Obat Penawar Atau Racun? (Part 3)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Obat Penawar Atau Racun? (Part 3)

    “Apa?! Me-meninggal?! siapa, siapa yang meninggal?! Astrid? Iya, benar Astrid?!” seru Salsa. Dia sedang pergi bersama Ris
    ka di mall. Mama Astrid menelponnya. “Innalillahi… nggak mungkin, te! Bohong, kan? Salsa aja belum jenguk dia hari ini!” kata Salsa. Riska di sebelahnya menutup mulut, tak percaya.
    “Apa?! Ada apa, Sal?! Astrid meninggal?! Beneran?” tanya Riska. Salsa terduduk di kursi di belakangnya. Menangis sejadi-jadinya. Selama ini Astrid adalah musuh sekaligus obat penawar. Statusnya membingungkan. Tapi Salsa baru sadar, baru saja, Astrid adalah obat penawar. Bukan musuh, bukan racun. Tapi madu.
    “Ya Tuhan, dia di mana?! maksudku, lagi diapain?!” tanya Riska. Dia yang selama ini merencanakan akan menjauhkan Astrid dari Salsa justru bertanya akan hal itu.
    “Kamu senang, kan?! Dia sudah nggak ada! Dan benar, aku pembunuh sahabatku sendiri! Hiks… Apa aku akan masuk penjara, Ris? Aku takut…” Salsa memeluk Riska.
    “Enggak. Kan, seseorang meninggal itu karena takdir Tuhan. Ya sudah, jangan nangis, dong. Yuk, kita ke rumahnya, oh ya, pasti lagi pengajian sekarang. Kita ke rumahku dulu, ganti baju. Masa ke sana pakai baju ginian,” ujar Riska, kata-katanya tak pernah selembut ini untuk Astrid. Salsa mengangguk.

    Dengan mobil sedang merah, mereka melaju cepat. Pertama ke rumah mewah Riska, lalu rumah sederhana Astrid.
    Di rumah Astrid, ibu-ibu dan bapak-bapak sedang melakukan pengajian. Riska dan Salsa datang di ayat ke-72 Mama tak bisa ikut melantunkan surah Yasin, juga tak bisa menangis. Dirinya hanya diam termenung dengan pucat menatap mayit anaknya yang sudan tertutup kain itu. Sasha hanya bisa menepuk-nepuk pundak bu Fani.
    Sampai di sana, Salsa dan Riska hanya duduk sambil menunggu pengajian selesai. Maklum, mereka tak terlalu ahli agama walaupun membaca yasin dengan huruf latin. Sepanjang itu, Salsa hanya merenung. Bagaimana jika semuanya terbongkar? Jeni dan Zhara bisa saja memberitahu kepada mamanya Astrid yang sebenarnya. Wajar, mereka sudah bermusuhan sekarang. Hal itu bisa saja terjadi, kan?

    “Saddaqalllahull adzim…” para undangan mengucapkannya dengan lantang sampai Salsa tersadar dari lamunannya.
    “Yuk, Sal, kita lihat mamanya Astrid aja,” ajak Riska. Salsa menurut dengan eskpresi tegang. Di samping mayat Astrid, tante Fani sedang menatapnya dengan penuh haru. Alisnya bengkok dan tak henti-hentinya air mata mengalir dari pipinya. Sasha hanya menepuk-nepuk punggungnya.
    “Nah, ini dia Salsa. Ke mana saja kamu? Astrid menunggu-nunggu kamu. Saking lamanya, dia sudah tiada!” kata Sasha.
    “Sasha, aku… Aku baru ingin ke rumah sakit dan kami baru menerima berita kalau Astrid sudah nggak ada! Ini masalah waktu! Waktu nggak mengizinkan kami bertemu lagi,” ujar Salsa membela.
    “Waktu? Kamu yang mengendalikan waktu, bukan sebaliknya,” balas Sasha sengit.
    “Sudahlah, semuanya sudah terlanjur. Habis ini Astrid ingin dimandikan, tante mau siap-siap. Kalau Salsa dan temannya mau makan juga nggak apa, Sasha tunjukin, ya,” tante Fani berdiri dan berjalan pelan. Sasha hanya menatap Salsa kembali kemudian membuang muka tak lama sesudahnya. Dia benar-benar merasa gemas dengan persahabatan mereka.
    “Aku ingin ke toilet,” ujar Sasha tak tahan dengan kecanggungan ini.
    “Dia siapa?” bisik Riska ketika Sasha sudah berlalu.
    “Perawat nyebelin yang akrab dengan Astrid. Selama di rumah sakit, dia mengambil posisiku, huft,” ujar Salsa, Riska hanya geleng-geleng.

