Judul Cerpen Obat Penawar Atau Racun? (Part 1)
Bel istirahat berbunyi. Astrid sedang membawa nampan berisi satu mangkuk bakso dan satunya lagi milik Salsa, mi ayam dengan extra pangsit tanpa sayur dan kuah.
“Makasih, Astrid. Taruh aja,” kata Salsa yang sibuk dengan ponselnya.
“Ngapain, sih? Sibuk amat,” tanggap Astrid sembari mengunyah pentol bakso. Dia mendekatkan wajahnya ke ponsel Salsa, tapi Salsa menjauhkan ponselnya.
“Eitss, ini privacy,” jawab Salsa.
“Privacy apaan, sih. Kita kan sahabatan. Kayak aku ini orang yang nggak kamu kenal aja,” ujar Astrid.
“Hehehe, bercanda, Trid. Cuma gambar si oppa Jong Ki, kok,” kata Salsa si fangirl. Astrid hanya geleng-geleng kepala. Tiba-tiba sendok yang hampir masuk ke mulut Astrid itu jatuh ke dalam mangkuk. Napasnya tak terkontrol. Salsa yang cemas itu langsung mencari sesuatu di dalam kantong Astrid.
“Duh, kenapa, Trid?! Kambuh, ya? Mana, mana obat kamu?!” tanya Salsa. Suasana kantin langsung tegang. Tak lama kemudian, Astrid sudah tak sadarkan diri di dekapan sahabatnya, Salsa. Dengan bantuan beberapa teman lain, Astrid digotong ke UKS.
Mata Astrid terbuka perlahan. Dia melihat bayangan seseorang di depan matanya. Tapi bayangan itu masih bersifat kabur.
“Sal… Salsa… Ka… Kamu di… Mana…” ujar Astrid lirih.
“Nak Astrid sudah sadar? Masih pusing nggak?” tanya bayangan itu. Nada bicaranya… Bukan, ini bukan Salsa.
“Dimana Sal… Sa?”
“Salsa cuma nitip pesan, katanya dia balik lagi pas istirahat kedua. Dia bilang ada ujian mendadak,” katanya.
“Terus, ini siapa?”
“Bu Yuni, pengawas UKS. Sudah, Astrid istirahat dulu, ya. Kata Salsa, dia sudah hubungi mama kamu,” kata Bu Yuni.
“A.. Apa? Mama?! Kok, ditelpon, sih?! Gawat! Mama bisa cemas nanti,” gumam Astrid.
“Kenapa? Bagus, dong, biar bisa dijemput lebih awal. Jadi nak Astrid bisa istirahat di rumah,” tanggap Bu Yuni. Bu Yuni tidak tahu permasalahannya. Mama bisa syok habis-habisan kalau tau Astrid sampai pingsan. Terakhir kali Astrid di keadaan yang sama, mama sampai tidak mengizinkannya sekolah hampir seminggu.
Drap, drap, drap! Langkah kaki sesorang yang hampir mendekati UKS. Langkahnya terdengar gesit.
“Astrid? Ya ampun, sayang! Kamu nggak apa-apa, kan? Mananya yang sakit? Mana?” tanya mama. Dia datang sangat cepat. Padahal Astrid tau, hari ini ada meeting penting di kantor mama.
“Nggak apa, ma. Astrid nggak apa-apa,” kata Astrid bohong. Napasnya masih pendek dan kepalanya pusing.
“Sudah, kita ke rumah sakit sekarang,” kata mama Astrid.
“Ma, jangan lebay, ah! Astrid nggak pa-pa. Serius, suerr!” Astrid mengacungkan dua jari.
“Yakin? Tapi muka kamu pucat, lho,” ujar mama.
“Nggak apa, bu. Saya udah periksa, Astrid cuma kelelahan. Nggak perlu ke rumah sakit, kok,” tambah Bu Yuni. Astrid lega ada yang mendukungnya.
“Hmm, ya udah, deh. Kita pulang ke rumah aja, ya,”
“Rumah?! Enggak, Astrid di sekolah aja. Udah baikan kok, ma. Seriuss, dua rius, deh!” kata Astrid. Tapi mamanya yang khawatir itu memaksa. Ya sudah, ini juga demi Astrid sendiri. Astrid pulang ke rumah tanpa izin pamit dulu kepada sahabatnya. Sudahlah, mungkin sekadar doa agar ujiannya berlangsung lancar saja sudah cukup untuk Salsa.
—
“Dia pulang beneran? Seriusan nih?” tanya Salsa di kelas.
“Iya, aku liat ada mamanya datang tadi,” tambah Riska membenarkan.
“Makasih, Ya Allah… kalian tau kan, bosennya minta ampun kalau nungguin dia sampai sadar? Jadi pake alasan, deh. Aku bilang ada ulangan mendadak,” ujar Salsa.
“Hahaha, gokil deh kamu, Sal! Eh, kita nonton bareng, yuk! Ada film bagus, nih,” usul Zhara.
“Kayaknya seru, tuh. Boleh, deh. Nanti chat aja di grup kapan pastinya, ya,” kata Jeni setuju.
Ting, ting, ting! Pesan beruntun di ponsel Salsa.
