Judul Cerpen Pangeranku
Ya robbibil musthofa baliqmankoo shidanaa wagfirlanaa mamadho ya waa shialkarokmii.
Itulah shalawat yang menandakan shalat taraweh dihari pertama ini telah selesai. Aku melipat mukena dan sajadah lalu bersalam-salaman dengan yang lain. Seperti biasanya sepulang shalat taraweh, aku berjalan secepat mungkin saat melewati tempat yang gelap dan ditumbuhi oleh pohon besar. Pasti kalian sudah tahu mengapa aku berlari saat melewatinya? Ya, takut, karena takut. Jelas saja aku takut, aku melewati tempat itu sendiri tanpa ada yang menemani. Entah mengapa, perasaan takut itu selalu datang. Padahal, di bulan suci ramadhan seperti sekarang ini semua hantu dikurung sama Allah, agar mereka tidak menggangu manusia termasuk aku. Tapi, kenapa perasaan takut itu selalu menghantuiku? Mungkin karena aku perempuan jadinya penakut. Saking cepatnya dan tidak melihat di sekeliling, sampai-sampai aku menabrak seseorang.
BRRRUUUKKK…
“Aaawww..” Teriakku kesakitan karena pantatku mendarat di jalan. Mukena dan sajadah yang sedang kupegang pun ikut terlempar, tapi tidak terlalu jauh dariku.
“Adek, gak apa-apa?” Tanya orang yang kutabrak tadi dengan lembut. Aku tidak menjawab pertanyaannya itu, aku sibuk membersihkan tangan dan baju yang sedikit kotor, serta mengambil mukena dan sajadah yang ikut jatuh terlempar, setelah itu baru aku melihat wajah orang tersebut.
Subhanallah, rupa orang tersebut sangat tampan. Aku hanya bisa menganga tanpa berkata apa-apa. Kupandangi wajah orang yang tepat berada di hadapanku dengan peci dan baju putih lengan panjang serta kain sarung yang ia kenakan membuatnya terlihat seperti lelaki yang saleh.
“Dek, adek gak apa-apa?” Tanyanya lagi sambil melambaikan tangan kanannya ke wajahku dan membuatku tersadar dari lamunanku yang sedari tadi sedang memandangi wajahnya.
“Eh, iya. Aku gak apa-apa Kok.” Jawabku sembari bangkit.
“Kenapa kamu jalannya cepet-cepet gitu Dek?”
Adek? Masya Allah, aku baru menyadari bahwa dia lebih tinggi dariku, dan sudah pasti dia lebih dewasa dariku. Pantas saja dia memanggilku dengan sebutan adek
“Aku.. aku.. aku takut Kak.” Jawabku. Ia tertawa mendengar jawabanku yang mungkin lucu baginya.
“Kenapa takut Dek? Sekarang kan bulan ramadhan. Kamu ini lucu banget sih. Hehehe.”
“Yeee, Kakak. Coba Kakak melewati tempat yang kulewati tadi sendiri, berani tidak?” Tanyaku menantang. Sudah pasti dia berani, lelaki saleh kan rajin ibadah, setan-setan pun tidak berani mendekatainya.
“Memangnya kamu sendirian?” Bukannya menjawab, dia malah berbalik tanya padaku.
Aku hanya mengangguk sambil merapikan jilbabku yang berwarna merah muda karena ada beberapa rambut yang keluar.
“Teman-temanmu?” Tanyanya lagi sambil menatapku.
“Ya, kakak tahu sendirilah, remaja zaman sekarang kan pada malas pergi ke masjid. Ada sih beberapa, tapi arah rumah kami berbeda.” Jawabku yang menatapnya balik.
Oh Allah, kenapa hatiku berdebar-debar saat bertatapan dengannya? Apa aku menyukainya? Ah, tidak mungkin. Aku masih siswi SMA, sedangkan dia mungkin sudah berkuliah. Jika memang benar aku menyukainya, mana mungkin dia menyukaiku juga.
“Ya udah, ayo Kakak antar pulang.” Ucapnya yang mau mengantarkanku pulang.
“Jadi gak enak nih aku, hehehe.” Kataku sambil tertawa kecil.
Sekitar lima menit berjalan, akhirnya sampai juga di rumahku.
“Disini rumah kamu?” Tanyanya.
“Iya, ini rumahku.” Jawabku.
“Wah, berarti kita tetanggaan dong. Tuh, rumah Kakak disana.” Katanya sambil menunjuk ke arah rumah berwarna putih yang tidak jauh dari rumahku.
Apa, itu rumahnya? Kenapa aku baru melihatnya sekarang, padahal rumah kami berdekatan?
“Kalau gitu Kakak pulang ya! Assalamu’alaikum.” Pamitnya.
“Wa’alaikumsalam. Makasih ya Kak.” Aku menjawab salamnya sambil berterima kasih padanya karena sudah mengantarkanku pulang. Dia hanya mengangguk dan tersenyum padaku, lalu berjalan menuju rumahnya.
Kemudian, aku membuka pintu gerbang lalu masuk ke dalam rumah dengan hati yang berbunga-bunga. Aku berlari memasuki kamar, lalu melempar mukena dan sajadah ke atas kasurku yang diselimuti oleh seprai Hello Kitty berwarna merah muda dan langsung melihat wajahku ke cermin. Kupandangi wajahku disana sambil tersenyum sendiri seperti orang gila karena mengingat pertemuanku dengan orang tersebut. Mimpi apa aku sampai bisa bertemu orang sepertinya, dengan wajah yang tampan bagaikan pangeran. Tapi, tunggu, tunggu, tunggu, siapa nama orang itu? Kenapa aku tidak menanyakan namanya? Aaarrrggghhh.. semoga saja aku bisa bertemu dengannya lagi, agar aku bisa mengetahui siapa namanya.
Puasa Ramadhan saat ini sudah memasuki hari ketujuh. Setelah aku mengetahui dimana rumahnya berada, aku jadi selalu memperhatikan rumahnya setiap kali berangkat sekolah, berharap aku bisa bertemunya lagi. Namun, rumahnya selalu tertutup, seperti tidak berpenghuni. Pantas saja aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, karena rumahnya selalu begitu. Seusai berbuka, aku berpamitan kepada Ibu untuk pergi taraweh seperti biasanya.
“Ibu, aku pergi taraweh dulu ya! Assalamu’alaikum.” Kataku dengan sedikit berteriak.
“Wa’alaikum salam. Hati-hati ya sayang!” Sahut Ibu yang sedang mencuci piring-piring kotor sehabis berbuka di dapur.
Aku langsung mengeluari rumah dengan hati yang berharap bisa bertemu lagi dengan orang tersebut. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi setelah pertemuan pertama kita satu minggu yang lalu.
