Judul Cerpen Kakak, Maafkan Aku (Part 2) Ternyata Kakak
Aku menutup mulutku yang sedang menganga karena tak menyangka melihat Kak Randy pulang bersama Mamah dengan keadaan yang masih tidak bisa melihat, setelah seminggu yang lalu melakukan operasi di rumah sakit yang berada di dekat rumah kakek dan nenek karena sudah mendapat donor mata dari orang lain.
“Kak, mata kakak?” Aku melambaikan tanganku ke wajah Kak Randy tepat di bagian matanya. Namun, tidak ada reaksi dari matanya. Sama sekali tak bekedip.
“Mah, kakak kok tetap gak bisa melihat?” Aku bertanya pada Mamah yang sedang menggandeng tangan Kak Randy. Tapi, Mamah tidak menjawabku. Ia malah masuk ke dalam meninggalkanku dan Kak Randy yang masih berada di depan pintu.
“Kakak gak apa-apa kok jika harus selamanya gak bisa melihat, asalkan kakak bisa terus bersama kamu Dek.” Kak Randy berkata sambil memegang erat tongkat yang selama ini menuntunnya dalam gelap. Aku menangis mendengarnya.
“Maafin aku ya Kak. Karena aku, kakak jadi gak bisa melihat seperti ini.” Kataku sambil memeluknya dan menumpahkan tangisku di dalam pelukannya.
“Jangan nangis, kakak gak apa-apa kok.” Kak Randy membalas pelukanku dengan tangan kirinya mengelus lembut rambutku yang sedang tergerai.
Andai sikapku dulu tidak seperti itu padanya, pasti sekarang ia masih bisa melihat indahnya dunia ini. Bisa tetap belajar untuk menjadi apa yang dicita-citakan olehnya. Tapi karena keegoisanku, kehidupannya menjadi hancur. Sekarang ia tidak bisa melanjutkan kuliahnya yang sebentar lagi akan selesai. Aku menyesal, aku menyesal karena dulu telah bersikap seperti itu padanya. Pada kakakku, saudaraku sendiri yang sangat menyayangiku. Kalau seperti ini jadinya aku tidak bisa membuktikan ucapanku pada Cindy, teman sekaligus musuhku di sekolah bahwa aku mempunyai kakak yang tampan dan sempurna saat di acara pesta ulang tahunnya yang akan berlangsung tiga hari lagi.
Seminggu yang lalu, aku mendapat undangan ulang tahun dari Cindy yang berulang tahun ke 17. Cindy memberi syarat kepada para undangan dengan membawa saudara, kakak atau adik saat datang ke pesta ulang tahunnya nanti. Selain merayakan ulang tahunnya, Cindy juga akan merayakan kelulusan kakak perempuannya yang sudah menyelesaikan kuliahnya, sekaligus memperkenalkan kakaknya itu pada kami. Makanya ia meminta kami, para undangan, untuk membawa saudaranya masing-masing.
Aku langsung menceritakan itu pada Kak Randy melalui telepon saatku mendapatkan undangannya ketika ia sedang berada di rumah kakek dan nenek untuk melakukan operasi di rumah sakit yang berada disana. Aku fikir Kak Randy akan bisa melihat kembali setelah dioperasi nanti. Namun aku salah, ia tetap tidak bisa melihat meski sudah mendapat donor mata dari orang lain. Bagaimana aku bisa membuktikan ucapanku pada Cindy kalau Kak Randy masih dalam keadaan yang tidak bisa melihat. Padahal, aku menerima tantangan Cindy saat ia menantangku untuk mendatangkan Kak Randy yang sudah kuceritakan padanya saat di pesta ulang tahunnya nanti. Pasti dia akan menertawaiku saat mengetahui kakak yang selama ini aku bangga-banggakan padanya ternyata dalam keadaan seperti itu, tidak bisa melihat.
“Dek, kamu masih mau datang ke acara ulang tahun teman kamu sama kakak?” Tanya Kak Randy sehari sebelum pesta ulang tahunnya Cindy berlangsung.
Aku hanya diam mendengarnya. Aku bimbang. Sebenarnya aku tidak malu datang kesana dengan Kak Randy, tapi aku takut ia hanya menjadi bahan tontonan dan tawaan orang-orang yang ada disana, terutama Cindy.
“Dek, kok diem? Kamu masih mau datang ke acara ulang tahun teman kamu sama kakak gak?” Kak Randy mengulangi pertanyaan yang diajukannya tadi padaku. Karena aku hanya diam, tanpa menjawabnya.
