Mendengar Doa

Baca Juga :
    Judul Cerpen Mendengar Doa

    Kecelakaan yang aku alami beberapa bulan yang lalu membawa perubahan yang begitu besar dalam hidupku. Selain sikap orangtuaku yang menjadi berkali lipat protektif dan sahabat-sahabat yang semakin setia mendampingiku ke manapun aku pergi, aku juga bisa mendengar doa.
    Meski tidak terlalu terang namun aku masih bisa mengingat aku berkomunikasi dengan Tuhan di saat aku koma selama satu minggu. Sekelebat masih terbayang saat Tuhan mengatakan bahwa doa mereka yang menyayangikulah yang bisa menyelematkanku. Bahwa ego yang terkesampingkan demi keselamatanku yang membuat Tuhan membiarkanku hidup untuk mereka. Tuhan ingin aku tahu bahwa orang-orang yang dulu aku kira tidak peduli, justru yang paling banyak mengirimkan doa padaNya. Karena itu Tuhan memberiku kemampuan untuk mendengarkan doa. Doa siapapun, dari agama apapun, di dalam tempat ibadah apapun, selama itu bentuk komunikasi mereka dengan Tuhan, aku bisa mendengarnya.

    ‘Semoga hari ini ibu mendapatkan uang, Tuhan. Kami sangat kelaparan.’
    Gadis kecil yang meringkuk di sudut jalan menarik perhatianku. Langkah kakiku yang mendadak berhenti membuat temanku, Trina, keheranan.
    “Ada apa?” tanyanya.
    “Anak kecil itu.” Aku menunjuk ke arah penglihatanku. Trina masih tidak mengerti. “Dia kelaparan,” kataku lagi.
    “Permainan itu lagi.” Trina menghela nafas.

    Aku sudah coba mengatakan pada orangtuaku dan juga beberapa sahabatku mengenai kemampuan baruku ini. Mereka semua menganggapku mengalami trauma pasca kecelakaan sehingga pembicaraanku melantur. Semenjak itu, aku tidak pernah lagi berusaha meyakinkan mereka. Termasuk Trina yang menganggapku memainkan peran seorang mentalist atau pemilik indra keenam yang mampu membaca pikiran orang lain. Aku tidak sekeren itu, aku hanya bisa mendengar doa.
    “Kamu tunggu di sini,” ucapku padan Trina yang memasang tampang malas.

    Aku berjalan mendekati anak gadis itu dengan tentengan plastik berisi beraneka roti yang baru saja kami beli dari toko roti di ujung jalan.
    “Adik,” sapaku pelan. Anak gadis itu terkejut dan menatapku ketakutan. “Tidak apa-apa, kakak tidak mau mengganggu.” Ia terlihat mulai tenang dan berdiri di hadapanku. “Kamu lapar?” tanyaku yang disambut anggukan cepat darinya. “Ini ada roti, bisa kamu makan dengan keluarga kamu. Jangan tunggu ibu kamu pulang, sisakan saja untuk dia.” Aku menyerahkan tentengan plastik itu padanya.
    “Ta-tapi,” Gadis itu ragu-ragu.
    “Ambil saja. Nanti kakak bisa beli lagi.” Anak gadis itu tersenyum senang. Setelah mengucapkan terimakasih, ia berlari pulang.

    “Tadi itu roti titipan mama kamu.” Trina mengingatkan.
    “Mama aku nggak kelaparan, masih banyak makanan di rumah,” jawabku sekenanya. Trina menggeleng lagi, mungkin merasa terlalu putus asa mendebatku.
    “Apa bapak di sana juga kelaparan?” Trina menunjuk laki-laki paruh baya yang duduk di trotoar sambil memegang kaleng susu sebelum kami masuk mobil yang diparkirkan di pinggir jalan.
    “Mana aku tau.” Aku tahu Trina hanya menggodaku. Tapi pernah beberapa kali aku bisa menjawab pertanyaannya dengan tepat.
    ‘Ya Tuhan, semoga saja hari ini tidak hujan.’
    “Itu, di sana.” Aku menunjuk perempuan muda yang tengah mengepel lantai salah satu toko pakaian yang ada di leretan ruko di seberang jalan tempat mobil Trina parkir.
    “Kenapa?” Aku yakin Trina berusaha menebak-nebak apa yang akan aku sampaikan.
    “Lihat langit,” kataku. Trina menengadah seketika.
    “Mendung,” katanya.
    “Dia berharap nggak akan turun hujan.” Menurutku begitu. Aku juga tidak tahu pasti doa siapa yang aku dengar karena ada banyak orang di sini.
    “Kenapa begitu?” Trina membuka pintu mobil belakang dan memasukkan belanjaannya ke dalam.
    “Karena kalau hujan sepatu orang jadi basah, pekerjaannya jadi bertambah banyak karena lantai kotor kena bekas pijakan,” jawabku sebelum masuk dan menutup pintu.
    “Mungkin aja dia punya janji dengan pacarnya, dan kalau hujan mereka jadi nggak bisa ketemu.” Trina menyalakan mesin mobil.
    “Mungkin aja.” Sudah kubilang aku hanya mendengarkan doa, aku tidak pernah tahu alasan dibaliknya.



