Judul Cerpen Kaukah Itu?
“Oke, waktu kalian tiga menit untuk menghafal semua kata ini dari sekarang” Nafisa memberikan penjelasan kepada anak-anak yang tengah duduk di hadapannya. Sesekali dirinya melirik ke arah teriknya matahari. Memastikan bahwa anak-anak ini tidak akan kepanasan. Sesekali juga dirinya melihat ke arah bisingnya suara klakson kendaraan. Begitu bising. Panas. Dirinya merasa seperti ikan asin yang tengah dijemur. Sudah tidak ada lagi tempat teduh untuknya. Karena tempat teduh itu hanya cukup untuk anak-anak.
Nafisa memandangi anak-anak itu. Mereka begitu bersemangat untuk belajar. Suara bising klakson bahkan panas mataharipun tidak akan menyurutkan semangat mereka. Meskipun langit dan rumput tamanlah sekolah bagi mereka. Namun senyum dan tawa mereka tetap merekah. Nafisa masih ingat betul bagaimana sulitnya dulu ia meyakinkan anak-anak itu tentang pentingnya belajar. Mendapat celaan. Namun kini mereka berkumpul. Belajar bersama. Meski mereka tetap menjalani hidup mereka sebagai anak jalanan. Mengamen. Menjajakan Koran. Namun tetap mendapakan hak mereka sebagai anak Indonesia. Pendidikan. Dan hari ini dirinya tidak akan menyerah oleh sang surya.
Nafisa melihat ke arah jam tangannya. Tiga menit sudah berlalu. “Oke semuanya, waktunya sudah habis. Sekarang siapa yang mau maju duluan untuk menghafal?” tanya Nafisa pada anak-anak itu. Dirinya menunggu sebuah jawaban. Namun mereka diam. Hening. Berharap akan ada suara yang mengajukan diri. Namun tidak ada. “Baiklah, kakak akan menunjuk satu di antara kalian untuk maju”
“Jangan kak!” akhirnya sebuah suara terdengar. Seorang bocah laki-laki dekil yang duduk tepat di depannya. “Jangan kak! Kita belum hafal. Lebih baik kita hafalinnya bareng-bareng aja”, pinta bocah itu pada Nafisa.
“Waktu tiga menit masak kalian belum hafal sih. Ya udah kakak beri tambahan…” Ponselnya tiba-tiba berdering. Dering ponsel dalam saku roknya memotong pembicaraannya. Tangannya langsung meraih ponsel dalam saku roknya. Sebuah panggilan bertuliskan “BOSS” tertera di layar ponselnya. Nafisa langsung berjalan beberapa langkah. Menjauh beberapa meter dari anak-anak itu.
Ada apa Bu Arini menelpon. Adakah sesuatu? Bukankah aku sudah mengatakan untuk mengambil cuti selama seminggu. Pikirnya dalam hati.
Segera Nafisa menjawab telepon itu. “Halo. Assalamualaikum Bu…”
“Halo. Waalaikumsalam Nafisa. Kamu pasti bingung kenapa saya menelepon kamu. Begini ada seorang fotografer dari Jerman yang datang ke Indonesia. Dan pihaknya meminta kita mencarikan guide untuknya. Jadi terus terang saja, saya ingin kamu kerja lagi. Jangan ambil cuti” potong sebuah suara dari seorang wanita yang berada di seberang teleponnya. Berbicara panjang lebar tanpa jeda.
Nafisa terdiam. Guide lagi? Tanyanya dalam hati. “Maksudnya saya yang jadi guide untuk fotografer itu?” jawabnya setelah dirinya diam sejenak.
“Yup”, sebuah jawaban singkat dan tegas dari wanita itu.
“Tapi saya sudah meminta ijin untuk cuti dan…”
“Saya tahu. Tapi perusahaan kita sudah terlanjur terikat kontrak dengan pihaknya. Dan hanya kamu guide yang cocok dengan kriteria yang mereka ajukan. Jadi saya ingin kamu yang menjadi guide untuknya. Saya tidak ingin mendengar kata tapi lagi. Saya akan segera mengirimkan biodata dan foto dari fotografer itu. Nafisa saya harap kamu bisa mengerti. Oh iya, sebaiknya kamu harus bersiap hari ini. Karena besok pekerjaan kamu dimulai. Dan satu lagi, dia seorang laki-laki. Assalamualaikum” potong wanita itu lagi. Menjelaskan dengan panjang lebar. Tanpa jeda. Dan langsung menutup teleponnya.
