Judul Cerpen Doko ka?
Hawa dingin tengah melanda kota Osaka. Meski telah memasuki bulan Maret, salju tetap turun tanpa mengurangi jumlahnya. Tidak banyak orang yang lalu lalang di jalan. Sekolah masih libur karena cuaca terlalu buruk bagi kesehatan siswa. Tapi beberapa tempat kerja masih berjalan.
Namanya Akagawa Manami, wanita 25 tahun yang bekerja di sebuah kantor swasta, bagian koordinator. Hari Jumat ini, dia pulang lebih awal karena adiknya sedang sakit di rumah. Lagipula, kepala kantor juga memintanya untuk pulang terlebih dahulu, daripada membuat adiknya menunggu. Manami sangat berterima kasih pada pengertian atasannya.
Sudah 15 menit ini Manami duduk di halte. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 18.15. Bosan menunggu bus yang tidak datang-datang, kepalanya tampak celingak-celinguk mencari sesuatu. Beruntung, sebuah toko makanan cepat saji masih buka. Dia segera berlari ke sana dan membeli 1 burger, serta 1 porsi kentang goreng.
“Dibawa pulang atau dimakan di sini, nyonya?”
“Dibawa pulang saja.”
“Baik. Jadi, jumlahnya…”
Setelah seluruh belanjaan dihitung, Manami menyerahkan sejumlah uang. Sebagai gantinya, pegawai berambut hitam nan panjang itu menyerahkan struk belanjaan. Di wajah putihnya terukir senyum ramah sambil berkata, “Terima kasih. Selamat berkunjung kembali!”
Manami hanya mendengus kesal sambil berjalan ke luar toko. Di luar, badai salju tengah menerjang begitu keras. Dia tampak terkejut kemudian kembali masuk ke dalam toko. Pegawai yang tadi menyambut kembali sambil tersenyum ceria. Tapi sikap profesional itu malah membuatnya terlihat seperti robot otomatis. Manami hanya mengacuhkannya, kemudian menunggu di pintu toko hingga badai mereda.
Seperti perkiraannya, badai itu mereda beberapa saat kemudian. Entah itu sebuah keajaiban atau memang itu yang terjadi pada alam. Manami segera berlari menuju rumahnya yang cukup jauh dari toko tersebut.
“Tadaima…”
“Okaerinasai, nee-san!” sambut adik tunggal Manami, Akagawa Ryo, anak laki-laki berumur 7 tahun yang tengah diserang flu.
“Ryo-kun, aku hanya membawa burger dan kentang goreng. Tidak sempat pergi ke minimarket sih. Badainya terlalu parah.”
Manami membuka bungkusan yang ia bawa, lalu menyerahkan 1 porsi burger pada adiknya. Adiknya langsung menerima burger itu dan menggigitnya. “Bagaimana dengan nee-san?”
“Aku sudah makan di kantor. Fuaah… sialan sekali tadi, tidak ada bus yang lewat. Padahal aku berharap tidak perlu menapaki salju lagi.”
Manami melepas mantelnya, juga jas kerjanya. Ia mengeluh pada Ryo, “Ngomong-ngomong, pegawai di toko makanan cepat saji itu kok ngeselin banget, ya?”
“Ngeselin gimana?”
“Sikapnya sangat otomatis, seperti robot. Aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya. Setidaknya, dia bisa mengajak ngobrol pengunjung sementara makanan sedang dibuat. Huh.”
“Ahahaha! Mungkin dia pegawai baru?”
“Entahlah! Oh ya, bagaimana dengan flu-mu, Ryo-kun?”
“Sudah mereda. Nee-san langsung istirahat saja. Aku masih harus merapikan tempat ini.”
“Eeh? Bukannya aku yang harus bilang begitu. Tapi terima kasih, ya? Soalnya, mungkin aku terserang flu juga. Hachu!!”
“Ehehe… kita impas.”
“Hmm… jangan bangun terlalu larut, ya? Maksimal pukul 21.00 harus tidur!”
Setelah memberi peringatan itu, Manami masuk ke dalam kamarnya kemudian merebahkan badan di kasur. Tiba-tiba ponselnya bergetar, menunjukkan pesan masuk dari seseorang. Pesan itu dari temannya yang bekerja di toko makanan cepat saji tersebut.
‘Manami, tolong aku! Aku terkunci.’
