Obat Penawar Atau Racun? (Part 2)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Obat Penawar Atau Racun? (Part 2)

    Krieett, pintu kamar Anggrek III terbuka. Dokter Broto lah yang datang. Tapi hari ini tidak ada jadwal pengecekan. Kenapa dokter Broto datang, ya?
    “Astrid, mama kamu lagi kerja, kan?” dokter mendekat ke ranjang.
    “Oh, mama. kalau mau ketemu mama, jam empat sore dia baru pulang, dok” kata Astrid. Tapi kalau sudah tau mamanya tidak ada, kenapa dokter Broto masih datang? Aneh.
    “Kalau begitu masih lama. Saya kesini bukan mau ketemu mama kamu.” ujar dokter. Astrid tambah bingung. “Saya kesini… Untuk ceritakan yang sebenarnya,” ujar dokter. Ada apa ini? Suasananya jadi tegang seketika.
    “Hah, yang sebenarnya? Maksud dokter?” Astrid menyipitkan matanya. Dokter mengambil bangku dan duduk di sebelah ranjang Astrid.
    “Kamu… nggak jatuh dari tangga,” dokter itu menunduk. “Kamu… Ditabrak mobil,” lanjutnya. Astrid berusaha mencerna ucapan dokter Broto.
    “Hah, dokter ngomong apa, sih?” Astrid masih kebingungan.
    “Mama kamu cuma berbohong. Kamu ditabrak oleh mobil saat ingin menyeberang. Saya sudah tidak tahan menutupi tragedi itu karena… karena saatnya semakin mendekat,” ujar dokter. Ya, Astrid paham. Mamanya bilang dia masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga. Dan ingatan saat itu kembali terulang. Astrid ingat sekarang! Saat itu dia baru saja membeli jajanan di seberang sekolah bersama Salsa. Tapi Salsa meninggalkannya. Dia juga membawa tas Salsa yang berat, belum lagi semua jajanan yang Astrid pegang. Wajar saja dia jatuh keberatan. Namun, belumlah berdiri, mobil sedang berwarna merah sudah menabrak tubuhnya. Salsa hanya meninggalkan Astrid dengan tujuan bercanda, tapi Salsa malah terseret masalah yang serius.
    “Iya, aku ingat sekarang! Salsa… Dia meninggalkanku,” ujar Astrid memegang kepalanya yang pusing. Dokter Broto mau menjawab, tapi Astrid sudah tak sadarkan diri. Dia segera mengecek kondisi Astrid dengan stetoskop. Denyut jantungnya melambat. Astrid harus segera dibawa ke ruang periksa!



    “Sus, di mana Astrid?! Dia di ruang mana?!” mama yang cemas itu bertanya kepada suster yang berpapasan dengannya.
    “Ruang ICU, saya baru mau mengambilkan alat kejut,” ujar suster itu. Alat kejut? Berarti kondisi Astrid berbahaya sekali.
    Tuk, tuk, tuk, sepatu coklat mama mengetuk lantai dengan gesit.
    Matanya mulai basah ketika sampai di depan pintu ruang ICU yang terkunci rapat itu. Dia menatap putrinya di balik kaca kecil yang ada di pintunya. Dokter dengan baju hijau bermasker mengacungkan jempolnya pada mama. Setidaknya dengan simbol itu, mama bisa mengetahui bahwa putrinya baik-baik saja.