    Prosesi pemandian selesai dengan khidmat. Begitu pun dengan acara selanjutnya. Disholatkan. Berlanjut ke acara berikutnya, pemakaman. Mama Astrid memilih TPA yang dekat dengan rumah saja, agar setiap harinya dia bisa menjenguk almarhum putrinya.
    Tak sulit untuk menguburkan jasad Astrid. Biasanya ada hal aneh terjadi ketika prosesi penguburan, tapi semuanya lancar-lancar saja. Tante Fani tak bisa menahan tangis ketika jasad anaknya mulai ditimbun dengan tanah. Dia menjerit-jerit hingga suaranya serak. Dia ingin menggali kubur anaknya lagi dan membiarkannya tinggal di rumah saja. Tapi tak bisa. Mustahil.

    Krringg… Kriingg… ponsel Riska berdering.
    “Ya, mi. Iya, Riska lagi di… di mall sama Salsa. Iya, iya kok. He-em. Tunggu aja, ya. Bye,” tutupnya. “Mamiku nungguin di rumah. Kelamaan katanya,” kata Riska.
    “Kita pulang, nih? Tapi nggak enak, kamu duluan aja,” kata Salsa.
    “Oh, nggak. Aku… Sebentar lagi, kok. Aku ke sana bentar, ya,” izin Riska. Dia baru mau mulai menjalankan niatnya. Dia berjalan menuju pohon pisang itu dengan tegang. Ini kesempatan yang bagus, Salsa sedang sibuk minum dan bermain hape.
    “Tante, tante Fani…” sapa Riska. Tante Fani sedang sendirian, menyeka air matanya.
    “Oh, nak Riska, kan? Iya, ada apa?” tanyanya tersenyum dibalik kesedihan.
    “Riska, Riska mau kasih tau yang sebenarnya.” ujar Riska. Tante Fani mengernyitkan dahinya.
    “Apa? Apa lagi yang disembunyikan?” tanya tante Fani.
    “Ini semua nggak sepenuhnya kecelakaan dan salah pengemudi mobil. Ada sebagian salah Salsa,” Riska memulai. Sepanjang itu, ia berdzikir, semoga Salsa tak marah dengannya.
    “Salsa? Salsa sahabat Astrid?! Kenapa baru diberi tahu sekarang?! Kenapa dia?! Di mana… Di mana dia?!” tante Fani naik darah.
    “Sabar, tante! Riska ceritain dulu. Jadi… Salsa cuma mau main-main. Astrid yang bawa tas Salsa dan jajan-jajanan. Dia keberatan dan jatuh. Salsa juga ninggalin dia pas mau nyeberang dan mobil sedan itu nabrak Astrid saat jatuh,” jelas Riska. Matanya waspada antara melihat Salsa dan fokus akan ceritanya.
    “Jadi… Salsa… dia, dia bukan sahabat Astrid! Sekarang tante tahu kenapa dia nggak jenguk Astrid selama dua bulan! Pengkhianat!” tante Fani naik darah. Dia mengamuk-ngamuk. Sasha yang baru datang ikut menahan aksinya bersama Riska.

    Semenjak itu hubungan mereka Salsa dan tante Fani hancur. Penuh kebencian di antara hubungan mereka. Salsa tak marah dengan Riska. Tidak sama sekali. Dia sudah sadar, perlahan namun pasti semuanya akan terbongkar. Itu pasti.
    Satu bulan, dua bulan, semuanya berlalu dengan cepat. Salsa yang banyak bertingkah di sekolah, menjadi pendiam dan lebih rajin, walaupun rajinnya belum bisa mengubah nilai. Nilainya ambruk di kelas 11 lalu. Sementara Astrid, dia peringkat lima. Peringkat lima untuk dua bulan yang kosong tanpa kehadirannya.
    Tapi semakin lama, Riska dan Sasha menyatukan tante Fani dan Salsa kembali. Mereka yakin, Astrid tak akan suka kalau hubungan mereka tak seindah hubungannya dengan Salsa. Maka dari itu, demi Astrid, tante Fani berusaha menerima kalau Salsa lah penyebab putrinya meninggal.
    Hubungan mereka kembali seperti sedia dulu kala.



    “Astrid, kamu adalah putri raja yang mau berteman dengan kurcaci bodoh sepertiku. Aku ini bodoh, memanfaatkan kamu dan terlalu kebablasan. Aku yakin kamu mendengarku sekarang. Aku lagi mau curhat. Zhara dan Jeni menghinaku lagi. Jeni reporter sekolah sekarang dan dengan seenaknya dia memasang berita yang nggak benar. Mereka bilang aku yang mencoret dinding belakang sekolah. Dan itu berita palsu yang ke-12. Tapi aku cuma diam, membiarkan mereka membenciku. Ini adalah akibatnya, kan? Kamu kasih hukuman yang pas buatku, Astrid. Dan terima kasih untuk Riska, kamu mengirim pengganti yang baik. Maaf untuk segalanya. Kebohonganku dan semuanya. Maaf ya Astrid,” ujar Salsa, menitikkan air mata di foto yang ia dekap. Foto itu menggambarkan di mana mereka sedang berpelukan hangat dengan tawa cemerlang dengan mami Salsa sang fotografernya.
    “Ya ampun! Aku ingat, kamu kasih kado, ya? Aku belum buka, lho. Dan itu ada di… di dalam lemari! Ya, aku lagi mau buka, nih,” Salsa mengotak-atik lemarinya. Ketemu! Kotak dengan sampul barbie yang berdebu. Segera Salsa tiup debunya.