“Pergi ke masjid bareng yuk Dek.” Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari belakangku ketika ku sedang menutup pagar rumah. Suara itu? Sepertinya aku mengenali suara itu? Orang itu? Pasti dia.
Aku menoleh ke arah suara yang kudengar itu. Ternyata benar dia orangnya. Peci putih yang ia kenakan seperti saat pertama ku bertemu dengannya, ditambah baju putih lengan panjangnya yang polos dan kain sarung berwarna merah bergaris hitam membuatnya terlihat sangat tampan. Hatiku kembali berdebar-debar. Sepertinya memang benar aku menyukainya. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta? Hatiku selalu berdegup kencang setiap kali melihatnya.
“Kakak!” Kataku dengan sumringah, karena senang bisa bertemu dengannya lagi.
“Iya, ini Kakak yang kemarin pulang taraweh bareng kamu. Ayo berangkat!” Katanya sambil berjalan pelan, lalu aku mengikutinya dari belakang, sampai akhirnya aku jalan berdua dengannya.
“Waktu itu kita belum berkenalan ya? Nama kamu siapa?” Tanyanya yang memulai pembicaraan.
“Namaku Zahra Kak, kakak sendiri namanya siapa?” Jawabku sambil mendongak ke atas untuk melihat wajahnya, karena tinggiku setengah dari badannya yang cukup tinggi itu.
“Nama Kakak terlalu bagus, panggil saja Kak Azam. Hehehe..” Katanya yang tertawa seraya melihatku juga.
“Iya, iya. Aku akui nama Kakak bagus. Hehehe..” Aku pun ikut tertawa.
“Nama kamu juga bagus, Kok. Oiya, kamu sekolah dimana? Kelas berapa?” Katanya yang menanyakan tentang sekolahku.
“Aku kelas satu di SMA Islam Adzkia.” Jawabku.
“Kamu sudah SMA? Kakak fikir masih SMP? Habisnya badan kamu kaya anak kecil, mungil. Kamu juga masih kelihatan imut.” Katanya yang tidak menyangka bahwa aku sudah SMA.
Ya, benar apa yang dikatakan Kak Azam. Walaupun sudah SMA, tapi badanku kecil. Karena badanku yang kecil ini, aku suka dibilang anak kecil terus sama teman-teman di sekolah. Bukan hanya aku, dua teman perempuanku juga sama, karena hanya kami yang memiliki badan kecil di kelas. Padahal kan aku dengan mereka sama, hanya saja badan kami yang berbeda.
“Yeee, Kakak, aku sudah besar. Kalau masalah itu, dari lahir aku sudah imut. Hehehe..” Kataku yang membanggakan diri. Ia hanya tertawa mendengarnya. Obrolan kami terhenti ketika sampai di masjid.
“Nanti, kalau mau pulang bareng tunggu saja Kakak disini.” Katanya ketika aku sedang duduk di beberapa anak tangga sambil merapikan sandalku dan secara diam-diam juga merapikan sandalnya agar bersebelahan denganku. Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya sebagai tanda mau. Lalu dia masuk ke dalam masjid lewat pintu sebelah kanan untuk laki-laki, dan aku pun masuk ke dalam masjid melewati pintu sebelah kiri untuk perempuan.
Sudah seminggu aku dekat dengan Kak Azam. Pergi dan pulang taraweh selalu berdua. Bukan hanya aku dan Kak Azam yang dekat, orangtua kami pun dekat. Kak Azam dan keluarganya sangat baik denganku dan keluargaku. Kami selalu berbagi menu berbuka puasa. Selain itu, orangtua kami juga suka mengadakan buka puasa bersama, antara Ayah Ibuku dan Ayah Ibunya Kak Azam. Aku berharap banget bisa berbuka puasa berdua dengannya. Harapanku untuk berbuka puasa dengannya terwujud ketika puasa kami sudah memasuki minggu kedua. Kak Azam mengundangku untuk berbuka puasa di rumahnya, dengan alasan dia sendiri berbuka di rumah, makanya dia mengundangku. Tapi, Kak Azam tidak sendiri di rumah ketika aku sampai disana, ada seorang laki-laki yang menemaninya di rumah. Setelah aku cari tahu siapa laki-laki itu, ternyata dia adalah adiknya Kak Azam yang bernama Izam. Dia sangat mirip dengan Kak Azam, yang membedakan hanya tinggi badan dan dia berkacamata. Aku sempat kecewa saat mengetahui Kak Azam bersama adiknya di rumah, katanya dia hanya sendiri, tapi kenapa ada adiknya di rumah? Tapi, kekecewaanku terganti dengan obrolan-obrolan diselingi candaan yang membuat kami semakin dekat. Namun sayang, ketika satu minggu sebelum hari raya idul fitri Kak Azam tidak ada kabar sama sekali. Biasa kami selalu berangkat taraweh bersama, tapi kini tidak. Adiknya yang selalu mengirimi pesan singkat untukku saat waktu sahur tiba juga sudah tidak lagi, bahkan mereka dan orangtuanya tidak kelihatan sama sekali di rumah. Aku bertanya pada Ibu kenapa Kak Azam dan keluarganya tidak ada di rumah, tapi jawaban Ibu tidak tahu. Aku jadi tidak semangat untuk shalat taraweh kalau tidak ada Kak Azam, karena dia adalah penyemangatku untuk melakukan itu, dan dia adalah pangeranku.
Sampai malam dimana orang-orang mengumandangkan takbir sebagai tanda hari idul fitri akan tiba, mereka semua masih belum ada kabar. Mereka hilang begitu saja seperti ditelan bumi tanpa aku ketahui dimana keberadaannya. Tapi, saat hari kemenangan itu tiba, aku mendengar kabar dari Ibu mereka sudah ada di rumah. Betapa senangnya aku mendengar kabar itu, akhirnya aku bisa bertemu dengan Kak Azam lagi. Ibu dan Ayah mengajakku untuk berlebaran di rumah Kak Azam setelah kami berlebaran dengan yang lain. Sampai akhirnya kami tiba di rumahnya. Di hari lebaran seperti ini pintu rumah Kak Azam terbuka lebar, tidak seperti dihari-hari biasanya yang selalu tertutup rapat.
“Assalamu’alaikum..” ucap Ayah ketika kami sampai di rumahnya.
“Wa’alaikum salam..” jawab Ayah dan Ibunya Kak Azam yang menyambut kedatangan kami.
