Pilihan

Baca Juga :
    Judul Cerpen Pilihan

    Dia Derajat. Sudah 5 tahun aku mengenalnya. Tidak terlalu dekat, hanya sekedar tahu saja. Kemarin dia datang ke rumah bersama keluarganya dengan sebuah niat yang sangat aku hargai. Aku bisa melihat keseriusan di dalam matanya ketika mengutarakan maksud kedatangannya malam itu. Dia melamarku.

    Dia Hendra. Baru seminggu yang lalu aku bertemu dengannya. Kami saling berbalas pesan sejak saat itu. Tadi dia meneleponku, mengatakan sesuatu yang membuatku berbunga-bunga. Dia ingin datang ke rumah minggu depan. Bersama keluarganya. Dia akan melamarku.

    Dia Lutfi. Baru kemarin aku bertemu dengannya, dikenalkan oleh Ibu. Kedua orangtuaku menjodohkanku dengannya. Dia orang yang taat agama, katanya. Tidak ingin pacaran, ingin menjalin hubungan yang benar di mata Tuhan saja. Dia menyetujui keinginan kedua orangtuaku untuk melamarku.

    “Kamu terima lamaran Derajat?” Tanya Fiah, sahabatku.
    “Aku minta waktu untuk berpikir. Ayah juga sudah mengatakan dengan hati-hati pada mereka kalau aku akan dijodohkan dengan anak temannya.” Aku menyeruput teh hangat yang Fiah buatkan untukku.
    “Kamu sudah berpikir?”
    “Aku sudah sholat istikharah.”
    “Lalu?”
    “Hm.” Aku menggeleng dan membenarkan posisi kerudungku. “Masih buntu.”
    “Belum waktunya saja. Nanti pasti datang petunjuk.” Fiah mengelus lenganku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

    Usia yang hampir kepala tiga membuat kedua orangtuaku terus saja mendesak agar aku segera menikah. Aku punya beberapa teman lelaki, hanya saja tidak ada di antara mereka yang menurutku bisa dijadikan suami. Dunia malam masih menjadi favorit mereka sedangkan aku berharap mempunyai pendamping yang bisa menuntunku menuju akhirat dengan selamat.
    Dalam waktu yang berdekatan, mereka bertiga tiba-tiba datang. Aku benci mengakui kalau aku telah terlibat dalam kegundahan karena masalah hati. Tapi itu faktanya. Ada Derajat, Hendra dan Lutfi. Kenapa aku harus memilih di saat aku dengan tangan terbuka menerima siapapun yang siap melamarku. Aku rasa Tuhan menjawab doaku, Ibu dan Ayah secara serempak. Aku didatangkan tiga pria dengan niat menghalalkanku dalam satu waktu sekaligus.

    “Aku malah mau kenalkan kamu sama teman Mas Heru. Eh sudah duluan dilamar ternyata.” Fiah terkekeh. Aku menatapnya terkejut.
    “Sudah dua tahun aku mengeluh tentang keluhan orangtuaku, baru sekarang kamu mau kenalkan aku sama teman suamimu.”
    “Baru ketemu sekarang, Ziya, orang yang memenuhi kriteria suami yang baik untuk kamu. Aku tidak akan sembarangan mengenalkan laki-laki dengan kamu.” Aku tertawa mendengar penuturan Fiah.

