Judul Cerpen Ternyata Dia
Aku berdiri mematung sambil membelalakkan kedua mataku setelah melihat seseorang yang membukakan pintu untukku duduk di kursi roda. Apa aku salah rumah dan salah orang? Mungkin aku sepertinya memang salah rumah dan salah orang. Tapi…
“Hai, Karin. Masuk yuk!” Cowok itu mempersilahkanku masuk ke dalam rumahnya. Aku berusaha menutupi keterkejutanku setelah melihat keadaannya itu, tapi gagal.
“Maaf, kamu Reno, kan?” Aku mulai membuka suara setelah pantatku duduk di sofa empuk yang ada di ruang tamu rumahnya.
“Ya, ini aku Reno!” Ucapnya sambil tersenyum manis padaku.
“Silahkan diminum dulu minumannya, aku udah buatin kamu jus alpukat. Itu kan minuman kesukaanmu?” Reno mendekatkan jus alpukat yang tersedia di atas meja ke hadapanku. Aku mengambilnya sambil terus memperhatikannya yang juga sedang memperhatikanku.
“Maafkan reaksi aku yang berlebihan tadi ya!” Ucapku yang lebih rileks setelah jus alpukat dingin itu membasahi tenggorokanku.
“Gak apa-apa kok, aku sudah biasa mendapat reaksi yang seperti itu.” Reno menjawab dengan santai dan kembali tersenyum padaku.
Dia setampan foto profil linenya. Wajahnya putih bersih dengan tahi lalat di ujung hidungnya yang mancung. Tubuhnya ideal untuk ukuran seorang laki-laki. Suaranya enak didengar, sama seperti yang sudah sering aku dengar di telepon. Semuanya sama seperti yang aku bayangkan, kecuali dengan kursi rodanya itu.
Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Reno, setelah sebelumnya kami berkomunikasi di line, maupun di pesan singkat. Awal mulainya aku kenal dengannya itu karena Abi, sepupuku, yang merupakan temannya di sekolah. Dengan sengaja dia memberikan nomor teleponku kepadanya tanpa beralasan. Dia hanya bilang padaku iseng-iseng berhadiah. Sepupuku yang usianya hanya berbeda enam bulan dariku ini memang jail, tapi walaupun begitu aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri.
Pertama, Reno say hai padaku sebagai perkenalan kami di pesan singkat. Kedua, dia sering mengomentari foto profil lineku setiap kali aku menggantinya. Awalnya aku tidak menanggapinya, tapi setelah aku mencoba membalas setiap pesannya ternyata mengasyikkan juga mengobrol dengannya. Sampai akhirnya kami dekat walau hanya melalui handphone. Dia sering meneleponku. Kami bercerita tentang diri masing-masing.
Yang aku tahu dari Abi tentang Reno selain dari dirinya sendiri adalah dia menjabat sebagai kapten basket di sekolah dan aktif di berbagai kegiatan ekstrakulikuler juga osis. Aku pernah menanyakan padanya semua yang Abi ceritakan padaku tentang dirinya, namun dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku menanyakan itu. Sekarang aku mengerti, mengapa dia selalu begitu setiap kali aku menanyakan itu padanya. Dan mengapa ia menolak untuk kuajak bertemu di suatu tempat saat pertama kali aku mengusulkan tempat pertemuan kami, sebelum akhirnya kami sepakat rumahnya yang menjadi tempat pertemuannya. Karena ternyata dia berkursi roda, dan Abi sudah membohongiku tentang dirinya. Bagaimana mungkin dia bisa bermain basket dengan kursi roda di sampingnya?
Seminggu yang lalu aku bercerita pada Reno bahwa sekolahku akan mengadakan pensi atau pentas seni untuk merayakan ulang tahun sekolah. Semua murid yang datang harus membawa pasangannya masing-masing. Pasangannya tidak ditentukan, boleh dengan siapa saja. Aku mengajaknya datang kesana untuk menjadi pasanganku, karena aku tidak mempunyai pasangan saat datang ke sekolah nanti. Semua teman-temanku sudah mempunyai pasangan, sedangkan aku? Jangankan pasangan untuk datang ke sekolah nanti, pacar pun tidak punya. Aku tidak tertarik dengan teman laki-lakiku yang ada di sekolah meski wajah mereka sama tampannya dengan Reno, bahkan ada yang melebihi itu.
Anehnya, malah adik kelasku banyak yang menyukaiku. Sudah banyak di antara mereka yang menembakku untuk mengungkapkan perasaannya itu. Aku tak menyangka dan mengerti akan seperti itu, sudah beraninya mereka menembakku yang merupakan seniornya. Tidak ada catatan dalam hidupku untuk mempunyai pasangan yang lebih muda dariku. Kesannya kami hanya terlihat seperti adik kakak, bukan sebagai pasangan, karena usia kami yang tidak seimbang.