    3 jam, 5 jam, langit mulai berwarna oranye. Mama masih saja menunggu proses pengobatan mendadak itu dilakukan. Matanya mulai kering karena diterpa angin AC. Kepalanya terantuk-antuk senederan kursi karena menahan kantuk. Pakaiannya masih sama seperti tadi siang, blus hijau dengan celana polos nerwarna biru donker.
    Kluk, pintu itu terbuka nyaring. Mama yang tengan tidur ayam itu terbangun.
    “Bu Fani,” dokter Broto menyapa dan menurunkan maskernya. “Maaf belum minta izin terlebih dahulu, Astrid dioperasi. Tengkoraknya retak, membahayakan otaknya. Sebenarnya sudah retak sejak insiden terjadi, tapi karena kecerobohan kami, kami baru sadar sekarang saat retakannya melebar,” kata dokter dengan keringat mengucur.
    “Kenapa bisa?! Jadi Astrid… dia… Dok, kapan saya bisa jenguk dia di sana? Masih ada peluang sembuh nggak dok?” tanya mama, mengulang kata yang sama tiap bertemu dokter Broto. Dokter menggeleng.
    “Sayang sekali, tidak, bu. Kami sedang berusaha mati-matian agar otaknya tidak terkena bahaya. Untuk itu pun sulit. Penyakit di area otak hampir setengahnya berbahaya,” jelas dokter. Mama terpukul untuk ke sekian kalinya. Napasnya sesak, menerima kenyataan. Jika masih ada suaminya, mungkin dia akan lebih tegar.
    “Memang tabrakan itu sekuat itu ya, dok? Saya… Saya nggak mikir sejauh itu,” kata mama.
    “Harusnya lebih parah dari yang kita kira karena tabrakan kecil tidak akan menyebabkan kerusakan fatal begini,” jawab dokter. “Ya sudah, kami cuma minta doa saja. Saya tau ibu mengantuk di sini, nggak apa, balik aja ke kamar, kami akan kasih tau segera kalau operasinya selesai. Saya masuk dulu ya bu, saya lanjutkan dulu,” dokter pamit. Mama yang putus asa itu pulang ke kamar dengan lesu.



    “Taarraa!” kejutan apa lagi ini. Mata Astrid baru terbuka dari lelapnya dan sudah mendapat surprise ini. “Pagi yang cerah Astrid! Kamu harus jalan-jalan di taman rumah sakit hari ini!”
    “Kak Sash… a? He, pagi,” Astrid mengucek katanya. Perawat riang itu tersenyum manis di depan Astrid.
    “Ayo, siap-siap. Kita mau pergi. Kamu belum pernah ke taman, kan?”
    “Pergi ke mana, ah. Astrid kan sakit,”
    “Ini hari minggu Astrid. Aku bosan nungguin kamu sadar. Kamu tau satu bulan itu seberapa lama? Novel yang kamu ceritain itu belum selesai tau. Dan lagi, aku orang pertama yang lihat kamu sadar!” Sasha unjuk gigi.
    “Sadar? Astrid sadar?!” Mama baru dari supermarket seberang rumah sakit. Dia membawa dua kantong makanan dan langsung ia lempar ke sofa mendengar puterinya sadar. Kenapa dia belum pernah sekali pun menjadi orang yang pertama kali tau putrinya sadar?
    “Iya, Astrid koma lagi, ya?” tanya Astrid. Sasha menatap wajah mama Astrid, kasih tau nggak? Maksud tatapannya.
    “Ehm, cuma sebentar kok. Tuh, mama beli baguette. Roti kesukaan kamu. Mama baru tau kalau di sini ada,” mama mengalihkan topik.
    “Sebulan sebentar, kata siapa?” hardik Astrid memakan baguette yang diberikan mamanya. Jleb. Seketika kata-kata singkat itu menyindir mama. Sasha tertawa.
    “Dah, ah. Mama mau kasih tau dokter Broto dulu,” mama pamit keluar. Astrid dan Sasha melanjutkan ngobrol mereka tanpa peduli bahwa 4 menit yang lalu, Astrid Stefania Anjelina, sedang terbaring kritis. Mereka mengobrol melepaskan rindu.
    Wangi parfum menyengat dokter Broto tercium. Sekitar 70 meter. Dia tak punya selera parfum yang bagus. Menurut Astrid, hal itu lumrah bagi seorang dokter.
    “Masih sama seperti sebelumnya, saya yakin kamu pusing. Artinya tengkorak itu belum terpasang benar. Ya sudah, semoga lekas sembuh. Ada tambahan pasien, saya tinggal dulu, ya.” dokter berjalan cepat. Cukup 1 menit kurang dia singgah. Kemajuan yang cukup melegakan. Setidaknya belum ada kabar buruk.
    Menit demi menit habis, Sasha hampir pulang. Dia sedang liburan. Di hari liburnya, dia malah ke tempat kerjanya sendiri. Tak patut ditiru.
    “Tengkorak apa? Kenapa tengkorakku?” tanya Astrid menyipitkan mata.
    “Tengkorakmu berbentuk kotak dan mau diluruskan dulu,” canda Sasha menyiapkan tasnya. Astrid dan mama tertawa dan Astrid segera melupakannya. Sasha pun pulang. Pulang ke rumah, bukan ke ruang rawat inap pasien lain.
    “Ma, Salsa masih belum ada kabarnya, ya?” tanya Astrid membuka topik baru.
    “Salsa lagi, sudah lupain dia! Dateng enggak, kasih kabar enggak. Mama ke sekolah dua hari yang lalu untuk cari dia. Tapi dianya nggak ada. Mama curiga dia takut sama kamu. Kenapa, kamu ada masalah sama dia?” tanya mama.
    “Apaan sih, ma. Salsa oke-oke aja, kok. Kan, sebentar lagi Astrid pulang. Jadi bisa ketemu, deh,” ujar Astrid.