    Aku tidak punya kriteria seorang suami. Soal iman dan taqwa itu sudah menjadi syarat dari agama. Lalu kenapa aku masih sendiri hingga sekarang? Bisa dikatakan bahwa aku wanita yang mandiri. Terlalu mandiri, menurut sahabatku. Kemandirianku membuat laki-laki kebingungan untuk mendekatiku. Mereka tidak bisa menemukan celah untuk menjadi seorang penyempurna. Selain itu, banyak dari mereka hanya sekedar penasaran saja. Setelah tahu aku hanya ingin menjalin hubungan yang halal, mereka mulai menjauh. Tuhan tunjukkan betapa tidak bertanggungjawabnya mereka sebagai laki-laki. Ingin memiliki yang bukan haknya dengan memberi label hasil ciptaan manusia itu sendiri.
    Sampai hari itu Derajat menghubungiku. Dia menanyakan kabar dan aku jawab sekenanya. Dia menanyai statusku yang aku jawab dengan jujur. Tanpa nada pongah dia menjelaskan padaku bahwa dia sudah menjadi lelaki yang mapan. Pendidikannya juga tinggi, tidak kalah denganku. Aku tahu dia mencoba menunjukkan padaku bahwa dia sudah siap menjadi seorang suami. Dia tidak hanya asal main lamar anak orang begitu saja tanpa bisa mempertanggungjawabkan kehidupan wanita yang menjadi istrinya itu kelak.

    “Jadi, bagaimana tanggapan bapak dan ibu dengan lamaran saya?” Dengan penuh percaya diri dia menatap kedua orangtuaku malam itu.
    “Kami serahkan keputusannya pada putri kami. Ziya sudah dewasa untuk bisa menentukan apa yang baik untuk dirinya.” Begitu kata Ayah.
    “Bagaimana, nak?” Lelaki yang aku ketahui sebagai paman Derajat bertanya padaku yang hanya menundukkan kepala. Bukan bermaksud tidak sopan, aku hanya tidak ingin mereka membaca emosiku yang sebenarnya.
    “Sa-saya… butuh waktu.” Tiga kata yang paling sulit aku utarakan seumur hidupku. Aku tidak ingin keluarga Derajat menganggapku sebagai wanita yang sok jual mahal. Sudah syukur mereka merestui anak mereka untuk menikahi perawan tua sepertiku. Memberikan jawaban ‘ya’ pasti akan lebih mudah kalau saja aku belum bertemu Hendra saat itu.

    Hendra Kurnia merupakan salah seorang dosen Fakultas Keguruan di Universitas yang sama tempatku mengajar. Kami bertemu dalam kebetulan yang klise. Nyaris persis dengan rangkaian kejadian pertemuan antara dua sejoli yang kubaca dari novel-novel romance atau yang kutonton dari FTV yang tiap hari tayang. Pagi itu, di perputakaan Universitas, kami memilih buku yang sama.
    Tujuanku datang ke perpustakaan untuk menyerahkan hardcopy dan softcopy paper penelitianku. Iseng-iseng menunggu petugas administrasi menginput data ke dalam sistem, aku berjalan menuju rak buku-buku fiksi. Aku telusuri satu per satu buku dengan jari-jariku. Belum ada judul ataupun penulisnya yang menarik perhatianku. Selain sebagian besar sudah pernah kubaca semasa SMP dan SMA, kebanyakan dari buku-buku itu adalah fiksi bertema kolosal yang tidak begitu aku sukai. Hingga mataku menangkap nama Arifin C Noer dengan karyanya berjudul Sumur Tanpa Dasar. Buku itu selalu dibicarakan oleh guru Bahasa Indonesia dulu semasa SMA, tapi aku belum pernah membacanya.
    Saat aku akan menarik buku itu dari sesakan buku-bukan yang lain, sebuah tangan mendahuluiku. Aku terkejut dan spontan mundur ke belakang hingga menabrak rak yang ada di belakangku.
    “Maaf.” Ucap sang pemilik tangan. Dia melihatku dengan tatapan khawatir karena selain punggungku yang menabrak rak, kepalaku juga terhantuk pada tiang besi rak.
    “Saya tidak apa-apa.” Jawabku berdusta karena kepalaku sungguh nyut-nyutan rasanya waktu itu.
    “Anda mau meminjam buku ini?” tanyanya menunduk memandangi buku yang ada di tangannya.
    “Tidak.” Aku berdusta lagi dan tanpa sadar mengelus kepalaku.
    “Sakit?” Dia benar-benar terlihat peduli dan hal itu membuatku gelagapan.
    “Tidak apa-apa.” Sudah berapa kali aku berbohong kepadanya.
    “Saya Hendra.” Dia langsung memperkenalkan diri. Suaranya yang begitu tegas serasi dengan tubuhnya yang tegap dan parasnya yang rupawan. “Dosen Fakultas Keguruan Bahasa Indonesia dan Sastra.” Lanjutnya tanpa mengulurkan tangan. Kemudian dia diam, membuatku mengira dia menungguku memperkenalkan diri.
    “Sa-saya Ziya.” Tatapannya yang penuh percaya diri membuatku merasa terintimidasi. “Saya juga dosen, Fakultas Ekonomi.” Dia tersenyum. Membuat kakiku serasa berubah menjadi jeli.
    Aku tahu ini salah. Berdekatan dan bertatapan dengan lawan jenis seintens itu bukanlah suatu kebiasaan bagiku. Aku harus menjaga mataku dan juga hatiku dari harapan-harapan yang salah. Mungkin itu juga salah satu sebab aku belum menikah hingga sekarang. Tapi bagiku mendapatkan suami dengan perbuatan dosa sama saja dengan merendahkan diriku sendiri. Untuk mendapatkan pasangan yang baik, aku harus melakukannya dengan cara yang benar.

