Pernikahan Yang Memisahkan

Baca Juga :
    Judul Cerpen Pernikahan Yang Memisahkan

    Lalu apakah arti pernikahan itu? Apakah Ia laksana sebuah daun yang tertahan oleh ranting ketika menyusuri sungai? Yang kapanpun bisa lepas bila arus air sedang derasnya. Jika demikian maka Itu seperti yang dipahami aku, papa, dan Fira. Atau pernikahan itu seperti versi mama, yang hanya satu kali seumur hidup.

    Aku melihat anakku di kamar rias, menggunakan busana kebaya putih, dipadu-padankan dengan bawahan jarik batik warna coklat. Rambutnya yang disanggul, diramaikan dengan manik-manik berkilau yang indah. “Kau cantik anakku” kataku dalam batin. Aku mengelus pundaknya, memberikannya kepercayaan diri bahwa semua akan berjalan dengan lancar. Hal ini kulakukan karena ia terlihat sedikit gugup, meskipun ia pernah melakukannya sebelumnya.

    “Bu, mempelai prianya sudah datang” kata Bi Iyem pembantuku. Ia sudah 20 tahun bekerja melayaniku. Dahulu Bi Iyem dibawa ke rumah orangtuaku di jakarta barat ketika usiaku 10 tahun. Waktu itu, Bi Iyem berusia 17 tahun. Ia dibawa oleh pembantu rumah sebelumnya yaitu Bi Inah yang nampaknya akan segera pensiun. Meskipun sebagai pembantu, aku akrab dengan Bi Iyem. Dia adalah temanku bermain ketika ayah dan ibu sibuk bekerja. Ayahku bekerja sebagai dosen, sering sekali pulang malam. Sedangkan Ibuku harus masuk rutin setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore sebagai perawat. Akibatnya aku sendirian.

    Setiap pagi, Bi Iyem yang mengantar dan menjemputku ketika berangkat dan pulang sekolah. Sejak kecil, aku telah terbiasa dengan keadaan seperti itu, namun akhir-akhir ini tidurku sering terganggu oleh percekcokan antara mama dan papa. Mereka bertengkar, saling menyalahkan ketiadaan waktunya untuk anak semata wayangnya. Tak ada kesepakatan, mereka sama-sama keras kepala untuk tetap bekerja. Namun itu bukanlah hal baru bagiku, karena beberapa menit kemudian mereka akan saling minta maaf dan berbaikan. Itu yang aku suka dari mama dan papa. Mereka cepat berdamai.
    Semenjak pertengkaran hebat malam itu, ternyata mereka membuat jadwal untuk sarapan bareng dan mengantarku ke sekolah. Mama dan papa rela terlambat ke kantor demi untuk memberi perhatian padaku. Aku agaknya bahagia dengan usaha mereka, hal ini membuatku semangat menjalani kehidupan masa kecilku.

    “Ayo Anna” suara Robert terdengar dari celah pintu kamar rias yang dibuka sedikit. Ia dengan jaz warna coklat, dan sisiran rambut rapi terlihat mengagumkan. Aku mengangguk kepadanya, berdiri untuk menggandeng putri kesayanganku Fira. ”Hari ini, akan menjadi hari terindah untukmu sayang” bisikku kepadanya. Ia tersenyum tipis, menarik napas dalam-dalam dan mengangguk padaku tanda ia siap.

    Anakku Fira berjalan anggun bersamaku menuju ruang resepsi, di sana telah duduk si mempelai pria dengan gagahnya. Aku membantu Fira duduk di samping pria yang menaklukannya itu.

    “Saya nikahkan, putri saya bernama Fira Robertania binti Robert dengan saudara Anton Sanjaya, dengan mas kawin emas 100 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai. Ucap Robert dengan lancarnya. Meskipun dia bukan warga negara Indonesia, namun ia cukup fasih mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia.
    “Saya terima nikahnya, Fira Robertania binti Robert dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai” kata Anton
    “Sah?” tanya penghulu padaku dan saksi-saksi lain. “sah..” jawab kami serempak.
    Itu adalah hari penting dalam kehidupan anakku yang penuh liku. Ia dibesarkan oleh orangtua sepertiku yang tak tahu cara merawat anak. Aku sering sedih dan malu pada diriku sendiri karena tak dapat membahagiakannya layaknya seorang Ibu.