    Malam itu sedang terjadi pengecekan rutin. Astrid bisa melakukannya sambil main hape karena dia sudah terbiasa dan dia sudah menganggapnya kegiatan keseharian.
    Semenjak malam itu nafsu makan Astrid turun, trombositnya juga. Detaknya melemah, wajahnya pucat. Sering pusing, lupa seketika (pikun?), rambutnya rontok, dan sangat jarang bicara. Mama sangat khawatir, tapi dokter bilang hal itu wajar karena hanya efek samping penyakitnya. Hal itu perlahan-lahan muncul dan penyakit Astrid semakin parah saja.
    “Ini keadaan kritis terakhir kali untuk Astrid,” ujar dokter. Mama berseri-seri. Dia kira Astrid akan sembuh. “Ajalnya hampir datang,” tambah dokter muram. Wajah mama yang senang itu ternoda sedikit demi sedikit dengan raut sedih. Kali ini dia lebih terpukul dari sebelumnya. Seperti ditimpa dengan bobot 1 ton. Masalahnya sangat berat. Dia bahkan tak mengerti apa salahnya dengan Tuhan sehingga putri semata wayangnya itu bisa sampai di keadaan separah ini.
    Seusai dokter mengucapkan berita mengagetkan itu, mama tak bisa berkata lain kecuali, ‘semoga Astrid bisa tabah’. Dirinya? Tak masalah. Mama baik-baik saja jika Astrid juga baik-baik saja.