“Waalaikumsalam” hanya kata itu yang sempat Nafisa ucapkan sesaat setelah wanita itu menutup teleponnya.
Apa? Laki-laki? Menjadi guide untuk turis laki-laki? Tanyanya dalam hati. Dirinya bingung setelah mendengar penjelasan terakhir dari Bu Arini. Kata laki-laki membuat dirinya terdiam. Berpikir. Bagaimana mungkin? Bukankah perjanjianku hanya menjadi guide khusus turis perempuan? Tapi kenapa laki-laki diserahkan padaku? Nafisa terus bertanya-tanya dalam hatinya.
Ttttiiiiinnn!!!! Suara klakson mobil yang begitu keras mengejutkan Nafisa. Dirinya terperangah. Sadar bahwa sedari tadi dia hanya diam berdiri tanpa arah.
Nafisa kembali menuju anak-anak. Langkahnya begitu berat. Entahlah. Nafisa merasa dirinya harus mengatakan hal yang sulit.
“Maaf. Tadi lama ya”, ucapannya begitu berat. “Tadi sampe mana? Oh iya, kakak akan memberikan waktu dua menit lagi untuk kalian menghafal semua kata ini” lanjutnya.
Nafisa terdiam. Dirinya memandangi anak-anak itu. Keseriusan mereka dalam belajar membuat Nafisa berat hati untuk membatalkan janjinya dengan mereka. Entah kata apa yang tepat yang harus dia ucapkan kepada anak-anak itu nantinya.
Nafisa merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Rasanya begitu nyaman. Matanya memandang ke langit-langit atap kamarnya. Wajahnya terlihat sedang memikirkan suatu hal. Memikirkan anak-anak itu. Ada dua tanggung jawab yang ada di pundaknya saat ini. Mereka. Dan pekerjaannya. Dan hari ini, entah sudah kali keberapa dirinya harus mengecewakan mereka. Mengingkari janji yang telah dia buat dengan anak-anak itu. Sebuah janji untuk mengajari mereka selama seminggu penuh. Dan wajah kekecawaan dari anak-anak itu telah membayangi pikiran Nafisa saat ini.
Line. Bunyi ponsel Nafisa menghentikan lamunannya. Dirinya langsung meraih ponsel yang ada di dekatnya. Sebuah pesan dari sebuah nama yang bertuliskan “BOSS” tertera di layar ponselnya. Nafisa segera membuka pesan itu.
“Ini biodata dan fotonya. Fotografer itu hanya akan mengunjungi dua tempat. Bromo dan Karimunjawa. Perjalanan kamu akan dimulai besok. Saya harap kamu bisa menjadi guide yang baik untuknya.” Itulah isi pesan singkat bossnya, Bu Arini.
Sebenarnya Nafisa enggan untuk menerima tawaran ini. Namun itu adalah pekerjaannya. Tanggung jawabnya. Dan dengan berat hati dia mengiyakan tawaran ini.
“Iya, terimakasih Bu Arini”. Begitulah Nafisa membalas pesan itu. Nafisa tidak ingin menanyakan kenapa harus dirinya. Karena dia tidak ingin berdebat dengan wanita yang telah banyak membantunya.
Segera Nafisa membuka foto turis pria itu. Foto apa ini? Hanya foto pemandangan pegunungan dengan hamparan padang rumput luas dan seorang pria berdiri dengan memalingkan wajahnya sambil membawa kamera? Bahkan wajahnya pun tidak terlihat jelas. Bagaimana aku bisa menemui pria ini? Celotehnya dalam hati. Kemudian Nafisa pun membuka biodata turis pria itu.
Name/age: Alex Anderson/24 years old
From: Germany. Photographer for nature.
Seketika Nafisa terkejut. Alex Anderson? 24 tahun? Tanyanya dalam hati. Sekilas nama itu mengingatkannya pada seorang laki-laki. Seseorang yang pernah dia temui beberapa tahun lalu. Tepatnya seseorang yang pernah dia kenal lewat sosial media. Seseorang yang pernah menempati ruang di hati Nafisa. Namun, laki-laki itu telah menghilang dari ketidaktahuannya. Dan dirinya selalu bertanya-tanya. Karena setelah itu, Nafisa tidak lagi bisa menemukannya di sosial media manapun.