“Mau dong Kak, kan cuma kakak yang aku punya.” Jawabku.
“Yakin? Gak malu dateng kesana sama kakak?”
“Kenapa harus malu? Kakak kan kakak aku, masa aku malu sih dateng sama kakakku sendiri.”
Ketika hari ulang tahunnya Cindy tiba, aku merapikan penampilan Kak Randy. Selama ini penampilannya suka acak-acakkan. Terkadang salah memakai baju. Seharusnya bagian depan yang ada di depan, ini malah sebaliknya, bagian belakang yang ada di depan. Rambutnya pun tidak tersisir dengan rapi, karena ia tidak bisa merapikan dirinya sendiri.
“Kakak ganteng!” Pujiku setelah merapikan penampilannya.
“Yeh, percuma aja ganteng kalau kakaknya gak bisa melihat.” Ucapnya putus asa.
“Kakak kok ngomongnya gitu sih? Aku gak suka deh kalau kakak jadi gak semangat gini. Udah ah, ayo kita berangkat.”
Aku langsung menggandeng tangannya, menuntun ke Mamah untuk berpamitan.
“Mah, aku sama kakak berangkat dulu ya!” Pamitku padanya yang sedang menonton tv di ruang tengah.
“Iya, hati-hati. Jagain kakak ya!” Pesan Mamah.
“Iya Mah, pastinya.” Jawabku.
“Mamah, kok Bintang yang menjaga aku? Seharusnya kan aku yang menjaga Bintang.” Kak Randy angkat bicara mendengar pesan Mamah itu.
“Gak apa-apa Kak, kali ini aku yang menjaga kakak ya!”
“Kamu ini?”
“Hehehe..”
Lalu, aku dan kakak ke luar dari rumah dan berjalan sebentar menuju jalan raya menunggu taksi yang datang untuk bisa mengantar kami sampai ke rumah Cindy. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya taksinya pun datang. Aku dan kakak masuk ke dalam, lalu taksi itu melaju dengan sedang.
Di perjalanan, aku tidak bicara sama sekali dengan Kak Randy. Hatiku tak tenang, membayangkan bagaimana nanti setelah tiba di pesta ulang tahunnya Cindy. Tapi, aku mencoba untuk berfikir yang baik-baik hingga tak terasa kami sudah tiba di depan rumah Cindy.
Para undangan menoleh ke arah kami ketika kami baru berjalan tiga langkah memasuki halaman rumah Cindy. Cindy belum melihat kedatangan kami, ia masih sibuk menyambut tamu-tamunya yang baru saja datang sebelum aku. Setelah selesai, ia melihat-lihat sekeliling sampai akhirnya matanya terbelalak ketika melihatku dan Kak Randy.
“Jadi ini kakak kamu? Kakak yang kamu bilang sempurna, kakak yang kamu bangga-banggakan, dan kakak yang…”
Sebelum ia melanjutkan ucapannya yang bermaksud untuk mencemooh Kak Randy, aku langsung memotongnya.
“Cukup Cindy, cukup! Aku udah memenuhi persyaratan kamu dengan mengajak kakakku untuk datang ke ulang tahun kamu, karena aku masih menghargai kamu sebagai temanku. Tapi kenapa kamu malah seperti ini?” Aku berkata dengan nada tinggi tanpa mempedulikan yang lain sedang memperhatikan kami.
“Selamat ulang tahun ya! Sampein selamat buat kakak kamu juga yang udah lulus dari kuliahnya. Ini kado buat kamu, kami pamit!” Cepat-cepat aku berkata sambil memberikan kado yang sedang kupegang padanya, sebelum ia lebih mencemooh Kak Randy lagi.
Kemudian, aku langsung membawa Kak Randy pergi meninggalkan rumah sekaligus pesta ulang tahunnya Cindy dengan terburu-buru. Kak Randy masih dalam kediamannya tanpa berkomentar sama sekali seperti saatku dan Cindy saling berbicara tadi. Aku terus menggandeng tangan Kak Randy dengan hati yang kesal ketika sedang berjalan di jalan yang masih di daerah rumahnya Cindy. Ketika melihat ada bangku yang terdapat seperti di sebuah taman, aku mengajak Kak Randy untuk beristirahat sejenak.
“Maafkan sikap Cindy tadi ya Kak.” Amarahku sedikit reda ketika sudah menjatuhkan pantatku di bangku itu.
“Gak apa-apa kok Dek. Coba kalau keadaan kakak gak seperti ini, teman kamu pasti gak akan seperti itu.” Kak Randy selalu mengatakan itu setiap kali yang lain berlaku seperti Cindy tadi. Aku hanya diam mendengarnya sambil melihat Kak Randy yang pandangannya terus ke depan tanpa beralih kemana pun.