    “Keberatan kalau kita mengobrol sebentar di tempat ramai?” pertanyaan yang keluar dari mulutnya membuatku tersadar kami berada di lorong yang sepi. Karya-karya sastra memang jarang jadi lirikan para mahasiswa, karena itulah rak-rak buku ini kekurangan sentuhan tangan pembaca.

    Kami berjalan menuju meja diskusi yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. Meja itu penuh dengan para mahasiswa yang bekerja dengan laptopnya. Hanya menyisakan dua kursi yang saling berhadapan. Di sana kami duduk. Dia yang memulai percakapan, bertanya sekali lagi tentang kepalaku. Kemudian pembahasan berlanjut dengan dia menceritakan sebagian besar isi novel sastra itu, yang hampir semuanya sebenarnya sudah kuketahui. Namun aku tetap menyimaknya dengan penuh perhatian.

    “Kamu sudah menikah, Ziya?” Pertanyaan itu terlontar sesaat setelah kami membahas mengenai tempat tinggal. Segala sesuatu yang kami bahas mengalir begitu saja seolah aku bertemu dengan teman lama yang saling menumpahkan segunung kisah yang terjadi selama kami berpisah.
    Aku tidak langsung menjawab. Entah apa yang menahanku saat itu. Mungkin aku hanya ingin hatiku terhindar dari perasaan berharap ada maksud lain di balik keingintahuannya itu.
    “Belum.” Kataku.
    “Berapa umurmu?”
    “29 tahun.”
    “Boleh saya minta nomor hp kamu?” Kami saling bertukar nomor. Dan sejak saat itu, komunikasi di antara kami terjalin. Tidak kirim mengirim pesan basa basi. Keseringan dia menanyakan pendapatku tentang berbagai hal. Mulai dari siapa narasumber yang tepat diundang ke dalam seminar yang diadakan Fakultasnya, atau bertanya situs online tempat membeli buku. Sampai waktu itu dia meneleponku.