    Usiaku 15 tahun, ketika pada akhirnya Ibu memutuskan untuk pergi. Ia sudah tak tahan lagi cekcok setiap hari dengan Ayah. Apalagi belakangan ini Papa mulai main tangan. Usiaku 15, dan aku berpikir bahwa mereka memang tak cocok lagi. Ayah dan Ibuku segera mengurus surat-surat cerai, untuk kemudian disahkan di pengadilan Agama Jakarta Barat.
    Hak asuh ternyata jatuh kepada Ayah. Beberapa bulan kemudian, Papa membawa calon istri barunya. Namanya tante Sonya. Wanita berbadan tinggi, berkulit putih, dan bersenyum lebar, itu ternyata adalah orang yang dikejar-kejar Papa sewaktu kuliah di Bandung. Akhirnya Ia menikahi orang yang dicintainya. Papa mungkin bahagia, namun kutahu mama harus menderita karenanya. Tante Sonya baik dan ramah kepadaku. Ia bersama anak gadisnya yang bernama susi kini menjadi keluarga baruku.

    Mama. Suatu pagi aku melihatnya duduk sendirian di pinggir kolam renang rumah kakek. Aku berkunjung dan menginap di sini sejak dua hari yang lalu. Ia sambil memegang jus jeruk di tangan takjim memandangi riak air kolam. Mungkin Ia sedang melamunkan sesuatu, namun sepertinya bukan sesuatu yang membuatnya sedih. Hal itu terlihat dari wajahnya yang tenang tanpat raut kesedihan.
    “Hai ma” aku menyapanya. Ia agak terkejut karena memang melamun.
    “Hai. Sudah bangun.” Ia melambai kepadaku. Menarikku untuk dekat dengannya. Kami diam sejenak, saling mengutarakan perasaan lewat sentuhan tanpa bicara.
    “Apakah mama tak ingin menikah lagi?” sahutku setelah beberapa menit terdiam.
    “Tidak“ Mama menggeleng. “Bagi mama, menikah itu hanya sekali nak, dan Nia adalah anak mama satu-satunya.” Aku tersenyum di pelukan mama, Dia mengelus kepalaku.
    “Ma, aku ingin pergi jauh sekali.”
    “Kemana?”
    “Ke tempat dimana mama dan papa akan kangen sekali karena tak bisa melihatku” Dahi mama berkerut
    “Aku dapat beasiswa SMA ke Belanda ma.”
    “Benarkah?” wajah mama terlihat sumringah.
    “Kapan berangkat?”
    “Lusa.”
    “Papa sudah tau?”
    Aku mengangguk. Mama menghela napas. Sekali lagi ia memelukku, mencium keningku beberapa kali tanda bangga.

    Putriku dan Anton akhirnya resmi menikah. Ia akhirnya meninggalkanku, ke rumah suaminya untuk kedua kalinya. Suami kedua? Benar sekali. Anton adalah suami kedua Fira. Enam tahun lalu, anakku itu masih berstatus sebagai istri seorang kapten kapal bernama Rudy. Mereka bertemu di kantin kapal dalam perjalanan ke Lombok. Fira bercerita, Waktu itu Ia berkenalan dengan Rudy secara tak sengaja. Rudy yang asyik berbicara dengan kawannya, tak sengaja menabrakku yang membawa makanan di nampan. Akibatnya, makananku tercecer berantakan. Ia meminta maaf, dan untuk membalas rasa bersalahnya, ia mentraktirku. Kami makan satu meja, dan berkenalan lebih jauh. Ia orang yang asyik” kata anakku sambil senyum-senyum mengenang kejadian itu. Nampaknya Rudy juga tertarik dengannya. Buktinya, Rudy meminta nomor handponenya, agar Ia bisa menghubunginya kembali.
    Hubungan Rudy dengan anakku diluar dugaan, ternyata berlangsung serius. Rudy adalah lelaki sejati. Tepat tahun kedua hubungan mereka, rudy akhirnya melamar Fira. Fira tahu betul, konsekuensi menikah dengan palaut. Namun karena dia juga mencintai Rudy, maka akhirnya mereka menikah.

