Judul Cerpen Nenek, Kenapa Kau Disana?
Langit mendung. Aku tidak suka ini. Kalau hujan, berarti rencana kami untuk piknik bersama batal. Sambil memangku dagu di meja belajar, kutatap buku diariku. Apa harus kucatat?
“Laila, kenapa kau murung? Ada apa?”
Aku menatap nenek yang datang ke kamarku. Tinggal bersama nenek setelah rumah kebakaran, dan hanya aku yang selamat. Kadang kala, aku menyesali kenapa kutancapkan charger HP-ku.
“Nek… aku sedih. Apakah hujan?”
“Tentu saja. Apa rencana piknik bersama teman-temanmu itu?”
Aku menghembuskan nafas berat. “Iya, nek,”
Nenek tertawa kecil. “Kalau begitu, nenek buatkan teh hangat. Mau?” dan aku mengangguk.
Singkat cerita, sore itu kuhabiskan dengan membaca buku lama yang nenek berikan. Aku heran, kenapa ada bau amis dari buku itu. Rumor mengatakan, rumah nenek ini bekas pembunuhan berantai. Warga sebisa mungkin menjauh dari rumah ini.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Bau amis dari buku itu menghantuiku sepanjang malam. Ah, palingan karena bayang-bayang pembunuhan berantai itu. Aku memejamkan mata.
‘Duk’. Aku mengangkat kepala. ‘Duk-duk’. Siapa? ‘Duk’. “Emm… nenek?” panggilku. Tidak ada jawaban. Yang ada hanya gedoran itu semakin keras. Takut, kusembunyikan badan di balik selimut.
“Laila… kamu dimana nak?”
AH! Nenek!
“Nenek!” panggilku kembali, dan pintu terbuka. Anehnya, tidak ada orang. Sumpah, pintu itu terbuka sendiri. Bau amis menyebar.
“Nenek? Nenek… dimana?” tanyaku, mencoba bangkit dari tiduran. ‘Duk’. Lagi.
Setelah ke luar kamar, aku bingung. Lampunya mati semua. Bau amis semakin tajam. Ada apa ini? “N-nenek dimana? A-ku takut…” aku berjalan menuju ruang tamu dan ruang keluarga, tapi sepi. Cuma kamar mandi dan dapur. Mungkin nenek sedang… mandi? Tidak mungkin.
AKu berjalan menuju dapur. Demi Tuhan, bau amis ini semakin tajam. ‘Duk’ lagi, aku mulai mual. “Nek, nenek dimana?”. Dan suara nenek yang menyapaku membuatku sedikit lebih tenang.
“Laila, kenapa kau disini? Kau tidak tidur?”
“Amis, nek. Apa nenek membuka bungkus ikan?”
“Tidak, Laila. Cuma sedang memotong,”
‘Duk’. “Nek, apa yang sedang nenek potong?” tanyaku. Ada apa ini?
“Sebaiknya kamu tidak usah tahu…” nenek berjalan kepadaku. Seringainya… dia bukan nenek!
“Nek? Ada apa ini nek?!”
“Kamu seharusnya tidur, Lai. Tapi karena sudah disini… ada seorang lagi yang bisa jadi korban,”
Nenek mengacungkan sesuatu -pisau daging!- APa nenek pelaku pembunuhan berantai itu?! “NENEK!”
“SEBAIKNYA KAMU MATI!!!” dan pisau itu menancap di kepalaku. Entahlah, waktu itu sudah gelap…
Cerpen Karangan: Muhammad Rasyid T. H.
Facebook: tmuhammadrasyid[-at-]gmail.com
Langit mendung. Aku tidak suka ini. Kalau hujan, berarti rencana kami untuk piknik bersama batal. Sambil memangku dagu di meja belajar, kutatap buku diariku. Apa harus kucatat?
“Laila, kenapa kau murung? Ada apa?”
Aku menatap nenek yang datang ke kamarku. Tinggal bersama nenek setelah rumah kebakaran, dan hanya aku yang selamat. Kadang kala, aku menyesali kenapa kutancapkan charger HP-ku.
“Nek… aku sedih. Apakah hujan?”
“Tentu saja. Apa rencana piknik bersama teman-temanmu itu?”
Aku menghembuskan nafas berat. “Iya, nek,”
Nenek tertawa kecil. “Kalau begitu, nenek buatkan teh hangat. Mau?” dan aku mengangguk.
Singkat cerita, sore itu kuhabiskan dengan membaca buku lama yang nenek berikan. Aku heran, kenapa ada bau amis dari buku itu. Rumor mengatakan, rumah nenek ini bekas pembunuhan berantai. Warga sebisa mungkin menjauh dari rumah ini.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Bau amis dari buku itu menghantuiku sepanjang malam. Ah, palingan karena bayang-bayang pembunuhan berantai itu. Aku memejamkan mata.
‘Duk’. Aku mengangkat kepala. ‘Duk-duk’. Siapa? ‘Duk’. “Emm… nenek?” panggilku. Tidak ada jawaban. Yang ada hanya gedoran itu semakin keras. Takut, kusembunyikan badan di balik selimut.
“Laila… kamu dimana nak?”
AH! Nenek!
“Nenek!” panggilku kembali, dan pintu terbuka. Anehnya, tidak ada orang. Sumpah, pintu itu terbuka sendiri. Bau amis menyebar.
“Nenek? Nenek… dimana?” tanyaku, mencoba bangkit dari tiduran. ‘Duk’. Lagi.
Setelah ke luar kamar, aku bingung. Lampunya mati semua. Bau amis semakin tajam. Ada apa ini? “N-nenek dimana? A-ku takut…” aku berjalan menuju ruang tamu dan ruang keluarga, tapi sepi. Cuma kamar mandi dan dapur. Mungkin nenek sedang… mandi? Tidak mungkin.
AKu berjalan menuju dapur. Demi Tuhan, bau amis ini semakin tajam. ‘Duk’ lagi, aku mulai mual. “Nek, nenek dimana?”. Dan suara nenek yang menyapaku membuatku sedikit lebih tenang.
“Laila, kenapa kau disini? Kau tidak tidur?”
“Amis, nek. Apa nenek membuka bungkus ikan?”
“Tidak, Laila. Cuma sedang memotong,”
‘Duk’. “Nek, apa yang sedang nenek potong?” tanyaku. Ada apa ini?
“Sebaiknya kamu tidak usah tahu…” nenek berjalan kepadaku. Seringainya… dia bukan nenek!
“Nek? Ada apa ini nek?!”
“Kamu seharusnya tidur, Lai. Tapi karena sudah disini… ada seorang lagi yang bisa jadi korban,”
Nenek mengacungkan sesuatu -pisau daging!- APa nenek pelaku pembunuhan berantai itu?! “NENEK!”
“SEBAIKNYA KAMU MATI!!!” dan pisau itu menancap di kepalaku. Entahlah, waktu itu sudah gelap…
Cerpen Karangan: Muhammad Rasyid T. H.
Facebook: tmuhammadrasyid[-at-]gmail.com
Nenek, Kenapa Kau Disana?
4/
5
Oleh
Unknown