Judul Cerpen Perpisahan
Berangkat dari kejenuhanku bekerja di ruangan tertutup di sebuah kantor investasi ternama di Jakarta, aku Yola Elisia memiliki mimpi untuk mengelilingi Indonesia. Menyambangi keindahan laut, gunung, desa, hutan dan 1001 macam keindahan alam negeri tercinta.
Jam berdering pukul 05.00 WIB seakan memecah kesyahduhan pagiku.
“Hmmmmm… berisik amat sih, gak tau apa orang lagi mimpi indah dinner bareng Song Joong-ki.”
Begitulah keluh kesahku ketika dipaksa bangun oleh dering alarm. Lekas saja aku menuju kamar mandi agar aku bisa segera fresh setelah mandi nanti. Setelah mandi, kuberpakaian lalu sarapan bubur instan yang sudah menjadi temanku sejak aku memutuskan untuk ngekost dan tinggal terpisah dari kedua orangtuaku.
Kulihat arloji menunjukan pukul 05.55 WIB. Waktunya berangkat ke kantor dan melakukan rutinitas yang membosankan lagi pikirku.
Sepanjang perjalanan menggunakan kereta tiba-tiba aku teringat akan mimpi masa kecilku untuk menjadi seorang petualang yang bisa mengexplore keindahan alam Indonesia namun di sisi lain harusnya aku sangat bersyukur bisa bekerja di sebuah perusahaan investasi multinasional dengan gaji yang lumayan apalagi aku harus bekerja keras untuk membiayai adikku yang sebentar lagi akan masuk perguruan tinggi dan membiayai pengobatan Ibuku yang sedang sakit.
Tepat jam 07.05 WIB aku sampai di kantor. Lebih cepat 5 menit pikirku, mungkin itu karena aku tidak menghabiskan sarapanku tadi. Seperti biasa sebelum jam kerja mulai pukul 07.30 WIB, aku meminta OB membuatkan kopi hitam hangat yang bisa jadi moodbooster bagiku.
Telepon di mejaku berdering.
“Halo, Yola disini.”
Terdengar jawaban dari seorang lelaki di ujung sambungan telepon itu dan ternyata Pak Direktur.
“Yol, setelah makan siang temani saya untuk meeting bersama calon investor ya?”
Tanpa pikir panjang aku mengiyakan ajakan Pak Direktur. Tapi aku tak habis pikir, bukankah sekretaris beliau masuk jadi kenapa harus aku yang diajaknya?
“Yol, sekarang jam berapa”
Tanya Pak Direktur memecah konsentrasiku.
“Jam 14.13, Pak.” Jawabku.
“Berarti pas. Kira-kira kita tiba jam 3an lah. Kamu tau gak, kalo calon investor ini sangatlah penting bagi perusahaan kita. Cukup kamu saja yang tau ya, kalo kita lagi ngincar investasi puluhan miliar dari mereka, ya sekitar 20 M lah.”
Aku terbengong ketika Pak Direktur bilang aku 20 M, pikirku ini akan jadi the real challenges bagiku.
Meeting berlangsung sekitar 1,5 jam dan ternyata kita meeting dengan orang bule, orang asal Austria ternyata.
“Yol, meeting kita kayaknya berlangsung sukses nih. Mereka kelihatan puas dengan presentasi kita tadi.”
“Ah, si bapak. Tadi kan yang presentasi bapak bukan saya, tugas saya hanya mencatat hal-hal pentingnya saja.”
“Tetap aja kamu juga punya kontribusi dalamnya.”
“Hehe.. iya deh, pak. Maaf nih, saya boleh tanya gak?”
“Apa?”
“Kenapa ya kok saya yang diajak meeting dengan calon investor. Kenapa bukan Rachel yang bapak ajak?”
“Oohhh, kirain mau tanya apa. Sebenarnya saya ingin kamu belajar untuk menempati posisi Rachel karena saya lihat performa Rachel agak kurang bagus akhir-akhir ini. Kalo berdasarkan pengakuan dia sih dia lagi galau karena gagal menikah gitu jadi rencananya dia mau saya mutasi jadi staff personalia biasa aja. Itu juga kalo dia nerima keputusan saya.”
Antara percaya atau tidak yang aku dengar, berarti aku sebentar lagi naik pangkat jadi sekretaris bossman.
Tiba di kostan jam setengah 8 malam, setelah melepas sepatu dan menaruh tas, aku langsung rebah di ranjang. Setelah rutinitas kerja di sepanjang hari aku bersyukur masih bisa sampai di kostan dengan selamat. Kubuka kulkas dan aku menemukan chocolate instan dan langsung ingin kuseduh.
“Aihhh, sial gas abis lagi”
Kubuka isi dompetku, aku menemukan selembar uang 50 ribu. Cukuplah pikirku untuk beli gas dan beli sarapan besok pagi. Setelah perjuangan menuruni ratusan anak tangga hingga sampai ke lantai dasar karena kostanku ada di lantai 4 akhirnya aku sampai di toko yang menjual tabung gas.
“Bu, beli gas dong satu.”
Tiba-tiba terdengar suara lelaki di sampingku dan begitu aku menoleh ternyata ada sesosok lelaki tampan nan cute sedang berdiri di sampingku.
“Neng… neng… ini tabung gasnya.”