    “Ziya, kamu sudah siap?” aku mengangguk lesu saat Ibu bertanya. “Dia laki-laki baik. Tidak mungkin ibu dan ayah mengenalkan kamu sama orang yang tidak jelas bibit bobotnya.”
    “Iya Ibu. Ini aku mau pergi, kan? Aku tidak pernah bilang kalau aku tidak mau pergi.”
    Malam ini keluargaku diundang oleh keluarga Lutfi untuk makan malam bersama. Kalau boleh jujur, semenjak mendengar keinginan Hendra untuk melamarku, keinginanku untuk diperkenalkan dengan laki-laki asing semakin menguap. Sudah cukup rasanya kedatangan Derajat membuatku gundah gulana.
    Telepon genggamku berbunyi, menampilkan nama Derajat pada layarnya. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Derajat padaku, dan aku sudah punya jawaban untuk menjawabnya dengan mengatakan aku belum bisa menjawab.
    “Assalamualaikum.”
    “Waalaikumsalam.” Suara di seberang sana menjawab. “Apa kabar, Ziya?” Basa-basi yang dia lakukan justru membuatku semakin gugup.
    “Alhamdulillah baik. Ada apa, Derajat?” Tanyaku dengan suara lembut. Aku tidak ingin dia mengira aku tidak mengharapkan telepon darinya meskipun begitu adanya.
    “Aku cuma mau tanya, kapan aku bisa datang ke rumah kamu lagi, melanjutkan yang kemarin?” Sudah kuduga.
    “Aku belum bisa menjawab, Derajat. Maaf. Aku bukannya menjadi wanita sok pemilih dan jual mahal. Aku masih menunggu petunjuk dari Allah apakah keputusan yang akan kuambil nanti adalah keputusan yang tepat.” Aku mendengar helaan nafas berat di sana.
    “Baiklah. Besok aku akan telepon lagi. Kamu tidak keberatan, kan?” sebenarnya iya.
    “Tidak. Tidak masalah.” Panggilan itu akhirnya berakhir dengan ucapan salam.
    Meski kedua orangtuaku tidak mengatakan apapun, aku tahu mereka tidak begitu berharap aku menerima lamaran dari Derajat. Selain karena alasan perjodohanku dengan Lutfi, menurutku ibu menyimpan perasaan tidak yakin pada Derajat. Aku tahu begitu karena ibu tidak hentinya bertanya tentang bagaimana aku bisa mengenal Derajat,

    “Kamu saja yang turun ya. Beli kue dan buah secukupnya saja. Ibu yakin mereka sudah menyiapkan semua. Cuma tidak enak kalau datang dengan tangan kosong.” Aku mengangguk kemudian turun dari mobil yang diparkir ayah di depan swalayan.
    Aku sempat kebingungan memilih beberapa dari sekian banyak kue yang ada. Aku bahkan tidak tahu berapa banyak yang harus kubeli karena aku tidak tahu berapa jumlah anggota keluarga Lutfi. Mungkin dua kotak kue bolu gulung sudah cukup.

    “Mama aku suka kue ini, mas.” Aku mendengar suara wanita berbicara dengan nada manja di belakangku. Tangannya mengambil sekotak kue kemudian berjalan ke arah berlawanan denganku. Tapi tunggu dulu, dua kotak rasanya terlalu sedikit.
    Aku kembali berjalan mengambil kue bolu gulung dan melihat punggung wanita tadi berjalan menjauh. Dia tidak sendiri. Ada lelaki di sampingnya yang menggandeng tangannya dengan protektif. Sepertinya wanita itu mengatakan hal lucu karena aku lihat bahu mereka bergoncang dan lelaki itu menoleh ke arah wanita.
    Deg.
    Aku mengenal wajah itu. Laki-laki yang kini merangkul mesra wanitanya itu adalah Derajat. Aku tidak mengenal wanita berpakaian seksi itu tapi aku yakin dia bukan saudara perempuan Derajat. Ya Tuhan, apa ini petunjukmu?

    Setelah memilih buah-buahan, aku langsung berjalan ke kasir. Dengan terburu-buru mengeluarkan dompetku hingga uang recehku berjatuhan. Saat aku berjongkok untuk memungutnya, ada tangan lain yang membantuku.
    “Ziya?” Derajat nyaris menjerit histeris ketika melihatku. Wanita tadi berdiri tepat di belakangnya.
    “Aku rasa kamu sudah tahu jawaban untuk lamaran kamu.” Kataku datar, kemudian membayar dan pergi dengan langkah pasti.