Aku menceritakan semuanya pada Reno, dan dia mau kuajak mendatangi acara pentas seni di sekolahku. Sebelumnya kami sepakat untuk bertemu di rumahnya yang tidak jauh dari rumahku. Ternyata rumahnya yang sering aku lewati setiap kali berangkat sekolah. Tapi aku tidak pernah sama sekali melihatnya, karena dia sekolah asrama. Dia hanya bisa pulang ke rumah setiap kali liburan semester kenaikan kelas. Saat inilah, aku bertemu langsung dengannya yang sudah kembali ke rumah.
“Hei, kok melamun?” Reno melambaikan tangannya ke wajahku dan membuatku tersadar dari lamunanku.
“Kamu cantik, senang deh bertemu denganmu!” Reno memujiku, seperti komentarnya yang sering dia katakan setiap kali aku mengganti foto profil lineku.
“Kamu juga, aku juga senang bertemu kamu!” Aku balas memujinya.
“Yeh, kecuali dengan kursi roda ini kan? Kamu gak keberatan kan aku dengan kursi roda?” Reno menatapku dalam-dalam, aku menatapnya balik.
“Kenapa aku harus keberatan? Gak ada yang salah dari kamu walau harus dengan kursi roda. Maafkan sikapku tadi. Jujur, aku sama sekali gak pernah membayangkan kamu berkursi roda. Salah kamu sendiri kan, karena kamu gak pernah menyinggung tentang ini.”
“Jadi, kamu masih mau pergi ke acara pentas seni sekolahmu denganku?” Tanya Reno.
“Kenapa nggak?” Jawabku mantap. Reno tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Kami pun beranjak ke luar dari dalam rumahnya. Aku membantu mendorong kursi rodanya sampai kami berhenti di tepi jalan menunggu taksi yang datang. Menunggu sekitar lima menit, akhirnya terlihat taksi yang berlalu dari kejauhan sana. Aku langsung melambaikan tangan, memberhentikan taksi itu. Taksinya pun berhenti. Si sopir membantu Reno menaiki taksinya itu, dan melipat kursi rodanya untuk ditaruh di bagasi. Aku masuk dan duduk di samping Reno.
Taksi melaju dengan sedang menuju sekolahku. Sepanjang perjalan aku dan Reno berlatih bernyanyi yang sudah kami sering lakukan di telepon untuk pementasan nanti. Di pensi itu juga ada penampilan dari para murid yang ada di sekolah berdua dengan pasangannya. Sesekali Reno tertawa mendengar suaraku yang terbilang kurang bagus didengar saat bernyanyi. Jelas saja, aku sama sekali tidak berbakat dalam hal bernyanyi. Sangat senang bisa berada di sampingnya saat ini, dan aku hampir lupa dengan keadaannya yang berkursi roda itu.
Dua puluh menit kemudian, kami tiba. Si sopir taksi itu kembali membantu Reno turun dari taksinya untuk duduk di atasnya. Kemudian, aku mendorongnya melewati halaman sekolah menuju aula yang sudah dipenuhi banyak orang. Di antara mereka itu ada teman-temanku yang sudah berdua dengan pasangannya masing-masing.
Aku mengernyitkan dahiku ketika di pertengahan jalan melihat seorang cowok yang wajahnya tidak asing buatku yang menjadi pasangan temanku. Aku mendorong Reno lebih cepat lagi agar bisa mengetahui siapa cowok itu.
“Hai, Karin, Reno!” Ia menyapa ketika kami tiba. Abi. Ternyata cowok itu Abi. Kenapa dia ada disini dan menjadi pasangan temanku?
“Abi, kamu kok ada disini?” Tanyaku yang masih kebingungan dengan kehadirannya disini dan menjadi pasangan temanku.
“Surprise! Hahaha..” Abi menjawab dengan merentangkan kedua tangannya.
Aku langsung menariknya menjauh dari yang lain tanpa mempedulikannya yang sedang kebingungan dengan sikapku itu untuk menanyakan padanya kenapa ia tidak bilang padaku kalau keadaan Reno seperti itu, bukan menanyakan kembali padanya mengapa ia ada disini.
“Kenapa kamu nggak bilang sih kalau Reno iii..ttt..tttuuu..?” Aku mengatakan kata itu dengan terputus-putus karena sadar tidak seharusnya aku melanjutkan ucapanku.
“Berkursi roda? Iya? Jadi kamu gak menerima dia apa adanya?” Dengan cepat Abi tahu apa yang aku ingin lanjutkan dari ucapanku tadi.
“Bukannya gitu Bi, setiap perempuan pasti menginginkan pasangannya yang sempurna, begitu juga dengan aku.” Ucapanku ini benar-benar merendahkan Reno secara tidak langsung.
Abi hanya terdiam mendengarkannya. Kemudian, ia melihat Reno yang sedang bersalaman dengan teman-temanku sebagai perkenalannya. Nampaknya ia seorang yang mudah bergaul dengan siapa saja, ia terlihat sudah akbrab dengan mereka meski sebelumnya tidak saling kenal. Menggandeng cowok setampannya memang keinginanku sejak dulu, tapi aku tidak pernah menyangka dia berkursi roda.