Suara ibu pemilik toko memecah konsentrasiku.
“Oiya, bu. Makasih.”
Dengan susah payah kuangkat tabung gas menaiki satu persatu anak tangga. Tiba-tiba suara lelaki yang tadi kudengar di toko tadi ada di belakangku.
“Sorry, can I help you?”
Sontak aku kaget dan langsung menengok ke belakang dan ternyata benar lelaki tampan nan cute yang tadi aku lihat.
“Yes, please.” Jawabku.
“Aku Abraham biasa dipanggil Abi, kamu?”
“Hmm.. aku Yola biasa dipanggil Yola.”
“Haha… kan sama aja nama sama panggilannya.”
“Biarin aja, gak papa kan?”
“Haha… iya ya bener gak papa. By the way kamu tinggal di lantai berapa?”
“4.”
“Thanks God, we arrived.”
Tak sadar ternyata aku kita sudah sampai padahal rasanya baru beberapa detik sama dia.
“Bisa pasang sendiri?”
“Bisa kok bisa.”
“Okay deh aku duluan ya.”
“Makasih banget ya udah capek-capek bantuin aku.”
Aku pun masuk dan masih curi-curi pandang lewat jendela melihat si Abi menuruni tangga. Entah kenapa sepanjang malam aku terus menerus memikirkan wajah si Abi. Rasanya dia itu pangeran yang ada di dunia nyata deh. Lebay.com pikirku.
Seperti biasa dihari sabtu pagi aku jogging di sekitaran kompleks kostan. Tak disangka-sangka Abi juga sedang jogging dan dengan sisa-sisa tenaga aku berlari menghampiri dia.
“Abi, tunggu.”
“Yola.”
“Kamu jogging juga ternyata?”
“Iya kalo lagi ada waktu aja aku jogging.”
Setelah sekitar setengah jam jogging sambil mengobrol akhirnya aku menyerah juga.
“Bi, aku capek.”
“Ya udah kita beli minum dulu di depan.”
“Hayu deh.”
“Gimana udah lega?”
“Lega banget tadi aku kehausan banget.”
“Aku laper nih mau ikut sarapan bubur?”
“Boleh kalo ditraktir mah.”
“Hehehe… siap. Ayo tapi belinya di langganan aku ya?”
“Oke.”
Setelah semangkuk bubur berpindah ke dalam perutku aku memberanikan diri bertanya ke Abi.
“Bi, kamu baru disini ya?”
“Gak juga sih, udah sekitar 6 bulanan ngekost disini.”
“Kok aku gak pernah lihat kamu ya?”
“Wajarlah karena aku baru balik dari timur.”
“Timur? Maksudnya?”
“Maksudnya Indonesia Timur, biasa masalah kerjaan gitu.”
“Emangnya kamu kerja apa?”
“Nature photographer. Aku kerja untuk salah satu nature magazine dari US gitu. Mereka jadi sponsor my trip dan give me salary par month.”
“Wow, that’s sounds great. Enak dong bisa jalan-jalan terus.”
“Ya begitulah, kerja sambil main gitulah.”
“Kemarin kemana aja?”
“Start dari Bali terus ke Lombok terus lanjut sampe ke Raja Ampat Papua, sempat mampir juga ke Pulau Komodo.”
“Wow, kapan-kapan boleh kali diajak.”
“Boleh boleh asal kamu siap aja.”
“Aku siap sekarang juga bisa.”
“Hehehe.. I like your enthusiasm. Yol, boleh minta nomor kontak kamu gak?”
“Boleh, nih.”
Sehabis mandi kudengar ada notif BBM dari handphoneku. Ternyata Abi menginvite aku. Langsung aja aku accept dan tak lama dia ngeping dan mengirim pesan. Sepanjang malam yang hujan lebat nan dingin itu kami saling berbalas pesan sampai tak terasa sudah jam 1 malam. Entah apa saja yang kami bicarakan selama itu.
Monday is coming. Senin adalah hari yang paling tidak kusukai mungkin karena jauh dari weekend. Seperti biasa aku bersiap berangkat kerja menggunakan kereta. Baru beberapa langkah melewati gerbang kostan. Ada seseorang memanggilku.
“Yola.”
“Eh, Abi.”
“Kamu mau kemana?”
“Kerja.”
“Mau aku antar?”
“Pake apa?”
“Motor. Tempat kerja kamu dimana?”
“Kebon Jeruk.”
“Pas banget, aku mau ke Kebon Jeruk juga.”
“Huuu… jangan dipas-pasin deh.”
“Bener, kantor perwakilan tempat aku kerja ada di Kebon Jeruk juga. Kamu pasti pernah liat
kantor FoxxNetwork kan?”
“Iya, oh kamu kerja disitu?”
“Iya, ayo bareng.”
“Boleh deh, asal kamu jamin bisa sampai sebelum jam setengah 8.”
“Jam 7 juga udah sampai, aku tau jalan tikusnya kok. Tenang aja.”
Ternyata benar aku sampai jam 07.02 WIB di kantor.
“Bener kan jam 7 udah sampe?”
“Lewat 2 menit sih tapi by the way thanks a lot for your help.”
“Never mind. Kamu pulang kerja jam berapa?”
“Sekitar jam 4 kalo lembur paling jam 5an lah.”