    “Lian, Papa mau bicara.” Semua orang tahu bahwa kalimat tersebut menandakan ada sesuatu yang tidak beres.
    “Ya Pa?” Kami duduk di ruang tamu yang sunyi dan sepi.
    “Papa dan mama mau pisah.” Aku tidak terkejut. Sudah kuduga hari ini akan tiba. “Bukan berarti kamu akan kekurangan kasih sayang. Kita akan tetap menjalin komunikasi. Tidak ada yang berubah.” Papa melanjutkan ketika melihat reaksiku cukup tenang.
    “Tapi papa nggak akan tinggal di sini,” kataku pelan.
    “Ya, tapi bukan berarti Papa tidak akan ada di saat kamu membutuhkan Papa. Kamu bisa telepon Papa kapan saja.” Aku mengangguk, tidak berbicara lagi.
    Aku tahu pasti sangat sulit bagi papa dan mama untuk membicarakan hal ini padaku. Aku mengetahuinya karena setiap malam aku mendengar doa mama yang memohon petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi semua ini. Mama merasa bersalah karena tidak bisa memberikanku keluarga yang sempurna.
    Sedangkan papa tidak pernah berdoa. Setidaknya aku tidak pernah mendengarnya berdoa selama kami tinggal di rumah ini. Atau mungkin papa merasa tidak butuh bantuan Tuhan untuk melewati masalahnya? Aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, mama sangat terluka dengan perselingkuhan papa dan aku merasa berdosa karena memang mengharapkan perpisahan mereka.
    “Aku harap Papa bahagia.” Tanpa sadar aku mengatakannya, saat papa belum jauh berjalan meninggalkan ruang tamu.
    “Lian,” Aku yakin papa mendengarku. “Maafkan Papa,” ucapnya lirih sebelum akhirnya benar-benar meninggalkanku.

    Hidup kami baik-baik saja tanpa papa. Aku tahu itu hanya kalimat penghibur saat papa mengatakan ia akan tetap menjagaku dan menjaga komunikasi kami. Setelah dua bulan resmi berpisah dengan mama, papa menghilang bagai ditiup angin. Tiada berkabar berita.
    ‘Ya Tuhan, kuatkanlah hamba. Jangan biarkan hamba tampak lemah di hadapan putri hamba. Izinkan hamba menjaga kebahagiaan putri hamba. Jauhkan hati kami dari kesedihan. Limpahkan pada kami kebahagiaan.’
    Mama berusaha keras membuat segala sesuatu berjalan normal seperti biasanya meski tanpa kehadiran papa. Aku tahu rapuhnya mama dan ia hanya berusaha kuat di hadapanku. Mama tetap membuat sarapan di pagi hari. Setelah kami makan, ia akan ke kamar dan mulai berdoa lagi. Siang harinya kami akan menonton televisi. Setelah tayangan favorti mama habis, ia akan ke kamar dan mulai berdoa lagi. Pada malam hari kami akan menyantap makan malam dalam diam. Terkadang dengan sengaja memutar lagu dari laptopku agar kesunyian tidak mencekik kami. Setelah merapikan meja makan dan mencuci piring kotor, mama akan ke kamar dan mulai berdoa lagi.
    Aku mendengar namaku disebut di setiap doa mama. Segala harapan baik selalu ia tujukan untukku. Betapa beruntungnya aku memiliki mama dan menurutku Tuhan menghadiahkan keselamatanku untuknya.

    “Mama tau siapa dia?” Pagi ini sebelum mama masuk ke kamar aku memberanikan diri bertanya.
    “Siapa maksud kamu?” tanya Mama bingung.
    “Wanita itu. Alasan papa meninggalkan kita.” Ekspresi mama tidak terbaca. Namun sorot mata sedihnya begitu terlihat jelas. Aku sadar aku sudah keterlaluan. Tapi aku penasaran dengan sosok wanita yang lebih dicintai papa daripada kami. Wanita yang membuat papa tidak pernah mendoakan kami.
    “Mama nggak tau,” jawab mama lemah. “Tapi papa kamu mengaku itu alasan kenapa dia beberapa kali meninggalkan rumah atau pulang larut malam.” Aku mengangguk mengerti. Kasihan mama. Diumurnya yang tidak lagi muda ia malah dihianati oleh orang yang paling ia percaya.