Pesan 1 : Sal, maaf ya nggak ngabarin. Aku pulang duluan
Pesan 2 : Aku udah baikan, kok
Pesan 3 : Oh ya, gimana ujiannya? Bisa, kan? Aku kirim doa aja, ya
“Siapa Sal? Banyak amat,” ujar Zhara.
“Nih, si Astrid. Idih, pake doain ujian. Ada emoticon nyemangatin lagi. Jijay!” kata Salsa sambil membalas pesan Astrid.
“Kamu balas apa?” tanya Jeni.
“Aku bilang aku lagi belajar buat ujian di jam pelajaran terakhir, jangan diganggu dulu,” kata Salsa. Riska tertawa geli.
Sementara di seberang sana, Astrid sedang istirahat dengan ponsel yang ia geletakkan di atas dadanya. Ia tak membalas lagi ketika tau Salsa sedang sibuk belajar. Tapi kedengaran cukup aneh karena Salsa sangat anti belajar. Astrid tau sekali, Salsa hanya mengandalkan ilmu yang ia pahami saja. Tapi baguslah, mungkin ujiannya pelajaran matematika?
—
“Keadaanya parah. Penyakitnya juga bertambah. Astrid terserang penyakit… gegar otak yang tergolong berat,” suara samar-samar Astrid dengarkan. Selang oksigen tersalur ke hidungnya. Kepalanya juga terlapisi perban. Belum lagi imfus yang tertanam di punggung tangan Astrid.
“Ge… Gegar otak?! Diagnosisnya sudah benar, dok?! Nggak, asma sudah cukup buat Astrid, dok! Tolong sembuhkan penyakitnya!!” raung mama. Iya, Astrid tau benar itu suara lembut mamanya.
“Mama…” rintih Astrid menengahi debat antara dokter dan mamanya.
“Astrid..!! Kamu sudah sadar, sayang? Masih sakit nggak?” tanya mama langsung mengalihkan perhatiannya. Dokter juga langsung mengeluarkan stetoskopnya dan mengecek denyut jantung Astrid.
“Kepala Astrid… Sakit ma…” keluh Astrid. “Astrid, Astrid sakit apa, ma? Kok, bisa di sini?” tanya Astrid.
“Enggak, nggak apa. Astrid baik-baik aja, kok. Yang penting Astrid berdoa aja biar cepat keluar dari sini, ya,” ujar mama mengelap air matanya. Astrid hanya berpura-pura lugu akan penyakitnya. Astrid hanya bisa menangis dalam hati mendengar dokter yang di depannya baru saja mengucapkan kata ‘gegar otak berat’ tadi.
“Ma, Astrid pingin ketemu Salsa,” ujar Astrid.
“Hah, Salsa? Oh, mama sudah hubungi dia seminggu yang lalu. Tap-” mama keceplosan. Astrid jangan sampai tau kalau dirinya koma sejak seminggu yang lalu.
“Seminggu yang lalu?” Astrid menyipitkan matanya. Koma. Benarkah itu?
“Ah, eh… Astrid, seminggu itu… pas terakhir kali asma kamu kambuh. Mama belum nelepon dia lagi setelah itu,” ujar mama Astrid. Dokter di sebelahnya mengangguk pelan ketika mama menyenggolnya sedikit. Astrid tak merasa ada yang ganjal.
“Oh… tapi Astrid kenapa bisa di sini?” tanya Astrid. Dokter memaklumi. Mungkin cideranya terlalu parah sehingga Astrid lupa insiden mengerikan itu.
“Nanti… nanti mama ceritain,” ujar mama Astrid. Dia keluar sebentar dengan sang dokter. Bercakap-cakap di sana.
“Pak dokter, tolong rahasiakan insiden itu. Astrid, dia nggak boleh tau. Ini urusan pribadi kita tanpa sangkut paut rumah sakit, dok. Tolong, anggap saja saya teman dekat Anda. Tolonglah dok,” mama memelas. Dia sedikit berbisik. Sang dokter dengan bet rumah sakit bertuliskan, ‘Broto Zainal Habid’ itu menoleh kanan-kiri, takut ada yang mendengar mereka.
“Bu Fani, bagaimana pun, Astrid akan tau. Bukannnya saya menolak, tapi ini urusan saya dengan Tuhan, bu.” kata pak dokter.
“Astrid harta terbesar saya, pak. Tolonglah,” mama memelas sekali lagi. Bahkan jika tak ada kerumunan umum di sekitar mereka, mama ingin saja bersujud di hadapan pak dokter. Dokter menghela napas, membiarkan waktu 2 menit yang kosong menjawabnya.
“Baik, bu. Saya akan mencoba,” jawaban akhir pak dokter. Mama menyalami dokter itu sampai tangannya pegal. Dia mengucapkan terima kasih lima kali. Dan sekarang, ayo kita cari alasan untuk menutupi insiden itu.
Krieett, pintu kamar dengan sign ‘Anggrek III’ di atas pintunya itu pun terbuka.
“Ma, ayo ceritain, kenapa Astrid bisa sampai di sini?” tanya Astrid bingung. Kepalanya masih pusing.