“Hei, Karin. Teman-teman kamu baik ya! Aku senang deh bisa kenal dengan mereka.” Ucap Reno ketika aku dan Abi kembali. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya itu. Syukurlah, teman-temanku bisa menerima keadaan Reno yang seperti itu.
Sepuluh menit kemudian, acaranya pun dimulai. Pembawa acara yang merupakan siswi sekolah ini sekaligus kakak kelasku membuka acaranya yang sudah berdiri di tengah panggung yang tidak terlalu megah yang berada di lapangan. Aku dan yang lainnya berada di ruangan khusus mempersiapkan diri untuk tampil nanti.
Beberapa rangkaian acara sudah berjalan dengan baik. Kini saatnya penampilan kami, para murid yang ada di sekolah. Yang lain sudah berjalan lebih dulu menuju ke atas panggung, semetara aku dan Reno masih mempersiapkan diri. Aku jadi ragu untuk tampil bersamanya. Aku takut yang lain merendahkannya saat melihatnya di atas panggung nanti. Tapi, setelah melihat kepercayaan dirinya aku juga jadi ikut percaya diri dan rasa ragu yang sedang kurasakan pun menghilang.
Dengan semangat, aku mendorongnya mengeluari ruangan yang kami tempati tadi menuju ke atas panggung. Sebelum sampai sana, aku berpapasan dengan adik kelasku yang sedang mengobrol dengan temannya.
“Kak Karin, kakak sama siapa? Kenapa kakak nggak sama aku aja yang bisa berjalan dan berdiri tegak gak seperti dia?” Ryan berkata sambil terus melihat ke arah kaki Reno.
Mendengar itu, Reno langsung mengulurkan tangannya kepada Ryan.
“Aku Reno, pacarnya Karin.”
Aku membelalakkan mata pada Reno setelah mendengar ucapannya itu. Pacar? Sejak kapan?
“Dia benar pacar kakak? Kenapa kakak gak menerima aku sebagai pacar saat aku menembak kakak dulu, padahal aku lebih sempurna dari dia?” Ryan mengungkit kembali saat dia menembakku dulu sambil merendahkan Reno lagi dan lagi. Aku menolaknya dengan alasan dia adik kelasku. Aku sudah bilang padanya bahwa aku tidak mau mempunyai pasangan atau pacar yang lebih muda dariku, tapi dia tetap saja mengejarku sampai sekarang.
“Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku gak mau punya pacar yang lebih muda dariku. Udah cukup, jangan mengejarku lagi. Kamu hanya kuanggap sebagai adikku saja.” Aku langsung mendorong Reno pergi meninggalkannya ke luar sekolah menuju tempat yang sepi tanpa ada orang-orang yang bisa melihat kami. Langkah untuk menuju panggung pun tidak dilanjuti lagi. Padahal, di penghujung acara nanti ada grup musik atau band yang sudah terkenal di kalangan remaja saat ini. Aku ingin sekali melihat penampilannya, tapi aku tidak ingin Reno direndahkan terus menerus seperti tadi.
“Maafkan sikap adik kelasku tadi ya, aku gak menyangka dia akan bersikap seperti itu sama kamu.” Amarahku lebih reda setelah kami tiba di taman yang tidak jauh dari sekolah.
“Aku kan sudah bilang, aku sudah terbiasa dengan orang yang bersikap seperti itu padaku.” Lagi dan lagi Reno menjawabnya dengan santai sambil menatap langit yang bertabur bintang-bintang. Aku tersenyum, dan juga mengikuti arah tatapannya.
“Indah ya!” Katanya.
Aku tersenyum kembali mendengarnya. Selama semenit, pandangan kami tidak lepas dari apa yang sedang kami lihat di atas langit yang indah.
“Reno, aku boleh tahu, kenapa kamu..?” Dengan sangat hati-hati aku mengajukan pertanyaan yang ingin kutanyakan dari awal aku bertemu padanya.
“Kenapa aku di kursi roda? Kamu mau tahu ya?” Reno malah berbalik tanya padaku. Aku mengangguk sebagai jawabannya.
“Malam ini terlalu indah untuk dirusak, boleh gak kalau kita gak ngomongin masalah itu sekarang?” Katanya yang kembali menatap langit.
“Maaf ya, maafkan aku juga udah ngebatalin untuk tampil di pensi tadi. Padahal, kita kan udah berlatih cukup lama.”
“Gak apa-apa Karin, udah bisa bertemu denganmu saja itu lebih menyenangkan daripada yang lain.”
Kami pun tenggalam dalam obrolan yang membuat kami lupa waktu hingga larut malam.
“Sepertinya pensinya udah selesai.” Kataku yang melihat orang-orang sedang berjalan dari arah sekolah.
“Pulang yuk!” Ajakku.
“Karin, kamu masih mau bertemu denganku lagi Kan?” Tanya Reno.
“Pastinyalah, mana mungkin aku gak mau bertemu dengan kamu setelah malam ini?” Jawabku.
“Yakin? Kamu gak malu punya pacar yang cacat kaya aku?”
“Pacar? Sejak kapan kamu nembak aku?”