“Bareng lagi yuk. Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu.”
“Boleh, ntar aku kabarin kamu ya.”
“I wait for.”
Sekitar jam setengah 5, Abi menjemputku di depan kantorku.
“Kita mau kemana, Bi?”
“Ada deh, tapi sebelumnya kita makan dulu yuk.”
“Ayo, kebetulan aku juga belum makan.”
“Mau makan apa?”
“Yang kuah-kuah enak kayaknya?”
“Okay, aku tau tempat soto yang enak.”
Kami akhirnya sampai di suatu studio foto di daerah Matraman. Abi pun langsung mengajakku masuk ke dalam studio itu. Ternyata di dalamnya sudah ada beberapa teman seprofesi Abi dan suasana akrab pun langsung kentara.
“Bi, ini cewek lu?” Tanya salah satu temannya.
“Bukan, teman.” Jawab Abi.
“Halah, gak usah bohong deh sama kita-kita. Kita semua liat lu perhatian banget pas ngajak dia keliling studio.
Sontak wajah kami berdua jadi memerah karena malu.
“Yol, lu beruntung banget jadian sama Abi. Dia itu cowok terjujur yang pernah gue temui. Dia pokoknya inspiring banget deh.” Kata salah satu temannya yang bernama Maurel.
“Apaan sih, Rel. Kita belum pacaran kok.” Jawabku.
“Aihhh… serius lu?”
“Iya, duarius malah.”
Karena terpojok dengan pertanyaan Maurel, akhirnya aku mencoba mengalihkan perhatian ke sebuah sertifikat penghargaan yang dipajang di tembok.
“Ini sertifikat apaan?”
“Ini sertifikat penghargaan fotografi dari Asosiasi Fotografer Asia gitu.”
“Punya siapa?”
“Abi. Makanya dia itu gue bilang inspiring banget karena dia orang Indonesia pertama yang dapet pengakuan itu. Dia bangun studio ini juga dari kerja kerasnya sendiri katanya sih dia ingin nyiptain wadah bagi fotografer-fotografer muda Indonesia gitu.”
Aku pun terdiam dan tak bisa berkata-kata lagi. Abi yang kukenal sederhana ternyata memiliki gagasan yang sungguh sangat besar.
“Guys, kita balik duluan ya. Udah malam nih.”
“Okay, Bi. Kalian Titi DJ ya.”
“Apaan tuh?”
“Hati-hati di jalan.”
“Owh, okay, sob.”
Sekitar jam 10 kami tiba di kostan.
“Sorry ya, aku ngajak kamu sampe selarut ini.”
“Gak papa kali. Btw makasih ya.”
“What for?”
“Antar jemput aku, neraktir aku dan ngajak aku ke studio kamu.”
“Kamu tau dari mana kalo itu studio aku. Perasaan aku gak pernah bilang deh?”
“Dari Martin, dia juga bilang kalo kamu itu punya banyak prestasi internasional.”
“Ah bisa aja tuh dia. Gak Cuma penghargaan kecil-kecilan kok.”
“Apa penghargaan dari Asia Photographer Association itu hal yang kecil, apalagi kamu orang Indonesia pertama yang ngeraih itu?”
“Itu aku anggap sebagai bonus aja. Yang lebih penting kan passion aku tersalurkan.”
Entah kenapa aku terkagum akan jawabannya dan aku pun memeluknya. Abi pun kaget dengan reaksiku ini.
“Sorry, sorry, I don’t have any desire.”
“It’s okay. Aku hanya kaget aja karena kamu cewek pertama yang meluk aku.”
Aku gak percaya cowok sekeren itu belum pernah dipeluk perempuan. Setelah kejadian itu aku pun jadi tidak bisa tidur dan aku berharap Abi pun juga merasakan hal yang sama.
Di kantor salah satu rekan kerjaku, Amanda memberitahu jika aku disuruh menghadap ke Pak Direktur, katanya ada urusan penting.
“Siang, Pak. Bapak manggil saya”
“Oh iya. Silahkan duduk Yola.”
“Ada apa ya, kok bapak tiba-tiba manggil saya?”
“Kamu ingat meeting minggu lalu dengan calon investor kita?”
“Iya, saya ingat meeting di The Royal Restaurant kan, pak?”
“Iya, benar. Saya cuma mau berbagi kabar baik sama para karyawan dan kamu orang pertama yang saya kasih tau.”
“Kabar baik apa?”
“Mr. Michael setuju menandatangani MoU dengan perusahaan kita dan hebatnya lagi beliau menyepakati nilai kontrak yang kita ajukan senilai 20 M.”
“Oh my God, serius, pak?”
“Iya, serius.”
“Syukur deh, pak kerja keras bapak dan seluruh karyawan terbayar.”
“Kamu benar sekali, Yol. Juga pada kesempatan ini juga saya mau mengangkat kamu menjadi sekretaris perusahaan.”
“Apa saya tidak salah dengar? Waktu itu bapak bilang mau menempatkan saya sebagai sekretaris pribadi menggantikan Rachel?”
“Itu kan waktu itu. Saya melihat performa Rachel sudah membaik dan dia sudah bisa memisahkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.”
“Tapi kan, pak. Saya merasa belum pantas menjabat sebagai sekretaris perusahaan.”