Saat tahu ada yang menjual minuman di sekitar tempat kami ini, aku berniat membeli minum untukku dan Kak Randy.
“Kak, aku mau beli minum dulu. Kakak tunggu disini ya!” Kataku sambil beranjak pergi menuju penjual minuman yang sedang mangkal disana. Kak Randy hanya mengangguk tersenyum menjawabnya.
Aku pun kembali kepada Kak Randy setelah membawa dua botol minuman yang rasanya sudah tidak asing lagi untuk lidah kami berdua. Kami langsung meminumnya sambil mengobrol-ngobrol yang membuat kami lupa waktu.
“Udah malem Kak, pulang yuk!” Ajakku saat tahu waktu sudah menunjukkan pukul 11.
Ketika aku hendak menggandeng tangan Kak Randy dengan maksud menuntunnya berjalan seperti biasanya, ia menolaknya.
“Jangan dituntun ya kakaknya, kakak bisa jalan sendiri kok.”
“Nanti kalau kakak kesandung batu terus jatuh gimana? Aku gak mau kakak kenapa-kenapa.” Aku menolak keinginannya itu. Jelas saja, bagaimana ia bisa berjalan dengan baik tanpa terjatuh kalau ia saja tidak bisa melihat yang ada di sekelilingnya.
“Lihat kakak!” Kak Randy berkata sambil mengoyang-goyangkan tanganku yang sedang mengikat tali sepatuku yang terlepas.
“Lihat kenapa Kak?” Tanyaku yang masih mengikat tali sepatuku.
“Lihat kakak Dek, lihat kakak!” Kak Randy terus menyuruhku untuk melihatnya sambil terus menerus mengoyang-goyangkan tanganku.
Setelah selesai mengikat tali sepatuku, aku langsung melihatnya seperti yang ia perintahkan tadi.
“Kakak?” Aku membelalakkan mata sambil menganga saat melihat posisi duduknya menghadapku, dan pandangan matanya yang biasanya hanya lurus ke depan kini memandangku.
“Jangan nganga gitu Dek, jelek tahu.” Kak Randy berkata sambil menutup mulutku yang sedang menganga dengan tangannya. Aku membuang tangannya dari mulutku lalu menarik wajahnya dengan kedua tanganku mendekat ke wajahku.
“Kakak bisa melihat?” Tanyaku. Kak Randy hanya mengangguk sambil tersenyum sebagai jawabannya.
Karena masih tidak percaya, aku melambaikan tanganku ke wajahnya untuk memastikan bahwa ia sudah bisa melihat. Matanya berkedip. Ternyata benar, ia bisa melihat. Kedua bola matanya tertuju tepat pada kedua bola mataku saat kami bertatapan.
“Yeeeyyy, kakak bisa melihat lagi!!” Kataku dengan berteriak kesenangan dan tanpa sadar orang-orang yang sedang berlalu di jalan melihat ke arah kami karena mendengar teriakkanku. Melihat itu, Kak Randy langsung menaruh jari telunjuk tangannya ke bibirnya, mengisyaratkan padaku untuk tidak berisik, karena orang-orang sedang melihat kami.
“Maaf ya, kakak cuma pura-pura aja buat ngetes kamu. Dan hasilnya kamu lulus tesnya, karena ternyata kamu udah merubah sikap buruk kamu yang dulu. Hahaha.” Kak Randy tertawa terbahak-bahak.
“Ah.. kakak jail!!” Aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Sementara ia masih tetap tertawa terbahak-bahak.
“Jadi, operasi kakak waktu itu berhasil?” Tanyaku. Kak Randy mengangguk menjawabnya.
“Berarti, Mamah udah tahu dong masalah ini?”
“Iya, malah kakak sama Mamah sepakat untuk mengetes kamu dengan cara kakak tetap berpura-pura gak bisa melihat.”
“Ah.. kalian jail udah ngebohongin aku.”
“Hahaha, kasian adik aku dibohongin.”
Aku kembali menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sementara ia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar tak sadar kalau Kak Randy hanya berpura-pura. Ia sangat terlihat seperti dulu, yang masih tidak bisa melihat.
“Aku janji akan merubah sikap burukku ke kakak, aku akan patuh sama kakak, aku akan sayang sama kakak. Pokoknya, aku akan menjadi adik yang baik buat kakak.” Aku berkata sambil menggenggam tangan Kak Randy, sementara ia dengan serius memperhatikanku yang sedang berbicara.