    Astrid sedang membaca novel terakhirnya. Dia menyelesaikan novel fiksi itu hari ini. Waktu yang tepat sebelum malaikat maut menjemputnya.
    Wajah Astrid bahagia samar ketika mamanya masuk kamar dan menutup pintu. Tapi wajahnya sedang murung. Dia tak bisa menaikkan wajahnya, takut putrinya tau dia menangis.
    Astrid yang kini pendiam itu hanya heran ketika mamanya tak berkutik sedikit pun. Biasanya setelah bekerja dia membawa baguette atau opor ayam favoritnya.
    “Mama… sudah beli opor ayam. Kamu mau makan, nggak?” tanya mama. Logatnya ketus, tak seperti biasanya. Astrid mengangguk. Tapi mamanya mana tau dia mau kalau mamanya tak mengangkat wajahnya.
    “Mama… mama kenapa?” tanya Astrid mengorek lebih dalam.
    “Ah, enggak, kok. Mama siapin dulu, ya,” mama berdiri dari sofa.
    “Ma, Astrid tau. Mama kenapa?” Astrid mengulang. Mamanya menghela napas sebelum menjawabnya.
    “Sebentar lagi mama kehilangan kamu,” jawabnya singkat. Mata Astrid menatap sayu suntikan imfus di tangannya. Dia sudah mengira akan hal itu. Semenjak dia tau tengkoraknya retak, dia dengan lapang dada sudah menerima kenyataan.
    “Hem,” jawab Astrid. Hanya itu. Tanpa khawatir sedikit pun.
    “Hem? Kamu sebentar lagi sudah nggak ada dan balasan kamu cuma ‘hem’?” mamanya geleng-geleng kepala sambil menyiapkan opor.
    “Ma, Astrid sudah sadar betapa bahayanya gegar otak ini sejak pertama kali Astrid koma. Jadi Astrid sudah tabah duluan kalau harus menghadapi kenyataan,” ujar Astrid. Mata mama terbelalak.
    “Kamu, kamu sudah tau kamu gegar otak? Dari… dari mana?” mama kaget.
    “Dokter Broto. Nggak apa juga, kan. Dan, Astrid punya satu permintaan sebelum pergi,” ujarnya horor. Mamanya menunggu sambungan kata-kata. “Astrid mau ketemu Salsa,”
    “No! Dia aja nggak ke sini, dan kita yang harus ke sekolah? Namanya nggak sopan itu!” kata mama.
    “Tapi ma, ini permintaan terakhir yang mudah dan simpel, kok. Nggak muluk-muluk,” kata Astrid. Perang mulut terjadi. Mama menentang keinginan anaknya. Menurut mama lebih baik dia menggendong Astrid keliling rumah sakit berkali-kali daripada harus menuruti kemauannya. Tapi akhirnya mama mengalah melihat putrinya yang sakit-sakitan itu ketika dia menunjukkan kotak bertempelkan pita, tanda kasih sayangnya pada Salsa? Bukan, itu hadiah terakhir untuknya.
    “Baiklah, mama hargai kerja keras kamu karena membuat itu. Kamu… Kamu boleh ketemu dia dengan satu syarat. Minta temani Sasha,” kata mama mengacungkan jari telunjuk. Astrid dengan senangnya berkata iya. Sasha juga sangat penasaran dengan Salsa yang selalu Astrid ceritakan itu. Dia sangat jengkel saat Astrid menceritakan dia tidak datang ke rumah sakit untuk pertama kalinya.

    Hari itu telah tiba, hari di mana untuk pertama kalinya Astrid ke luar melihat kota selama dua bulan terakhir dia terbaring di rumah sakit. Kota tak banyak berubah. Hanya persimpangan menuju sekolah yang sangat Astrid kenal saja baru menggunakan kaca cembung. Memang di sana rawan kecelakaan.
    Trotoar belang juga sudah dicat kembali. Warnanya sudah terang. Lampu lalu lintas jalan Merdeka yang rusak juga sudah dibetulkan. Deretan ruko tua di sana juga sudah banyak terisi. Sepanjang jalan menuju sekolah, Astrid sangat terkagum akan keindahan kotanya. Lebih bagus dari pada yang ia lihat dari jendela di sebelah ranjangnya.

    Taksi kuning itu melaju cepat di hiruk pikuk kota yang tanpa macet. Akhirnya mereka sampai di sekolah. Sasha menurunkan kursi roda Astrid dan imfusnya yang ia pegang.
    “Wah, sekolah kamu bagus,” puji Sasha mendorong kursi roda itu masuk. Sekolah sedang sepi. Apa sedang libur? Tidak. Di sana ada pak Fahri yang menyambutnya. Sebagian guru juga ke luar mendengar kabar itu. Tapi mereka tetap menjaga omongannya, kelas 10 dan 11 sedang ujian, jangan sampai mengganggu konsentrasi mereka yang sedang ujian.
    “Astrid, kenapa kamu kesini? Kamu sudah sembuh?” tanya pak Fahri. Astrid menggeleng.
    “Enggak, Astrid ke sini mau… Mau ketemu Salsa. Tapi nggak tau kalau lagi ujian,” kata Astrid.
    “Nggak pa-pa. Kalau Salsanya dipanggil boleh nggak, pak?” tanya bu Tari kepada pak Fahri. Dia berpikir sebentar.
    “Tidak bisa. Ini ujian kenaikan kelas, Astrid. Salsa nggak bisa keluar kecuali ujian sudah selesai,” kata pak Fahri.
    “Pak, Astrid sudah mau meninggal. Nyawanya tak terselamatkan. Jadi, tolong pak. Izinkan dia untuk kali ini aja,” tambah Sasha. Kata-katanya terlalu tajam. Astrid melotot kepada Sasha.
    “Apa?! Jadi Astrid sudah mau… Baik, baik, silahkan ketemu Salsa, selama mungkin. Apapun untuk menyenangkan kamu,” kata pak Fahri. Seluruh guru yang mendengarnya pun terkejut dan langsung cemas. Sasha dan Astrid langsung berlalu dari kerumunan guru dengan baju pegawai negeri sipil itu. Mereka bercakap-cakap cemas.
    “Hehehe, lihat jurus jituku,” ujar Sasha.
    “Kamu ngomongnya di depanku, itu nggak sopan tau,” hardik Astrid.

    Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di ruang XI 8. Ruang yang sangat Astrid rindukan. Duduk di pojokkan dan mendengarkan celotehan bu Tari. Atau mengobrol ketika sedang dikte soal. Tapi hal itu tak akan pernah terulang untuk kedua kalinya lagi. Tak akan.

    Di dalam kelas, bu Mega yang sedang mengawas memberikan isyarat pada salah satu anak muridnya untuk ke luar. Salsa meyakinkan bu Mega lagi. Tapi itu benar. Salsa sedang berusaha mencontek pada Riska di sebelahnya, tapi dia bisa melihat catatan di luar ketika ia bertemu dengan orang itu.
    “Salsa? Salsa!! Ya ampun, demi apapun, aku kangen kamu!!” ujar Astrid berusaha berdiri untuk memeluk Salsa. Sasha memperhatikan Salsa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lumayan cantik, rambutnya hitam, matanya bulat, dan pipinya tirus, tapi Astrid tak tahu. Ketika dia sedang memeluk Salsa, wajahnya yang seharusnya cemas atau khawatir akan Astrid malah terkesan jijik dan ingin cepat-cepat pergi dari sana.
    “Astrid, aku kangen juga sama kamu, kok. Tapi ujianku belum kelar. Baru nomor 5!!” bisik Salsa. Astrid dengan perban tersenyum.
    “Ah, aku tau. Mudah ditebak. Aku nggak mau ganggu kamu. Cuma ini aja, pemberian dariku untuk kamu yang terakhir kali. Karena…” Salsa menolaknya.
    “Ah, Astrid. Kamu dramatis banget. Terakhir kali apaan, sih. Nanti pokoknya kita ketemu lagi habis ujian, ya. Byee..” Salsa melambai.
    “Salsa, baru dua menit kurang kita ketemu. Jadi aku harus nunggu dua bulan lagi buat ketemu kamu, begitu? Nggak! Kalau perlu ujiannya diundur. Aku mau cerita banyak sama kamu,” Astrid menahan tangan Salsa. Nguuinngg, Sasha hanya obat nyamuk.
    “He, jangan bercanda Astrid. Ini ujian kenaikan kelas, lho. Kamu tunggu satu jam lagi, ya. Lagian kamu nggak malu apa, diliatin sama temen-temen?” tanya Salsa menoleh ke belakang. Riska sedang memperhatikan mereka.
    “Oke, aku tungguin kamu. Aku doain yang terbaik buat ujiannya. Dan ini, hadiahnya dibawa dulu!” Astrid mengambil tangan Salsa dan meletakkan hadiah itu paksa. Sampul kado barbie? Lucu untuk seumuran Salsa.
    “Ya, ya! Tunggu aja!” kata Salsa mengambil kado itu. Astrid tersenyum manis dan berbalik dengan bantuan Sasha. Sasha menggerutu melihat sikap Salsa. Ternyata bayangannya tentang Salsa benar, cuek dan kasar.
    “Sahabat macam apa itu? Cepat putuskan dia! Kamu nggak akan tenang di alam sana kalau masih berhubungan sama si Salsa-Solso itu!” kata Sasha kesal. Mereka sedang duduk di belakang sekolah, tempat di mana Astrid dan Salsa sering curhat.
    “Sasha, itu memang sifatnya. Aslinya, Salsa itu baik, kok,” kata Astrid simpel.
    “Ya, dia cuma baik di mata kamu. Aku merasakan aura yang negatif. Aku cuma merasa kamu seperti dimanfaatkan. Aku nggak mau hal itu terjadi,” kata Sasha. Sepeduli itu untuk orang yang baru dua bulan bertemu.
    “Negatif kingkong. Baik-baik aja, Sashaa… lagipula aku sudah tenang karena hadiah itu sudah kuberikan,” kata Astrid.
    “Memang isinya apa? Kasih tau, dong…” pinta Sasha.
    “Rahasia dan akan tetap jadi rahasia,” kata Astrid. Sasha tak bisa memaksa orang yang akan tewas sebentar lagi.