“Sudah berapa tahun kamu bekerja di perusahaan ini?”
“5 tahun, pak.”
“Saya rasa dengan pengalaman, loyalitas dan integritas yang sudah kamu bangun sejak awal saya pikir kamu pantas. Saya sudah menyuruh Budi, Adung dan Muklis untuk mempersiapkan ruangan baru kamu. Kamu boleh cek sekarang.”
“Terima kasih, pak. Atas kepercayaannya.”
“Iya, sama-sama.”
Kabar bahwa aku diangkat menjadi sekretaris perusahaan menyebar dengan sangat cepat. Banyak rekan-rekan kerjaku yang memberiku ucapan selamat namun ada juga yang seakan mencibirku karena mereka heran aku langsung dapat promosi secepat itu. Aku tidak menghiraukan opini miring mereka dan malah sangat bersyukur sebab Tuhan menganugerahkan berkat yang begitu besar itu. Langsung aku menelepon kedua orangtua dan adikku di kampung. Mereka terdengar sangat bahagia. Apalagi aku sangat membutuhkan banyak dana untuk biaya adikku yang akan melanjutkan sekolah dan biaya pengobatan Ibuku yang sedang sakit.
Sesampainya di kost aku langsung menelepon Abi untuk menceritakan kabar baikku. Dia juga terdengar sangat senang. Aku pun berinisiatif untuk mentraktir dia untuk makan malam untuk merayakan promosiku. Kami pun pergi ke suatu restoran prasmanan tak jauh dari kostan.
“Selamat ya atas promosinya.”
“Iya, aku bahagia banget.”
“Ini semua berkat doa dan kerja keras kamu. Apalagi kamu pernah bilang kalo kamu itu tulang punggung keluarga kamu kan.”
“Iya, Bi. Tapi aku juga mau sekalian pamitan.”
“Pamitan? Apa nih maksudnya?”
“Aku mau pindah dari kostan karena aku dapat fasilitas apartemen dari perusahaan.”
Raut wajah Abi yang tadinya terlihat senang berubah jadi sedih.
“Bi, kok diam aja?”
“Gak apa-apa, Yol. Cuma sedih aja gak bisa ngelihat wajah cantik kamu di pagi hari lagi.”
“Gombal dasar. Lagi pula kamu kan biasa main ke apartemen aku. Tiap hari juga boleh.”
“Okay, pasti. Apartemennya dimana?”
“Di dekat kantor sih. Apartemen Bougenville.”
“Gak jauh dari kantor kamu ya berarti. Kalo jalan kaki Cuma 10 menitan.”
“Yap, kalo lari Cuma 5 menit.”
“Mulai ngelawak deh. Pindah kapan?”
“Minggu, kenapa?”
“Gak bisa selain hari itu? Aku jadi gak bisa bantuin kamu. Aku harus ke Bogor nemuin calon client.”
“Gak papa. Aku udah minta bantuan sama sahabat-sahabat aku kok.”
Hari pertama aku kerja di kantor yang sama dengan posisi yang berbeda. Sebelumnya staff personalia sekarang sekretaris perusahaan. Makin sibuk aja deh pikirku.
Sepulang kantor tiba-tiba Abi sudah menungguku di depan gerbang kantor.
“Hi, Yol. You look so different now.”
“Thanks. Kamu lagi nunggu siapa?”
“Nunggu kamulah. Aku pengen bales traktiran kamu waktu itu sekalian main ke your apartment. Boleh kan?”
“Boleh. Kita makan dimana?”
“Gimana kalo makan sate Madura yang di dekat apartemen kamu”
“Oke.”
Setelah makan kita langsung menuju ke apartmenku di lantai 9. Kami pun masuk dan aku menyuguhkan teh hangat untuknya.
“Ini foto siapa, Yol?”
“Ini foto adikku aku, Daniel. Tahun ini dia masuk kuliah loh?”
“Oh iya? Masuk kemana?”
“Dia apply ke ITB gitu. Pengen jadi insinyur katanya.”
“Kalo yang ini orangtua kamu?”
“Iya, mama dan papa aku.”
“Mereka beruntung ya punya anak seperti kamu. Udah cantik, mandiri, pintar dan punya kepribadian yang easy going lagi.”
“Hahaha… jadi malu. Lagian lebay banget sih muji aku.”
“Seriusan, aku kagum sama kamu.”
“Aku juga.”
“Yol, aku punya good news sama bad news nih. Mau denger gak?”
“Maulah. Apaan tuh?”
“Aku dapat kontrak dari WWF dan jadi fotografer resmi mereka selama setahun.”
“Wow… amazing congrats ya, Bi. But apa bad news nya?”
“Bad newsnya adalah aku harus ngikuti agenda mereka. Jadi aku harus keliling dunia selama setahun itu bareng beberapa fotografer dari negara lain.”
Mendengar kabar itu, mataku berkaca-kaca membayangkan setahun terpisah dari Abi. Aku takut kita tak bisa bertemu lagi.
“Maksudnya kamu mau ninggalin aku selama setahun gitu?”
“I’m so sorry, Yol. I must be professional. This is my dream to around the world.”
“I understand but…”
Aku menangis terisak dipelukannya dan memeluknya erat seakan tak mau dia beranjak dariku. Malam itu aku dan Abi menghabiskan malam yang syahdu itu berdua. Melupakan status kami yang belum terikat.