Ayah Ibu langsung bersalam untuk bermaaf-maafan seperti yang lain dengan Ayah Ibunya Kak Azam, dilanjut juga denganku. Orangtuanya ada, kenapa Kak Azam dan adiknya tidak ada? Kemana mereka? Ternyata adiknya Kak Azam ada di dalam setelah orangtua mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya. Melihat kedatangan kami, adiknya Kak Azam juga bersalam dengan Ayah dan Ibu, juga denganku. Kemana Kak Azam? Kenapa hanya ada adiknya? Pertanyaanku itu dijawab oleh adiknya setelah aku bertanya padanya dimana keberadaan sang kakak. Aku langsung menuju kamar Kak Azam, keberadaan dia berada sekarang. Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya, semoga saja dia dalam keadaan yang baik.
Aku terkejut melihat seseorang yang memakai kruk atau tongkat penyanggah kaki di kedua tangannya sedang merenung di jendela setibanya di kamar Kak Azam. Dia siapa? Apa dia Kak Azam? Kalau iya, kenapa dia bisa seperti itu?
“Kak Azam!” Panggilku pelan. Dia langsung menoleh ke arahku setelah mendapat panggilan dariku.
“Zahra!” Kak Azam tersenyum melihatku. Dia berjalan perlahan menghampiriku. Dia sangat tampan dengan baju lebarannya hari ini, bukan hanya hari ini, hari kemarin dan hari selanjutnya terus begitu. Mataku terbelalak ketika sadar saat melihat keadaan kaki sebelah kanannya diperban. Jadi, karena kakinya sakit yang membuatnya memakai tongkat? Tapi, kenapa dia bisa seperti itu? Apa yang telah terjadi padanya?
“Minal’aidzin Zahra!” Ucapnya sama seperti yang lain saat aku berlebaran dengan mereka. Aku tidak menjawab ucapan lebarannya itu, aku masih terus memandangi kakinya yang terlihat besar karena perban yang membalutinya.
“Kakak kenapa?” Tanyaku yang mengganti ucapan lebarannya itu.
“Kakak gak apa-apa kok.” Jawabnya sambil tersenyum untuk meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
“Kalau kakak gak apa-apa, kenapa kakak kaya gini?” Aku kembali bertanya kenapa keadaannya berubah seperti itu.
“Kamu gak suka lihat kakak seperti ini?” Bukannya menjawab, dia malah berbalik tanya. Pertanyaannya itu membuat tangis yang sedang kutahan memecah. Aku menangis sambil menunduk di hadapannya. Melihatku menangis begitu, dia menenangkanku di dalam pelukannya. Bukannya senang mendapat pelukan darinya, tangisku semakin menjadi-jadi.
“Jangan menangis bidadari kecilku, kakak gak apa-apa kok.” Ucapnya sambil mengelus lembut kepalaku yang dibaluti oleh jilbab berwarna merah muda. Aku tidak bisa tenang meski sudah ditenangkan olehnya, karena aku tidak mau melihat keadaannya berubah menjadi seperti itu.
“Maafkan kakak Zahra, kakak gak bisa menjadi pangeran kamu.” Ucapnya yang membuat tangisku berhenti, juga membuat mataku seketika terbelalak mendengar ucapannya itu. Aku melepaskan pelukannya, lalu menatapnya dalam-dalam. Jadi, selama ini Kak Azam tahu bahwa aku menyukainya?
“Maafkan kakak Dek.” Lagi-lagi Kak Azam mengatakan maaf padaku. Aku kembali menangis mendengar ucapannya yang menyatakan tidak bisa menjadi pangeran yang selama ini aku dambakan. Yang selama ini membuatku semangat untuk shalat taraweh karena adanya dia yang menemaniku saat pergi dan pulang taraweh.
“Kenapa gak bisa Kak?” Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya mengapa dia tidak bisa menjadi pangeran yang seperti aku inginkan.
“Karena kakak bukanlah laki-laki yang terbaik buat kamu Dek.” Jawabnya sambil menatapku.
“Bagiku, kakak itu sudah yang terbaik dan yang paling baik.” Aku mengelak perkataannya itu. Bagaimana bisa dia bukan laki-laki yang terbaik untukku sedangkan dia sudah mampu merubah hidupku menjadi yang lebih baik lagi.
“Itu kan bagi kamu Zahra, di mata orang lain pasti berbeda-beda.” Aku hanya terdiam mendengarkan ucapannya itu. Benar yang dikatakannya, pandangan orang lain ketika melihat kita memang berbeda-beda, begitu juga dengan Kak Azam.
“Tapi aku sayang sama kakak.” Aku mengungkapkan rasa sayangku padanya.
“Kakak juga sayang sama kamu Zahra, tapi rasa sayang kakak ke kamu hanya sebagai adik kakak, bukan yang lain seperti yang kamu rasakan.”
“Apa karena perbedaan usia kita yang membuat kakak tidak mempunyai rasa yang sama sepertiku dan hanya menganggap aku sebagai adik kakak? Kalau iya, pasangan yang lain banyak yang perbedaan usianya yang lebih jauh dari kita. Kenapa kita gak bisa Kak?”
“Kakak tahu Zahra, cinta memang tidak dibatasi usia. Tapi pandangan dan perasaan kakak ke kamu tetap sama, hanya menganggap kamu sebagai adik kakak.” Lagi-lagi Kak Azam mengucapkan itu.
Kenapa cinta rasanya menyakitkan seperti ini? Kenapa tidak seperti saat pertama kali aku merasakan jatuh cinta, yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga? Kenapa cinta tidak seperti yang aku lihat pada kebanyakan orang lain yang bisa tertawa bahagia, bukan malah mengundang air mata seperti yang aku alami ini? Apa aku salah memandang cinta? Atau aku yang belum mengerti apa itu cinta? Entahlah, aku tidak tahu itu. Yang jelas aku tidak ingin bermain-main dengan cinta lagi jika akhirnya menjadi seperti ini. Aku tidak mungkin menyalahkan cinta atas apa yang telah terjadi padaku. Karena cinta adalah perasaan yang tumbuh dari dalam hati ketika kita melihat seseorang yang kita cintai dan cinta itu mampu merubah hidup kita menjadi yang lebih baik lagi. Cinta adalah anugerah sang Illahi yang patut kita syukuri, karena tidak setiap manusia bisa mensyukuri cinta yang sudah diberikan pada kita. Buktinya masih banyak yang melakukan perbuatan yang tidak baik dengan alasan cinta. Kalau dia memang benar cinta, mengapa dia melakukan perbuatan itu? Apa itu yang dinamakan cinta? Karena pada sesungguhnya, cinta itu anugerah, bukan masalah yang dapat membebani hidup kita. Cinta itu menjaga seseorang yang kita sayangi, bukan merusaknya dengan cara memperlakukannya secara tidak menyenangkan. Cinta itu memberi apa yang kita miliki untuk orang yang kita cintai, bukan meminta apa yang dia miliki untuk kesenangan kita sendiri. Cinta itu memudahkan kita dalam melakukan apa yang akan kita lakukan bersama seseorang yang kita sayangi, karena cinta mempersatukan kita dalam sebuah ikatan yang kuat berdasarkan perasaan kita masing-masing, bukan menyulitkan seperti apa yang telah kita lihat dan rasakan.