“Sekarang! Karin, kamu mau gak jadi pacar aku?” Reno berkata sambil menggenggam kedua tanganku.
Aku tertunduk sambil tersenyum malu saat dia menembakku.
“Iya, aku mau!” Aku menjawab dengan senyuman.
“Kita kaya di sinetron-sinetron aja ya! Tapi yeeeyyy, sekarang aku punya pacar yang cantik dan baik hati. Hahaha..” Reno tertawa lepas, aku pun begitu.
Saat sedang asyik-asyiknya tertawa, tiba-tiba ada banyak suara tepukkan tangan dari belakang kami.
“Cieee, selamat ya!” Ternyata itu Abi dan yang lainnya. Darimana mereka tahu kami ada disini?
“Kalian?” Kataku tak menyangka.
“Pokoknya, kamu dan Reno harus traktir kita semua makan malam ini!!” Kata Abi.
“Tenang aja, aku yang akan traktir kalian semua.” Dengan cepat Reno mengajukan diri untuk mentraktir mereka semua.
“Nggak, aku gak setuju. Lagi pula Reno kan baru pulang dari sekolahnya, pasti gak punya banyak uang.” Dengan tegas aku menolaknya.
“Gak apa-apa Karin, aku sudah merencanakan semuanya Kok.” Reno berkata dengan santai.
Merencanakan? Merencanakan apa? Aku hanya bisa diam mendengar ucapannya itu karena tidak mengerti dengan semuanya.
“Tunggu apa lagi? Ayo berangkat!” Kata Abi yang sudah tidak sabaran.
“Tunggu sebentar.” Reno menghentikan yang lain yang hendak berjalan menuju rumah makan, juga membuatku menghentikan mendorong kursi rodanya.
“Ada apa?” Tanyaku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Reno langsung menurunkan kakinya ke jalan dan bersiap-siap untuk berdiri dan melangkahkan perlahan-lahan kakinya di jalan. Aku yang berada di belakangnya membelalakkan mata melihatnya bisa berdiri tegak dan berjalan seperti itu, yang tadinya hanya bisa duduk manis di kursi roda.
“Reno, kamu?”
“Maaf, dari tadi aku cuma pura-pura aja buat nguji kamu. Kamu lulus ujiannya. Hahaha.”
“Ah.. kamu jail!!” Aku menghujaninya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan ia tertawa terbahak-bahak. Yang lain juga tertawa terbahak-bahak melihatnya, terutama Abi.
“Jadi, ini termasuk rencana kamu juga?”
“Iya, hahaha.”
“Kenapa kamu jadi ikut-ikatan jail seperti Abi sih?”
“Hehehe, maaf Karin.”
“Maafkan aku juga ya sudah membohongi kamu sepupuku yang cantik.” Kata Abi.
“Nggak, kamu bukan sepupuku lagi.” Aku mengalihkan wajahku darinya karena kesal dia sudah membohongiku. Tapi itu hanya becandaku saja.
“Jangan marah, maaf ya!” Abi mendekapku ke dalam pelukannya, sementara aku memukulinya seperti aku memukuli Reno tadi.
“Aku sempat kaget banget saat melihat Reno tadi Bi, karena kamu gak bilang kalau dia berkursi roda.” Kataku.
“Tapi sekarang kamu senang kan, ternyata dia sempurna seperti yang kamu lihat sebelumnya.” Ucap Abi.
Ya, benar. Dia sempurna seperti bayanganku sebelumnya. Ternyata dia hanya berpura-pura. Semua yang Abi ceritakan padaku tentang dirinya itu benar. Namun dia tidak mau sombong, sehingga dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku menanyakan itu padanya.
Kemudian, kami pun berjalan menuju rumah makan yang berada sekitar beberapa langkah dari tempat kami ini. Reno merangkulku. dia cukup tinggi, sama seperti Abi. Aku hanya sedadanya saja.
Masalah Abi dan temanku yang menjadi pasangan, ternyata mereka sudah berpacaran sebulan yang lalu. Temanku ini ternyata sepupunya Reno, sama sepertiku dengan Abi yang bersepupuan. Mereka kenal melalui facebook. Abi menambahkannya sebagai teman di akun facebooknya melalui pertemanan facebookku. Melalui proses yang sama sepertiku, sering mengobrol melalui telepon, akhirnya mereka jadian. Karena itu, Abi dan teman-temanku terlibat dalam rencananya Reno ini. Pantas saja mereka tidak terkejut sepertiku saat melihat Reno menurunkan kakinya dari kursi roda, ternyata mereka semua sudah tahu bahwa ia hanya berpura-pura. Aku memarahi mereka karena sudah ikut-ikutan dalam semua ini. Tapi mereka malah mentertawaiku, begitu juga Abi dan Reno. Aku kesal karena sudah dibohongi seperti ini. Tapi aku juga senang, karena tahu Reno itu hanya berpura-pura memakai kursi roda. Walau Reno memang benar memakai kursi roda, aku tetap menerimanya. Aku sudah jatuh cinta padanya, karena cinta tidak memandang segala kekurangan yang ada pada pasangan kita.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam
Aku berdiri mematung sambil membelalakkan kedua mataku setelah melihat seseorang yang membukakan pintu untukku duduk di kursi roda. Apa aku salah rumah dan salah orang? Mungkin aku sepertinya memang salah rumah dan salah orang. Tapi…
“Hai, Karin. Masuk yuk!” Cowok itu mempersilahkanku masuk ke dalam rumahnya. Aku berusaha menutupi keterkejutanku setelah melihat keadaannya itu, tapi gagal.