Tanggal 22 September adalah tanggal Abi harus berangkat mewujudkan impian masa kecilnya. Aku mendapat dispensasi untuk mengantar Abi ke bandara.
“Yola, I love you so much.”
“I love you so much too, Bi.”
“Aku janji aku akan kembali untuk kamu dan aku mau sekembalinya aku nanti kita bisa bertunangan.”
“Aku mau, Bi. Aku mau.”
Kami pun berciuman dan saling berpelukan. Seakan itu adalah pertemuan terakhir kami. Kami sadar kekuatan cinta kami sedang diuji.
Setahun sejak “perpisahan” kami. Abi mengirimi pesan melalui Facebook jika dia akan mendapat cuti sekitar 3 minggu dan dia akan kembali ke Indonesia segera. Sontak semua kegalauan hati yang selama ini aku rasain tiba-tiba berubah jadi rasa syukur yang tiada henti. Aku membayangkan aku berlutut di depanku sambil memegang cincin untuk melamarku. It will be the sweetest moment ever.
2 hari setelah itu aku terbangun dengan perasaan bahagia karena itu adalah hari Abi tiba di Jakarta setelah setahun “menghilang”. Seperti biasa di pagi hari aku menyalakan TV sambil minum teh. Tiba-tiba saluran berita yang aku tonton memberitakan bahwa pesawat Turkish Airlines dengan tujuan Jakarta jatuh di Laut Cina Selatan sekitar jam 3.07. Sontak aku terkaget dan cangkir teh yang aku pegang jatuh dan pecah. Langsung secepat kilat kuraih smartphoneku dan mencoba menghubungi Abi dan yang aku khawatirkan terjadi sambil menunggu telepon diangkat, televisi menampilkan manifest penumpang pesawat tersebut. Kutunggu beberapa saat nama Abi tidak muncul namun di daftar terakhir nama Abi muncul. Gagang telepon yang aku pegang jatuh dan aku menangis menjerit-jerit bahkan sampai tetangga kost-an berdatangan.
Rani dan Winda tetangga kost-anku menawarkan untuk mengantarkan aku ke Bandara Soetta untuk mengklarifikasi kebenaran berita tersebut.
Sesampainya di bandara, aku langsung berlari sekencang-kencangnya ke pusat informasi bandara. Disitu sudah ada banyak keluarga korban yang sama-sama merasakan kepanikan dan kesedihan yang mendalam itu.
Tak lama kemudian salah satu petugas bandara mengumumkan nama-nama korban yang telah teridentifikasi. Dan… nama Abi benar menjadi salah satu korban bencana itu. Tangisku pun tak bisa terbendung. Aku marah, sedih, kecewa, semuanya bercampur jadi satu. Entah tak bisa terbayang lelaki yang begitu kucintai pergi selama-lamanya. Mungkin ini memang takdirku untuk mencintai tapi tak bisa memiliki. The End.
Cerpen Karangan: Decky Dharmawan Mantik
Facebook: Decky Dharmawan Mantik
Berangkat dari kejenuhanku bekerja di ruangan tertutup di sebuah kantor investasi ternama di Jakarta, aku Yola Elisia memiliki mimpi untuk mengelilingi Indonesia. Menyambangi keindahan laut, gunung, desa, hutan dan 1001 macam keindahan alam negeri tercinta.
Jam berdering pukul 05.00 WIB seakan memecah kesyahduhan pagiku.
“Hmmmmm… berisik amat sih, gak tau apa orang lagi mimpi indah dinner bareng Song Joong-ki.”
Begitulah keluh kesahku ketika dipaksa bangun oleh dering alarm. Lekas saja aku menuju kamar mandi agar aku bisa segera fresh setelah mandi nanti. Setelah mandi, kuberpakaian lalu sarapan bubur instan yang sudah menjadi temanku sejak aku memutuskan untuk ngekost dan tinggal terpisah dari kedua orangtuaku.
Kulihat arloji menunjukan pukul 05.55 WIB. Waktunya berangkat ke kantor dan melakukan rutinitas yang membosankan lagi pikirku.
Sepanjang perjalanan menggunakan kereta tiba-tiba aku teringat akan mimpi masa kecilku untuk menjadi seorang petualang yang bisa mengexplore keindahan alam Indonesia namun di sisi lain harusnya aku sangat bersyukur bisa bekerja di sebuah perusahaan investasi multinasional dengan gaji yang lumayan apalagi aku harus bekerja keras untuk membiayai adikku yang sebentar lagi akan masuk perguruan tinggi dan membiayai pengobatan Ibuku yang sedang sakit.
Tepat jam 07.05 WIB aku sampai di kantor. Lebih cepat 5 menit pikirku, mungkin itu karena aku tidak menghabiskan sarapanku tadi. Seperti biasa sebelum jam kerja mulai pukul 07.30 WIB, aku meminta OB membuatkan kopi hitam hangat yang bisa jadi moodbooster bagiku.
Telepon di mejaku berdering.
“Halo, Yola disini.”
Terdengar jawaban dari seorang lelaki di ujung sambungan telepon itu dan ternyata Pak Direktur.
“Yol, setelah makan siang temani saya untuk meeting bersama calon investor ya?”