Mendengar ucapan Kak Azam itu, aku ingin segera pergi darinya karena kecewa dia tidak membalas cintaku. Namun, dia menghentikanku ketika aku hendak pergi darinya.
“Ada yang menyayangi dan mencintai kamu dengan tulus Zahra.”
“Siapa Kak? Siapa?” Tanyaku agak sedikit kesal.
“Aku Zahra.” Tiba-tiba adiknya Kak Azam yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya menjawab pertanyaanku dan ternyata diam-diam dia memperhatikan kami.
“Izamlah yang menyanyangi dan mencintai kamu Zahra.” Ucap Kak Azam yang ikut meyakinkan jawaban sang adik kepadaku. Mendengar ucapan Kak Azam itu dia langsung menghampiri kami.
“Iya Zahra. Dari awal…” dia mulai menceritakan padaku dan Kak Azam bagaimana awal mulainya dia menyukaiku. Dari awal kami bertemu saat berbuka puasa waktu itu, dia mulai menyukaiku. Perasaan yang dinamakan cinta itu tumbuh di dalam hatinya ketika melihatku. Dia yang menyuruh Kak Azam meminta nomor teleponku untuknya saat aku dan Kak Azam pulang taraweh berdua seperti biasa sehari sesudah berbuka bersama. Dia juga yang selalu membangunkanku saat waktu sahur tiba dengan cara mengirimi aku sms. Meski aku tidak pernah membalasnya, dia tetap saja mengiriminya. Sampai akhirnya satu minggu sebelum hari raya dia sudah tidak lagi mengirimi aku sms ketika waktu sahur tiba, dan diwaktu yang bersamaan juga mereka sekeluarga tidak ada kabar sama sekali. Ternyata ada musibah yang menimpa pada keluarga mereka yang mengakibatkan Kak Azam menjadi seperti itu.
“Aku mencintai kamu Zahra.” Ucapnya yang mengungkapkan perasaannya padaku sehabis bercerita. Aku hanya diam mendengar ucapannya itu, karena tidak menyangka ini semua akan terjadi.
“Gimana Dek?” Tanya Kak Azam yang ingin tahu bagaimana jawabanku atas ungkapan adiknya tadi.
“Aku cintanya sama kakak, bukan sama adik kakak.” Jawabku yang masih tetap kokoh dengan perasaanku terhadap Kak Azam.
“Zahra, kakak gak mau kamu sakit hati cuma karena kakak gak bisa mencintai kamu juga. Hilangkan rasa suka kamu pada kakak, dan coba buka hati kamu buat Izam.” Ucap Kak Azam. Setelah difikir-fikir ucapannya itu memang benar. Mencintainya pasti hanya membuat aku sakit hati, karena aku mencintai orang yang tidak mencintaiku. Tapi bagaimana aku bisa mencintai orang yang tidak aku cintai, dan bahkan rasa suka sedikit pun tidak ada.
“Kamu pasti bisa mencintai Izam Dek, asalkan kamu mau membuka hati kamu buatnya.” Tambah Kak Azam.
Aku masih hanya terdiam mendengar perkataan Kak Azam. Apa aku harus ikuti sarannya untuk menghilangkan rasa sukaku padanya dan membuka hatiku untuk adiknya? Sepertinya aku harus ikuti sarannya, karena buat apa mencintai orang yang tidak mencintai kita, sedangkan ada orang lain yang mencintai kita.
“Tapi aku sudah mengecewakan Kak Izam.” Kataku yang memberanikan diri untuk membuka suara padanya yang aku panggil juga dengan sebutan kakak, karena dia dua tahun lebih dewasa dariku. Aku takut dia akan kecewa atas apa yang selama ini aku lakukan padanya, yang tidak pernah membalas smsnya. Sekalipun membalasnya, aku hanya menanyakan bagaimana kabar Kak Azam.
“Aku gak pernah merasa dikecewakan oleh orang yang aku sayangi, begitu juga sama kamu Zahra.” Katanya yang tidak merasa dikecewakan olehku. Ternyata dia sama seperti kakaknya, sangat baik. Meski aku sudah begitu, dia tidak pernah merasa dikecewakan.
“Gimana Dek? Mau ya!” Kak Azam kembali bertanya padaku tentang jawaban dari ungkapan adiknya tadi.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban bahwa aku mau untuk mencoba membuka hatiku agar bisa mencintainya dan menghilangkan rasa sukaku pada Kak Azam yang terbilang salah. Kakak beradik itu tersenyum bahagia setelah mengetahui jawabanku yang membuat hubungan saudara mereka bisa lebih baik lagi, karena sudah tidak ada yang harus sakit hati di antara salah satu dari keduanya. Meski perasaanku terhadapnya masih biasa saja, setidaknya aku mau mencoba dan berusaha untuk mencintainya. Setelah beberapa selang waktu aku mencoba menjalin hubungan baik dengannya, perlahan-lahan hatiku bisa menerima dirinya sebagai pengganti sang kakak. Walau aku tidak bisa menjadi kekasihnya Kak Azam, tapi aku bisa menjadi adiknya yang sama-sama menjadi bagian dari dalam hidupnya. Walau Kak Azam juga tidak bisa menjadi pangeranku, tapi adiknya bisa menjadi pangeran seperti sang kakak yang dulu aku damba-dambakan. Yang mempunyai akhlak yang baik, tutur kata dan tingkah lakunya juga baik, dan yang pasti dia menyayangiku, tidak seperti Kak Azam. Kak Azam memang menyayangiku, tapi dia hanya menyayangiku sebagai adiknya, bukan seseorang yang spesial untuknya, karena akunya saja yang selama ini terlalu berharap sama dia.
Ternyata dicintai itu lebih baik daripada mencintai. Tapi, kita yang dicintainya juga harus bisa menghargai seseorang yang sudah mencintai kita. Terkadang kita suka menyia-nyiakan orang yang mencintai kita hanya untuk melihat orang lain yang tidak mencintai kita. Cobalah membuka hati untuk orang yang mencintai kita tapi kita tidak mencintainya. Belajarlah melihat dirinya dengan hati kita jangan hanya dengan mata kita yang hanya bisa melihat bagaimana kesempurnaan dirinya, tapi tidak dengan hatinya. Cinta itu mudah, hanya saja kita yang menganggapnya sulit. Cinta itu tidak sulit, hanya saja kita yang belum mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam
Ya robbibil musthofa baliqmankoo shidanaa wagfirlanaa mamadho ya waa shialkarokmii.