“Maaf, kamu Reno, kan?” Aku mulai membuka suara setelah pantatku duduk di sofa empuk yang ada di ruang tamu rumahnya.
“Ya, ini aku Reno!” Ucapnya sambil tersenyum manis padaku.
“Silahkan diminum dulu minumannya, aku udah buatin kamu jus alpukat. Itu kan minuman kesukaanmu?” Reno mendekatkan jus alpukat yang tersedia di atas meja ke hadapanku. Aku mengambilnya sambil terus memperhatikannya yang juga sedang memperhatikanku.
“Maafkan reaksi aku yang berlebihan tadi ya!” Ucapku yang lebih rileks setelah jus alpukat dingin itu membasahi tenggorokanku.
“Gak apa-apa kok, aku sudah biasa mendapat reaksi yang seperti itu.” Reno menjawab dengan santai dan kembali tersenyum padaku.
Dia setampan foto profil linenya. Wajahnya putih bersih dengan tahi lalat di ujung hidungnya yang mancung. Tubuhnya ideal untuk ukuran seorang laki-laki. Suaranya enak didengar, sama seperti yang sudah sering aku dengar di telepon. Semuanya sama seperti yang aku bayangkan, kecuali dengan kursi rodanya itu.
Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Reno, setelah sebelumnya kami berkomunikasi di line, maupun di pesan singkat. Awal mulainya aku kenal dengannya itu karena Abi, sepupuku, yang merupakan temannya di sekolah. Dengan sengaja dia memberikan nomor teleponku kepadanya tanpa beralasan. Dia hanya bilang padaku iseng-iseng berhadiah. Sepupuku yang usianya hanya berbeda enam bulan dariku ini memang jail, tapi walaupun begitu aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri.
Pertama, Reno say hai padaku sebagai perkenalan kami di pesan singkat. Kedua, dia sering mengomentari foto profil lineku setiap kali aku menggantinya. Awalnya aku tidak menanggapinya, tapi setelah aku mencoba membalas setiap pesannya ternyata mengasyikkan juga mengobrol dengannya. Sampai akhirnya kami dekat walau hanya melalui handphone. Dia sering meneleponku. Kami bercerita tentang diri masing-masing.
Yang aku tahu dari Abi tentang Reno selain dari dirinya sendiri adalah dia menjabat sebagai kapten basket di sekolah dan aktif di berbagai kegiatan ekstrakulikuler juga osis. Aku pernah menanyakan padanya semua yang Abi ceritakan padaku tentang dirinya, namun dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku menanyakan itu. Sekarang aku mengerti, mengapa dia selalu begitu setiap kali aku menanyakan itu padanya. Dan mengapa ia menolak untuk kuajak bertemu di suatu tempat saat pertama kali aku mengusulkan tempat pertemuan kami, sebelum akhirnya kami sepakat rumahnya yang menjadi tempat pertemuannya. Karena ternyata dia berkursi roda, dan Abi sudah membohongiku tentang dirinya. Bagaimana mungkin dia bisa bermain basket dengan kursi roda di sampingnya?
Seminggu yang lalu aku bercerita pada Reno bahwa sekolahku akan mengadakan pensi atau pentas seni untuk merayakan ulang tahun sekolah. Semua murid yang datang harus membawa pasangannya masing-masing. Pasangannya tidak ditentukan, boleh dengan siapa saja. Aku mengajaknya datang kesana untuk menjadi pasanganku, karena aku tidak mempunyai pasangan saat datang ke sekolah nanti. Semua teman-temanku sudah mempunyai pasangan, sedangkan aku? Jangankan pasangan untuk datang ke sekolah nanti, pacar pun tidak punya. Aku tidak tertarik dengan teman laki-lakiku yang ada di sekolah meski wajah mereka sama tampannya dengan Reno, bahkan ada yang melebihi itu.
Anehnya, malah adik kelasku banyak yang menyukaiku. Sudah banyak di antara mereka yang menembakku untuk mengungkapkan perasaannya itu. Aku tak menyangka dan mengerti akan seperti itu, sudah beraninya mereka menembakku yang merupakan seniornya. Tidak ada catatan dalam hidupku untuk mempunyai pasangan yang lebih muda dariku. Kesannya kami hanya terlihat seperti adik kakak, bukan sebagai pasangan, karena usia kami yang tidak seimbang.