Tanpa pikir panjang aku mengiyakan ajakan Pak Direktur. Tapi aku tak habis pikir, bukankah sekretaris beliau masuk jadi kenapa harus aku yang diajaknya?
“Yol, sekarang jam berapa”
Tanya Pak Direktur memecah konsentrasiku.
“Jam 14.13, Pak.” Jawabku.
“Berarti pas. Kira-kira kita tiba jam 3an lah. Kamu tau gak, kalo calon investor ini sangatlah penting bagi perusahaan kita. Cukup kamu saja yang tau ya, kalo kita lagi ngincar investasi puluhan miliar dari mereka, ya sekitar 20 M lah.”
Aku terbengong ketika Pak Direktur bilang aku 20 M, pikirku ini akan jadi the real challenges bagiku.
Meeting berlangsung sekitar 1,5 jam dan ternyata kita meeting dengan orang bule, orang asal Austria ternyata.
“Yol, meeting kita kayaknya berlangsung sukses nih. Mereka kelihatan puas dengan presentasi kita tadi.”
“Ah, si bapak. Tadi kan yang presentasi bapak bukan saya, tugas saya hanya mencatat hal-hal pentingnya saja.”
“Tetap aja kamu juga punya kontribusi dalamnya.”
“Hehe.. iya deh, pak. Maaf nih, saya boleh tanya gak?”
“Apa?”
“Kenapa ya kok saya yang diajak meeting dengan calon investor. Kenapa bukan Rachel yang bapak ajak?”
“Oohhh, kirain mau tanya apa. Sebenarnya saya ingin kamu belajar untuk menempati posisi Rachel karena saya lihat performa Rachel agak kurang bagus akhir-akhir ini. Kalo berdasarkan pengakuan dia sih dia lagi galau karena gagal menikah gitu jadi rencananya dia mau saya mutasi jadi staff personalia biasa aja. Itu juga kalo dia nerima keputusan saya.”
Antara percaya atau tidak yang aku dengar, berarti aku sebentar lagi naik pangkat jadi sekretaris bossman.
Tiba di kostan jam setengah 8 malam, setelah melepas sepatu dan menaruh tas, aku langsung rebah di ranjang. Setelah rutinitas kerja di sepanjang hari aku bersyukur masih bisa sampai di kostan dengan selamat. Kubuka kulkas dan aku menemukan chocolate instan dan langsung ingin kuseduh.
“Aihhh, sial gas abis lagi”
Kubuka isi dompetku, aku menemukan selembar uang 50 ribu. Cukuplah pikirku untuk beli gas dan beli sarapan besok pagi. Setelah perjuangan menuruni ratusan anak tangga hingga sampai ke lantai dasar karena kostanku ada di lantai 4 akhirnya aku sampai di toko yang menjual tabung gas.
“Bu, beli gas dong satu.”
Tiba-tiba terdengar suara lelaki di sampingku dan begitu aku menoleh ternyata ada sesosok lelaki tampan nan cute sedang berdiri di sampingku.
“Neng… neng… ini tabung gasnya.”
Suara ibu pemilik toko memecah konsentrasiku.
“Oiya, bu. Makasih.”
Dengan susah payah kuangkat tabung gas menaiki satu persatu anak tangga. Tiba-tiba suara lelaki yang tadi kudengar di toko tadi ada di belakangku.
“Sorry, can I help you?”
Sontak aku kaget dan langsung menengok ke belakang dan ternyata benar lelaki tampan nan cute yang tadi aku lihat.
“Yes, please.” Jawabku.
“Aku Abraham biasa dipanggil Abi, kamu?”
“Hmm.. aku Yola biasa dipanggil Yola.”
“Haha… kan sama aja nama sama panggilannya.”
“Biarin aja, gak papa kan?”
“Haha… iya ya bener gak papa. By the way kamu tinggal di lantai berapa?”
“4.”
“Thanks God, we arrived.”
Tak sadar ternyata aku kita sudah sampai padahal rasanya baru beberapa detik sama dia.
“Bisa pasang sendiri?”
“Bisa kok bisa.”
“Okay deh aku duluan ya.”
“Makasih banget ya udah capek-capek bantuin aku.”
Aku pun masuk dan masih curi-curi pandang lewat jendela melihat si Abi menuruni tangga. Entah kenapa sepanjang malam aku terus menerus memikirkan wajah si Abi. Rasanya dia itu pangeran yang ada di dunia nyata deh. Lebay.com pikirku.
Seperti biasa dihari sabtu pagi aku jogging di sekitaran kompleks kostan. Tak disangka-sangka Abi juga sedang jogging dan dengan sisa-sisa tenaga aku berlari menghampiri dia.
“Abi, tunggu.”
“Yola.”
“Kamu jogging juga ternyata?”
“Iya kalo lagi ada waktu aja aku jogging.”
Setelah sekitar setengah jam jogging sambil mengobrol akhirnya aku menyerah juga.
“Bi, aku capek.”
“Ya udah kita beli minum dulu di depan.”
“Hayu deh.”
“Gimana udah lega?”
“Lega banget tadi aku kehausan banget.”
“Aku laper nih mau ikut sarapan bubur?”
“Boleh kalo ditraktir mah.”
“Hehehe… siap. Ayo tapi belinya di langganan aku ya?”