    Keluarga Lutfi begitu ramah. Ibundanya menyambut kedatangan kami dengan hangat. Ayahandanya juga tidak kalah baik. Beliau begitu humoris dan dalam waktu singkat suasana langsung mencair. Namun tidak dengan Lutfi. Melihat ke arahku saja tidak. Dia sangat pendiam dan tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Pantas saja dia belum menikah. Dingin begitu.
    “Sudah berapa lama kamu menjadi dosen, nak?” tanya Ibunda Lutfi.
    “Baru dua tahun, tante. Sebelumnya saya jadi asisten dosen dulu selama satu tahun.”
    “Kamu mengajar apa?”
    “Ekonomi.”
    “Oh. Bagus. Lutfi juga punya yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Ada sekolah kejuruan juga. Mungkin kamu bisa mengajar di sana, bahkan jadi pengurusnya nanti.” Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Ibunda Lutfi yang begitu antusias. Hal itu tentunya hanya akan terjadi jika aku menjadi isteri Lutfi.
    Namun kelihatannya Lutfi sama sekali tidak tertarik padaku. Dari awal kami datang hingga akhirnya pulang, dia tidak ada berkata sepatah katapun padaku. Hanya pada ayah dan ibu, itu pun sekedar menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Aku rasa kedua orangtua tidak akan memaksakan perjodohan ini lagi padaku setelah melihat reaksi Lutfi.

    “Sepertinya dia tidak menyukaiku, ya?” aku memulai pembicaraan saat kami di tengah perjalanan pulang.
    “Kata siapa? Lutfi memang begitu. Menjadi pemalu kalau bertemu dengan wanita yang bukan mahramnya.” Jawab ibu.
    “Dia juga tidak bilang kalau dia menyukaiku, kan?”
    “Karena dia laki-laki yang baik dan soleh, Ziya. Dia akan mulai menyukai kamu ketika kalian sudah menikah.” Aku tidak akan lagi mendebat ibu. Sepertinya ibu sudah begitu tersihir dengan pesona Lutfi.

    “Aku menolak lamaran Derajat.” Kataku setelah beberapa selang keadaan di dalam mobil diselimuti sunyi.
    “Kenapa?” ada nada keterkejutan dalam suara ibu.
    “Aku sudah yakin dengan keputusanku, bu. Tapi bukan berarti aku sudah memutuskan masalah perjodohan dengan Lutfi ini. Ada seseorang yang akan datang melamarku. Dan aku menyukai dia.”

    Rombongan keluarga Hendra datang dua hari kemudian. Tidak begitu ramai, hanya sekitar delapan orang saja. Seorang lelaki memperkenalkan dirinya sebagai ayahanda Hendra. Dia menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereke ke kediamanku dan orangtuaku.
    “Bapak, Ibu dan Ziya sudah mendengar tujuan kami datang ke mari. Sebelum kami menerima jawaban, saya ingin memperkenalkan seseorang terlebih dahulu.” Ayahanda Hendra menoleh pada wanita yang duduk tepat di sebelah Hendra, yang kukira adalah kakaknya. “Ini Sarah.”
    Wanita yang dari tadi menunduk itu akhirnya mendongak ketika mendengar namanya disebut. Aku bisa melihat dengan jelas matanya berkaca-kaca. Meski kelihatan sulit, aku perhatikan dia berusaha menyunggingkan senyuman.
    “Sarah ini adalah istri dari Hendra.” Jantungku rasanya ingin melompat keluar ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut ayahanda Hendra. Aku melirik ke arah ibu dan ayah, mereka sama terkejutnya denganku. Ibu berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan tersenyum tipis. Sedangkan ayah, beliau mencengkram pegangan kursi dengan kuat hingga ruas-ruas jarinya memerah.
    “Sarah ini wanita yang luar biasa. Dia bersedia dipoligami oleh Hendra karena besarnya cintanya pada suaminya. Dan dia semakin ikhlas untuk berbagi ketika mengetahui wanita yang ingin dinikahi Hendra adalah wanita soleha seperti nak Ziya.”
    Kenapa Hendra tidak pernah mengatakan ini sebelumnya padaku? Dan bodohnya, kenapa aku tidak pernah menanyakan mengenai statusnya? Ayahanda Hendra terus berbicara namun pendengaranku tidak lagi begitu tajam. Aku menatap Hendra yang balik menatapku. Dengan sengaja aku mempertontonkan tatapan penuh kekecewaan padanya, mungkin juga pada seluruh anggota keluarganya sekalipun, aku tidak peduli. Apa mereka kira kerena aku belum laku di usiaku ini sehingga aku bersedia dijadikan istri kedua? Aku mengenal diriku. Aku bukan wanita hebat seperti khadijah istri baginda Rasulullah.
    “Saya rasa anak saya baru mengetahui bahwa Hendra sudah menikah sebelumnya. Begitu juga dengan kami. Kami mohon maaf belum bisa menjawab niat baik dari pihak bapak malam ini.” Ayah mengambil inisiatif yang membuatku merasa begitu terselamatkan. Aku tidak tahan lagi harus memasang wajah baik-baik saja di depan mereka.