“Sayang, kamu… kamu jatuh dari tangga. Nggak apa-apa, kok,” ujar mama. Entahlah, kata-kata ‘jatuh dari tangga’ terus terngiang di kepala mama sehingga tanpa memikir lagi, mama menyebutkannya.
“Tapi setahu Astrid, paviliun Anggrek itu khusus pasien dengan penyakit berat, lho,” pikir Astrid. Mamanya menelah ludah.
“Ah, siapa yang bilang? Sebentar lagi Astrid sudah boleh pulang, kok,” ucap mamanya. Astrid hanya mengetes kejujuran mamanya saja. Gegar otak berat? Heh, mana bisa pulang.
“Tapi mama, Astrid pokoknya mau ketemu Salsa!” pinta Astrid tak peduli akan kondisi mengkhawatirkannya.
“Astrid, kan mama sudah bilang. Salsa nggak bisa dihubungi. Kalau dia memang sahabat kamu, dia pasti telepon kamu duluan dan datang ke sini sendiri. Bahkan nggak ada satu pun teman kamu yang datang ke sini. Keterlaluan,” mama geleng-geleng.
“Enggak. Astrid percaya kok, Salsa pasti datang. Tapi masuk akal juga sih kenapa dia nggak datang. Memang dia tau Astrid dirawat di mana? Hayo..” kata Astrid menaik-naikkan alisnya. Mamanya menepuk jidat.
—
“Hoi, Salsa. Nganggur aja ya baksonya?” tanya Jeni menyadarkan Salsa dari lamunannya.
“Ah, eh, enggak. Enggak, kok. Baru mau makan,” Salsa bergerak cepat. Tapi tak lama kemudian, dia tenggelam dalam lamunannya lagi.
“Si Salsa, sudah ah, itu bukan salah kamu. Dia jatuh sendiri, kok. Kita kan sudah bicarakan masalah ini, kamu bukan penyebab dia ko-” Zhara menyenggol Jeni. Jeni lupa. Kalau Zhara tidak memperingatkannya, mungkin Salsa akan menangis sepanjangan di istirahat ini. Jangan pernah bicarakan ini lagi, mereka sudah berjanji pada Salsa.
“Jeni, aku takut ditangkap polisi. Aku nggak akan membunuhnya, kan?” Salsa meneteskan air mata. Bersandar di sebelah bahu Jeni.
“Jauh banget sih mikirnya. Enggak, Sal. Tenang aja, kamu 100% nggak bersalah!” ujar Jeni. Zhara mengiyakan.
“Iya, kalian benar. Yang suruh dia bawakan tasku siapa coba? Dia juga, kan. Aku nggak bersalah! Aku nggak terlibat!” kata Salsa menyeka air matanya. Dia mulai melahap bakso sampai habis. “Udah kan makannya? Yuk, ke kelas!” ujar Salsa. Riska, Jeni, dan Zhara menurut dengan bingung. Tadi menangis, tiba-tiba ceria. Ah, entahlah.
Hari demi hari dilewati Astrid di ruang Anggrek III di mana ia terbaring di ranjang dengan imfus yang selalu habis. Ia melewati waktu dengan bosan sampai 3 novel 400-an halaman itu hampir habis satu per satu. Dalam waktu selama itu, Salsa tak kunjung datang. Hanya bu Tari, wali kelas Astrid dan pak Fahri, kepala sekolah yang hanya datang sekali. Itu saja perwakilan dari sekolah yang datang. Sisanya beberapa tetangga, keluarga jauh Astrid, dan teman-teman mamanya. Rasa bosan itu makin menjalar tanpa ada papanya. Jika ada papa, mungkin pengemudi mobil yang menabrak Astrid sudah dijebloskan ke penjara. Tapi papa tau kebenarannya di atas sana. Dia akan selalu menjaga Astrid dari kejauhan.
Krrieett, pintu dengan engsel tua itu berbunyi. Astrid bahkan lelah mendengar bunyinya.
“Selamat pagi, Astrid. Sudah baikan?” tanya seorang perawat yang sangat Astrid kenal. Namanya Sasha, setiap melihat bet namanya, Astrid selalu teringat Salsa. Ya, nama mereka memang mirip.
“Pagi, sus. Keadaanku nggak pernah berubah,” ujar Astrid sibuk mengganti channel TV-nya yang selalu bosan Astrid ulang.
“Sudah kubilang, panggil aku Sasha aja. Kita hanya berbeda umur 5 tahun. Aku nggak setua itu, Astrid.” kata Sasha sibuk mengganti imfusnya. “Ngomong-ngomong novel itu sudah habis, ya? Apa Salsa sudah kesini?” tanya Sasha. Astrid menggeleng. Dia tahu benar keresahan Astrid setiap hari menunggu Salsa datang. Setiap kali Sasha datang, Astrid selalu menceritakan kebahagiaannya bersama Salsa sebelum dia dirawat di rumah sakit. Itulah kenapa mereka sangat akrab.
“Satu novel sudah kuhabiskan. Dan kamu tau nggak endingnya gimana? Amanda itu ketemu lagi sama Johan! Omaigat, aku sampai teriak pas baca di situ!” ujar Astrid. “Sasha ikut berteriak. Dia meminjam novel itu selama tiga hari, tapi menyerah karena terlalu tebal. Dia lebih memilih Astrid yang menceritakannya.