“Maaf ya Kak, dulu aku sempat membenci kakak atas kepergiannya Ayah. Padahal, itu semua bukan kesalahan kakak. Ayah pergi bukan karena kakak, tapi karena takdir. Maafin aku Kak, maafin aku udah jahat sama kakak.” Tak lupa aku kembali meminta maaf atas apa yang sudah kuperbuat dulu padanya.
“Gak apa-apa Dek, kakak ngerti kok. Kamu pasti gak rela kan Ayah pergi? Tapi kamu gak nyangka kan, punya kakak yang ganteng?” Kak Randy tersenyum nakal.
Mendengar itu, lagi dan lagi aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Kami pun tertawa lepas. Lalu, kami pun pulang ke rumah ketika malam semakin larut.
Keesokkan harinya, aku berangkat sekolah dengan diantar oleh Kak Randy untuk yang pertama kalinya. Padahal, dulu ia selalu menawariku untuk diantar olehnya. Tapi, aku selalu menolaknya, karena aku masih membencinya. Kini, rasa benci itu sudah hilang dari dalam hatiku. Dan kini juga, rasa sayanglah yang semakin hari semakin bertambah padanya.
“Tumben banget udah sampe di sekolah pagi-pagi, biasanya lima menit sebelum masuk?” Kata Cindy ketika aku baru tiba dikelas pada jam 6.30.
“Aku diantar kakakku!” Jawabku singkat.
Benar yang dikatakan oleh Cindy, biasanya aku selalu datang lima menit sebelum masuk karena harus menunggu angkutan umum yang datang. Tapi sekarang sudah tidak lagi, karena ada Kak Randy yang mengantarku.
“Diantar kakak kamu? Hahahah.. Ngarang kamu! Bukannya kakak kamu gak bisa melihat? Gimana dia bisa mengantar kamu?” Cindy tak percaya dengan jawabanku tadi.
“Kamu gak percaya aku diantar kakakku?” Tanyaku.
“Nggaklah, gimana kakak kamu bisa mengantar kamu kalau dia aja gak bisa melihat?” Jawabnya.
“Jadi benar gak percaya nih?”
“Nggak, kecuali aku bisa melihat sendiri saat kakak kamu mengantar kamu.”
“Oh, begitu ya! Jadi kamu perlu bukti? Aku akan buktikan ke kamu kalau omonganku ini gak bohong. Pulang sekolah nanti kakakku jemput aku.”
“Okey, kita buktikan!”
Ketika pulang sekolah tiba, aku langsung mengajaknya menemui Kak Randy untuk membuktikan padanya bahwa ucapanku ini benar. Syukurlah, Kak Randy sudah datang dan ia sedang menungguku di tempat tunggu yang seperti biasanya. Aku mengetuk kaca mobil yang di dalamnya ada dirinya, Kak Randy pun langsung membukanya.
“Hai, Dek!” Sapa Kak Randy saat kacanya terbuka dan melihat Cindy di luarnya.
“Kakak kok bisa melihat?” Kata Cindy yang keheranan.
“Iya, kakak bisa melihat.” Kak Randy menjawab sambil tersenyum padanya.
“Kakak pasti bohong kan?” Cindy masih tidak percaya bahwa Kak Randy memang benar bisa melihat.
“Kakak gak bohong kok Dek. Kakak benar bisa melihat. Kakak bisa lihat nama kamu yang tertera di dada kamu, Cindy Feriyanti, itu kan nama kamu? Rambut kamu hitam dan panjangnya sebahu. Betul kan?” Kak Randy mengatakan semua pada Cindy yang terdapat pada dirinya untuk membuktikan padanya bahwa ia memang benar bisa melihat.
“Kakak kok bisa melihat secepat ini? Bukannya semalam?” Tanyanya.
“Semalam, kakak hanya berpura-pura gak bisa melihat aja.” Jawab Kak Randy.
Mendengar itu, Cindy pergi meninggalkanku dan Kak Randy begitu saja karena tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kami tertawa melihat tingkahnya itu. Lalu, aku pun masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah di sampingnya Kak Randy. Kali ini aku bisa membuktikan ucapanku padanya, tidak seperti dengan semalam.
“Teman kamu lucu ya!” Komentar Kak Randy tentang Cindy. Aku hanya tertawa mendengarnya. Kak Randy juga ikut tertawa, dan kami berdua pun tertawa lepas.