“Oke.”
Setelah semangkuk bubur berpindah ke dalam perutku aku memberanikan diri bertanya ke Abi.
“Bi, kamu baru disini ya?”
“Gak juga sih, udah sekitar 6 bulanan ngekost disini.”
“Kok aku gak pernah lihat kamu ya?”
“Wajarlah karena aku baru balik dari timur.”
“Timur? Maksudnya?”
“Maksudnya Indonesia Timur, biasa masalah kerjaan gitu.”
“Emangnya kamu kerja apa?”
“Nature photographer. Aku kerja untuk salah satu nature magazine dari US gitu. Mereka jadi sponsor my trip dan give me salary par month.”
“Wow, that’s sounds great. Enak dong bisa jalan-jalan terus.”
“Ya begitulah, kerja sambil main gitulah.”
“Kemarin kemana aja?”
“Start dari Bali terus ke Lombok terus lanjut sampe ke Raja Ampat Papua, sempat mampir juga ke Pulau Komodo.”
“Wow, kapan-kapan boleh kali diajak.”
“Boleh boleh asal kamu siap aja.”
“Aku siap sekarang juga bisa.”
“Hehehe.. I like your enthusiasm. Yol, boleh minta nomor kontak kamu gak?”
“Boleh, nih.”
Sehabis mandi kudengar ada notif BBM dari handphoneku. Ternyata Abi menginvite aku. Langsung aja aku accept dan tak lama dia ngeping dan mengirim pesan. Sepanjang malam yang hujan lebat nan dingin itu kami saling berbalas pesan sampai tak terasa sudah jam 1 malam. Entah apa saja yang kami bicarakan selama itu.
Monday is coming. Senin adalah hari yang paling tidak kusukai mungkin karena jauh dari weekend. Seperti biasa aku bersiap berangkat kerja menggunakan kereta. Baru beberapa langkah melewati gerbang kostan. Ada seseorang memanggilku.
“Yola.”
“Eh, Abi.”
“Kamu mau kemana?”
“Kerja.”
“Mau aku antar?”
“Pake apa?”
“Motor. Tempat kerja kamu dimana?”
“Kebon Jeruk.”
“Pas banget, aku mau ke Kebon Jeruk juga.”
“Huuu… jangan dipas-pasin deh.”
“Bener, kantor perwakilan tempat aku kerja ada di Kebon Jeruk juga. Kamu pasti pernah liat
kantor FoxxNetwork kan?”
“Iya, oh kamu kerja disitu?”
“Iya, ayo bareng.”
“Boleh deh, asal kamu jamin bisa sampai sebelum jam setengah 8.”
“Jam 7 juga udah sampai, aku tau jalan tikusnya kok. Tenang aja.”
Ternyata benar aku sampai jam 07.02 WIB di kantor.
“Bener kan jam 7 udah sampe?”
“Lewat 2 menit sih tapi by the way thanks a lot for your help.”
“Never mind. Kamu pulang kerja jam berapa?”
“Sekitar jam 4 kalo lembur paling jam 5an lah.”
“Bareng lagi yuk. Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu.”
“Boleh, ntar aku kabarin kamu ya.”
“I wait for.”
Sekitar jam setengah 5, Abi menjemputku di depan kantorku.
“Kita mau kemana, Bi?”
“Ada deh, tapi sebelumnya kita makan dulu yuk.”
“Ayo, kebetulan aku juga belum makan.”
“Mau makan apa?”
“Yang kuah-kuah enak kayaknya?”
“Okay, aku tau tempat soto yang enak.”
Kami akhirnya sampai di suatu studio foto di daerah Matraman. Abi pun langsung mengajakku masuk ke dalam studio itu. Ternyata di dalamnya sudah ada beberapa teman seprofesi Abi dan suasana akrab pun langsung kentara.
“Bi, ini cewek lu?” Tanya salah satu temannya.
“Bukan, teman.” Jawab Abi.
“Halah, gak usah bohong deh sama kita-kita. Kita semua liat lu perhatian banget pas ngajak dia keliling studio.
Sontak wajah kami berdua jadi memerah karena malu.
“Yol, lu beruntung banget jadian sama Abi. Dia itu cowok terjujur yang pernah gue temui. Dia pokoknya inspiring banget deh.” Kata salah satu temannya yang bernama Maurel.
“Apaan sih, Rel. Kita belum pacaran kok.” Jawabku.
“Aihhh… serius lu?”
“Iya, duarius malah.”
Karena terpojok dengan pertanyaan Maurel, akhirnya aku mencoba mengalihkan perhatian ke sebuah sertifikat penghargaan yang dipajang di tembok.
“Ini sertifikat apaan?”
“Ini sertifikat penghargaan fotografi dari Asosiasi Fotografer Asia gitu.”
“Punya siapa?”
“Abi. Makanya dia itu gue bilang inspiring banget karena dia orang Indonesia pertama yang dapet pengakuan itu. Dia bangun studio ini juga dari kerja kerasnya sendiri katanya sih dia ingin nyiptain wadah bagi fotografer-fotografer muda Indonesia gitu.”
Aku pun terdiam dan tak bisa berkata-kata lagi. Abi yang kukenal sederhana ternyata memiliki gagasan yang sungguh sangat besar.