Aku menceritakan semuanya pada Reno, dan dia mau kuajak mendatangi acara pentas seni di sekolahku. Sebelumnya kami sepakat untuk bertemu di rumahnya yang tidak jauh dari rumahku. Ternyata rumahnya yang sering aku lewati setiap kali berangkat sekolah. Tapi aku tidak pernah sama sekali melihatnya, karena dia sekolah asrama. Dia hanya bisa pulang ke rumah setiap kali liburan semester kenaikan kelas. Saat inilah, aku bertemu langsung dengannya yang sudah kembali ke rumah.
“Hei, kok melamun?” Reno melambaikan tangannya ke wajahku dan membuatku tersadar dari lamunanku.
“Kamu cantik, senang deh bertemu denganmu!” Reno memujiku, seperti komentarnya yang sering dia katakan setiap kali aku mengganti foto profil lineku.
“Kamu juga, aku juga senang bertemu kamu!” Aku balas memujinya.
“Yeh, kecuali dengan kursi roda ini kan? Kamu gak keberatan kan aku dengan kursi roda?” Reno menatapku dalam-dalam, aku menatapnya balik.
“Kenapa aku harus keberatan? Gak ada yang salah dari kamu walau harus dengan kursi roda. Maafkan sikapku tadi. Jujur, aku sama sekali gak pernah membayangkan kamu berkursi roda. Salah kamu sendiri kan, karena kamu gak pernah menyinggung tentang ini.”
“Jadi, kamu masih mau pergi ke acara pentas seni sekolahmu denganku?” Tanya Reno.
“Kenapa nggak?” Jawabku mantap. Reno tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Kami pun beranjak ke luar dari dalam rumahnya. Aku membantu mendorong kursi rodanya sampai kami berhenti di tepi jalan menunggu taksi yang datang. Menunggu sekitar lima menit, akhirnya terlihat taksi yang berlalu dari kejauhan sana. Aku langsung melambaikan tangan, memberhentikan taksi itu. Taksinya pun berhenti. Si sopir membantu Reno menaiki taksinya itu, dan melipat kursi rodanya untuk ditaruh di bagasi. Aku masuk dan duduk di samping Reno.
Taksi melaju dengan sedang menuju sekolahku. Sepanjang perjalan aku dan Reno berlatih bernyanyi yang sudah kami sering lakukan di telepon untuk pementasan nanti. Di pensi itu juga ada penampilan dari para murid yang ada di sekolah berdua dengan pasangannya. Sesekali Reno tertawa mendengar suaraku yang terbilang kurang bagus didengar saat bernyanyi. Jelas saja, aku sama sekali tidak berbakat dalam hal bernyanyi. Sangat senang bisa berada di sampingnya saat ini, dan aku hampir lupa dengan keadaannya yang berkursi roda itu.
Dua puluh menit kemudian, kami tiba. Si sopir taksi itu kembali membantu Reno turun dari taksinya untuk duduk di atasnya. Kemudian, aku mendorongnya melewati halaman sekolah menuju aula yang sudah dipenuhi banyak orang. Di antara mereka itu ada teman-temanku yang sudah berdua dengan pasangannya masing-masing.
Aku mengernyitkan dahiku ketika di pertengahan jalan melihat seorang cowok yang wajahnya tidak asing buatku yang menjadi pasangan temanku. Aku mendorong Reno lebih cepat lagi agar bisa mengetahui siapa cowok itu.
“Hai, Karin, Reno!” Ia menyapa ketika kami tiba. Abi. Ternyata cowok itu Abi. Kenapa dia ada disini dan menjadi pasangan temanku?
“Abi, kamu kok ada disini?” Tanyaku yang masih kebingungan dengan kehadirannya disini dan menjadi pasangan temanku.
“Surprise! Hahaha..” Abi menjawab dengan merentangkan kedua tangannya.
Aku langsung menariknya menjauh dari yang lain tanpa mempedulikannya yang sedang kebingungan dengan sikapku itu untuk menanyakan padanya kenapa ia tidak bilang padaku kalau keadaan Reno seperti itu, bukan menanyakan kembali padanya mengapa ia ada disini.
“Kenapa kamu nggak bilang sih kalau Reno iii..ttt..tttuuu..?” Aku mengatakan kata itu dengan terputus-putus karena sadar tidak seharusnya aku melanjutkan ucapanku.
“Berkursi roda? Iya? Jadi kamu gak menerima dia apa adanya?” Dengan cepat Abi tahu apa yang aku ingin lanjutkan dari ucapanku tadi.
“Bukannya gitu Bi, setiap perempuan pasti menginginkan pasangannya yang sempurna, begitu juga dengan aku.” Ucapanku ini benar-benar merendahkan Reno secara tidak langsung.
Abi hanya terdiam mendengarkannya. Kemudian, ia melihat Reno yang sedang bersalaman dengan teman-temanku sebagai perkenalannya. Nampaknya ia seorang yang mudah bergaul dengan siapa saja, ia terlihat sudah akbrab dengan mereka meski sebelumnya tidak saling kenal. Menggandeng cowok setampannya memang keinginanku sejak dulu, tapi aku tidak pernah menyangka dia berkursi roda.
“Hei, Karin. Teman-teman kamu baik ya! Aku senang deh bisa kenal dengan mereka.” Ucap Reno ketika aku dan Abi kembali. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya itu. Syukurlah, teman-temanku bisa menerima keadaan Reno yang seperti itu.
