Judul Cerpen Our Promise
“Auryn, nanti kamu nggak langsung pulang kan?” tanya seorang anak laki-laki.
“Eh? I-iya enggak. Kenapa Va?” balas gadis bernama Desviana Auryn itu.
“Aku… aku mau ngomong sesuatu. Tapi, nanti. Waktu habis pulang sekolah. Bisa kan?” tanya Alva. Nama laki-laki itu.
“Oh… iya, bisa. Memang kamu mau bicara apa Va?” tanya Auryn penasaran. Jujur, Auryn merasa kalau orang yang berada di hadapannya itu sama sekali tidak mencerminkan seorang Alva yang dia kenal.
Pulang sekolah…
“Jadi mau ngomong apa?” tagih Auryn. Kedua orang berseragam Putih-Biru itu kini sedang berada di sebuah taman indah nan sepi.
Maklum, karena taman ini jauh dari jangkauan penduduk sekitar. Lokasinya yang berada di dekat jalan terjal membuat orang-orang malas mengunjunginya. Tapi tidak bagi sepasang sahabat ini. Taman sepi inilah yang menjadi saksi perjalanan persahabatan mereka sejak kelas 3 SD. Dan kini, mereka sudah kelas 2 SMP. Yang berarti, persahabatan mereka telah terjalin selama 5 tahun.
“Maaf Ryn,” lirih Alva. Ucapan itu masih bisa didengar Auryn.
“Maaf? Buat apa?” tanya Auryn bingung.
“Aku… aku harus pindah ke Singapura. Papa dipindah tugas kesana. Jadi, kita sekeluarga harus ikut. Aku juga nggak tahu apa kita bisa ketemu lagi” ucap Alva. Ia meremas erat ujung seragamnya. Mencoba menghilangkan kegugupan yang melanda hatinya saat ini.
Auryn hanya bisa diam. Entah apa yang ia mimpikan semalam. Gadis itu menggigit ujung bibirnya dengan tubuh gemetar. Menangis. Itulah yang dia inginkan. Tapi, dia tahu, itu hanya akan membebani Alva. “Aku nggak apa-apa kok. Asalkan Alva seneng, aku juga seneng. Semangat yah! Jangan lupa bawa oleh-oleh kalau kamu pulang ke Indonesia” kata Auryn semangat. Tapi, sakitnya hati tak bisa ia ingkari. Setetes air mata telah lolos dari intimidasi matanya.
“Maaf, aku yakin. Kamu pasti, akan punya sahabat yang lebih baik dari aku” balas Alva pelan. Ia sunggingkan senyuman simpulnya.
“Tapi, nggak bakal ada yang bisa gantiin Alva. Mau janji?” tanya Auryn dengan nada menantang.
“Janji, apa?”
“Ayo kita janji kalau selamanya, kita bakal jadi sahabat. Hari ini, besok, dan seterusnya. Ikatan kita nggak bakal terputus. Asalkan percaya, semua hal yang mustahil pasti terwujud. Termasuk pertemuan kita nanti yang mungkin bakal terjadi!” ucap Auryn mencoba tersenyum. Ia mengangkat kelingkingnya sejajar dengan dagu.
Walau hatinya getir, ia tahu sekarang bukanlah waktunya egois. Sahabatnya, satu-satunya harta berharganya akan pergi. Dan itu untuk masa depannya. Auryn harusnya mendukung. Bukannya malah egois sendiri.
“Iya, janji!” balas Alva sambil melingkarkan kelingkingnya ke kelingking Auryn. Dengan ini, mereka terikat oleh janji persahabatan yang tak bisa di patahkan dengan apapun.
10 tahun kemudian…
Seorang gadis melangkahkan kakinya ke luar dari mobil. Dengan semangat 45, dia berjalan melewati jalan berkerikil untuk mencapai tempat tujuannya. Ya. Taman.
Taman yang sudah 5 tahun belakangan ini tak pernah Ia kunjungi. Entah kenapa, tiba-tiba saja kakinya membawa dia kesini. Tempat yang menyimpan kenangan indah juga menyakitkan. Tempat sakral bagi gadis itu dan seseorang di masa lalu.