“Kyaaa!! Oops, maaf. Aku nggak percaya! Mereka bertemu lagi!” seru Sasha. Imfus Astrid sudah terpasang, tapi waktu mengobrol dengan Astrid lebih lama. “Lupakan yang tadi. Astrid, kamu sudah hampir dua minggu di sini, keadaanmu belum pulih juga. Tapi sabar aja, ya. Aku yakin Salsa pasti datang! sekarang itu lagi musim ujian, anak-anak yang kelas 11 sepertimu hampir masuk ke universitas. Menurutku Salsa sedang sibuk belajar. Kamu tunggu aja, ya. Oh ya, tolong ceritakan juga novel yang lagi kamu baca itu, ya. Pliss,” kata Sasha memelas. Dengan mudahnya dia berpindah-pindah topik seperti itu.
“Novel ini bukan cerita cinta. Tapi fiksi. Kamu nggak akan suka,” kata Astrid.
“Ah, novel pilihanmu itu selalu bagus! Bacain aja!” Sasha merapikan keranjang mini yang ia bawa. Bersiap-siap pergi. Artinya kebosanan kembali lagi. Andai saja Sasha bisa bersamanya sepanjang waktu. “Ada pasien lain yang harus diurus. Aku pergi dulu. Bye!” lambai Sasha.
“Iya, makasih sarannya!” ujar Astrid memekik. Pintu itu pun menutup. “Huh, sekarang apa lagi? Mama lagi kerja, jam empat sore itu masih lama,” keluh Astrid, menghempaskan novelnya. Di jam seperti ini, dia selalu mengingat Salsa. Berharap dia datang sambil membawakan satu parsel buah. Bahkan jika dia tak membawanya pun tak apa, kehadirannya satu menit saja sudah sangat berharga.
5 jam berlalu, mama pulang! Tapi jam segitu Astrid sudah tidur, dengan novel di atas perutnya.
“Bu Fani, berdasarkan cek darah terakhir kali, hasilnya punya satu kabar baik dan satu kabar buruk,” kata dokter Broto yang bersama mama di kamar. Hasil cek darah sudah keluar. “Mana yang ingin duluan ibu dengar?” tanya dokter.
“Kabar baik dulu aja,” jawab mama. Dia menyimak dengan baik. Perlahan-lahan, wajahnya yang tampak letih terlihat berseri-seri.
“Penyakit asma Astrid berangsur-angsur sembuh,” jawab dokter, tanpa senyum sedikit pun.
“Hah, benarkah? Terima kasih, dok! Setidaknya, satu penyakit akan hilang,” kata mama. Wajahnya tidak sesenang itu. Masih ada kabar buruk.
“Itu baru kerja keras yang kecil. Kabar buruk satu ini walaupun dengan kerja keras yang amat besar, sangat sulit disembuhkan,” deg-deg-deg. Kata-kata horor. “Gegar otak itu, semakin parah. Kami sudah mencari obat termutakhir, tapi entahlah, hasilnya nihil,” ujar dokter menunduk lesu.
“A-apa? Tapi bukannya terakhir kali dokter bilang masih ada peluang untuk Astrid biar bisa sembuh?” tanya mama cemas. Dokter menggeleng.
“Ya, waktu itu kami temukan obat impor yang kelihatan meyakinkan, tapi hasilnya tetap saja sama. Maafkan kami, bu,” kata dokter. Mama menangis.
“Jadi, jadi saya harus bagaimana?” tanya mama.
“Kami akan berusaha lagi. Ibu tunggu saja sampai saya berikan berita lagi. Sore, bu,” dokter meninggalkan ruangan itu, meninggalkan mama yang menangis. Tangisannya membuat Astrid bangun.
“Mama? Sudah pulang, ya?” tanya Astrid mengucek matanya. Mendengar putrinya berbicara, mama langsung menyeka air matanya.
“Eh, Astrid. Iya, barusan,” ujar mama. Dia merubah raut wajahnya menjadi ceria. Semua ibu bisa melakukan ‘bakat’ itu. “Tebak, kabar gembira apa yang mama dengar?” tanya mama. Astrid tersenyum.
“Apa?! Apa?! Salsa mau datang? Astrid sebentar lagi pulang? Apa, ma?!” tanya Astrid lincah.
“Bukan, jauh lebih menyenangkan!” Astrid semakin tak sabar mendengarnya. Setahunya, tak ada hal yang lebih menyenangkan kecuali mendengar Salsa akan datang. “Penyakit asma Astrid akan hilang!” kata mama. Bukannya senang, Astrid tersenyum datar. Mendengar Salsa akan menjenguknya jauh lebih menyenangkan dari itu.
“O-oh. Iya, Astrid senang, ma.” kata Astrid. Mamanya tau, putrinya itu tak akan senang sebelum Salsa menjenguknya.
“Sayang, kalau penyakit kamu hilang, kamu bisa kembali sekolah dan bisa ketemu Salsa lagi, kan?” Mama mengelus rambut Astrid. Astrid hanya mengangguk pelan.