Manami hanya mengernyitkan dahinya setelah membaca pesan tersebut. Ia hanya membalas singkat, ‘Jangan bercanda.’
Karena terlalu lama menunggu balasan, Manami hampir saja tertidur. Tapi sebelum itu, ia meneriaki Ryo, “Ryo-kun! Sudah tidur?”
Tidak ada sahutan. Manami berpikir Ryo sudah tidur. Karena itu, dia mulai memejamkan mata, lalu mulai terbuai bunga mimpi.
“Mmh…,” gumam Manami. Ia menggeliat di kasur, matanya berkedip beberapa kali, kemudian menengok arloji yang masih menempel di tangan.
“Pukul 21.00? Kupikir aku tertidur jam sembilan juga…”
Karena merasa tenggorokannya kering, Manami berjalan menuju dapur, mengambil sekotak jus, lalu meminumnya. Setelah itu, ia pergi ke ruang tamu.
“Ryo-kun?”
Manami terhenyak melihat ruang tamu yang sangat berantakan. Lampunya pun masih hidup. Tapi di sana, tidak ada adik yang ia cari.
“Mungkin dia sudah tidur?”
Wanita itu pun berjalan ke kamar Ryo. Dibukanya pelan-pelan pintu itu. Namun lampunya masih menyala begitu cerah, penghuninya pun tidak ada di sana. Manami mulai khawatir dan berteriak-teriak di rumah, “Ryo-kun! Ryo! Ryo-kun! Di mana kamu?”
Semua sudut rumah telah Manami tengok, tapi Ryo tetap tidak ada. Manami tidak berpikir untuk bertanya pada tetangga, mengingat waktu sudah cukup larut malam, ia juga tidak begitu harmonis dengan tetangga-tetangga. Karena ditelan panik, Manami segera meraih ponsel dan hendak memanggil polisi.
Namun, apa yang terpampang di layar ponsel pintarnya bukan halaman home seperti biasa, melainkan pop-up pesan baru. Dilihatnya pesan baru itu, kemudian terkejut.
‘Manami, aku terkunci di tokoku sendiri. Adikmu juga ada di sini!’
Awalnya, Manami terbelalak dan tidak mempercayai pesan itu. Tapi, ia langsung menaruh perhatian lebih ketika temannya mengirimkan foto dirinya dan Ryo yang hampir membeku karena dingin. Jantung Manami berdesir begitu cepat karena khawatir.
Manami bergegas mengganti rok spannya menjadi celana panjang, dan meraih mantel bulu yang lebih tebal dari pada yang tadi. Syal telah melingkari lehernya, sepatu boot telah melindungi kakinya. Dia mengunci rumah, kemudian berlari ke toko makanan cepat saji.
“RYO-KUUN! Fujimiya!!”
Teriakan Manami disertai suara serak karena habis-habisan menahan isak tangis saat berlari tadi. Ia hanya bisa menggedor-gedor pintu kaca toko tersebut. Suara gedorannya begitu keras, sampai-sampai orang yang tinggal di sekitarnya segera berkumpul.
“Tolong adik dan teman saya! Mereka terkunci di dalam toko ini!” pinta Manami pada salah satu pria yang menggunakan mantel hijau. Pria itu tengah berusaha untuk mencongkel paksa bagian tengah pintu.
“Celah pintunya membeku karena es!”
“Bagaimana mungkin?! Kalau begitu kita dobrak saja sampai pecah!”
Beberapa orang pun segera mengangkat potongan besar salah satu pohon yang tumbang akibat angin kencang. Mereka berteriak begitu keras lalu mendorongnya ke arah pintu. Bukannya berbunyi pecah dan meninggalkan potongan kaca, pintu itu tak bergeming sama sekali. Manami terduduk lemas karena melihat dua orang terdekatnya sedang menggigil di dalam toko.
“Minggir sebentar, nona,” pinta salah satu pria.
Manami terhenyak, kemudian mundur setelah melihat pria berkumis tersebut. Dari bisik-bisik orang sekitar, pria itu adalah manajer dari cabang toko ini. Apa yang dilakukan pria itu tak lain dan tak bukan adalah menyalakan api kemudian mendekatkannya ke arah celah pintu. Es yang membeku pun meleleh, sehingga lubang pintunya dapat dimasuki kunci. Pintu terbuka dan Manami langsung menghambur masuk.
“Ambulans! Panggil ambulans!”