    Drrtttttt
    Drrrttttt
    Handphoneku bergetar saat dosen masih berkoar-koar di depan kelas. Aku melihat layarnya dan sedikit terpana ketika melihat nama Tante Lira di sana. Tante Lira adalah adik kandung papa yang tinggal di lain pulau. Kami tidak begitu akrab karena kuantitas pertemuan kami yang memang sedikit. Dan mendapat telepon dari tante Lira merupakan hal langka.
    Aku mengangkat tanganku untuk minta izin ke luar. Setelah mendapat anggukan dari dosen, aku berjalan ke luar tidak lupa mengantongi handphoneku terlebih dahulu.
    “Ya tante?” jawabku setengah berbisik.
    “Lian, kamu di mana sekarang?” suara tante Lira terdengar aneh.
    “Di kampus, tante.”
    “Kamu bisa pulang sekarang, sayang? Mama kamu sudah menunggu kamu.” Tante Lira terdengar tidak sehat.
    “I-iya, tante.” Meski tidak mengerti apa yang terjadi, aku memilih mengikuti perkataan tante Lira. Seketika perasaanku mejadi tidak enak, dan sakit perut akibat menstruasi aku jadikan alasan untuk mendapat izin pulang.

    Saat pintu depan terbuka, aku disambut oleh wajah berlinangan air mata mama. Dan ada dua buah koper berukuran sedang teronggok di sudut ruang tamu.
    “Liaaaaan…” Mama memelukku seketika. Isakannya yang semakin menjadi membuatku semakin kebingungan.
    “Mama ada apa?” tanyaku bingung.
    “Papa kamu pembohooong,” mama terisak lagi.
    “Mama mau ke mana? Koper ini untuk apa?”
    ‘Ya Tuhan, kuatkan hamba. Jangan sampai putri hamba tidak memiliki tempat untuk mencari kekuatan.’
    “Mama?” tentu saja aku mendengar doa mama barusan.
    “Lian,” mama mengusap air matanya. Ia mengatur nafasnya dan menjadi lebih tenang. “Papa kamu nggak pernah selingkuh, papa sayang sama kita. Selama ini papa berbohong untuk melindungi kita. Papa nggak mau mama hancur lagi seperti saat hampir kehilangan kamu.” Aku masih tidak mengerti.
    “Papa mana?” tanyaku akhirnya. Air mata mama mengalir lagi, namun ia berusaha keras menahan sesegukannya.
    “Papa su-sudah meninggal.” Mama kembali menyeka airmatanya. “Selama ini papa terkena kanker, sudah stadium terminal dan dia menyebunyikannya dari kita. Sekarang juga kita ke,..” pendengaranku semakin samar. Tanpa sadar aku memutar langkahku ke luar rumah.
    Bagaimana bisa? Tidak mungkin papa meninggalkan kami untuk selama-lamanya? Aku tidak tahu papa sakit, begitu juga dengan mama. Aku bahkan tidak pernah mendengar papa mengeluh pada Tuhan, memohon pada Tuhan untuk kesembuhannya. Tidak mungkin.
    Aku mendengar sebuah suara yang semakin lama semakin nyaring hingga hantaman keras itu aku rasakan. Tubuhku melayang beberapa meter jauhnya hingga akhirnya kepalaku terhempas ke tanah.

    Seketika, aku seperti melihat tayangan kehidupanku sendiri. Aku juga mendengarkan suara. Suara doa papa. Saat aku sedang koma, Papa senantiasa mendampingiku, memanggil namaku untuk tetap kuat dan bertahan.
    ‘Tuhan, kembalikan anakku. Berikan ia kekuatan, izinkan ia tetap bersama kami. Ambil keselamatanku, ambil sisa nyawaku untuknya.’
    Doa itu yang selalu papa mohonkan hingga akhirnya aku kembali kepada mereka.

    Tayangan berganti menjadi momen di saat aku sudah kembali ke rumah. Ketika aku merasa tidak pernah mendengar doa papa. Setiap malam, papa mendatangi kamarku saat aku sudah terlelap. Ia membenarkan selimutku dan mengirimkan doa untukku.
    ‘Tuhan, maafkan aku baru berani berbicara denganMu di saat anakku sudah terlelap. Aku takut apa yang ia katakan itu benar, bahwa ia bisa mendengarkan doa. Aku tidak ingin ia mendengarkan keluhanku dan permohonanku padaMu. Aku mohon Tuhan, jagalah anakku selalu di saat aku sudah tidak bisa menjaganya lagi nanti. Berikanlah sisa-sisa kebahagiaan, keselamatan, kesehatan dan umur yang masih aku punya untuknya. Maafkan kebohonganku pada keluargaku. Maafkan cintaku yang terlalu besar pada mereka sehingga aku tidak sanggup melihat mereka menderita.’

    Ternyata papa mendoakanku. Papa berdoa untukku. Setiap malam. Ketika aku sudah terlelap tidur. Hanya saja aku tidak mendengarnya. Dan selalu berprasangka buruk padanya. Karena benar kata Tuhan, ternyata orang yang aku kira tidak peduli justru yang paling banyak mengirimkan doa untukku.
    ‘Tuhan, izinkan aku bertemu dengan papa. Izinkan aku meminta maaf padanya.’

    End

    Cerpen Karangan: Dhea CLP
    Facebook: Dhea Mezita

    Artikel Terkait

    Mendengar Doa
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email