Itulah shalawat yang menandakan shalat taraweh dihari pertama ini telah selesai. Aku melipat mukena dan sajadah lalu bersalam-salaman dengan yang lain. Seperti biasanya sepulang shalat taraweh, aku berjalan secepat mungkin saat melewati tempat yang gelap dan ditumbuhi oleh pohon besar. Pasti kalian sudah tahu mengapa aku berlari saat melewatinya? Ya, takut, karena takut. Jelas saja aku takut, aku melewati tempat itu sendiri tanpa ada yang menemani. Entah mengapa, perasaan takut itu selalu datang. Padahal, di bulan suci ramadhan seperti sekarang ini semua hantu dikurung sama Allah, agar mereka tidak menggangu manusia termasuk aku. Tapi, kenapa perasaan takut itu selalu menghantuiku? Mungkin karena aku perempuan jadinya penakut. Saking cepatnya dan tidak melihat di sekeliling, sampai-sampai aku menabrak seseorang.
BRRRUUUKKK…
“Aaawww..” Teriakku kesakitan karena pantatku mendarat di jalan. Mukena dan sajadah yang sedang kupegang pun ikut terlempar, tapi tidak terlalu jauh dariku.
“Adek, gak apa-apa?” Tanya orang yang kutabrak tadi dengan lembut. Aku tidak menjawab pertanyaannya itu, aku sibuk membersihkan tangan dan baju yang sedikit kotor, serta mengambil mukena dan sajadah yang ikut jatuh terlempar, setelah itu baru aku melihat wajah orang tersebut.
Subhanallah, rupa orang tersebut sangat tampan. Aku hanya bisa menganga tanpa berkata apa-apa. Kupandangi wajah orang yang tepat berada di hadapanku dengan peci dan baju putih lengan panjang serta kain sarung yang ia kenakan membuatnya terlihat seperti lelaki yang saleh.
“Dek, adek gak apa-apa?” Tanyanya lagi sambil melambaikan tangan kanannya ke wajahku dan membuatku tersadar dari lamunanku yang sedari tadi sedang memandangi wajahnya.
“Eh, iya. Aku gak apa-apa Kok.” Jawabku sembari bangkit.
“Kenapa kamu jalannya cepet-cepet gitu Dek?”
Adek? Masya Allah, aku baru menyadari bahwa dia lebih tinggi dariku, dan sudah pasti dia lebih dewasa dariku. Pantas saja dia memanggilku dengan sebutan adek
“Aku.. aku.. aku takut Kak.” Jawabku. Ia tertawa mendengar jawabanku yang mungkin lucu baginya.
“Kenapa takut Dek? Sekarang kan bulan ramadhan. Kamu ini lucu banget sih. Hehehe.”
“Yeee, Kakak. Coba Kakak melewati tempat yang kulewati tadi sendiri, berani tidak?” Tanyaku menantang. Sudah pasti dia berani, lelaki saleh kan rajin ibadah, setan-setan pun tidak berani mendekatainya.
“Memangnya kamu sendirian?” Bukannya menjawab, dia malah berbalik tanya padaku.
Aku hanya mengangguk sambil merapikan jilbabku yang berwarna merah muda karena ada beberapa rambut yang keluar.
“Teman-temanmu?” Tanyanya lagi sambil menatapku.
“Ya, kakak tahu sendirilah, remaja zaman sekarang kan pada malas pergi ke masjid. Ada sih beberapa, tapi arah rumah kami berbeda.” Jawabku yang menatapnya balik.
Oh Allah, kenapa hatiku berdebar-debar saat bertatapan dengannya? Apa aku menyukainya? Ah, tidak mungkin. Aku masih siswi SMA, sedangkan dia mungkin sudah berkuliah. Jika memang benar aku menyukainya, mana mungkin dia menyukaiku juga.
“Ya udah, ayo Kakak antar pulang.” Ucapnya yang mau mengantarkanku pulang.
“Jadi gak enak nih aku, hehehe.” Kataku sambil tertawa kecil.
Sekitar lima menit berjalan, akhirnya sampai juga di rumahku.
“Disini rumah kamu?” Tanyanya.
“Iya, ini rumahku.” Jawabku.
“Wah, berarti kita tetanggaan dong. Tuh, rumah Kakak disana.” Katanya sambil menunjuk ke arah rumah berwarna putih yang tidak jauh dari rumahku.
Apa, itu rumahnya? Kenapa aku baru melihatnya sekarang, padahal rumah kami berdekatan?
“Kalau gitu Kakak pulang ya! Assalamu’alaikum.” Pamitnya.
“Wa’alaikumsalam. Makasih ya Kak.” Aku menjawab salamnya sambil berterima kasih padanya karena sudah mengantarkanku pulang. Dia hanya mengangguk dan tersenyum padaku, lalu berjalan menuju rumahnya.
Kemudian, aku membuka pintu gerbang lalu masuk ke dalam rumah dengan hati yang berbunga-bunga. Aku berlari memasuki kamar, lalu melempar mukena dan sajadah ke atas kasurku yang diselimuti oleh seprai Hello Kitty berwarna merah muda dan langsung melihat wajahku ke cermin. Kupandangi wajahku disana sambil tersenyum sendiri seperti orang gila karena mengingat pertemuanku dengan orang tersebut. Mimpi apa aku sampai bisa bertemu orang sepertinya, dengan wajah yang tampan bagaikan pangeran. Tapi, tunggu, tunggu, tunggu, siapa nama orang itu? Kenapa aku tidak menanyakan namanya? Aaarrrggghhh.. semoga saja aku bisa bertemu dengannya lagi, agar aku bisa mengetahui siapa namanya.
Puasa Ramadhan saat ini sudah memasuki hari ketujuh. Setelah aku mengetahui dimana rumahnya berada, aku jadi selalu memperhatikan rumahnya setiap kali berangkat sekolah, berharap aku bisa bertemunya lagi. Namun, rumahnya selalu tertutup, seperti tidak berpenghuni. Pantas saja aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, karena rumahnya selalu begitu. Seusai berbuka, aku berpamitan kepada Ibu untuk pergi taraweh seperti biasanya.
“Ibu, aku pergi taraweh dulu ya! Assalamu’alaikum.” Kataku dengan sedikit berteriak.
“Wa’alaikum salam. Hati-hati ya sayang!” Sahut Ibu yang sedang mencuci piring-piring kotor sehabis berbuka di dapur.
Aku langsung mengeluari rumah dengan hati yang berharap bisa bertemu lagi dengan orang tersebut. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi setelah pertemuan pertama kita satu minggu yang lalu.