Keadaan Ryo dan teman Manami, Fujimiya, sangat buruk. Tapi lebih buruk Fujimiya. Karena mantelnya ia pakaikan pada Ryo, tubuhnya yang hanya berbalut kemeja kerja itu tidak dapat bertahan. Untung saja, ambulans segera datang beberapa saat kemudian. Fujimiya dan Ryo langsung dibawa ke rumah sakit.
“Nona Akagawa,” panggil pria yang mana adalah manajer tadi. Manami bergeming dari tempat duduknya di ruang tunggu.
“Ah, Paman manajer. Terima kasih sudah membantu saya.”
“Tidak, bukan masalah besar kok. Oh ya, tentang kejadian yang menimpa adik dan teman Nona, bukan sembarang kejadian.”
“Eh?”
“Apakah sebelumnya, Akagawa-kun memakan burger yang Nona Akagawa beli dari toko itu?”
“I-iya, Paman.”
“Berarti sebelumnya, Nona Akagawa telah berkunjung ke toko itu, lalu dilayani oleh seorang wanita berambut hitam dengan kulit putih pucat?”
Manami terhenyak. Ia bingung karena manajer tersebut dapat mengetahui ciri-ciri orang yang melayaninya. “Benar. Dia yang melayani saya.”
Paman manajer menghela napas berat. Ia berkata, “Kejadian ini sudah berulang kali menimpa beberapa pelanggan ketika musim dingin. Berawal dari pelayan berambut hitam dan kulit putih pucat, kemudian seseorang terkunci di dalam toko.”
“Apa maksudnya, Paman?!”
“Yuki Onna. Dia menyamar menjadi pegawai di tokoku, menculik orang yang memakan masakannya untuk dibawa pada ketiadaan.”
Setelah mendengar itu, Manami bersyukur adiknya masih ada di kamar rumah sakit. Karena ketiadaan berarti, dunia kematian. Wanita itu pun hendak menghela napas lega.
“Akagawa-san, Ryo-kun dan Fujimiya-san menghilang dari kamar mereka!” teriak salah satu suster.
Manami tidak jadi menghela napas lega karena pingsan.
“Doko… ka?” bisik seseorang dari kejauhan
Cerpen Karangan: Ita P
Facebook: Hatsune Miki
Hawa dingin tengah melanda kota Osaka. Meski telah memasuki bulan Maret, salju tetap turun tanpa mengurangi jumlahnya. Tidak banyak orang yang lalu lalang di jalan. Sekolah masih libur karena cuaca terlalu buruk bagi kesehatan siswa. Tapi beberapa tempat kerja masih berjalan.
Namanya Akagawa Manami, wanita 25 tahun yang bekerja di sebuah kantor swasta, bagian koordinator. Hari Jumat ini, dia pulang lebih awal karena adiknya sedang sakit di rumah. Lagipula, kepala kantor juga memintanya untuk pulang terlebih dahulu, daripada membuat adiknya menunggu. Manami sangat berterima kasih pada pengertian atasannya.
Sudah 15 menit ini Manami duduk di halte. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 18.15. Bosan menunggu bus yang tidak datang-datang, kepalanya tampak celingak-celinguk mencari sesuatu. Beruntung, sebuah toko makanan cepat saji masih buka. Dia segera berlari ke sana dan membeli 1 burger, serta 1 porsi kentang goreng.
“Dibawa pulang atau dimakan di sini, nyonya?”
“Dibawa pulang saja.”
“Baik. Jadi, jumlahnya…”
Setelah seluruh belanjaan dihitung, Manami menyerahkan sejumlah uang. Sebagai gantinya, pegawai berambut hitam nan panjang itu menyerahkan struk belanjaan. Di wajah putihnya terukir senyum ramah sambil berkata, “Terima kasih. Selamat berkunjung kembali!”
Manami hanya mendengus kesal sambil berjalan ke luar toko. Di luar, badai salju tengah menerjang begitu keras. Dia tampak terkejut kemudian kembali masuk ke dalam toko. Pegawai yang tadi menyambut kembali sambil tersenyum ceria. Tapi sikap profesional itu malah membuatnya terlihat seperti robot otomatis. Manami hanya mengacuhkannya, kemudian menunggu di pintu toko hingga badai mereda.
Seperti perkiraannya, badai itu mereda beberapa saat kemudian. Entah itu sebuah keajaiban atau memang itu yang terjadi pada alam. Manami segera berlari menuju rumahnya yang cukup jauh dari toko tersebut.