Bersambung…
Cerpen Karangan: Livia Rossayyasy
Facebook: Livia Rosayyassy
IG: liviarssy
Bel istirahat berbunyi. Astrid sedang membawa nampan berisi satu mangkuk bakso dan satunya lagi milik Salsa, mi ayam dengan extra pangsit tanpa sayur dan kuah.
“Makasih, Astrid. Taruh aja,” kata Salsa yang sibuk dengan ponselnya.
“Ngapain, sih? Sibuk amat,” tanggap Astrid sembari mengunyah pentol bakso. Dia mendekatkan wajahnya ke ponsel Salsa, tapi Salsa menjauhkan ponselnya.
“Eitss, ini privacy,” jawab Salsa.
“Privacy apaan, sih. Kita kan sahabatan. Kayak aku ini orang yang nggak kamu kenal aja,” ujar Astrid.
“Hehehe, bercanda, Trid. Cuma gambar si oppa Jong Ki, kok,” kata Salsa si fangirl. Astrid hanya geleng-geleng kepala. Tiba-tiba sendok yang hampir masuk ke mulut Astrid itu jatuh ke dalam mangkuk. Napasnya tak terkontrol. Salsa yang cemas itu langsung mencari sesuatu di dalam kantong Astrid.
“Duh, kenapa, Trid?! Kambuh, ya? Mana, mana obat kamu?!” tanya Salsa. Suasana kantin langsung tegang. Tak lama kemudian, Astrid sudah tak sadarkan diri di dekapan sahabatnya, Salsa. Dengan bantuan beberapa teman lain, Astrid digotong ke UKS.
Mata Astrid terbuka perlahan. Dia melihat bayangan seseorang di depan matanya. Tapi bayangan itu masih bersifat kabur.
“Sal… Salsa… Ka… Kamu di… Mana…” ujar Astrid lirih.
“Nak Astrid sudah sadar? Masih pusing nggak?” tanya bayangan itu. Nada bicaranya… Bukan, ini bukan Salsa.
“Dimana Sal… Sa?”
“Salsa cuma nitip pesan, katanya dia balik lagi pas istirahat kedua. Dia bilang ada ujian mendadak,” katanya.
“Terus, ini siapa?”
“Bu Yuni, pengawas UKS. Sudah, Astrid istirahat dulu, ya. Kata Salsa, dia sudah hubungi mama kamu,” kata Bu Yuni.
“A.. Apa? Mama?! Kok, ditelpon, sih?! Gawat! Mama bisa cemas nanti,” gumam Astrid.
“Kenapa? Bagus, dong, biar bisa dijemput lebih awal. Jadi nak Astrid bisa istirahat di rumah,” tanggap Bu Yuni. Bu Yuni tidak tahu permasalahannya. Mama bisa syok habis-habisan kalau tau Astrid sampai pingsan. Terakhir kali Astrid di keadaan yang sama, mama sampai tidak mengizinkannya sekolah hampir seminggu.
Drap, drap, drap! Langkah kaki sesorang yang hampir mendekati UKS. Langkahnya terdengar gesit.
“Astrid? Ya ampun, sayang! Kamu nggak apa-apa, kan? Mananya yang sakit? Mana?” tanya mama. Dia datang sangat cepat. Padahal Astrid tau, hari ini ada meeting penting di kantor mama.
“Nggak apa, ma. Astrid nggak apa-apa,” kata Astrid bohong. Napasnya masih pendek dan kepalanya pusing.
“Sudah, kita ke rumah sakit sekarang,” kata mama Astrid.
“Ma, jangan lebay, ah! Astrid nggak pa-pa. Serius, suerr!” Astrid mengacungkan dua jari.
“Yakin? Tapi muka kamu pucat, lho,” ujar mama.
“Nggak apa, bu. Saya udah periksa, Astrid cuma kelelahan. Nggak perlu ke rumah sakit, kok,” tambah Bu Yuni. Astrid lega ada yang mendukungnya.
“Hmm, ya udah, deh. Kita pulang ke rumah aja, ya,”
“Rumah?! Enggak, Astrid di sekolah aja. Udah baikan kok, ma. Seriuss, dua rius, deh!” kata Astrid. Tapi mamanya yang khawatir itu memaksa. Ya sudah, ini juga demi Astrid sendiri. Astrid pulang ke rumah tanpa izin pamit dulu kepada sahabatnya. Sudahlah, mungkin sekadar doa agar ujiannya berlangsung lancar saja sudah cukup untuk Salsa.
—
“Dia pulang beneran? Seriusan nih?” tanya Salsa di kelas.
“Iya, aku liat ada mamanya datang tadi,” tambah Riska membenarkan.
“Makasih, Ya Allah… kalian tau kan, bosennya minta ampun kalau nungguin dia sampai sadar? Jadi pake alasan, deh. Aku bilang ada ulangan mendadak,” ujar Salsa.
“Hahaha, gokil deh kamu, Sal! Eh, kita nonton bareng, yuk! Ada film bagus, nih,” usul Zhara.
“Kayaknya seru, tuh. Boleh, deh. Nanti chat aja di grup kapan pastinya, ya,” kata Jeni setuju.
Ting, ting, ting! Pesan beruntun di ponsel Salsa.