    Aku sudah berdiri di ruang tunggu Bandara. Sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawat, aku membaca novel kesukaanku. Di tempat itu, aku ditemani mama dan mama sonya yang mengobrol sendiri. awalnya mereka agak kaku bertemu, namun karena keduanya sama-sama mudah bergaul, akhirnya cepat akrab juga. Selain itu ada juga Ayah dan Adik tiriku yang baru saja pergi untuk membeli minuman.
    “Cucuku..” aku menurunkan bukuku, itu suara nenek. Dari pintu gerbang bandara, ia diikuti kakek dan seorang pembantu. Nenek memelukku. “Andin, kau juga di sini” kata kakek pada mama.
    “Iya Pa” kata Ibu. Kakek dan nenek yang datang ini adalah orangtua dari pihak ayah.
    “Sudah kenal Sonya?” Nenek menyahut
    “Sudah ma, dia orang yang baik.” Jawab mama. Kulihat matanya berkaca-kaca. Ia tersenyum, namun sudut-sudut matanya berkerut tanda sedang menyembunyikan sesuatu dibalik senyumannya.
    “Papa, mama” Papa dari bersama adik tiriku datang dari lorong bandara.
    “Kapan datang?”
    “Baru saja, oh ini Susi ya. Hai Susi…” sapa kakek pada adik tiriku.
    “Hai kek” Ia terlihat bersembunyi di balik badan papa.
    Begitulah seterusnya, kami adalah keluarga yang besar, karena meskipun berpisah belum tentu ikatan keluarga itu putus. Ini mungkin takdir, agar keluarga kami menjadi ramai seperti sekarang ini.

    Rudy segera mengambil cuti dua bulan, setelah lamarannya akhirnya diterima oleh anakku. Mereka menikah di Lombok, tempat pertama kali mereka bertemu. Aku bahagia melihat anakku. Ketika resepsi ia gugup sekali, bahkan hampir terpleset ketika berjalan. Mungkin dia khawatir pernikahannya akan batal, karena ayahnya tak pandai berbahasa Indonesia.
    “Saya eee, nikahkhan putri saya, eee… yang bernama Fira Robertania, dengan eee… mas kawin mobil mercedes benz dan seperangkhat alat sholat dibayar… Tunai.” Robert berhasil meskipun dengan susuah payah.
    “Aku terima nikahnya Fira Robert Tania Binti Robert dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”
    Aku menitikkan air mata ketika sang penghulu dan beberapa saksi mengatakan sah atas pernikahan anakku. Sorak sorai kegembiraan mewarnai keluarga kami. Aku dan robert memutuskan untuk beberapa bulan tinggal bersama Fira dan suaminya di Jakarta, sebelum bertolak ke Belanda. Sebenarnya aku tak tega menninggalkan anakku sendirian di Jakarta, mengingat Rudy akan sering sekali meninggalkannya. Namun aku harus melakukannya karena tuntutan pekerjaan Robert di Belanda sana.

    Robert adalah cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya ketika ospek bersama di Universitas Leiden di Belanda. SMA di sana, lebih mudah bagiku untuk mendapatkan satu kursi di Universitas ternama itu. Namun posisi kami berbeda. Aku adalah maba yang sangat polos waktu itu, sedangkan dia adalah kakak pengospek yang bisa dibilang mahasiswa abadi di sana.
    “What’s your name?” katanya dengan logat khas Belanda
    “I am Nia” jawabku
    “I ask your name, not your called name” kata robert dengan nada tinggi
    “Tania Tiara”
    “I think, I should give you punishment”
    “What? what my false?”
    “This is your False, You are protest”
    Begitulah dia waktu itu, tanpa salah apa-apa aku sering dihukum. Anehnya hanya aku yang diperlakukan seperti itu. Teman-temanku yang lain tidak. Aku semakin jengkel dengan Robert. Namun karena hukuman-hukuman darinya, kami jadi sering bersama, apalagi ketika pulang dia mengantarku meskipun dengan wajah yang cemberut. Maka dalam hal ini, hukum jawa yaitu Tresno Jalaran Saka Kulino (cinta berasal dari kebiasaan) pun berlaku.

    Benar saja, beberapa minggu kemudian Robert mengajakku pacaran. Aku tak menolaknya, karena kupikir aku dapat beberapa keuntungan apabila pacaran dengannya. Pertama aku akan terlindungi di kampus, kedua aku dapat ojek gratis.
    Takdir memang boleh jadi indah seperti pertemuanku dengan robert, juga pertemuan anakku dengan suaminya Rudy. Pernikahan anakku dan Rudy berjalan lancar-lancar saja. Keduanya saling menjaga perasaan satu sama lain. Fira juga memahami pekerjaan suaminya, sehingga ia mengerti jika suaminya sering pergi meninggalkannya.