“Pergi ke masjid bareng yuk Dek.” Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari belakangku ketika ku sedang menutup pagar rumah. Suara itu? Sepertinya aku mengenali suara itu? Orang itu? Pasti dia.
Aku menoleh ke arah suara yang kudengar itu. Ternyata benar dia orangnya. Peci putih yang ia kenakan seperti saat pertama ku bertemu dengannya, ditambah baju putih lengan panjangnya yang polos dan kain sarung berwarna merah bergaris hitam membuatnya terlihat sangat tampan. Hatiku kembali berdebar-debar. Sepertinya memang benar aku menyukainya. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta? Hatiku selalu berdegup kencang setiap kali melihatnya.
“Kakak!” Kataku dengan sumringah, karena senang bisa bertemu dengannya lagi.
“Iya, ini Kakak yang kemarin pulang taraweh bareng kamu. Ayo berangkat!” Katanya sambil berjalan pelan, lalu aku mengikutinya dari belakang, sampai akhirnya aku jalan berdua dengannya.
“Waktu itu kita belum berkenalan ya? Nama kamu siapa?” Tanyanya yang memulai pembicaraan.
“Namaku Zahra Kak, kakak sendiri namanya siapa?” Jawabku sambil mendongak ke atas untuk melihat wajahnya, karena tinggiku setengah dari badannya yang cukup tinggi itu.
“Nama Kakak terlalu bagus, panggil saja Kak Azam. Hehehe..” Katanya yang tertawa seraya melihatku juga.
“Iya, iya. Aku akui nama Kakak bagus. Hehehe..” Aku pun ikut tertawa.
“Nama kamu juga bagus, Kok. Oiya, kamu sekolah dimana? Kelas berapa?” Katanya yang menanyakan tentang sekolahku.
“Aku kelas satu di SMA Islam Adzkia.” Jawabku.
“Kamu sudah SMA? Kakak fikir masih SMP? Habisnya badan kamu kaya anak kecil, mungil. Kamu juga masih kelihatan imut.” Katanya yang tidak menyangka bahwa aku sudah SMA.
Ya, benar apa yang dikatakan Kak Azam. Walaupun sudah SMA, tapi badanku kecil. Karena badanku yang kecil ini, aku suka dibilang anak kecil terus sama teman-teman di sekolah. Bukan hanya aku, dua teman perempuanku juga sama, karena hanya kami yang memiliki badan kecil di kelas. Padahal kan aku dengan mereka sama, hanya saja badan kami yang berbeda.
“Yeee, Kakak, aku sudah besar. Kalau masalah itu, dari lahir aku sudah imut. Hehehe..” Kataku yang membanggakan diri. Ia hanya tertawa mendengarnya. Obrolan kami terhenti ketika sampai di masjid.
“Nanti, kalau mau pulang bareng tunggu saja Kakak disini.” Katanya ketika aku sedang duduk di beberapa anak tangga sambil merapikan sandalku dan secara diam-diam juga merapikan sandalnya agar bersebelahan denganku. Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya sebagai tanda mau. Lalu dia masuk ke dalam masjid lewat pintu sebelah kanan untuk laki-laki, dan aku pun masuk ke dalam masjid melewati pintu sebelah kiri untuk perempuan.
Sudah seminggu aku dekat dengan Kak Azam. Pergi dan pulang taraweh selalu berdua. Bukan hanya aku dan Kak Azam yang dekat, orangtua kami pun dekat. Kak Azam dan keluarganya sangat baik denganku dan keluargaku. Kami selalu berbagi menu berbuka puasa. Selain itu, orangtua kami juga suka mengadakan buka puasa bersama, antara Ayah Ibuku dan Ayah Ibunya Kak Azam. Aku berharap banget bisa berbuka puasa berdua dengannya. Harapanku untuk berbuka puasa dengannya terwujud ketika puasa kami sudah memasuki minggu kedua. Kak Azam mengundangku untuk berbuka puasa di rumahnya, dengan alasan dia sendiri berbuka di rumah, makanya dia mengundangku. Tapi, Kak Azam tidak sendiri di rumah ketika aku sampai disana, ada seorang laki-laki yang menemaninya di rumah. Setelah aku cari tahu siapa laki-laki itu, ternyata dia adalah adiknya Kak Azam yang bernama Izam. Dia sangat mirip dengan Kak Azam, yang membedakan hanya tinggi badan dan dia berkacamata. Aku sempat kecewa saat mengetahui Kak Azam bersama adiknya di rumah, katanya dia hanya sendiri, tapi kenapa ada adiknya di rumah? Tapi, kekecewaanku terganti dengan obrolan-obrolan diselingi candaan yang membuat kami semakin dekat. Namun sayang, ketika satu minggu sebelum hari raya idul fitri Kak Azam tidak ada kabar sama sekali. Biasa kami selalu berangkat taraweh bersama, tapi kini tidak. Adiknya yang selalu mengirimi pesan singkat untukku saat waktu sahur tiba juga sudah tidak lagi, bahkan mereka dan orangtuanya tidak kelihatan sama sekali di rumah. Aku bertanya pada Ibu kenapa Kak Azam dan keluarganya tidak ada di rumah, tapi jawaban Ibu tidak tahu. Aku jadi tidak semangat untuk shalat taraweh kalau tidak ada Kak Azam, karena dia adalah penyemangatku untuk melakukan itu, dan dia adalah pangeranku.
Sampai malam dimana orang-orang mengumandangkan takbir sebagai tanda hari idul fitri akan tiba, mereka semua masih belum ada kabar. Mereka hilang begitu saja seperti ditelan bumi tanpa aku ketahui dimana keberadaannya. Tapi, saat hari kemenangan itu tiba, aku mendengar kabar dari Ibu mereka sudah ada di rumah. Betapa senangnya aku mendengar kabar itu, akhirnya aku bisa bertemu dengan Kak Azam lagi. Ibu dan Ayah mengajakku untuk berlebaran di rumah Kak Azam setelah kami berlebaran dengan yang lain. Sampai akhirnya kami tiba di rumahnya. Di hari lebaran seperti ini pintu rumah Kak Azam terbuka lebar, tidak seperti dihari-hari biasanya yang selalu tertutup rapat.
“Assalamu’alaikum..” ucap Ayah ketika kami sampai di rumahnya.
“Wa’alaikum salam..” jawab Ayah dan Ibunya Kak Azam yang menyambut kedatangan kami.