Nafisa kembali membuka foto turis pria itu. Nama dan usia yang sama. Jerman? Sedangkan dia dari Amerika bukan Jerman. Tapi, kau kah itu? Tidak mungkin! Begitu banyak laki-laki yang bernama Alex Anderson di dunia ini. Mana mungkin takdir akan membawanya kepadaku dan juga sebaliknya. Pikirnya. Konflik batin yang dialaminya saat ini membuatnya terus berpikir. Berulang kali dirinya mencoba untuk mengenali wajah pria dalam foto itu. Namun, tetap saja tidak bisa. Karena wajah pria itu tidak terlihat jelas. Atau bahkan memang tidak jelas.
Tidak! Kenapa aku teringat lagi olehnya. Astaghfirullah Nafisa! Nafisa menghempaskan ponselnya ke tempat tidur. Dirinya tersadar. Mencoba membenahi pikirannya dan juga perasaannya.
Suara azan maghrib menyadarkan Nafisa. Dia pun langsung ke luar dari kamarnya untuk mengambil air wudhu. Kemudian Nafisa segera mendirikan salat.
Setelah melaksanakan salat, Nafisa memanjatkan doa. Tangannya menengadah. Tanpa sadar dia mendapati air matanya telah membasahi pipinya. Dirinya menangis.
‘Wahai dzat yang Maha membolak-balikan hati. Jika sekiranya dia tidak ditakdirkan untukku, dan aku tidak pula untuknya, maka jauhkanlah diriku dari memikirkannya dan jauhkanlah dirinya dari memikiranku’. Doanya dalam hati. Dirinya merasa telah melakukan sebuah dosa. Memikirkan seseorang yang tak seharusnya dia pikirkan. Dan itu adalah zina baginya. Zina hati.
Nafisa terus menangis. Menangis di atas sajadahnya. Sampai akhirnya dia menutup matanya. Dan terlelap tidur di atas sajadahnya.
Cerpen Karangan: Seila Nafisa
Facebook: Seila Nafisa Nastiti
“Oke, waktu kalian tiga menit untuk menghafal semua kata ini dari sekarang” Nafisa memberikan penjelasan kepada anak-anak yang tengah duduk di hadapannya. Sesekali dirinya melirik ke arah teriknya matahari. Memastikan bahwa anak-anak ini tidak akan kepanasan. Sesekali juga dirinya melihat ke arah bisingnya suara klakson kendaraan. Begitu bising. Panas. Dirinya merasa seperti ikan asin yang tengah dijemur. Sudah tidak ada lagi tempat teduh untuknya. Karena tempat teduh itu hanya cukup untuk anak-anak.
Nafisa memandangi anak-anak itu. Mereka begitu bersemangat untuk belajar. Suara bising klakson bahkan panas mataharipun tidak akan menyurutkan semangat mereka. Meskipun langit dan rumput tamanlah sekolah bagi mereka. Namun senyum dan tawa mereka tetap merekah. Nafisa masih ingat betul bagaimana sulitnya dulu ia meyakinkan anak-anak itu tentang pentingnya belajar. Mendapat celaan. Namun kini mereka berkumpul. Belajar bersama. Meski mereka tetap menjalani hidup mereka sebagai anak jalanan. Mengamen. Menjajakan Koran. Namun tetap mendapakan hak mereka sebagai anak Indonesia. Pendidikan. Dan hari ini dirinya tidak akan menyerah oleh sang surya.
Nafisa melihat ke arah jam tangannya. Tiga menit sudah berlalu. “Oke semuanya, waktunya sudah habis. Sekarang siapa yang mau maju duluan untuk menghafal?” tanya Nafisa pada anak-anak itu. Dirinya menunggu sebuah jawaban. Namun mereka diam. Hening. Berharap akan ada suara yang mengajukan diri. Namun tidak ada. “Baiklah, kakak akan menunjuk satu di antara kalian untuk maju”
“Jangan kak!” akhirnya sebuah suara terdengar. Seorang bocah laki-laki dekil yang duduk tepat di depannya. “Jangan kak! Kita belum hafal. Lebih baik kita hafalinnya bareng-bareng aja”, pinta bocah itu pada Nafisa.