    Tiga tahun menikah, akhirnya Fira hamil. Betapa bahagianya keluarga mereka. Ketika mendapat kabar itu, aku langsung memesan tiket pulang ke Indonesia. Aku akan menemani anakku dalam proses kehamilannya. Aku datang sendirian, karena robert sedang sibuk dengan pekerjaannya di Belanda.
    Aku selalu menemani anakku, dia harus mendapat perhatian. Aku juga melihat suaminya sangat perhatian dengannya, setiap sore jika ada sinyal, ia selalu menelepon. Menanyakan kabar anakku dan buah hatinya yang akan mewarnai hidupnya. Aku seakan melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata anakku. Selamat nak, kau akan menjadi seorang Ibu, batinku.
    Melihat anakku yang sedang hamil, aku membayangkan masa laluku ketika di posisi yang sama. Saat itu, Robert juga tidak ada di rumah. Iya harus menghadiri sebuah rapat besar di Zurich. Aku merasa kesepian, ayah dan Ibuku hanya bisa mendoakan lewat telepon karena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Waktu itu kudengar kabar juga bahwa mama Sonya mengandung anak pertamanya dengan papa. Aku mungkin bahagia mendengar hal tersebut apabila tidak mendapat kabar bahwa mama sakit mag dan harus dilarikan ke rumah sakit. Maafkan aku ma, aku tak bisa menjengukmu. Bayi ini sebentar lagi akan lahir.

    Seminggu sebelum Fira lahir, Robert akhirnya pulang juga. Ia datang dari pintu dan langsung menciumi perutku. Geli rasanya.
    Seminggu kemudian si jabang bayi lahir. Setelah berdebat panjang, kami setuju untuk memberinya nama Fira Robertania. Fira Robertania, anakku yang paling cantik dengan kulit putih berkontur blesteran Indo-belanda. Matanya yang biru indah menggugah setiap orang untuk semangat menjalani kehidupan. Fira Robertania, anak pertamaku yang saat ini tiduran di atas sofa berbantalkan pahaku.

    “kata dokter bayimu akan lahir di minggu-minggu ini. kapan Rudy akan pulang?”
    “Minggu depan ma. Itu pun masih belum tentu” jawab anakku. Aku bahagia melihatnya tak mempermasalahkan jika suaminya belum bisa menemaninya saat ini. Dia benar-benar dewasa. “Aku tidak keberatan jika mas Rudy pulang kapanpun. Asalkan dia selamat” katanya sambil memainkan ujung rambutnya dengan jari.
    “Kring-kring…” suara telepon rumah berbunyi. Aku saling berpandangan dengan anakku. “Halo, ini kami dari tim SAR” kata seseorang di ujung telepon. Aku melihat ke arah fira terlebih dahulu. dia mengangguk mengijinkanku menjawab.
    “Halo”
    “Benar ini keluarga Rudy Hartawan?”
    “Iya”
    “Kami menginformasikan bahwa kapal Jayabaya 107 karam di selat China. Kemungkinan besar hampir semua korban tidak selamat, termasuk kapten Rudy” Aku melepaskan gagang telepon dari genggamanku, meraih ujung meja untuk menyanggah badanku yang lemas kehilangan tenaga. Anakku masih belum tahu, wajahnya masih berseri-seri mengelus perutnya yang buncit. Apa-apaan ini? tega sekali takdir merenggut kebahagiaan anakku yang tinggal menunggu hari melahirkan si jabang bayi. Aku jatuh tersungkur, kepalaku pusing dan akhirnya tak sadarkan diri.

    “Apa yang kau lakukan Robert?”
    “ini tak seperti yang kau lihat anna, dengarkan penjelasanku dulu” Dia memegang tanganku. Namun aku segera melepasnya, lari meninggalkannya. Dia mengkhianati janji suci pernikahan kami. Aku tak menyangka, pernikahan indah kami harus dihancurkan oleh nafsu binatangnya.
    Waktu itu, aku sedang liburan ke Amsterdam selama tiga hari. namun baru sehari, aku memutuskan untuk pulang karena ada sesuatu yang ketinggalan. Aku tak bersama Robert karena dia bilang bahwa ia sedang sibuk bekerja. Namun aku terkejut ketika aku pulang, pintu dalam keadaan tidak terkunci. Aku masuk, dan mendapati si bule itu berciuman dengan seorang wanita. Aku marah, menampar wanita itu dan mengusirnya. Aku marah dengan Robert.
    Semenjak itu aku menghindari Robert. Aku juga segera membeli tiket ke Indonesia, aku mau pulang, kebetulan aku juga harus menemani anakku yang hamil. Aku ingin melupakan kejadian ini, berharap nasib rumah tanggaku dengan robert masih bisa terselamatkan, jika pikiranku tenang dan tak ambil keputusan gegabah.

