis kesakitan dalam diam.
“Apa yang kau lakukan pada istriku?” tanya Pak Ferdi ketakutan.
“Kau lihat darah di pisau ini? Ini adalah darah di wajah istrimu yang cantik, Pak Ferdi.”
Gadis itu berjalan mengambil korek api yang terletak di atas meja dekat kompor.
“Dulu kau membunuh Ayah dan Ibuku. Kau juga mencoba membakarku hidup-hidup. Sekarang kau dan istrimu bisa merasakan apa yang aku, Ayah, dan Ibuku rasakan. Matilah kalian!” ucapnya tersenyum sambil memasang kembali lakban penutup mulut Pak Ferdi.
Pak Ferdi hanya bisa menarik nafas panjang, pasrah bila ia dan istrinya harus mati di tangan gadis gila akibat ulahnya dulu. Gadis itu lalu menyalakan korek api dan melemparkannya pada tubuh Pak Ferdi dan istrinya. Seketika api membakar mereka hidup-hidup dan membakar seisi ruangan. Buru-buru gadis itu pergi meninggalkan mereka yang meronta-ronta kesakitan.
Gadis itu menikmati melihat kobaran api yang melalap rumah Pak Ferdi. Sebuah senyuman puas terukir di bibirnya yang mungil.
“Selamat tinggal! Sekarang kalian bisa menemani Ayah dan Ibuku di alam sana.” Gadis itu beranjak pergi meninggalkan rumah yang kini hampir rata dengan tanah.
Cerpen Karangan: Betry Silviana
Facebook: Betry Silviana
Byurrr!!!
Segayung air yang entah dari mana berhasil membasahi tubuh Pak Ferdi dan istrinya yang tak sadarkan diri. Kedua mata mereka perlahan-lahan terbuka. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat diri mereka terduduk saling membelakangi di lantai dapur yang dingin. Kedua kaki dan tangan mereka terikat tambang. Mulut mereka tertutup lakban sehingga mereka tak bisa berteriak meminta pertolongan. Berkali-kali mereka meronta mencoba melepaskan ikatan yang menjerat tangan dan kaki mereka, tapi ikatannya begitu kuat. Tanpa mereka sadari ada seseorang memperhatikan mereka dalam kegelapan. Sebuah senyuman sinis terukir di bibirnya.
Bau minyak tanah tercium sangat kuat. Pak Ferdi dan istrinya yang ketakutan kembali mencoba melepaskan ikatan, tapi tetap tak berhasil. Dalam mulut yang terbekap, istri Pak Ferdi menangis terisak. Dalam hatinya ia berharap ada seseorang yang datang menyelamatkannya dan suaminya. Tanpa diketahui Pak Ferdi, sebuah keputusasaan tergambar jelas di wajah istrinya. Sedangkan Pak Ferdi masih semangat berusaha melepaskan ikatan tangan istrinya. Berharap bila ikatan si istri sudah lepas, si istri segera melepaskan ikatannya dan segera pergi dari rumahnya sendiri tempat ia dan istrinya disekap.
Terdengar samar-samar suara langkah kaki seseorang yang mengarah pada mereka. Suasana yang sepi semakin mencekam tatkala suara langkah kaki semakin mendekat dan semakin terdengar jelas. Seorang gadis misterius kini berada tepat di hadapan Pak Ferdi dan istrinya. Seorang gadis yang menggunakan masker penutup mulut lalu membuka lakban penutup mulut Pak Ferdi dengan kasar.
“Auugh… siapa kamu? Lepaskan kami berdua!” Pak Ferdi mulai berontak.
Gadis itu hanya diam. Ia lalu mengambil minyak tanah dan menyiramkannya pada tubuh Pak Ferdi dan istrinya.
“Apa yang kau lakukan? Lepaskan kami! Kau boleh ambil semua hartaku, asal lepaskan kami sekarang,” tawar Pak Ferdi dengan wajah yang panik.
Plaaaakk
Wajah Pak Ferdi di tampar olehnya. Istri Pak Ferdi yang tak bisa melihat suaminya secara langsung, hanya bisa menangis dan berharap tak terjadi apa-apa dengan suaminya itu.
“Bagaimana rasanya Pak Ferdi? Sakit?” ucap gadis itu tiba-tiba.
“Siapa kamu? Sepertinya aku pernah mendengar suara itu.”
“Tentu kau pernah mendengar suaraku.” Gadis itu lalu membuka mulut masker penutup mulutnya.
“Bukankah kau sudah…?” tanya Pak Ferdi terkejut.
“Mati maksudmu?” gadis itu berjalan mengambil pisau kecil.
“Bagaimana bisa kau meloloskan diri dari kebakaran itu? Seharusnya kau sudah bersama Ayah dan Ibumu di alam baka sana.”
“Kau ingat pisau kecil ini? Pisau yang kau gunakan untuk membunuh Ayah dan Ibuku. Ketika kau membakar rumah kami, aku berhasil selamat berkat pisau kecil yang sengaja kau tinggalkan,” jelas gadis itu sambil memainkan pisau kecil di tangannya.
Gadis itu berjalan menghampiri istri Pak Ferdi. Gadis itu lalu mengarahkan pisau kecil ke wajah istri Pak Ferdi.
Sreeeett…
Pisau kecil gadis itu mendarat langsung di wajah istri Pak Ferdi dan berhasil membuatnya terluka. Gadis itu tersenyum sinis melihat wanita yang dicintai Pak Ferdi meringis kesakitan dalam diam.
“Apa yang kau lakukan pada istriku?” tanya Pak Ferdi ketakutan.
“Kau lihat darah di pisau ini? Ini adalah darah di wajah istrimu yang cantik, Pak Ferdi.”
Gadis itu berjalan mengambil korek api yang terletak di atas meja dekat kompor.
“Dulu kau membunuh Ayah dan Ibuku. Kau juga mencoba membakarku hidup-hidup. Sekarang kau dan istrimu bisa merasakan apa yang aku, Ayah, dan Ibuku rasakan. Matilah kalian!” ucapnya tersenyum sambil memasang kembali lakban penutup mulut Pak Ferdi.
Pak Ferdi hanya bisa menarik nafas panjang, pasrah bila ia dan istrinya harus mati di tangan gadis gila akibat ulahnya dulu. Gadis itu lalu menyalakan korek api dan melemparkannya pada tubuh Pak Ferdi dan istrinya. Seketika api membakar mereka hidup-hidup dan membakar seisi ruangan. Buru-buru gadis itu pergi meninggalkan mereka yang meronta-ronta kesakitan.
Gadis itu menikmati melihat kobaran api yang melalap rumah Pak Ferdi. Sebuah senyuman puas terukir di bibirnya yang mungil.
“Selamat tinggal! Sekarang kalian bisa menemani Ayah dan Ibuku di alam sana.” Gadis itu beranjak pergi meninggalkan rumah yang kini hampir rata dengan tanah.
Cerpen Karangan: Betry Silviana
Facebook: Betry Silviana
Dendam Seorang Anak
4/
5
Oleh
Unknown