“Waktu tiga menit masak kalian belum hafal sih. Ya udah kakak beri tambahan…” Ponselnya tiba-tiba berdering. Dering ponsel dalam saku roknya memotong pembicaraannya. Tangannya langsung meraih ponsel dalam saku roknya. Sebuah panggilan bertuliskan “BOSS” tertera di layar ponselnya. Nafisa langsung berjalan beberapa langkah. Menjauh beberapa meter dari anak-anak itu.
Ada apa Bu Arini menelpon. Adakah sesuatu? Bukankah aku sudah mengatakan untuk mengambil cuti selama seminggu. Pikirnya dalam hati.
Segera Nafisa menjawab telepon itu. “Halo. Assalamualaikum Bu…”
“Halo. Waalaikumsalam Nafisa. Kamu pasti bingung kenapa saya menelepon kamu. Begini ada seorang fotografer dari Jerman yang datang ke Indonesia. Dan pihaknya meminta kita mencarikan guide untuknya. Jadi terus terang saja, saya ingin kamu kerja lagi. Jangan ambil cuti” potong sebuah suara dari seorang wanita yang berada di seberang teleponnya. Berbicara panjang lebar tanpa jeda.
Nafisa terdiam. Guide lagi? Tanyanya dalam hati. “Maksudnya saya yang jadi guide untuk fotografer itu?” jawabnya setelah dirinya diam sejenak.
“Yup”, sebuah jawaban singkat dan tegas dari wanita itu.
“Tapi saya sudah meminta ijin untuk cuti dan…”
“Saya tahu. Tapi perusahaan kita sudah terlanjur terikat kontrak dengan pihaknya. Dan hanya kamu guide yang cocok dengan kriteria yang mereka ajukan. Jadi saya ingin kamu yang menjadi guide untuknya. Saya tidak ingin mendengar kata tapi lagi. Saya akan segera mengirimkan biodata dan foto dari fotografer itu. Nafisa saya harap kamu bisa mengerti. Oh iya, sebaiknya kamu harus bersiap hari ini. Karena besok pekerjaan kamu dimulai. Dan satu lagi, dia seorang laki-laki. Assalamualaikum” potong wanita itu lagi. Menjelaskan dengan panjang lebar. Tanpa jeda. Dan langsung menutup teleponnya.
“Waalaikumsalam” hanya kata itu yang sempat Nafisa ucapkan sesaat setelah wanita itu menutup teleponnya.
Apa? Laki-laki? Menjadi guide untuk turis laki-laki? Tanyanya dalam hati. Dirinya bingung setelah mendengar penjelasan terakhir dari Bu Arini. Kata laki-laki membuat dirinya terdiam. Berpikir. Bagaimana mungkin? Bukankah perjanjianku hanya menjadi guide khusus turis perempuan? Tapi kenapa laki-laki diserahkan padaku? Nafisa terus bertanya-tanya dalam hatinya.
Ttttiiiiinnn!!!! Suara klakson mobil yang begitu keras mengejutkan Nafisa. Dirinya terperangah. Sadar bahwa sedari tadi dia hanya diam berdiri tanpa arah.
Nafisa kembali menuju anak-anak. Langkahnya begitu berat. Entahlah. Nafisa merasa dirinya harus mengatakan hal yang sulit.
“Maaf. Tadi lama ya”, ucapannya begitu berat. “Tadi sampe mana? Oh iya, kakak akan memberikan waktu dua menit lagi untuk kalian menghafal semua kata ini” lanjutnya.
Nafisa terdiam. Dirinya memandangi anak-anak itu. Keseriusan mereka dalam belajar membuat Nafisa berat hati untuk membatalkan janjinya dengan mereka. Entah kata apa yang tepat yang harus dia ucapkan kepada anak-anak itu nantinya.
Nafisa merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Rasanya begitu nyaman. Matanya memandang ke langit-langit atap kamarnya. Wajahnya terlihat sedang memikirkan suatu hal. Memikirkan anak-anak itu. Ada dua tanggung jawab yang ada di pundaknya saat ini. Mereka. Dan pekerjaannya. Dan hari ini, entah sudah kali keberapa dirinya harus mengecewakan mereka. Mengingkari janji yang telah dia buat dengan anak-anak itu. Sebuah janji untuk mengajari mereka selama seminggu penuh. Dan wajah kekecawaan dari anak-anak itu telah membayangi pikiran Nafisa saat ini.