Pesan 1 : Sal, maaf ya nggak ngabarin. Aku pulang duluan
Pesan 2 : Aku udah baikan, kok
Pesan 3 : Oh ya, gimana ujiannya? Bisa, kan? Aku kirim doa aja, ya
“Siapa Sal? Banyak amat,” ujar Zhara.
“Nih, si Astrid. Idih, pake doain ujian. Ada emoticon nyemangatin lagi. Jijay!” kata Salsa sambil membalas pesan Astrid.
“Kamu balas apa?” tanya Jeni.
“Aku bilang aku lagi belajar buat ujian di jam pelajaran terakhir, jangan diganggu dulu,” kata Salsa. Riska tertawa geli.
Sementara di seberang sana, Astrid sedang istirahat dengan ponsel yang ia geletakkan di atas dadanya. Ia tak membalas lagi ketika tau Salsa sedang sibuk belajar. Tapi kedengaran cukup aneh karena Salsa sangat anti belajar. Astrid tau sekali, Salsa hanya mengandalkan ilmu yang ia pahami saja. Tapi baguslah, mungkin ujiannya pelajaran matematika?
—
“Keadaanya parah. Penyakitnya juga bertambah. Astrid terserang penyakit… gegar otak yang tergolong berat,” suara samar-samar Astrid dengarkan. Selang oksigen tersalur ke hidungnya. Kepalanya juga terlapisi perban. Belum lagi imfus yang tertanam di punggung tangan Astrid.
“Ge… Gegar otak?! Diagnosisnya sudah benar, dok?! Nggak, asma sudah cukup buat Astrid, dok! Tolong sembuhkan penyakitnya!!” raung mama. Iya, Astrid tau benar itu suara lembut mamanya.
“Mama…” rintih Astrid menengahi debat antara dokter dan mamanya.
“Astrid..!! Kamu sudah sadar, sayang? Masih sakit nggak?” tanya mama langsung mengalihkan perhatiannya. Dokter juga langsung mengeluarkan stetoskopnya dan mengecek denyut jantung Astrid.
“Kepala Astrid… Sakit ma…” keluh Astrid. “Astrid, Astrid sakit apa, ma? Kok, bisa di sini?” tanya Astrid.
“Enggak, nggak apa. Astrid baik-baik aja, kok. Yang penting Astrid berdoa aja biar cepat keluar dari sini, ya,” ujar mama mengelap air matanya. Astrid hanya berpura-pura lugu akan penyakitnya. Astrid hanya bisa menangis dalam hati mendengar dokter yang di depannya baru saja mengucapkan kata ‘gegar otak berat’ tadi.
“Ma, Astrid pingin ketemu Salsa,” ujar Astrid.
“Hah, Salsa? Oh, mama sudah hubungi dia seminggu yang lalu. Tap-” mama keceplosan. Astrid jangan sampai tau kalau dirinya koma sejak seminggu yang lalu.
“Seminggu yang lalu?” Astrid menyipitkan matanya. Koma. Benarkah itu?
“Ah, eh… Astrid, seminggu itu… pas terakhir kali asma kamu kambuh. Mama belum nelepon dia lagi setelah itu,” ujar mama Astrid. Dokter di sebelahnya mengangguk pelan ketika mama menyenggolnya sedikit. Astrid tak merasa ada yang ganjal.
“Oh… tapi Astrid kenapa bisa di sini?” tanya Astrid. Dokter memaklumi. Mungkin cideranya terlalu parah sehingga Astrid lupa insiden mengerikan itu.
“Nanti… nanti mama ceritain,” ujar mama Astrid. Dia keluar sebentar dengan sang dokter. Bercakap-cakap di sana.
“Pak dokter, tolong rahasiakan insiden itu. Astrid, dia nggak boleh tau. Ini urusan pribadi kita tanpa sangkut paut rumah sakit, dok. Tolong, anggap saja saya teman dekat Anda. Tolonglah dok,” mama memelas. Dia sedikit berbisik. Sang dokter dengan bet rumah sakit bertuliskan, ‘Broto Zainal Habid’ itu menoleh kanan-kiri, takut ada yang mendengar mereka.
“Bu Fani, bagaimana pun, Astrid akan tau. Bukannnya saya menolak, tapi ini urusan saya dengan Tuhan, bu.” kata pak dokter.
“Astrid harta terbesar saya, pak. Tolonglah,” mama memelas sekali lagi. Bahkan jika tak ada kerumunan umum di sekitar mereka, mama ingin saja bersujud di hadapan pak dokter. Dokter menghela napas, membiarkan waktu 2 menit yang kosong menjawabnya.
“Baik, bu. Saya akan mencoba,” jawaban akhir pak dokter. Mama menyalami dokter itu sampai tangannya pegal. Dia mengucapkan terima kasih lima kali. Dan sekarang, ayo kita cari alasan untuk menutupi insiden itu.
Krieett, pintu kamar dengan sign ‘Anggrek III’ di atas pintunya itu pun terbuka.
“Ma, ayo ceritain, kenapa Astrid bisa sampai di sini?” tanya Astrid bingung. Kepalanya masih pusing.
“Sayang, kamu… kamu jatuh dari tangga. Nggak apa-apa, kok,” ujar mama. Entahlah, kata-kata ‘jatuh dari tangga’ terus terngiang di kepala mama sehingga tanpa memikir lagi, mama menyebutkannya.