Kemudian, Kak Randy menjalankan dengan sedang mobil yang sedang kami naiki menuju pulang ke rumah.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam
Aku menutup mulutku yang sedang menganga karena tak menyangka melihat Kak Randy pulang bersama Mamah dengan keadaan yang masih tidak bisa melihat, setelah seminggu yang lalu melakukan operasi di rumah sakit yang berada di dekat rumah kakek dan nenek karena sudah mendapat donor mata dari orang lain.
“Kak, mata kakak?” Aku melambaikan tanganku ke wajah Kak Randy tepat di bagian matanya. Namun, tidak ada reaksi dari matanya. Sama sekali tak bekedip.
“Mah, kakak kok tetap gak bisa melihat?” Aku bertanya pada Mamah yang sedang menggandeng tangan Kak Randy. Tapi, Mamah tidak menjawabku. Ia malah masuk ke dalam meninggalkanku dan Kak Randy yang masih berada di depan pintu.
“Kakak gak apa-apa kok jika harus selamanya gak bisa melihat, asalkan kakak bisa terus bersama kamu Dek.” Kak Randy berkata sambil memegang erat tongkat yang selama ini menuntunnya dalam gelap. Aku menangis mendengarnya.
“Maafin aku ya Kak. Karena aku, kakak jadi gak bisa melihat seperti ini.” Kataku sambil memeluknya dan menumpahkan tangisku di dalam pelukannya.
“Jangan nangis, kakak gak apa-apa kok.” Kak Randy membalas pelukanku dengan tangan kirinya mengelus lembut rambutku yang sedang tergerai.
Andai sikapku dulu tidak seperti itu padanya, pasti sekarang ia masih bisa melihat indahnya dunia ini. Bisa tetap belajar untuk menjadi apa yang dicita-citakan olehnya. Tapi karena keegoisanku, kehidupannya menjadi hancur. Sekarang ia tidak bisa melanjutkan kuliahnya yang sebentar lagi akan selesai. Aku menyesal, aku menyesal karena dulu telah bersikap seperti itu padanya. Pada kakakku, saudaraku sendiri yang sangat menyayangiku. Kalau seperti ini jadinya aku tidak bisa membuktikan ucapanku pada Cindy, teman sekaligus musuhku di sekolah bahwa aku mempunyai kakak yang tampan dan sempurna saat di acara pesta ulang tahunnya yang akan berlangsung tiga hari lagi.
Seminggu yang lalu, aku mendapat undangan ulang tahun dari Cindy yang berulang tahun ke 17. Cindy memberi syarat kepada para undangan dengan membawa saudara, kakak atau adik saat datang ke pesta ulang tahunnya nanti. Selain merayakan ulang tahunnya, Cindy juga akan merayakan kelulusan kakak perempuannya yang sudah menyelesaikan kuliahnya, sekaligus memperkenalkan kakaknya itu pada kami. Makanya ia meminta kami, para undangan, untuk membawa saudaranya masing-masing.
Aku langsung menceritakan itu pada Kak Randy melalui telepon saatku mendapatkan undangannya ketika ia sedang berada di rumah kakek dan nenek untuk melakukan operasi di rumah sakit yang berada disana. Aku fikir Kak Randy akan bisa melihat kembali setelah dioperasi nanti. Namun aku salah, ia tetap tidak bisa melihat meski sudah mendapat donor mata dari orang lain. Bagaimana aku bisa membuktikan ucapanku pada Cindy kalau Kak Randy masih dalam keadaan yang tidak bisa melihat. Padahal, aku menerima tantangan Cindy saat ia menantangku untuk mendatangkan Kak Randy yang sudah kuceritakan padanya saat di pesta ulang tahunnya nanti. Pasti dia akan menertawaiku saat mengetahui kakak yang selama ini aku bangga-banggakan padanya ternyata dalam keadaan seperti itu, tidak bisa melihat.
“Dek, kamu masih mau datang ke acara ulang tahun teman kamu sama kakak?” Tanya Kak Randy sehari sebelum pesta ulang tahunnya Cindy berlangsung.
Aku hanya diam mendengarnya. Aku bimbang. Sebenarnya aku tidak malu datang kesana dengan Kak Randy, tapi aku takut ia hanya menjadi bahan tontonan dan tawaan orang-orang yang ada disana, terutama Cindy.
“Dek, kok diem? Kamu masih mau datang ke acara ulang tahun teman kamu sama kakak gak?” Kak Randy mengulangi pertanyaan yang diajukannya tadi padaku. Karena aku hanya diam, tanpa menjawabnya.
“Mau dong Kak, kan cuma kakak yang aku punya.” Jawabku.
“Yakin? Gak malu dateng kesana sama kakak?”