“Tadaima…”
“Okaerinasai, nee-san!” sambut adik tunggal Manami, Akagawa Ryo, anak laki-laki berumur 7 tahun yang tengah diserang flu.
“Ryo-kun, aku hanya membawa burger dan kentang goreng. Tidak sempat pergi ke minimarket sih. Badainya terlalu parah.”
Manami membuka bungkusan yang ia bawa, lalu menyerahkan 1 porsi burger pada adiknya. Adiknya langsung menerima burger itu dan menggigitnya. “Bagaimana dengan nee-san?”
“Aku sudah makan di kantor. Fuaah… sialan sekali tadi, tidak ada bus yang lewat. Padahal aku berharap tidak perlu menapaki salju lagi.”
Manami melepas mantelnya, juga jas kerjanya. Ia mengeluh pada Ryo, “Ngomong-ngomong, pegawai di toko makanan cepat saji itu kok ngeselin banget, ya?”
“Ngeselin gimana?”
“Sikapnya sangat otomatis, seperti robot. Aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya. Setidaknya, dia bisa mengajak ngobrol pengunjung sementara makanan sedang dibuat. Huh.”
“Ahahaha! Mungkin dia pegawai baru?”
“Entahlah! Oh ya, bagaimana dengan flu-mu, Ryo-kun?”
“Sudah mereda. Nee-san langsung istirahat saja. Aku masih harus merapikan tempat ini.”
“Eeh? Bukannya aku yang harus bilang begitu. Tapi terima kasih, ya? Soalnya, mungkin aku terserang flu juga. Hachu!!”
“Ehehe… kita impas.”
“Hmm… jangan bangun terlalu larut, ya? Maksimal pukul 21.00 harus tidur!”
Setelah memberi peringatan itu, Manami masuk ke dalam kamarnya kemudian merebahkan badan di kasur. Tiba-tiba ponselnya bergetar, menunjukkan pesan masuk dari seseorang. Pesan itu dari temannya yang bekerja di toko makanan cepat saji tersebut.
‘Manami, tolong aku! Aku terkunci.’
Manami hanya mengernyitkan dahinya setelah membaca pesan tersebut. Ia hanya membalas singkat, ‘Jangan bercanda.’
Karena terlalu lama menunggu balasan, Manami hampir saja tertidur. Tapi sebelum itu, ia meneriaki Ryo, “Ryo-kun! Sudah tidur?”
Tidak ada sahutan. Manami berpikir Ryo sudah tidur. Karena itu, dia mulai memejamkan mata, lalu mulai terbuai bunga mimpi.
“Mmh…,” gumam Manami. Ia menggeliat di kasur, matanya berkedip beberapa kali, kemudian menengok arloji yang masih menempel di tangan.
“Pukul 21.00? Kupikir aku tertidur jam sembilan juga…”
Karena merasa tenggorokannya kering, Manami berjalan menuju dapur, mengambil sekotak jus, lalu meminumnya. Setelah itu, ia pergi ke ruang tamu.
“Ryo-kun?”
Manami terhenyak melihat ruang tamu yang sangat berantakan. Lampunya pun masih hidup. Tapi di sana, tidak ada adik yang ia cari.
“Mungkin dia sudah tidur?”
Wanita itu pun berjalan ke kamar Ryo. Dibukanya pelan-pelan pintu itu. Namun lampunya masih menyala begitu cerah, penghuninya pun tidak ada di sana. Manami mulai khawatir dan berteriak-teriak di rumah, “Ryo-kun! Ryo! Ryo-kun! Di mana kamu?”
Semua sudut rumah telah Manami tengok, tapi Ryo tetap tidak ada. Manami tidak berpikir untuk bertanya pada tetangga, mengingat waktu sudah cukup larut malam, ia juga tidak begitu harmonis dengan tetangga-tetangga. Karena ditelan panik, Manami segera meraih ponsel dan hendak memanggil polisi.
Namun, apa yang terpampang di layar ponsel pintarnya bukan halaman home seperti biasa, melainkan pop-up pesan baru. Dilihatnya pesan baru itu, kemudian terkejut.
‘Manami, aku terkunci di tokoku sendiri. Adikmu juga ada di sini!’
Awalnya, Manami terbelalak dan tidak mempercayai pesan itu. Tapi, ia langsung menaruh perhatian lebih ketika temannya mengirimkan foto dirinya dan Ryo yang hampir membeku karena dingin. Jantung Manami berdesir begitu cepat karena khawatir.