    “Ziya,” Ayah menatapku dengan raut sedih. Kedua orangtuaku tahu betapa aku menyukai Hendra. Aku sudah menceritakan mengenai pertemuan kami, kemudian komunikasi kami yang terjalin selama seminggu lebih.
    “Aku tidak akan menikahinya, ayah.” Jawabku kemudian berlari ke kamar. Aku meraih telepon genggamku yang tergeletak di atas nakas, membuka kontak, mencari dua buah nama, Derajat dan Hendra. Aku memblokir kedua nomor itu.



    “ZIYA!” Aku mendengar teriakan tidak jauh dari tempatku duduk.
    “Fiah?” dia melambai-lambaikan tangan memanggilku.
    Saat ini aku sedang berada di salah satu restoran yang tidak jauh dari universitas. Seharusnya siang ini aku bertemu dengan salah satu agen percetakan buku untuk membicarakan mengenai kumpulan paperku dan dosen-dosen lain yang akan dibukukan. Namun sang agen membatalkan janji di menit-menit terakhir, saat aku sudah memesan makanan dan minuman sehingga akhirnya aku harus makan siang sendirian.
    “Hey.” Aku mengecup kedua pipi Fiah dan tersenyum pada Heru, suaminya. “Tumben makan di luar. Sudah bosan masak, ya kamu?” aku duduk pada sofa di sebelah Fiah yang berhadapan dengan suaminya.
    “Mas Heru mau bertemu temannya. Itu loh, yang aku bilang waktu itu.”
    “Yang mana?” aku tidak menangkap maksud perkataan Fiah.
    “Yang mau dia jodohkan sama kamu.” Celetuk mas Heru. Aku terkekeh teringat kejadian beberapa waktu yang lalu itu.
    “Aku dengar kamu menolak lamaran Derajat. Iya?” Aku mengangguk. Aku rasa Fiah mengetahuinya dari Ibu. Atau Ibundanya. Karena kedua ibu kami berteman akrab.
    “Kalau begitu tidak ada salahnya, kan, kalau kamu kenalan sama teman mas Heru ini?” aku mengangguk lagi. “Dia laki-laki baik, Ziya. Pengusaha sukses, soleh, ganteng, ramah, …”
    “Assalamualaikum.” Kalimat Fiah terputus ketika kami mendengarkan salam. Dengan serempak kami mendongak.
    “Waalaikumsalam.” Hanya Fiah dan mas Heru yang menjawab. Sedangkan aku begitu terpana melihat sosok teman mas Heru itu. Bukan, bukan karena ketampanannya –meskipun dia memang tampan-. Tapi karena aku mengenalnya. Maksudku bukan kenal. Aku tahu dia siapa.
    “Lutfi.” Kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Lutfi menoleh padaku. Ini untuk pertama kalinya kami melakukan kontak mata. Sesuatu berdesir di dalam dadaku.
    “Kalian sudah saling kenal?” tanya Fiah terkejut.
    “Lutfi, jangan menatap wanita yang bukan muhrim terlalu lama.” Teguran dari mas Heru membuat Lutfi beristigfar dan menundukkan kepalanya. Hal itu membuat kami semua tergelak.
    “Lutfi ini laki-laki yang dijodohkan oleh orangtuaku.”
    “Kamu juga menolak dia?” Fiah terdengar penasaran.