“Tapi setahu Astrid, paviliun Anggrek itu khusus pasien dengan penyakit berat, lho,” pikir Astrid. Mamanya menelah ludah.
“Ah, siapa yang bilang? Sebentar lagi Astrid sudah boleh pulang, kok,” ucap mamanya. Astrid hanya mengetes kejujuran mamanya saja. Gegar otak berat? Heh, mana bisa pulang.
“Tapi mama, Astrid pokoknya mau ketemu Salsa!” pinta Astrid tak peduli akan kondisi mengkhawatirkannya.
“Astrid, kan mama sudah bilang. Salsa nggak bisa dihubungi. Kalau dia memang sahabat kamu, dia pasti telepon kamu duluan dan datang ke sini sendiri. Bahkan nggak ada satu pun teman kamu yang datang ke sini. Keterlaluan,” mama geleng-geleng.
“Enggak. Astrid percaya kok, Salsa pasti datang. Tapi masuk akal juga sih kenapa dia nggak datang. Memang dia tau Astrid dirawat di mana? Hayo..” kata Astrid menaik-naikkan alisnya. Mamanya menepuk jidat.
—
“Hoi, Salsa. Nganggur aja ya baksonya?” tanya Jeni menyadarkan Salsa dari lamunannya.
“Ah, eh, enggak. Enggak, kok. Baru mau makan,” Salsa bergerak cepat. Tapi tak lama kemudian, dia tenggelam dalam lamunannya lagi.
“Si Salsa, sudah ah, itu bukan salah kamu. Dia jatuh sendiri, kok. Kita kan sudah bicarakan masalah ini, kamu bukan penyebab dia ko-” Zhara menyenggol Jeni. Jeni lupa. Kalau Zhara tidak memperingatkannya, mungkin Salsa akan menangis sepanjangan di istirahat ini. Jangan pernah bicarakan ini lagi, mereka sudah berjanji pada Salsa.
“Jeni, aku takut ditangkap polisi. Aku nggak akan membunuhnya, kan?” Salsa meneteskan air mata. Bersandar di sebelah bahu Jeni.
“Jauh banget sih mikirnya. Enggak, Sal. Tenang aja, kamu 100% nggak bersalah!” ujar Jeni. Zhara mengiyakan.
“Iya, kalian benar. Yang suruh dia bawakan tasku siapa coba? Dia juga, kan. Aku nggak bersalah! Aku nggak terlibat!” kata Salsa menyeka air matanya. Dia mulai melahap bakso sampai habis. “Udah kan makannya? Yuk, ke kelas!” ujar Salsa. Riska, Jeni, dan Zhara menurut dengan bingung. Tadi menangis, tiba-tiba ceria. Ah, entahlah.
Hari demi hari dilewati Astrid di ruang Anggrek III di mana ia terbaring di ranjang dengan imfus yang selalu habis. Ia melewati waktu dengan bosan sampai 3 novel 400-an halaman itu hampir habis satu per satu. Dalam waktu selama itu, Salsa tak kunjung datang. Hanya bu Tari, wali kelas Astrid dan pak Fahri, kepala sekolah yang hanya datang sekali. Itu saja perwakilan dari sekolah yang datang. Sisanya beberapa tetangga, keluarga jauh Astrid, dan teman-teman mamanya. Rasa bosan itu makin menjalar tanpa ada papanya. Jika ada papa, mungkin pengemudi mobil yang menabrak Astrid sudah dijebloskan ke penjara. Tapi papa tau kebenarannya di atas sana. Dia akan selalu menjaga Astrid dari kejauhan.
Krrieett, pintu dengan engsel tua itu berbunyi. Astrid bahkan lelah mendengar bunyinya.
“Selamat pagi, Astrid. Sudah baikan?” tanya seorang perawat yang sangat Astrid kenal. Namanya Sasha, setiap melihat bet namanya, Astrid selalu teringat Salsa. Ya, nama mereka memang mirip.
“Pagi, sus. Keadaanku nggak pernah berubah,” ujar Astrid sibuk mengganti channel TV-nya yang selalu bosan Astrid ulang.
“Sudah kubilang, panggil aku Sasha aja. Kita hanya berbeda umur 5 tahun. Aku nggak setua itu, Astrid.” kata Sasha sibuk mengganti imfusnya. “Ngomong-ngomong novel itu sudah habis, ya? Apa Salsa sudah kesini?” tanya Sasha. Astrid menggeleng. Dia tahu benar keresahan Astrid setiap hari menunggu Salsa datang. Setiap kali Sasha datang, Astrid selalu menceritakan kebahagiaannya bersama Salsa sebelum dia dirawat di rumah sakit. Itulah kenapa mereka sangat akrab.
“Satu novel sudah kuhabiskan. Dan kamu tau nggak endingnya gimana? Amanda itu ketemu lagi sama Johan! Omaigat, aku sampai teriak pas baca di situ!” ujar Astrid. “Sasha ikut berteriak. Dia meminjam novel itu selama tiga hari, tapi menyerah karena terlalu tebal. Dia lebih memilih Astrid yang menceritakannya.