“Kenapa harus malu? Kakak kan kakak aku, masa aku malu sih dateng sama kakakku sendiri.”
Ketika hari ulang tahunnya Cindy tiba, aku merapikan penampilan Kak Randy. Selama ini penampilannya suka acak-acakkan. Terkadang salah memakai baju. Seharusnya bagian depan yang ada di depan, ini malah sebaliknya, bagian belakang yang ada di depan. Rambutnya pun tidak tersisir dengan rapi, karena ia tidak bisa merapikan dirinya sendiri.
“Kakak ganteng!” Pujiku setelah merapikan penampilannya.
“Yeh, percuma aja ganteng kalau kakaknya gak bisa melihat.” Ucapnya putus asa.
“Kakak kok ngomongnya gitu sih? Aku gak suka deh kalau kakak jadi gak semangat gini. Udah ah, ayo kita berangkat.”
Aku langsung menggandeng tangannya, menuntun ke Mamah untuk berpamitan.
“Mah, aku sama kakak berangkat dulu ya!” Pamitku padanya yang sedang menonton tv di ruang tengah.
“Iya, hati-hati. Jagain kakak ya!” Pesan Mamah.
“Iya Mah, pastinya.” Jawabku.
“Mamah, kok Bintang yang menjaga aku? Seharusnya kan aku yang menjaga Bintang.” Kak Randy angkat bicara mendengar pesan Mamah itu.
“Gak apa-apa Kak, kali ini aku yang menjaga kakak ya!”
“Kamu ini?”
“Hehehe..”
Lalu, aku dan kakak ke luar dari rumah dan berjalan sebentar menuju jalan raya menunggu taksi yang datang untuk bisa mengantar kami sampai ke rumah Cindy. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya taksinya pun datang. Aku dan kakak masuk ke dalam, lalu taksi itu melaju dengan sedang.
Di perjalanan, aku tidak bicara sama sekali dengan Kak Randy. Hatiku tak tenang, membayangkan bagaimana nanti setelah tiba di pesta ulang tahunnya Cindy. Tapi, aku mencoba untuk berfikir yang baik-baik hingga tak terasa kami sudah tiba di depan rumah Cindy.
Para undangan menoleh ke arah kami ketika kami baru berjalan tiga langkah memasuki halaman rumah Cindy. Cindy belum melihat kedatangan kami, ia masih sibuk menyambut tamu-tamunya yang baru saja datang sebelum aku. Setelah selesai, ia melihat-lihat sekeliling sampai akhirnya matanya terbelalak ketika melihatku dan Kak Randy.
“Jadi ini kakak kamu? Kakak yang kamu bilang sempurna, kakak yang kamu bangga-banggakan, dan kakak yang…”
Sebelum ia melanjutkan ucapannya yang bermaksud untuk mencemooh Kak Randy, aku langsung memotongnya.
“Cukup Cindy, cukup! Aku udah memenuhi persyaratan kamu dengan mengajak kakakku untuk datang ke ulang tahun kamu, karena aku masih menghargai kamu sebagai temanku. Tapi kenapa kamu malah seperti ini?” Aku berkata dengan nada tinggi tanpa mempedulikan yang lain sedang memperhatikan kami.
“Selamat ulang tahun ya! Sampein selamat buat kakak kamu juga yang udah lulus dari kuliahnya. Ini kado buat kamu, kami pamit!” Cepat-cepat aku berkata sambil memberikan kado yang sedang kupegang padanya, sebelum ia lebih mencemooh Kak Randy lagi.
Kemudian, aku langsung membawa Kak Randy pergi meninggalkan rumah sekaligus pesta ulang tahunnya Cindy dengan terburu-buru. Kak Randy masih dalam kediamannya tanpa berkomentar sama sekali seperti saatku dan Cindy saling berbicara tadi. Aku terus menggandeng tangan Kak Randy dengan hati yang kesal ketika sedang berjalan di jalan yang masih di daerah rumahnya Cindy. Ketika melihat ada bangku yang terdapat seperti di sebuah taman, aku mengajak Kak Randy untuk beristirahat sejenak.
“Maafkan sikap Cindy tadi ya Kak.” Amarahku sedikit reda ketika sudah menjatuhkan pantatku di bangku itu.
“Gak apa-apa kok Dek. Coba kalau keadaan kakak gak seperti ini, teman kamu pasti gak akan seperti itu.” Kak Randy selalu mengatakan itu setiap kali yang lain berlaku seperti Cindy tadi. Aku hanya diam mendengarnya sambil melihat Kak Randy yang pandangannya terus ke depan tanpa beralih kemana pun.