Ayah Ibu langsung bersalam untuk bermaaf-maafan seperti yang lain dengan Ayah Ibunya Kak Azam, dilanjut juga denganku. Orangtuanya ada, kenapa Kak Azam dan adiknya tidak ada? Kemana mereka? Ternyata adiknya Kak Azam ada di dalam setelah orangtua mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya. Melihat kedatangan kami, adiknya Kak Azam juga bersalam dengan Ayah dan Ibu, juga denganku. Kemana Kak Azam? Kenapa hanya ada adiknya? Pertanyaanku itu dijawab oleh adiknya setelah aku bertanya padanya dimana keberadaan sang kakak. Aku langsung menuju kamar Kak Azam, keberadaan dia berada sekarang. Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya, semoga saja dia dalam keadaan yang baik.
Aku terkejut melihat seseorang yang memakai kruk atau tongkat penyanggah kaki di kedua tangannya sedang merenung di jendela setibanya di kamar Kak Azam. Dia siapa? Apa dia Kak Azam? Kalau iya, kenapa dia bisa seperti itu?
“Kak Azam!” Panggilku pelan. Dia langsung menoleh ke arahku setelah mendapat panggilan dariku.
“Zahra!” Kak Azam tersenyum melihatku. Dia berjalan perlahan menghampiriku. Dia sangat tampan dengan baju lebarannya hari ini, bukan hanya hari ini, hari kemarin dan hari selanjutnya terus begitu. Mataku terbelalak ketika sadar saat melihat keadaan kaki sebelah kanannya diperban. Jadi, karena kakinya sakit yang membuatnya memakai tongkat? Tapi, kenapa dia bisa seperti itu? Apa yang telah terjadi padanya?
“Minal’aidzin Zahra!” Ucapnya sama seperti yang lain saat aku berlebaran dengan mereka. Aku tidak menjawab ucapan lebarannya itu, aku masih terus memandangi kakinya yang terlihat besar karena perban yang membalutinya.
“Kakak kenapa?” Tanyaku yang mengganti ucapan lebarannya itu.
“Kakak gak apa-apa kok.” Jawabnya sambil tersenyum untuk meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
“Kalau kakak gak apa-apa, kenapa kakak kaya gini?” Aku kembali bertanya kenapa keadaannya berubah seperti itu.
“Kamu gak suka lihat kakak seperti ini?” Bukannya menjawab, dia malah berbalik tanya. Pertanyaannya itu membuat tangis yang sedang kutahan memecah. Aku menangis sambil menunduk di hadapannya. Melihatku menangis begitu, dia menenangkanku di dalam pelukannya. Bukannya senang mendapat pelukan darinya, tangisku semakin menjadi-jadi.
“Jangan menangis bidadari kecilku, kakak gak apa-apa kok.” Ucapnya sambil mengelus lembut kepalaku yang dibaluti oleh jilbab berwarna merah muda. Aku tidak bisa tenang meski sudah ditenangkan olehnya, karena aku tidak mau melihat keadaannya berubah menjadi seperti itu.
“Maafkan kakak Zahra, kakak gak bisa menjadi pangeran kamu.” Ucapnya yang membuat tangisku berhenti, juga membuat mataku seketika terbelalak mendengar ucapannya itu. Aku melepaskan pelukannya, lalu menatapnya dalam-dalam. Jadi, selama ini Kak Azam tahu bahwa aku menyukainya?
“Maafkan kakak Dek.” Lagi-lagi Kak Azam mengatakan maaf padaku. Aku kembali menangis mendengar ucapannya yang menyatakan tidak bisa menjadi pangeran yang selama ini aku dambakan. Yang selama ini membuatku semangat untuk shalat taraweh karena adanya dia yang menemaniku saat pergi dan pulang taraweh.
“Kenapa gak bisa Kak?” Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya mengapa dia tidak bisa menjadi pangeran yang seperti aku inginkan.
“Karena kakak bukanlah laki-laki yang terbaik buat kamu Dek.” Jawabnya sambil menatapku.
“Bagiku, kakak itu sudah yang terbaik dan yang paling baik.” Aku mengelak perkataannya itu. Bagaimana bisa dia bukan laki-laki yang terbaik untukku sedangkan dia sudah mampu merubah hidupku menjadi yang lebih baik lagi.
“Itu kan bagi kamu Zahra, di mata orang lain pasti berbeda-beda.” Aku hanya terdiam mendengarkan ucapannya itu. Benar yang dikatakannya, pandangan orang lain ketika melihat kita memang berbeda-beda, begitu juga dengan Kak Azam.
“Tapi aku sayang sama kakak.” Aku mengungkapkan rasa sayangku padanya.
“Kakak juga sayang sama kamu Zahra, tapi rasa sayang kakak ke kamu hanya sebagai adik kakak, bukan yang lain seperti yang kamu rasakan.”
“Apa karena perbedaan usia kita yang membuat kakak tidak mempunyai rasa yang sama sepertiku dan hanya menganggap aku sebagai adik kakak? Kalau iya, pasangan yang lain banyak yang perbedaan usianya yang lebih jauh dari kita. Kenapa kita gak bisa Kak?”
“Kakak tahu Zahra, cinta memang tidak dibatasi usia. Tapi pandangan dan perasaan kakak ke kamu tetap sama, hanya menganggap kamu sebagai adik kakak.” Lagi-lagi Kak Azam mengucapkan itu.
Kenapa cinta rasanya menyakitkan seperti ini? Kenapa tidak seperti saat pertama kali aku merasakan jatuh cinta, yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga? Kenapa cinta tidak seperti yang aku lihat pada kebanyakan orang lain yang bisa tertawa bahagia, bukan malah mengundang air mata seperti yang aku alami ini? Apa aku salah memandang cinta? Atau aku yang belum mengerti apa itu cinta? Entahlah, aku tidak tahu itu. Yang jelas aku tidak ingin bermain-main dengan cinta lagi jika akhirnya menjadi seperti ini. Aku tidak mungkin menyalahkan cinta atas apa yang telah terjadi padaku. Karena cinta adalah perasaan yang tumbuh dari dalam hati ketika kita melihat seseorang yang kita cintai dan cinta itu mampu merubah hidup kita menjadi yang lebih baik lagi. Cinta adalah anugerah sang Illahi yang patut kita syukuri, karena tidak setiap manusia bisa mensyukuri cinta yang sudah diberikan pada kita. Buktinya masih banyak yang melakukan perbuatan yang tidak baik dengan alasan cinta. Kalau dia memang benar cinta, mengapa dia melakukan perbuatan itu? Apa itu yang dinamakan cinta? Karena pada sesungguhnya, cinta itu anugerah, bukan masalah yang dapat membebani hidup kita. Cinta itu menjaga seseorang yang kita sayangi, bukan merusaknya dengan cara memperlakukannya secara tidak menyenangkan. Cinta itu memberi apa yang kita miliki untuk orang yang kita cintai, bukan meminta apa yang dia miliki untuk kesenangan kita sendiri. Cinta itu memudahkan kita dalam melakukan apa yang akan kita lakukan bersama seseorang yang kita sayangi, karena cinta mempersatukan kita dalam sebuah ikatan yang kuat berdasarkan perasaan kita masing-masing, bukan menyulitkan seperti apa yang telah kita lihat dan rasakan.