Sepuluh menit kemudian, acaranya pun dimulai. Pembawa acara yang merupakan siswi sekolah ini sekaligus kakak kelasku membuka acaranya yang sudah berdiri di tengah panggung yang tidak terlalu megah yang berada di lapangan. Aku dan yang lainnya berada di ruangan khusus mempersiapkan diri untuk tampil nanti.
Beberapa rangkaian acara sudah berjalan dengan baik. Kini saatnya penampilan kami, para murid yang ada di sekolah. Yang lain sudah berjalan lebih dulu menuju ke atas panggung, semetara aku dan Reno masih mempersiapkan diri. Aku jadi ragu untuk tampil bersamanya. Aku takut yang lain merendahkannya saat melihatnya di atas panggung nanti. Tapi, setelah melihat kepercayaan dirinya aku juga jadi ikut percaya diri dan rasa ragu yang sedang kurasakan pun menghilang.
Dengan semangat, aku mendorongnya mengeluari ruangan yang kami tempati tadi menuju ke atas panggung. Sebelum sampai sana, aku berpapasan dengan adik kelasku yang sedang mengobrol dengan temannya.
“Kak Karin, kakak sama siapa? Kenapa kakak nggak sama aku aja yang bisa berjalan dan berdiri tegak gak seperti dia?” Ryan berkata sambil terus melihat ke arah kaki Reno.
Mendengar itu, Reno langsung mengulurkan tangannya kepada Ryan.
“Aku Reno, pacarnya Karin.”
Aku membelalakkan mata pada Reno setelah mendengar ucapannya itu. Pacar? Sejak kapan?
“Dia benar pacar kakak? Kenapa kakak gak menerima aku sebagai pacar saat aku menembak kakak dulu, padahal aku lebih sempurna dari dia?” Ryan mengungkit kembali saat dia menembakku dulu sambil merendahkan Reno lagi dan lagi. Aku menolaknya dengan alasan dia adik kelasku. Aku sudah bilang padanya bahwa aku tidak mau mempunyai pasangan atau pacar yang lebih muda dariku, tapi dia tetap saja mengejarku sampai sekarang.
“Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku gak mau punya pacar yang lebih muda dariku. Udah cukup, jangan mengejarku lagi. Kamu hanya kuanggap sebagai adikku saja.” Aku langsung mendorong Reno pergi meninggalkannya ke luar sekolah menuju tempat yang sepi tanpa ada orang-orang yang bisa melihat kami. Langkah untuk menuju panggung pun tidak dilanjuti lagi. Padahal, di penghujung acara nanti ada grup musik atau band yang sudah terkenal di kalangan remaja saat ini. Aku ingin sekali melihat penampilannya, tapi aku tidak ingin Reno direndahkan terus menerus seperti tadi.
“Maafkan sikap adik kelasku tadi ya, aku gak menyangka dia akan bersikap seperti itu sama kamu.” Amarahku lebih reda setelah kami tiba di taman yang tidak jauh dari sekolah.
“Aku kan sudah bilang, aku sudah terbiasa dengan orang yang bersikap seperti itu padaku.” Lagi dan lagi Reno menjawabnya dengan santai sambil menatap langit yang bertabur bintang-bintang. Aku tersenyum, dan juga mengikuti arah tatapannya.
“Indah ya!” Katanya.
Aku tersenyum kembali mendengarnya. Selama semenit, pandangan kami tidak lepas dari apa yang sedang kami lihat di atas langit yang indah.
“Reno, aku boleh tahu, kenapa kamu..?” Dengan sangat hati-hati aku mengajukan pertanyaan yang ingin kutanyakan dari awal aku bertemu padanya.
“Kenapa aku di kursi roda? Kamu mau tahu ya?” Reno malah berbalik tanya padaku. Aku mengangguk sebagai jawabannya.
“Malam ini terlalu indah untuk dirusak, boleh gak kalau kita gak ngomongin masalah itu sekarang?” Katanya yang kembali menatap langit.
“Maaf ya, maafkan aku juga udah ngebatalin untuk tampil di pensi tadi. Padahal, kita kan udah berlatih cukup lama.”
“Gak apa-apa Karin, udah bisa bertemu denganmu saja itu lebih menyenangkan daripada yang lain.”
Kami pun tenggalam dalam obrolan yang membuat kami lupa waktu hingga larut malam.
“Sepertinya pensinya udah selesai.” Kataku yang melihat orang-orang sedang berjalan dari arah sekolah.
“Pulang yuk!” Ajakku.
“Karin, kamu masih mau bertemu denganku lagi Kan?” Tanya Reno.
“Pastinyalah, mana mungkin aku gak mau bertemu dengan kamu setelah malam ini?” Jawabku.
“Yakin? Kamu gak malu punya pacar yang cacat kaya aku?”
“Pacar? Sejak kapan kamu nembak aku?”
“Sekarang! Karin, kamu mau gak jadi pacar aku?” Reno berkata sambil menggenggam kedua tanganku.