    Satu jam berlalu, Astrid sangat bahagia melihat Salsa datang dengan jepit jedai ungunya.
    “Gimana ujiannya?” Astrid memulai.
    “Silahkan ngobrol, lebih baik aku pergi dulu, ya,” Sasha pamit. Dia sadar situasi.
    “Baik. Aku rasa aku dapat nilai A+,” canda Salsa.
    “Mustahil untuk orang sepertimu. Salsa, ada yang mau aku bicarakan,” kata Astrid.
    “Aku dengar, kok. Silahkan ngomong,” ujar Salsa.
    “Sebentar lagi aku–” dengan cepatnya Salsa mengalihkan perhatian. Dia melihat imfus di tangan Astrid.
    “Apa itu sakit? Aku cuma sekali disuntik dan aku menangis semalaman,” kata Salsa bergidik ngeri. Baiklah, Astrid bisa menyampingkan ide pokok obrolannya.
    “Oh, nggak. Dua bulan ini di sini. Sudah kayak teman, selalu ada untukku,” sindir Astrid. “Nah, ayo katakan, kemana kamu selama dua bulan ini?”
    “Astrid, aku belajar dan tak punya waktu banyak untuk mengunjungimu. Kamu berharap parsel buah dan opor ayam dari mamiku? Aku bisa kasih besok, kok. Dan paviliun Anggrek, ruang III kelas 1, itu ruang rawat kamu, kan? Aku tau, Astrid, hanya waktu yang memisahkan kita,” ujar Salsa.
    “Mana ada. Belajar itu bukan bagian hidup kamu. Aku tau kesibukan kamu cuma main hape, makan, tidur, udah, selese,” kata Astrid.
    “Belom, buang airnya mana? Numpuk kali,” canda Salsa. Mereka tertawa. Persahabatan mereka memang membingungkan, mereka saling kesal satu sama lain tapi di sela-sela perdebatan mereka, selalu ada canda. Memang lain dari persahabatan nomor dua Salsa bersama Riska, Zhara, dan Jeni. Lain, buktinya Zhara dan Jeni sudah memutuskan untuk tidak bergabung lagi dengan Riska dan Salsa, mereka pergi begitu saja dan memilih ikut geng nomor satu sekolah. Pengkhianat mengkhianati pengkhianat. Lucu. Ya, lucu.

    Hampir setengah jam mereka menghabiskan waktu bersama. Salsa lupa dengan Riska, sahabat keduanya di lain cerita. Mungkin dia sudah menunggu lama karena mereka sudah berjanji untuk menonton bioskop bersama.
    “Sudah, ah. Kelamaan ini, aku mau pulang juga,” Salsa melihat jam di ponselnya.
    “Ya, aku anterin, ya. Lama nggak ketemu mama kamu,”
    “Nggak, nggak usah! Nanti aku ajak mamaku pas aku jenguk kamu besok, oke? Bye, Trid cinta. Muaahh,” Salsa melakukan kiss bye dulu, kemudian pergi ditelan tembok. Tak lama setelahnya, Sasha datang sambil tersenyum.
    “Nggak pa-pa. Suster obat nyamuk ini strong menunggu setengah jam sambil main daun. Nggak apa, Trid,” Astrid tertawa. Banyak tawa hari ini.
    “Hehe, maaf, sus. Ayo, pulang,”

    Taksi kuning melaju cepat memberantas hiruk pikuk kota. Setidaknya kematiannya akan tenang saat sudah bertemu belahan hatinya, Salsa untuk yang terakhir kali. Tapi Astrid harap tidak. Dia merasa sehat setelah bertemu Salsa. Dia merasa baik-baik saja. Tapi diagnosis dokter tak pernah salah. Sekali dicap akan mati, tak akan bisa bertahan kecuali atas izin-Nya. Tapi Astrid rasa Tuhan sudah rindu kehadirannya, keputusannya sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat. Tinggal menunggu saja.