Saat tahu ada yang menjual minuman di sekitar tempat kami ini, aku berniat membeli minum untukku dan Kak Randy.
“Kak, aku mau beli minum dulu. Kakak tunggu disini ya!” Kataku sambil beranjak pergi menuju penjual minuman yang sedang mangkal disana. Kak Randy hanya mengangguk tersenyum menjawabnya.
Aku pun kembali kepada Kak Randy setelah membawa dua botol minuman yang rasanya sudah tidak asing lagi untuk lidah kami berdua. Kami langsung meminumnya sambil mengobrol-ngobrol yang membuat kami lupa waktu.
“Udah malem Kak, pulang yuk!” Ajakku saat tahu waktu sudah menunjukkan pukul 11.
Ketika aku hendak menggandeng tangan Kak Randy dengan maksud menuntunnya berjalan seperti biasanya, ia menolaknya.
“Jangan dituntun ya kakaknya, kakak bisa jalan sendiri kok.”
“Nanti kalau kakak kesandung batu terus jatuh gimana? Aku gak mau kakak kenapa-kenapa.” Aku menolak keinginannya itu. Jelas saja, bagaimana ia bisa berjalan dengan baik tanpa terjatuh kalau ia saja tidak bisa melihat yang ada di sekelilingnya.
“Lihat kakak!” Kak Randy berkata sambil mengoyang-goyangkan tanganku yang sedang mengikat tali sepatuku yang terlepas.
“Lihat kenapa Kak?” Tanyaku yang masih mengikat tali sepatuku.
“Lihat kakak Dek, lihat kakak!” Kak Randy terus menyuruhku untuk melihatnya sambil terus menerus mengoyang-goyangkan tanganku.
Setelah selesai mengikat tali sepatuku, aku langsung melihatnya seperti yang ia perintahkan tadi.
“Kakak?” Aku membelalakkan mata sambil menganga saat melihat posisi duduknya menghadapku, dan pandangan matanya yang biasanya hanya lurus ke depan kini memandangku.
“Jangan nganga gitu Dek, jelek tahu.” Kak Randy berkata sambil menutup mulutku yang sedang menganga dengan tangannya. Aku membuang tangannya dari mulutku lalu menarik wajahnya dengan kedua tanganku mendekat ke wajahku.
“Kakak bisa melihat?” Tanyaku. Kak Randy hanya mengangguk sambil tersenyum sebagai jawabannya.
Karena masih tidak percaya, aku melambaikan tanganku ke wajahnya untuk memastikan bahwa ia sudah bisa melihat. Matanya berkedip. Ternyata benar, ia bisa melihat. Kedua bola matanya tertuju tepat pada kedua bola mataku saat kami bertatapan.
“Yeeeyyy, kakak bisa melihat lagi!!” Kataku dengan berteriak kesenangan dan tanpa sadar orang-orang yang sedang berlalu di jalan melihat ke arah kami karena mendengar teriakkanku. Melihat itu, Kak Randy langsung menaruh jari telunjuk tangannya ke bibirnya, mengisyaratkan padaku untuk tidak berisik, karena orang-orang sedang melihat kami.
“Maaf ya, kakak cuma pura-pura aja buat ngetes kamu. Dan hasilnya kamu lulus tesnya, karena ternyata kamu udah merubah sikap buruk kamu yang dulu. Hahaha.” Kak Randy tertawa terbahak-bahak.
“Ah.. kakak jail!!” Aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Sementara ia masih tetap tertawa terbahak-bahak.
“Jadi, operasi kakak waktu itu berhasil?” Tanyaku. Kak Randy mengangguk menjawabnya.
“Berarti, Mamah udah tahu dong masalah ini?”
“Iya, malah kakak sama Mamah sepakat untuk mengetes kamu dengan cara kakak tetap berpura-pura gak bisa melihat.”
“Ah.. kalian jail udah ngebohongin aku.”
“Hahaha, kasian adik aku dibohongin.”
Aku kembali menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sementara ia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar tak sadar kalau Kak Randy hanya berpura-pura. Ia sangat terlihat seperti dulu, yang masih tidak bisa melihat.
“Aku janji akan merubah sikap burukku ke kakak, aku akan patuh sama kakak, aku akan sayang sama kakak. Pokoknya, aku akan menjadi adik yang baik buat kakak.” Aku berkata sambil menggenggam tangan Kak Randy, sementara ia dengan serius memperhatikanku yang sedang berbicara.