Ya, gadis itu adalah Auryn. Remaja berusia 23 tahun yang sekarang adalah seorang mahasiswi jurusan sastra di Universitas Indonesia (UI). Padatnya aktivitas harian membuat Auryn susah untuk berkunjung ke taman ini.
“Hei kamu!” seru seorang pria berbadan kekar. Melihat pria itu membawa pisau tajam membuat Auryn ketakutan setengah mati.
“Oh, tenang dek. Saya nggak akan menyakiti kamu kok. Asalkan kamu, menyerahkan semua barang kamu. Ayo!” bentaknya garang.
“Nggak, nggak boleh!” seru Auryn. Walau takut, dia tahu kalau sekarang bukanlah waktu yang bagus untuk menyerah kepada perampok. Auryn harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini.
“Jadi kamu berani, hah?!” pria itu berjalan mendekati Auryn. Bersiap melayangkan pisau ke arah gadis itu. Auryn hanya bisa menahan napas dan menutup mata.
Brakkk!!!
Terdengar sebuah suara yang memekakkan telinga. Perlahan, gadis itu memberanikan diri untuk membuka mata. Pria itu sudah pingsan dengan beberapa luka di tubuh. Di sampingnya, seorang pemuda berjaket biru menatap Auryn tajam. Pemuda itu melangkah ke arah Auryn.
Karena masih trauma, Auryn mundur beberapa langkah. “Tenanglah, aku nggak bakal nyakitin kamu kok” ucap pemuda itu tenang. Ia mengajak Auryn untuk duduk di salah satu bangku taman.
“Kamu ada urusan apa sampai dateng kesini?” tanya pemuda itu.
“Aku cuman mau kesini aja. Kakak sendiri?” sekarang giliran Auryn yang bertanya.
“Sama”
“M-makasih ya kak. Kalau nggak ada kakak, aku nggak tau harus gimana lagi” kata Auryn lembut.
“Iya, lagian kamu ngapain kesini? Jarang lho, ada orang yang mau kesini. Apalagi sampai rela jadi korban rampok” balas pemuda itu santai.
“I-itu, aku cuman mau… aku cuman mau mengingat seseorang aja” jawab Auryn kikuk.
“Siapa?”
“Namanya Deralva Ardianto. Sahabatku satu-satunya. Tapi, dia pergi ke Singapura. Dan, aku nggak yakin kalo dia masih inget aku. Ah, pasti udah lupa. Secara kan dia itu kayak kakek-kakek pikun. Baru ngomong udah langsung lupa. Ada nggak ya orang yang mau nikah sama dia?” ucap Auryn. Ia tak sadar kalau cowok di sampingnya itu langsung memasang ekspresi down.
Ya, pemuda itu adalah Alva. Laki-laki yang dibicarakan Auryn. Ada perasaan senang ketika Auryn masih memegang janji mereka 10 tahun lalu. Gadis itu sudah banyak berubah. Tapi sifatnya masih kekanak-kanakan.
“Kalo kakak sendiri? Apa ada urusan juga?” tanya Auryn setelah bercerita panjang kali lebar kali tinggi.
“Iya, aku lagi nunggu seseorang. Sebenernya dia itu cewek sih. Tapi kelakuannya kayak cowok dan nggak pernah peka. Sangking nggak pekanya, dia itu nggak tahu kalo cowok yang dia ceritain itu ada di sampingnya” ucap Alva. Ia menatap Auryn dengan tatapan yang sulit dimengerti. Secara tidak langsung, Alva telah memberikan kode kepada Auryn kalau dia adalah orang yang selama ini Auryn tunggu.
“Eh, k-kok kayak aku ya? Aku dulunya itu emang tomboy. Tapi itu dulu kok. Dan nggak peka sama sekali terhadap sekitar. Ah, aku pede banget. Pasti bukan ak-”
“Dan cewek itu adalah orang yang duduk di sebelah aku” potong Alva. Auryn hanya bisa diam seribu bahasa.
“Nggak, ini nggak mungkin. Kamu…” Auryn sudah tahu siapa cowok di hadapannya. Tapi kata-kata itu terhenti oleh deraian air mata yang jatuh tanpa permisi.
“Lama nggak ketemu ya, Ryn” ucap Alva dengan senyuman dan mata yang teduh.
Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Ia tak percaya ini terjadi juga. “Alva!” seru Auryn sambil memeluk pemuda itu erat.
“Syukurlah, kita bisa menepati janji kita. Ryn, mulai sekarang, aku janji nggak akan ninggalin kamu sendiri lagi” lirih Alva. Jemarinya mengelus rambut gadis itu lembut.
“Janji ya, kamu nggak bakal ninggalin aku sendiri. Aku takut Va, aku takut kamu nggak akan pernah kembali!” isak Auryn.
“Sshht, kamu nggak usah takut. Karena aku akan selalu ada buat kamu. Kamu mau kan, jadi orang yang paling berharga buat aku? Aku tahu kita baru ketemu dan cara ini nggak romantis. Tapi, apa kamu mau jadi pendamping hidup aku? Untuk sekarang, besok, dan selamanya?” tanya Alva lembut.
Untuk pertama kalinya Auryn peka. Dia menganggukkan kepalanya yakin. Alva melamarnya. Ya, pemuda itu memilih dirinya yang tak peka ini untuk menjadi pendamping hidupnya. Dari sekian ribu gadis di luar sana, dialah orang yang paling beruntung.
Alva menyematkan sebuah cincin emas putih yang awalnya dia beli untuk hadiah ulang tahun kakaknya. Tapi biarlah, dia bisa mencarikan hadiah lain nanti.
Cincin itu pas dengan jari manis Auryn. Cincin sederhana. Ya, memang sederhana. Tapi memiliki makna di baliknya. Itulah yang menjadi quotes kedua insan itu.
Hal sederhana pun bisa memberi kita kebahagiaan yang luar biasa. Sama halnya dengan pertemuan mereka yang tak terduga. Ini semua telah terencana. Bagaimana mereka berpisah dan akhirnya bertemu kembali. Hingga Alva melamarnya. Itu semua sudah disiapkan oleh Sang Pencipta. Yang harus mereka lakukan adalah percaya dan menjalani semuanya.
TAMAT
Cerpen Karangan: Shabrina Z.A
Facebook: Shabrina Zalfa Amalia
“Auryn, nanti kamu nggak langsung pulang kan?” tanya seorang anak laki-laki.
“Eh? I-iya enggak. Kenapa Va?” balas gadis bernama Desviana Auryn itu.
“Aku… aku mau ngomong sesuatu. Tapi, nanti. Waktu habis pulang sekolah. Bisa kan?” tanya Alva. Nama laki-laki itu.
“Oh… iya, bisa. Memang kamu mau bicara apa Va?” tanya Auryn penasaran. Jujur, Auryn merasa kalau orang yang berada di hadapannya itu sama sekali tidak mencerminkan seorang Alva yang dia kenal.
Pulang sekolah…
“Jadi mau ngomong apa?” tagih Auryn. Kedua orang berseragam Putih-Biru itu kini sedang berada di sebuah taman indah nan sepi.
Maklum, karena taman ini jauh dari jangkauan penduduk sekitar. Lokasinya yang berada di dekat jalan terjal membuat orang-orang malas mengunjunginya. Tapi tidak bagi sepasang sahabat ini. Taman sepi inilah yang menjadi saksi perjalanan persahabatan mereka sejak kelas 3 SD. Dan kini, mereka sudah kelas 2 SMP. Yang berarti, persahabatan mereka telah terjalin selama 5 tahun.
“Maaf Ryn,” lirih Alva. Ucapan itu masih bisa didengar Auryn.
“Maaf? Buat apa?” tanya Auryn bingung.
“Aku… aku harus pindah ke Singapura. Papa dipindah tugas kesana. Jadi, kita sekeluarga harus ikut. Aku juga nggak tahu apa kita bisa ketemu lagi” ucap Alva. Ia meremas erat ujung seragamnya. Mencoba menghilangkan kegugupan yang melanda hatinya saat ini.
Auryn hanya bisa diam. Entah apa yang ia mimpikan semalam. Gadis itu menggigit ujung bibirnya dengan tubuh gemetar. Menangis. Itulah yang dia inginkan. Tapi, dia tahu, itu hanya akan membebani Alva. “Aku nggak apa-apa kok. Asalkan Alva seneng, aku juga seneng. Semangat yah! Jangan lupa bawa oleh-oleh kalau kamu pulang ke Indonesia” kata Auryn semangat. Tapi, sakitnya hati tak bisa ia ingkari. Setetes air mata telah lolos dari intimidasi matanya.