Mendengar ucapan Kak Azam itu, aku ingin segera pergi darinya karena kecewa dia tidak membalas cintaku. Namun, dia menghentikanku ketika aku hendak pergi darinya.
“Ada yang menyayangi dan mencintai kamu dengan tulus Zahra.”
“Siapa Kak? Siapa?” Tanyaku agak sedikit kesal.
“Aku Zahra.” Tiba-tiba adiknya Kak Azam yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya menjawab pertanyaanku dan ternyata diam-diam dia memperhatikan kami.
“Izamlah yang menyanyangi dan mencintai kamu Zahra.” Ucap Kak Azam yang ikut meyakinkan jawaban sang adik kepadaku. Mendengar ucapan Kak Azam itu dia langsung menghampiri kami.
“Iya Zahra. Dari awal…” dia mulai menceritakan padaku dan Kak Azam bagaimana awal mulainya dia menyukaiku. Dari awal kami bertemu saat berbuka puasa waktu itu, dia mulai menyukaiku. Perasaan yang dinamakan cinta itu tumbuh di dalam hatinya ketika melihatku. Dia yang menyuruh Kak Azam meminta nomor teleponku untuknya saat aku dan Kak Azam pulang taraweh berdua seperti biasa sehari sesudah berbuka bersama. Dia juga yang selalu membangunkanku saat waktu sahur tiba dengan cara mengirimi aku sms. Meski aku tidak pernah membalasnya, dia tetap saja mengiriminya. Sampai akhirnya satu minggu sebelum hari raya dia sudah tidak lagi mengirimi aku sms ketika waktu sahur tiba, dan diwaktu yang bersamaan juga mereka sekeluarga tidak ada kabar sama sekali. Ternyata ada musibah yang menimpa pada keluarga mereka yang mengakibatkan Kak Azam menjadi seperti itu.
“Aku mencintai kamu Zahra.” Ucapnya yang mengungkapkan perasaannya padaku sehabis bercerita. Aku hanya diam mendengar ucapannya itu, karena tidak menyangka ini semua akan terjadi.
“Gimana Dek?” Tanya Kak Azam yang ingin tahu bagaimana jawabanku atas ungkapan adiknya tadi.
“Aku cintanya sama kakak, bukan sama adik kakak.” Jawabku yang masih tetap kokoh dengan perasaanku terhadap Kak Azam.
“Zahra, kakak gak mau kamu sakit hati cuma karena kakak gak bisa mencintai kamu juga. Hilangkan rasa suka kamu pada kakak, dan coba buka hati kamu buat Izam.” Ucap Kak Azam. Setelah difikir-fikir ucapannya itu memang benar. Mencintainya pasti hanya membuat aku sakit hati, karena aku mencintai orang yang tidak mencintaiku. Tapi bagaimana aku bisa mencintai orang yang tidak aku cintai, dan bahkan rasa suka sedikit pun tidak ada.
“Kamu pasti bisa mencintai Izam Dek, asalkan kamu mau membuka hati kamu buatnya.” Tambah Kak Azam.
Aku masih hanya terdiam mendengar perkataan Kak Azam. Apa aku harus ikuti sarannya untuk menghilangkan rasa sukaku padanya dan membuka hatiku untuk adiknya? Sepertinya aku harus ikuti sarannya, karena buat apa mencintai orang yang tidak mencintai kita, sedangkan ada orang lain yang mencintai kita.
“Tapi aku sudah mengecewakan Kak Izam.” Kataku yang memberanikan diri untuk membuka suara padanya yang aku panggil juga dengan sebutan kakak, karena dia dua tahun lebih dewasa dariku. Aku takut dia akan kecewa atas apa yang selama ini aku lakukan padanya, yang tidak pernah membalas smsnya. Sekalipun membalasnya, aku hanya menanyakan bagaimana kabar Kak Azam.
“Aku gak pernah merasa dikecewakan oleh orang yang aku sayangi, begitu juga sama kamu Zahra.” Katanya yang tidak merasa dikecewakan olehku. Ternyata dia sama seperti kakaknya, sangat baik. Meski aku sudah begitu, dia tidak pernah merasa dikecewakan.
“Gimana Dek? Mau ya!” Kak Azam kembali bertanya padaku tentang jawaban dari ungkapan adiknya tadi.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban bahwa aku mau untuk mencoba membuka hatiku agar bisa mencintainya dan menghilangkan rasa sukaku pada Kak Azam yang terbilang salah. Kakak beradik itu tersenyum bahagia setelah mengetahui jawabanku yang membuat hubungan saudara mereka bisa lebih baik lagi, karena sudah tidak ada yang harus sakit hati di antara salah satu dari keduanya. Meski perasaanku terhadapnya masih biasa saja, setidaknya aku mau mencoba dan berusaha untuk mencintainya. Setelah beberapa selang waktu aku mencoba menjalin hubungan baik dengannya, perlahan-lahan hatiku bisa menerima dirinya sebagai pengganti sang kakak. Walau aku tidak bisa menjadi kekasihnya Kak Azam, tapi aku bisa menjadi adiknya yang sama-sama menjadi bagian dari dalam hidupnya. Walau Kak Azam juga tidak bisa menjadi pangeranku, tapi adiknya bisa menjadi pangeran seperti sang kakak yang dulu aku damba-dambakan. Yang mempunyai akhlak yang baik, tutur kata dan tingkah lakunya juga baik, dan yang pasti dia menyayangiku, tidak seperti Kak Azam. Kak Azam memang menyayangiku, tapi dia hanya menyayangiku sebagai adiknya, bukan seseorang yang spesial untuknya, karena akunya saja yang selama ini terlalu berharap sama dia.
Ternyata dicintai itu lebih baik daripada mencintai. Tapi, kita yang dicintainya juga harus bisa menghargai seseorang yang sudah mencintai kita. Terkadang kita suka menyia-nyiakan orang yang mencintai kita hanya untuk melihat orang lain yang tidak mencintai kita. Cobalah membuka hati untuk orang yang mencintai kita tapi kita tidak mencintainya. Belajarlah melihat dirinya dengan hati kita jangan hanya dengan mata kita yang hanya bisa melihat bagaimana kesempurnaan dirinya, tapi tidak dengan hatinya. Cinta itu mudah, hanya saja kita yang menganggapnya sulit. Cinta itu tidak sulit, hanya saja kita yang belum mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam
Pangeranku
4/
5
Oleh
Unknown