Aku tertunduk sambil tersenyum malu saat dia menembakku.
“Iya, aku mau!” Aku menjawab dengan senyuman.
“Kita kaya di sinetron-sinetron aja ya! Tapi yeeeyyy, sekarang aku punya pacar yang cantik dan baik hati. Hahaha..” Reno tertawa lepas, aku pun begitu.
Saat sedang asyik-asyiknya tertawa, tiba-tiba ada banyak suara tepukkan tangan dari belakang kami.
“Cieee, selamat ya!” Ternyata itu Abi dan yang lainnya. Darimana mereka tahu kami ada disini?
“Kalian?” Kataku tak menyangka.
“Pokoknya, kamu dan Reno harus traktir kita semua makan malam ini!!” Kata Abi.
“Tenang aja, aku yang akan traktir kalian semua.” Dengan cepat Reno mengajukan diri untuk mentraktir mereka semua.
“Nggak, aku gak setuju. Lagi pula Reno kan baru pulang dari sekolahnya, pasti gak punya banyak uang.” Dengan tegas aku menolaknya.
“Gak apa-apa Karin, aku sudah merencanakan semuanya Kok.” Reno berkata dengan santai.
Merencanakan? Merencanakan apa? Aku hanya bisa diam mendengar ucapannya itu karena tidak mengerti dengan semuanya.
“Tunggu apa lagi? Ayo berangkat!” Kata Abi yang sudah tidak sabaran.
“Tunggu sebentar.” Reno menghentikan yang lain yang hendak berjalan menuju rumah makan, juga membuatku menghentikan mendorong kursi rodanya.
“Ada apa?” Tanyaku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Reno langsung menurunkan kakinya ke jalan dan bersiap-siap untuk berdiri dan melangkahkan perlahan-lahan kakinya di jalan. Aku yang berada di belakangnya membelalakkan mata melihatnya bisa berdiri tegak dan berjalan seperti itu, yang tadinya hanya bisa duduk manis di kursi roda.
“Reno, kamu?”
“Maaf, dari tadi aku cuma pura-pura aja buat nguji kamu. Kamu lulus ujiannya. Hahaha.”
“Ah.. kamu jail!!” Aku menghujaninya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan ia tertawa terbahak-bahak. Yang lain juga tertawa terbahak-bahak melihatnya, terutama Abi.
“Jadi, ini termasuk rencana kamu juga?”
“Iya, hahaha.”
“Kenapa kamu jadi ikut-ikatan jail seperti Abi sih?”
“Hehehe, maaf Karin.”
“Maafkan aku juga ya sudah membohongi kamu sepupuku yang cantik.” Kata Abi.
“Nggak, kamu bukan sepupuku lagi.” Aku mengalihkan wajahku darinya karena kesal dia sudah membohongiku. Tapi itu hanya becandaku saja.
“Jangan marah, maaf ya!” Abi mendekapku ke dalam pelukannya, sementara aku memukulinya seperti aku memukuli Reno tadi.
“Aku sempat kaget banget saat melihat Reno tadi Bi, karena kamu gak bilang kalau dia berkursi roda.” Kataku.
“Tapi sekarang kamu senang kan, ternyata dia sempurna seperti yang kamu lihat sebelumnya.” Ucap Abi.
Ya, benar. Dia sempurna seperti bayanganku sebelumnya. Ternyata dia hanya berpura-pura. Semua yang Abi ceritakan padaku tentang dirinya itu benar. Namun dia tidak mau sombong, sehingga dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku menanyakan itu padanya.
Kemudian, kami pun berjalan menuju rumah makan yang berada sekitar beberapa langkah dari tempat kami ini. Reno merangkulku. dia cukup tinggi, sama seperti Abi. Aku hanya sedadanya saja.
Masalah Abi dan temanku yang menjadi pasangan, ternyata mereka sudah berpacaran sebulan yang lalu. Temanku ini ternyata sepupunya Reno, sama sepertiku dengan Abi yang bersepupuan. Mereka kenal melalui facebook. Abi menambahkannya sebagai teman di akun facebooknya melalui pertemanan facebookku. Melalui proses yang sama sepertiku, sering mengobrol melalui telepon, akhirnya mereka jadian. Karena itu, Abi dan teman-temanku terlibat dalam rencananya Reno ini. Pantas saja mereka tidak terkejut sepertiku saat melihat Reno menurunkan kakinya dari kursi roda, ternyata mereka semua sudah tahu bahwa ia hanya berpura-pura. Aku memarahi mereka karena sudah ikut-ikutan dalam semua ini. Tapi mereka malah mentertawaiku, begitu juga Abi dan Reno. Aku kesal karena sudah dibohongi seperti ini. Tapi aku juga senang, karena tahu Reno itu hanya berpura-pura memakai kursi roda. Walau Reno memang benar memakai kursi roda, aku tetap menerimanya. Aku sudah jatuh cinta padanya, karena cinta tidak memandang segala kekurangan yang ada pada pasangan kita.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam
Ternyata Dia
4/
5
Oleh
Unknown