“Kyaaa!! Oops, maaf. Aku nggak percaya! Mereka bertemu lagi!” seru Sasha. Imfus Astrid sudah terpasang, tapi waktu mengobrol dengan Astrid lebih lama. “Lupakan yang tadi. Astrid, kamu sudah hampir dua minggu di sini, keadaanmu belum pulih juga. Tapi sabar aja, ya. Aku yakin Salsa pasti datang! sekarang itu lagi musim ujian, anak-anak yang kelas 11 sepertimu hampir masuk ke universitas. Menurutku Salsa sedang sibuk belajar. Kamu tunggu aja, ya. Oh ya, tolong ceritakan juga novel yang lagi kamu baca itu, ya. Pliss,” kata Sasha memelas. Dengan mudahnya dia berpindah-pindah topik seperti itu.
“Novel ini bukan cerita cinta. Tapi fiksi. Kamu nggak akan suka,” kata Astrid.
“Ah, novel pilihanmu itu selalu bagus! Bacain aja!” Sasha merapikan keranjang mini yang ia bawa. Bersiap-siap pergi. Artinya kebosanan kembali lagi. Andai saja Sasha bisa bersamanya sepanjang waktu. “Ada pasien lain yang harus diurus. Aku pergi dulu. Bye!” lambai Sasha.
“Iya, makasih sarannya!” ujar Astrid memekik. Pintu itu pun menutup. “Huh, sekarang apa lagi? Mama lagi kerja, jam empat sore itu masih lama,” keluh Astrid, menghempaskan novelnya. Di jam seperti ini, dia selalu mengingat Salsa. Berharap dia datang sambil membawakan satu parsel buah. Bahkan jika dia tak membawanya pun tak apa, kehadirannya satu menit saja sudah sangat berharga.
5 jam berlalu, mama pulang! Tapi jam segitu Astrid sudah tidur, dengan novel di atas perutnya.
“Bu Fani, berdasarkan cek darah terakhir kali, hasilnya punya satu kabar baik dan satu kabar buruk,” kata dokter Broto yang bersama mama di kamar. Hasil cek darah sudah keluar. “Mana yang ingin duluan ibu dengar?” tanya dokter.
“Kabar baik dulu aja,” jawab mama. Dia menyimak dengan baik. Perlahan-lahan, wajahnya yang tampak letih terlihat berseri-seri.
“Penyakit asma Astrid berangsur-angsur sembuh,” jawab dokter, tanpa senyum sedikit pun.
“Hah, benarkah? Terima kasih, dok! Setidaknya, satu penyakit akan hilang,” kata mama. Wajahnya tidak sesenang itu. Masih ada kabar buruk.
“Itu baru kerja keras yang kecil. Kabar buruk satu ini walaupun dengan kerja keras yang amat besar, sangat sulit disembuhkan,” deg-deg-deg. Kata-kata horor. “Gegar otak itu, semakin parah. Kami sudah mencari obat termutakhir, tapi entahlah, hasilnya nihil,” ujar dokter menunduk lesu.
“A-apa? Tapi bukannya terakhir kali dokter bilang masih ada peluang untuk Astrid biar bisa sembuh?” tanya mama cemas. Dokter menggeleng.
“Ya, waktu itu kami temukan obat impor yang kelihatan meyakinkan, tapi hasilnya tetap saja sama. Maafkan kami, bu,” kata dokter. Mama menangis.
“Jadi, jadi saya harus bagaimana?” tanya mama.
“Kami akan berusaha lagi. Ibu tunggu saja sampai saya berikan berita lagi. Sore, bu,” dokter meninggalkan ruangan itu, meninggalkan mama yang menangis. Tangisannya membuat Astrid bangun.
“Mama? Sudah pulang, ya?” tanya Astrid mengucek matanya. Mendengar putrinya berbicara, mama langsung menyeka air matanya.
“Eh, Astrid. Iya, barusan,” ujar mama. Dia merubah raut wajahnya menjadi ceria. Semua ibu bisa melakukan ‘bakat’ itu. “Tebak, kabar gembira apa yang mama dengar?” tanya mama. Astrid tersenyum.
“Apa?! Apa?! Salsa mau datang? Astrid sebentar lagi pulang? Apa, ma?!” tanya Astrid lincah.
“Bukan, jauh lebih menyenangkan!” Astrid semakin tak sabar mendengarnya. Setahunya, tak ada hal yang lebih menyenangkan kecuali mendengar Salsa akan datang. “Penyakit asma Astrid akan hilang!” kata mama. Bukannya senang, Astrid tersenyum datar. Mendengar Salsa akan menjenguknya jauh lebih menyenangkan dari itu.
“O-oh. Iya, Astrid senang, ma.” kata Astrid. Mamanya tau, putrinya itu tak akan senang sebelum Salsa menjenguknya.
“Sayang, kalau penyakit kamu hilang, kamu bisa kembali sekolah dan bisa ketemu Salsa lagi, kan?” Mama mengelus rambut Astrid. Astrid hanya mengangguk pelan.
Bersambung…
Cerpen Karangan: Livia Rossayyasy
Facebook: Livia Rosayyassy
IG: liviarssy
Obat Penawar Atau Racun? (Part 1)
4/
5
Oleh
Unknown