Manami bergegas mengganti rok spannya menjadi celana panjang, dan meraih mantel bulu yang lebih tebal dari pada yang tadi. Syal telah melingkari lehernya, sepatu boot telah melindungi kakinya. Dia mengunci rumah, kemudian berlari ke toko makanan cepat saji.
“RYO-KUUN! Fujimiya!!”
Teriakan Manami disertai suara serak karena habis-habisan menahan isak tangis saat berlari tadi. Ia hanya bisa menggedor-gedor pintu kaca toko tersebut. Suara gedorannya begitu keras, sampai-sampai orang yang tinggal di sekitarnya segera berkumpul.
“Tolong adik dan teman saya! Mereka terkunci di dalam toko ini!” pinta Manami pada salah satu pria yang menggunakan mantel hijau. Pria itu tengah berusaha untuk mencongkel paksa bagian tengah pintu.
“Celah pintunya membeku karena es!”
“Bagaimana mungkin?! Kalau begitu kita dobrak saja sampai pecah!”
Beberapa orang pun segera mengangkat potongan besar salah satu pohon yang tumbang akibat angin kencang. Mereka berteriak begitu keras lalu mendorongnya ke arah pintu. Bukannya berbunyi pecah dan meninggalkan potongan kaca, pintu itu tak bergeming sama sekali. Manami terduduk lemas karena melihat dua orang terdekatnya sedang menggigil di dalam toko.
“Minggir sebentar, nona,” pinta salah satu pria.
Manami terhenyak, kemudian mundur setelah melihat pria berkumis tersebut. Dari bisik-bisik orang sekitar, pria itu adalah manajer dari cabang toko ini. Apa yang dilakukan pria itu tak lain dan tak bukan adalah menyalakan api kemudian mendekatkannya ke arah celah pintu. Es yang membeku pun meleleh, sehingga lubang pintunya dapat dimasuki kunci. Pintu terbuka dan Manami langsung menghambur masuk.
“Ambulans! Panggil ambulans!”
Keadaan Ryo dan teman Manami, Fujimiya, sangat buruk. Tapi lebih buruk Fujimiya. Karena mantelnya ia pakaikan pada Ryo, tubuhnya yang hanya berbalut kemeja kerja itu tidak dapat bertahan. Untung saja, ambulans segera datang beberapa saat kemudian. Fujimiya dan Ryo langsung dibawa ke rumah sakit.
“Nona Akagawa,” panggil pria yang mana adalah manajer tadi. Manami bergeming dari tempat duduknya di ruang tunggu.
“Ah, Paman manajer. Terima kasih sudah membantu saya.”
“Tidak, bukan masalah besar kok. Oh ya, tentang kejadian yang menimpa adik dan teman Nona, bukan sembarang kejadian.”
“Eh?”
“Apakah sebelumnya, Akagawa-kun memakan burger yang Nona Akagawa beli dari toko itu?”
“I-iya, Paman.”
“Berarti sebelumnya, Nona Akagawa telah berkunjung ke toko itu, lalu dilayani oleh seorang wanita berambut hitam dengan kulit putih pucat?”
Manami terhenyak. Ia bingung karena manajer tersebut dapat mengetahui ciri-ciri orang yang melayaninya. “Benar. Dia yang melayani saya.”
Paman manajer menghela napas berat. Ia berkata, “Kejadian ini sudah berulang kali menimpa beberapa pelanggan ketika musim dingin. Berawal dari pelayan berambut hitam dan kulit putih pucat, kemudian seseorang terkunci di dalam toko.”
“Apa maksudnya, Paman?!”
“Yuki Onna. Dia menyamar menjadi pegawai di tokoku, menculik orang yang memakan masakannya untuk dibawa pada ketiadaan.”
Setelah mendengar itu, Manami bersyukur adiknya masih ada di kamar rumah sakit. Karena ketiadaan berarti, dunia kematian. Wanita itu pun hendak menghela napas lega.
“Akagawa-san, Ryo-kun dan Fujimiya-san menghilang dari kamar mereka!” teriak salah satu suster.
Manami tidak jadi menghela napas lega karena pingsan.
“Doko… ka?” bisik seseorang dari kejauhan
Cerpen Karangan: Ita P
Facebook: Hatsune Miki
Doko ka?
4/
5
Oleh
Unknown