    “Aku belum melamar, Fiah. Kelihatannya Ziya tidak menyukaiku.” Ucapan Lutfi menggelitik perutku untuk menegurnya.
    “Bukan aku yang menjadi sosok dingin, pendiam dan tanpa ekspresi saat calon pendampingku datang ke rumah. Bukan aku juga yang mendiaminya sepanjang malam.” Aku menjadi sedikit sarkastik. Perkataanku membuat Fiah dan Heru memasang ekspresi lucu. Seperti, menahan tawa.
    “Itu tandanya kamu membuat dia gugup. Kamu berpotensi membuat dia suka sama kamu, Ziya.” Kata Fiah.
    “Itu kan menurut kamu, Fiah.” Aku begitu geram karena Lutfi belum juga mengangkat wajahnya, apalagi merespon ucapanku.
    “Fiah benar.” Nada bicaranya begitu tegas, membuatku merinding. Lutfi mengangkat wajahnya, dan mata kami bertemu untuk kedua kalinya. “Aku menjaga pandanganku, Ziya. Karena jika aku tidak bisa menjaga pandanganku, aku tidak yakin aku akan bisa menjaga hatiku.” Dia masih menatapku. Rasanya seolah tidak ada siapa-siapa di sini, hanya kami berdua.
    “Jawab pertanyaanku dengan jujur. Apa kamu punya kekasih?”
    “Kekasihku saat ini hanyalah Rasulullah.”
    “Apa kamu punya istri?” tanyaku lagi. Entah kenapa Fiah dan Heru diam saja dari tadi, seperti sedang menikmati pertunjukan teater.
    “Tidak, Ziya. Jika aku sudah punya istri, orangtuaku tidak akan menjodohkan kita dan aku tidak akan pernah mau dijodohkan.”
    “Apa semua jawaban kamu itu jujur?”
    “Ya. Demi Allah.”
    “Baiklah. Aku percaya.”
    “Sekarang giliran aku yang bertanya. Boleh?” aku mengangguk meski jantungku berdebar-debar. “Apa kamu sudah menikah?”
    “Tentu saja belum.”
    “Hanya ingin memastikan. Apa kamu sudah menerima lamaran seorang laki-laki?”
    “Belum ada.”
    “Kalau begitu aku dan keluargaku akan datang nanti malam untuk melamarmu.” Aku begitu tersentuh mendengarnya mengatakan hal itu penuh keyakinan. Aku yakin ini semua sudah dalam rencana Tuhan. Dan aku percaya, jodoh tidak akan pernah tertukar. Mataku berkaca-kaca, begitu juga dengan mata Lutfi.
    “Rasanya aku ingin dilamar lagi.” Celetukan Fiah membawaku kembali ke dunia nyata.
    “Tapi kisah kita tidak akan bisa mengalahkan romantisnya kisah mereka.” Kata Heru. Kami semua tertawa dan melanjutkan makan siang.

    Aku menyadari satu hal. Lutfi bukan hanya akan menjadi pilihanku. Tapi juga pilihan kedua orangtuaku dan kedua sahabat terbaikku. Kurang meyakinkan apalagi jika orang-orang yang paling aku percaya dalam hidupku sudah terlibat dalam mempertemukan kami?

    End

    Cerpen Karangan: Dhea CLP
    Facebook: Dhea Mezita

    Artikel Terkait

    Pilihan
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email