“Maaf, aku yakin. Kamu pasti, akan punya sahabat yang lebih baik dari aku” balas Alva pelan. Ia sunggingkan senyuman simpulnya.
“Tapi, nggak bakal ada yang bisa gantiin Alva. Mau janji?” tanya Auryn dengan nada menantang.
“Janji, apa?”
“Ayo kita janji kalau selamanya, kita bakal jadi sahabat. Hari ini, besok, dan seterusnya. Ikatan kita nggak bakal terputus. Asalkan percaya, semua hal yang mustahil pasti terwujud. Termasuk pertemuan kita nanti yang mungkin bakal terjadi!” ucap Auryn mencoba tersenyum. Ia mengangkat kelingkingnya sejajar dengan dagu.
Walau hatinya getir, ia tahu sekarang bukanlah waktunya egois. Sahabatnya, satu-satunya harta berharganya akan pergi. Dan itu untuk masa depannya. Auryn harusnya mendukung. Bukannya malah egois sendiri.
“Iya, janji!” balas Alva sambil melingkarkan kelingkingnya ke kelingking Auryn. Dengan ini, mereka terikat oleh janji persahabatan yang tak bisa di patahkan dengan apapun.
10 tahun kemudian…
Seorang gadis melangkahkan kakinya ke luar dari mobil. Dengan semangat 45, dia berjalan melewati jalan berkerikil untuk mencapai tempat tujuannya. Ya. Taman.
Taman yang sudah 5 tahun belakangan ini tak pernah Ia kunjungi. Entah kenapa, tiba-tiba saja kakinya membawa dia kesini. Tempat yang menyimpan kenangan indah juga menyakitkan. Tempat sakral bagi gadis itu dan seseorang di masa lalu.
Ya, gadis itu adalah Auryn. Remaja berusia 23 tahun yang sekarang adalah seorang mahasiswi jurusan sastra di Universitas Indonesia (UI). Padatnya aktivitas harian membuat Auryn susah untuk berkunjung ke taman ini.
“Hei kamu!” seru seorang pria berbadan kekar. Melihat pria itu membawa pisau tajam membuat Auryn ketakutan setengah mati.
“Oh, tenang dek. Saya nggak akan menyakiti kamu kok. Asalkan kamu, menyerahkan semua barang kamu. Ayo!” bentaknya garang.
“Nggak, nggak boleh!” seru Auryn. Walau takut, dia tahu kalau sekarang bukanlah waktu yang bagus untuk menyerah kepada perampok. Auryn harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini.
“Jadi kamu berani, hah?!” pria itu berjalan mendekati Auryn. Bersiap melayangkan pisau ke arah gadis itu. Auryn hanya bisa menahan napas dan menutup mata.
Brakkk!!!
Terdengar sebuah suara yang memekakkan telinga. Perlahan, gadis itu memberanikan diri untuk membuka mata. Pria itu sudah pingsan dengan beberapa luka di tubuh. Di sampingnya, seorang pemuda berjaket biru menatap Auryn tajam. Pemuda itu melangkah ke arah Auryn.
Karena masih trauma, Auryn mundur beberapa langkah. “Tenanglah, aku nggak bakal nyakitin kamu kok” ucap pemuda itu tenang. Ia mengajak Auryn untuk duduk di salah satu bangku taman.
“Kamu ada urusan apa sampai dateng kesini?” tanya pemuda itu.
“Aku cuman mau kesini aja. Kakak sendiri?” sekarang giliran Auryn yang bertanya.
“Sama”
“M-makasih ya kak. Kalau nggak ada kakak, aku nggak tau harus gimana lagi” kata Auryn lembut.
“Iya, lagian kamu ngapain kesini? Jarang lho, ada orang yang mau kesini. Apalagi sampai rela jadi korban rampok” balas pemuda itu santai.
“I-itu, aku cuman mau… aku cuman mau mengingat seseorang aja” jawab Auryn kikuk.
“Siapa?”