“Maaf ya Kak, dulu aku sempat membenci kakak atas kepergiannya Ayah. Padahal, itu semua bukan kesalahan kakak. Ayah pergi bukan karena kakak, tapi karena takdir. Maafin aku Kak, maafin aku udah jahat sama kakak.” Tak lupa aku kembali meminta maaf atas apa yang sudah kuperbuat dulu padanya.
“Gak apa-apa Dek, kakak ngerti kok. Kamu pasti gak rela kan Ayah pergi? Tapi kamu gak nyangka kan, punya kakak yang ganteng?” Kak Randy tersenyum nakal.
Mendengar itu, lagi dan lagi aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Kami pun tertawa lepas. Lalu, kami pun pulang ke rumah ketika malam semakin larut.
Keesokkan harinya, aku berangkat sekolah dengan diantar oleh Kak Randy untuk yang pertama kalinya. Padahal, dulu ia selalu menawariku untuk diantar olehnya. Tapi, aku selalu menolaknya, karena aku masih membencinya. Kini, rasa benci itu sudah hilang dari dalam hatiku. Dan kini juga, rasa sayanglah yang semakin hari semakin bertambah padanya.
“Tumben banget udah sampe di sekolah pagi-pagi, biasanya lima menit sebelum masuk?” Kata Cindy ketika aku baru tiba dikelas pada jam 6.30.
“Aku diantar kakakku!” Jawabku singkat.
Benar yang dikatakan oleh Cindy, biasanya aku selalu datang lima menit sebelum masuk karena harus menunggu angkutan umum yang datang. Tapi sekarang sudah tidak lagi, karena ada Kak Randy yang mengantarku.
“Diantar kakak kamu? Hahahah.. Ngarang kamu! Bukannya kakak kamu gak bisa melihat? Gimana dia bisa mengantar kamu?” Cindy tak percaya dengan jawabanku tadi.
“Kamu gak percaya aku diantar kakakku?” Tanyaku.
“Nggaklah, gimana kakak kamu bisa mengantar kamu kalau dia aja gak bisa melihat?” Jawabnya.
“Jadi benar gak percaya nih?”
“Nggak, kecuali aku bisa melihat sendiri saat kakak kamu mengantar kamu.”
“Oh, begitu ya! Jadi kamu perlu bukti? Aku akan buktikan ke kamu kalau omonganku ini gak bohong. Pulang sekolah nanti kakakku jemput aku.”
“Okey, kita buktikan!”
Ketika pulang sekolah tiba, aku langsung mengajaknya menemui Kak Randy untuk membuktikan padanya bahwa ucapanku ini benar. Syukurlah, Kak Randy sudah datang dan ia sedang menungguku di tempat tunggu yang seperti biasanya. Aku mengetuk kaca mobil yang di dalamnya ada dirinya, Kak Randy pun langsung membukanya.
“Hai, Dek!” Sapa Kak Randy saat kacanya terbuka dan melihat Cindy di luarnya.
“Kakak kok bisa melihat?” Kata Cindy yang keheranan.
“Iya, kakak bisa melihat.” Kak Randy menjawab sambil tersenyum padanya.
“Kakak pasti bohong kan?” Cindy masih tidak percaya bahwa Kak Randy memang benar bisa melihat.
“Kakak gak bohong kok Dek. Kakak benar bisa melihat. Kakak bisa lihat nama kamu yang tertera di dada kamu, Cindy Feriyanti, itu kan nama kamu? Rambut kamu hitam dan panjangnya sebahu. Betul kan?” Kak Randy mengatakan semua pada Cindy yang terdapat pada dirinya untuk membuktikan padanya bahwa ia memang benar bisa melihat.
“Kakak kok bisa melihat secepat ini? Bukannya semalam?” Tanyanya.
“Semalam, kakak hanya berpura-pura gak bisa melihat aja.” Jawab Kak Randy.
Mendengar itu, Cindy pergi meninggalkanku dan Kak Randy begitu saja karena tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kami tertawa melihat tingkahnya itu. Lalu, aku pun masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah di sampingnya Kak Randy. Kali ini aku bisa membuktikan ucapanku padanya, tidak seperti dengan semalam.
“Teman kamu lucu ya!” Komentar Kak Randy tentang Cindy. Aku hanya tertawa mendengarnya. Kak Randy juga ikut tertawa, dan kami berdua pun tertawa lepas.
Kemudian, Kak Randy menjalankan dengan sedang mobil yang sedang kami naiki menuju pulang ke rumah.
Cerpen Karangan: Siti Mariyam
Facebook: Siti Mariyam
Kakak, Maafkan Aku (Part 2) Ternyata Kakak
4/
5
Oleh
Unknown