    Krass, krass! Sampul itu dirobeknya dengan gesit. Ada dua gelang bertuliskan Astrid dan satu lagi Salsa, saat itu Astrid membuatnya dengan manik-manik. Waktu SD, mana mungkin di usia mereka yang ke 17 tahun dan mereka melakukan itu. Dan Salsa membuangnya ke dalam tong sampah. Saat itu dia mengetahui kalau Astrid satu kelompok dengan anak lain dalam proyek yang ibu guru berikan. Emosi Salsa menggebu-gebu dan ia memutuskan persahabatan mereka selama satu minggu. Tapi Salsa tak mengira Astrid akan memungutnya kembali. Besar tong sampah itu saja lebih tinggi darinya. Dan bukan hanya itu, ada gantungan kunci barbie juga. Salsa sangat suka barbie dulu. Dia sangat feminim dengan segala benda berwujud barbie. Ada juga boneka barbie yang sangat Salsa suka dulu. Harganya mahal dan tak cukup untuk kantong anak SD, Salsa tak membelinya karena uang jajannya kurang. Sampai sekarang, boneka itu masih ada di toko tua itu dan Salsa tak ada niat untuk membelinya, tapi Astrid, ternyata dia membeli saat dirinya masih duduk di bangku SD saat dia mengetahui Salsa jatuh cinta pada boneka itu. Dia menabung untuk membelinya di ampiran toko sebelah sekolah. Sungguh, dia berkorban banyak uang dulu.
    Salsa dibuat rindu dengan benda-benda itu. Masa-masa indah persahabatan kecil mereka. Masa-masa alay mereka bersama. Masa-masa pubertas dan labil yang tak ia dapatkan bersama Jeni, Zhara, dan Riska. Masa-masa itu akan terus berlanjut jika Salsa tak bertemu dengan tiga gadis penengah itu. Saat itu dia bosan dengan kenaifan Astrid dan berniat untuk bergaul dengan yang lain. Tapi tak dikiranya karena hal sesepele itu, Astrid sampai kehilangan jiwanya.
    Bukan hanya barang-barang ‘ngangenin’, tapi juga secarik kertas dengan warna kuning ketela pucat. Salsa membacanya.

    “Dear Salsa,
    Hi, Salsa! Iya, ini aku Astrid. Apa kabar setelah aku nggak ada? Bagus, kan, kadonya? Hihihi, aku beli semua saat masih SD, loh.
    Oh ya, gimana, kangen, kan? Tuh, akibatnya nggak jenguk aku selama dua bulan. Aku sakit-sakitan menunggumu tau.
    Banyak yang mau aku ceritakan tanpa surat ini. Tapi kita segera bertemu dan mulutku akan tumpah mengeluarkan semua isinya. Hehehe. Aku koma dua kali. Yang pertama satu minggu, dan yang kedua kurang lebih satu bulan. Tanpa dirimu, Salsa. Kamu nggak tahu, betapa kesepian aku di rumah sakit. Setiap hari imfus diganti hampir 5 kali, wajahku pucat pasi, mandi saja kesulitan. Kalau kamu bertanya keadaan kritis, wah, itu banyak banget. Nggak ada keadaan yang nggak membuatku hampir sekarat.
    Gimana dengan sekolah? Aku lihat akhir-akhir ini kamu mulai bisa dekat dengan yang lain kecuali aku. Dengan Riska misalnya. Dia cocok denganmu, kok. Tapi aku takkan cemburu karena aku tau kamu nggak bisa selingkuh dariku ( 😛 :3) iya, kan? Tolong jangan kecewakan kepercayaanku, cinta.. <3 Sudah cari cowok belum? Carilah, Sal. Aku benci kamu jomblo. Kamu akan kesepian kalau nggak ada aku. Tapi jangan lupakan aku setelah ini, ya. Cowok, sahabat baru, nggak apa, silahkan cari. Itu hakmu, aku nggak bisa melarangnya. Tapi satu pesanku. Jangan lupakan Astrid sahabatmu, ya. Our friendship is timeless. Our friendship is special. No another friendship except us for me. No another at heaven. Friendship is about believe and trust. I trust you more than i trust myself and i want you to make me believe in you too. love you, Astrid Stefania Anjelina Salsa menangis. Terharu membacanya. Persahabatan itu tentang kepercayaan. Ada apa ini? Apa Astrid ingin menyentil perbuatannya? Semuanya seperti, jleb. Masuk ke hatinya. Mulai sekarang Salsa mengerti. Persahabatan itu tentang kepercayaan. Kepercayaan tentang kasih sayang. Dan kalau kamu tidak belajar menyayanginya, kepercayaan tak akan mengikuti jejak kasih sayang.

    Tamat.

    Cerpen Karangan: Livia Rossayyasy
    Facebook: Livia Rosayyassy
    IG: liviarssy

    Artikel Terkait

    Obat Penawar Atau Racun? (Part 3)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email