“Namanya Deralva Ardianto. Sahabatku satu-satunya. Tapi, dia pergi ke Singapura. Dan, aku nggak yakin kalo dia masih inget aku. Ah, pasti udah lupa. Secara kan dia itu kayak kakek-kakek pikun. Baru ngomong udah langsung lupa. Ada nggak ya orang yang mau nikah sama dia?” ucap Auryn. Ia tak sadar kalau cowok di sampingnya itu langsung memasang ekspresi down.
Ya, pemuda itu adalah Alva. Laki-laki yang dibicarakan Auryn. Ada perasaan senang ketika Auryn masih memegang janji mereka 10 tahun lalu. Gadis itu sudah banyak berubah. Tapi sifatnya masih kekanak-kanakan.
“Kalo kakak sendiri? Apa ada urusan juga?” tanya Auryn setelah bercerita panjang kali lebar kali tinggi.
“Iya, aku lagi nunggu seseorang. Sebenernya dia itu cewek sih. Tapi kelakuannya kayak cowok dan nggak pernah peka. Sangking nggak pekanya, dia itu nggak tahu kalo cowok yang dia ceritain itu ada di sampingnya” ucap Alva. Ia menatap Auryn dengan tatapan yang sulit dimengerti. Secara tidak langsung, Alva telah memberikan kode kepada Auryn kalau dia adalah orang yang selama ini Auryn tunggu.
“Eh, k-kok kayak aku ya? Aku dulunya itu emang tomboy. Tapi itu dulu kok. Dan nggak peka sama sekali terhadap sekitar. Ah, aku pede banget. Pasti bukan ak-”
“Dan cewek itu adalah orang yang duduk di sebelah aku” potong Alva. Auryn hanya bisa diam seribu bahasa.
“Nggak, ini nggak mungkin. Kamu…” Auryn sudah tahu siapa cowok di hadapannya. Tapi kata-kata itu terhenti oleh deraian air mata yang jatuh tanpa permisi.
“Lama nggak ketemu ya, Ryn” ucap Alva dengan senyuman dan mata yang teduh.
Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Ia tak percaya ini terjadi juga. “Alva!” seru Auryn sambil memeluk pemuda itu erat.
“Syukurlah, kita bisa menepati janji kita. Ryn, mulai sekarang, aku janji nggak akan ninggalin kamu sendiri lagi” lirih Alva. Jemarinya mengelus rambut gadis itu lembut.
“Janji ya, kamu nggak bakal ninggalin aku sendiri. Aku takut Va, aku takut kamu nggak akan pernah kembali!” isak Auryn.
“Sshht, kamu nggak usah takut. Karena aku akan selalu ada buat kamu. Kamu mau kan, jadi orang yang paling berharga buat aku? Aku tahu kita baru ketemu dan cara ini nggak romantis. Tapi, apa kamu mau jadi pendamping hidup aku? Untuk sekarang, besok, dan selamanya?” tanya Alva lembut.
Untuk pertama kalinya Auryn peka. Dia menganggukkan kepalanya yakin. Alva melamarnya. Ya, pemuda itu memilih dirinya yang tak peka ini untuk menjadi pendamping hidupnya. Dari sekian ribu gadis di luar sana, dialah orang yang paling beruntung.
Alva menyematkan sebuah cincin emas putih yang awalnya dia beli untuk hadiah ulang tahun kakaknya. Tapi biarlah, dia bisa mencarikan hadiah lain nanti.
Cincin itu pas dengan jari manis Auryn. Cincin sederhana. Ya, memang sederhana. Tapi memiliki makna di baliknya. Itulah yang menjadi quotes kedua insan itu.
Hal sederhana pun bisa memberi kita kebahagiaan yang luar biasa. Sama halnya dengan pertemuan mereka yang tak terduga. Ini semua telah terencana. Bagaimana mereka berpisah dan akhirnya bertemu kembali. Hingga Alva melamarnya. Itu semua sudah disiapkan oleh Sang Pencipta. Yang harus mereka lakukan adalah percaya dan menjalani semuanya.
TAMAT
Cerpen Karangan: Shabrina Z.A
Facebook: Shabrina Zalfa Amalia
Our Promise
4/
5
Oleh
Unknown