Line. Bunyi ponsel Nafisa menghentikan lamunannya. Dirinya langsung meraih ponsel yang ada di dekatnya. Sebuah pesan dari sebuah nama yang bertuliskan “BOSS” tertera di layar ponselnya. Nafisa segera membuka pesan itu.
“Ini biodata dan fotonya. Fotografer itu hanya akan mengunjungi dua tempat. Bromo dan Karimunjawa. Perjalanan kamu akan dimulai besok. Saya harap kamu bisa menjadi guide yang baik untuknya.” Itulah isi pesan singkat bossnya, Bu Arini.
Sebenarnya Nafisa enggan untuk menerima tawaran ini. Namun itu adalah pekerjaannya. Tanggung jawabnya. Dan dengan berat hati dia mengiyakan tawaran ini.
“Iya, terimakasih Bu Arini”. Begitulah Nafisa membalas pesan itu. Nafisa tidak ingin menanyakan kenapa harus dirinya. Karena dia tidak ingin berdebat dengan wanita yang telah banyak membantunya.
Segera Nafisa membuka foto turis pria itu. Foto apa ini? Hanya foto pemandangan pegunungan dengan hamparan padang rumput luas dan seorang pria berdiri dengan memalingkan wajahnya sambil membawa kamera? Bahkan wajahnya pun tidak terlihat jelas. Bagaimana aku bisa menemui pria ini? Celotehnya dalam hati. Kemudian Nafisa pun membuka biodata turis pria itu.
Name/age: Alex Anderson/24 years old
From: Germany. Photographer for nature.
Seketika Nafisa terkejut. Alex Anderson? 24 tahun? Tanyanya dalam hati. Sekilas nama itu mengingatkannya pada seorang laki-laki. Seseorang yang pernah dia temui beberapa tahun lalu. Tepatnya seseorang yang pernah dia kenal lewat sosial media. Seseorang yang pernah menempati ruang di hati Nafisa. Namun, laki-laki itu telah menghilang dari ketidaktahuannya. Dan dirinya selalu bertanya-tanya. Karena setelah itu, Nafisa tidak lagi bisa menemukannya di sosial media manapun.
Nafisa kembali membuka foto turis pria itu. Nama dan usia yang sama. Jerman? Sedangkan dia dari Amerika bukan Jerman. Tapi, kau kah itu? Tidak mungkin! Begitu banyak laki-laki yang bernama Alex Anderson di dunia ini. Mana mungkin takdir akan membawanya kepadaku dan juga sebaliknya. Pikirnya. Konflik batin yang dialaminya saat ini membuatnya terus berpikir. Berulang kali dirinya mencoba untuk mengenali wajah pria dalam foto itu. Namun, tetap saja tidak bisa. Karena wajah pria itu tidak terlihat jelas. Atau bahkan memang tidak jelas.
Tidak! Kenapa aku teringat lagi olehnya. Astaghfirullah Nafisa! Nafisa menghempaskan ponselnya ke tempat tidur. Dirinya tersadar. Mencoba membenahi pikirannya dan juga perasaannya.
Suara azan maghrib menyadarkan Nafisa. Dia pun langsung ke luar dari kamarnya untuk mengambil air wudhu. Kemudian Nafisa segera mendirikan salat.
Setelah melaksanakan salat, Nafisa memanjatkan doa. Tangannya menengadah. Tanpa sadar dia mendapati air matanya telah membasahi pipinya. Dirinya menangis.
‘Wahai dzat yang Maha membolak-balikan hati. Jika sekiranya dia tidak ditakdirkan untukku, dan aku tidak pula untuknya, maka jauhkanlah diriku dari memikirkannya dan jauhkanlah dirinya dari memikiranku’. Doanya dalam hati. Dirinya merasa telah melakukan sebuah dosa. Memikirkan seseorang yang tak seharusnya dia pikirkan. Dan itu adalah zina baginya. Zina hati.
Nafisa terus menangis. Menangis di atas sajadahnya. Sampai akhirnya dia menutup matanya. Dan terlelap tidur di atas sajadahnya.
Cerpen Karangan: Seila Nafisa
Facebook: Seila Nafisa Nastiti
Kaukah Itu?
4/
5
Oleh
Unknown