    “Anna, bangun.” Aku membuka mataku. Terlihat buram, namun aku tahu itu suara Robert.
    “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku dengan kasar. Aku segera teringat kejadian buruk itu saat melihatnya.
    “Anak kita mengalami pendarahan anna, kita harus menemaninya.” Aku segera menepis tangan robert, dan segera lari ke pintu. “Dimana Fira?”
    “Rumah sakit, ayo” robert mendahuluiku. Di mobil kami saling diam, deru mobil kijang Rudy halus membelah jalanan ibukota. Jika perasaaanku tak sedang campur aduk, mungkin aku akan menikmati pemandangan lampu-lampu ibukota, yang indah di malam hari.
    “Kau masih marah padaku Anna?” tanya Robert. Aku hanya diam, bagiku seharusnya ia mengerti seberapa marah aku. “kau tak mau menjawab? Ayolah Anna. Kau boleh marahi aku, tapi jangan diam seperti ini, aku tidak tahan. Aku minta maaf.” Robert mengeluh, sambil berkaca-kaca.
    “Diamlah robert, kita bisa mengurusnya nanti.” Jawabku. Ia bungkam, bulir-bulir air mata jatuh dari lelaki tinggi kekar itu.
    Kami terlambat, sampai di sana dokter menyatakan bahwa bayi Fira keguguran lantaran shock berat yang dialami ibunya. “Ibunya mengalami pendarahan hebat, dan mengakibatkan bayinya meninggal.” Kata dokter. Aku terduduk lesu di kursi tunggu. Fira tentu sudah tahu, kabar karamnya kapal yang dinahkodai suaminya.

    Fira kritis hampir dua minggu lebih. Kukira ia tak akan pernah bangun, hingga minggu ketiga Ia berhasil membuka mata. Hari-hari berikutnya ia semakin membaik. Namun tatapannya kosong. Ia tak mau lagi berbicara dengan siapa pun. Di sela-sela lamunannya, sesekali Ia menangis menjerit-jerit. Oh cobaan apa ini? anakku gila? Aku meratapi nasibku dalam hati, mencoba tetap tegar dan merawat Firaku agar Ia cepat pulih. Semoga saja.

    Satu dua bulan, kesehatan Fira sudah sangat pulih, namun tidak dengan mentalnya. Kurasa ia butuh bertahun-tahun. Bayangkan saja, ia kehilangan dua orang yang dicintainya dalam satu malam. Malam yang kejam, tega sekali Ia merenggut kebahagiaan putri kesayanganku.

    Tahun keenam, akhirnya Fira berhasil sembuh total. Mungkin masih ada puing-puing kesedihan yang sepertinya permanen dalam hatinya, namun kurasa Ia bersedia membuka hatinya untuk kebahagiaan yang baru.
    Benar saja, adalah seorang pebisnis muda bernama Anton Sanjaya yang melamarnya. Ia adalah sahabat Fira semasa di SMA. Aku berharap, Anton bisa menutup lubang hati anak sematawayangku. Anak blesteran Indo-belanda yang sedang dirundung duka.

    Betapapun indahnya, pernikahan tak akan menjamin bisa langgeng sampai akik-ninik. Ada saja takdir yang mengubah jalan cerita sesuka hati. Aku telah menyaksikan lima kali pernikahan. Pernikahan kedua ayahku, pernikahanku dengan robert, pernikahan fira denga rudy, pernikahan fira dengan anton, dan yang terakhir pernikahanku dengan Aldi.
    Siapa Aldi? Lelaki berusia matang itu melamarku setelah pernikahan Fira dengan Anton. Dia dengan gagah berani mengajakku bertemu di taman ibukota dan melamarku di sana. Dia adalah teman Sdku. Apakah dia sudah mencintaiku sejak lama? Aku tak tahu, yang penting dia mulai mendekatiku ketika Aku resmi bercerai dengan robert 2 tahun lalu sebelum pernikahan Fira dengan Anton. Dan beberapa bulan kemudian kami menikah, dan menjadi pernikahan kelima dalam hidupku. Menyedihkan memang, pernikahan yang sumpahnya sehidup semati, justru harus berganti haluan di tengah jalan. Entah ini suratan takdir, atau memang kesalahan kami yang tak bisa menjaga sebuah pernikahan. Mungkin hanya Ibuku di sini yang hanya sekali menikah seumur hidupnya.

    Lalu apakah arti pernikahan itu? Apakah Ia laksana sebuah daun yang tertahan oleh ranting ketika menyusuri sungai? Yang kapanpun bisa lepas bila arus air sedang derasnya. Itu seperti yang dipahami aku, papa, dan Fira. Atau pernikahan itu seperti versi mama, yang hanya satu kali seumur hidup.

    Cerpen Karangan: Liliss
    Blog: sujianto7.blogspot.com

    Artikel Terkait

    Pernikahan Yang Memisahkan
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email