    Salsa belum datang hari ini. Salsabilla Anjani Fahranita Loyd. Seharusnya, nama lengkapnya sudah tertera di sini sejak tadi.
    “Mana ini, ma? Katanya Salsa datang?” Astrid tak henti-hentinya membuka-tutup gorden yang sangat rapat dengan ranjangnya.
    “Sabar ya, nak. Pasti datang,” kata mama. Kalau malaikat maut yang datang, bukan Astrid, kita bisa apa? Gumam mama dalam hati. Keriputnya terlihat jelas semenjak putrinya dirawat. Sudah banyak kejadian pahit dia telan selama ini, tanpa bantuan suaminya.
    “Ahhh, maa… Aduhh, sakiitt! Sakitt! Panggil dokter, ma!” gerutu Astrid tiba-tiba. Dia memegangi perbannya yang bertotol merah itu. Matanya tertutup menahan sakit. Kepalanya terasa terbentur tembok berkali-kali. Sungguh sakit. Mama memencet tombol untuk memanggil suster berkali-kali. Dia juga berusaha menelepon dokter Broto, tapi tidak aktif. Tak lama setelahnya, dua suster datang dengan keranjang kecil. Mereka berjalan cepat dan segera memeriksa kepala Astrid. Tidak, mereka kurang paham dengan masalah ini. Hanya dan cuma Dokter Broto yang mengerti. Mereka sekadar asisten. Sembari menunggu dokter datang, mama memijat kepala Astrid dengan keras. Tapi rintihan Astrid masih sama. Penunggu kamar sebelah sampai keluar mengecek kamar Anggrek III yang ribut itu. Tapi suster bilang, hal itu tak akan membantu, mereka tau ini bukan migrain atau sakit kepala. Tapi berurusan sengan otak dan tulang tengkorak.

    15 menit kemudian, dokter Broto datang dengan jas asing. Dia baru dari rumah sakit lain dan demi kesetiaannya dengan pasien khususnya, dia masuk ke rumah sakit Astrid dengan penampilan itu tanpa malu.
    “Maaf, saya terlambat sekali sepertinya, ya,” dokter segera melakukan pengecekan. Sakit Astrid perlahan hilang dan dokter berhenti mengecek dan mengotak-atik kepala Astrid. Dokter Broto menatap mama dengan tatapan pasrah. Mama mengerti. Dia sudah tabah.
    “Perasaan apa ini, ma. Kok, rasanya Astrid jadi dingin?” tanya Astrid. Mamanya memjumput kening. Perasaan ingin pergi, sayang. Itu jawaban yang sejujurnya.
    “Berdoa untuk yang terakhir kali, Nak. Mama sayang kamu, selamanya…” air mata menetes. Kedua suster menunduk haru. Proses penjemputan ajal yang mengharukan. Walaupun tak kenal dengan pasien ini, mereka tau, pasien ini sangat tegar.
    “Astrid!! Kam…” Sasha terlambat datang. Dia mengetahui dari rekan suster lain kalau pasien Anggrek III sedang sekarat dan segera menuju ke sana dan dia segera menangis mengetahui dia terlambat mendengar desahan napas berat kawannya untuk yang terakhir kali itu.

    Selamat tinggal, Astrid Stefania Anjelina.

    Bersambung...

    Cerpen Karangan: Livia Rossayyasy
    Facebook: Livia Rosayyassy
    IG: liviarssy

    Artikel Terkait

    Obat Penawar Atau Racun? (Part 2)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email