“Guys, kita balik duluan ya. Udah malam nih.”
“Okay, Bi. Kalian Titi DJ ya.”
“Apaan tuh?”
“Hati-hati di jalan.”
“Owh, okay, sob.”
Sekitar jam 10 kami tiba di kostan.
“Sorry ya, aku ngajak kamu sampe selarut ini.”
“Gak papa kali. Btw makasih ya.”
“What for?”
“Antar jemput aku, neraktir aku dan ngajak aku ke studio kamu.”
“Kamu tau dari mana kalo itu studio aku. Perasaan aku gak pernah bilang deh?”
“Dari Martin, dia juga bilang kalo kamu itu punya banyak prestasi internasional.”
“Ah bisa aja tuh dia. Gak Cuma penghargaan kecil-kecilan kok.”
“Apa penghargaan dari Asia Photographer Association itu hal yang kecil, apalagi kamu orang Indonesia pertama yang ngeraih itu?”
“Itu aku anggap sebagai bonus aja. Yang lebih penting kan passion aku tersalurkan.”
Entah kenapa aku terkagum akan jawabannya dan aku pun memeluknya. Abi pun kaget dengan reaksiku ini.
“Sorry, sorry, I don’t have any desire.”
“It’s okay. Aku hanya kaget aja karena kamu cewek pertama yang meluk aku.”
Aku gak percaya cowok sekeren itu belum pernah dipeluk perempuan. Setelah kejadian itu aku pun jadi tidak bisa tidur dan aku berharap Abi pun juga merasakan hal yang sama.
Di kantor salah satu rekan kerjaku, Amanda memberitahu jika aku disuruh menghadap ke Pak Direktur, katanya ada urusan penting.
“Siang, Pak. Bapak manggil saya”
“Oh iya. Silahkan duduk Yola.”
“Ada apa ya, kok bapak tiba-tiba manggil saya?”
“Kamu ingat meeting minggu lalu dengan calon investor kita?”
“Iya, saya ingat meeting di The Royal Restaurant kan, pak?”
“Iya, benar. Saya cuma mau berbagi kabar baik sama para karyawan dan kamu orang pertama yang saya kasih tau.”
“Kabar baik apa?”
“Mr. Michael setuju menandatangani MoU dengan perusahaan kita dan hebatnya lagi beliau menyepakati nilai kontrak yang kita ajukan senilai 20 M.”
“Oh my God, serius, pak?”
“Iya, serius.”
“Syukur deh, pak kerja keras bapak dan seluruh karyawan terbayar.”
“Kamu benar sekali, Yol. Juga pada kesempatan ini juga saya mau mengangkat kamu menjadi sekretaris perusahaan.”
“Apa saya tidak salah dengar? Waktu itu bapak bilang mau menempatkan saya sebagai sekretaris pribadi menggantikan Rachel?”
“Itu kan waktu itu. Saya melihat performa Rachel sudah membaik dan dia sudah bisa memisahkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.”
“Tapi kan, pak. Saya merasa belum pantas menjabat sebagai sekretaris perusahaan.”
“Sudah berapa tahun kamu bekerja di perusahaan ini?”
“5 tahun, pak.”
“Saya rasa dengan pengalaman, loyalitas dan integritas yang sudah kamu bangun sejak awal saya pikir kamu pantas. Saya sudah menyuruh Budi, Adung dan Muklis untuk mempersiapkan ruangan baru kamu. Kamu boleh cek sekarang.”
“Terima kasih, pak. Atas kepercayaannya.”
“Iya, sama-sama.”
Kabar bahwa aku diangkat menjadi sekretaris perusahaan menyebar dengan sangat cepat. Banyak rekan-rekan kerjaku yang memberiku ucapan selamat namun ada juga yang seakan mencibirku karena mereka heran aku langsung dapat promosi secepat itu. Aku tidak menghiraukan opini miring mereka dan malah sangat bersyukur sebab Tuhan menganugerahkan berkat yang begitu besar itu. Langsung aku menelepon kedua orangtua dan adikku di kampung. Mereka terdengar sangat bahagia. Apalagi aku sangat membutuhkan banyak dana untuk biaya adikku yang akan melanjutkan sekolah dan biaya pengobatan Ibuku yang sedang sakit.
Sesampainya di kost aku langsung menelepon Abi untuk menceritakan kabar baikku. Dia juga terdengar sangat senang. Aku pun berinisiatif untuk mentraktir dia untuk makan malam untuk merayakan promosiku. Kami pun pergi ke suatu restoran prasmanan tak jauh dari kostan.
“Selamat ya atas promosinya.”
“Iya, aku bahagia banget.”
“Ini semua berkat doa dan kerja keras kamu. Apalagi kamu pernah bilang kalo kamu itu tulang punggung keluarga kamu kan.”
“Iya, Bi. Tapi aku juga mau sekalian pamitan.”
“Pamitan? Apa nih maksudnya?”
“Aku mau pindah dari kostan karena aku dapat fasilitas apartemen dari perusahaan.”
Raut wajah Abi yang tadinya terlihat senang berubah jadi sedih.
“Bi, kok diam aja?”
“Gak apa-apa, Yol. Cuma sedih aja gak bisa ngelihat wajah cantik kamu di pagi hari lagi.”
“Gombal dasar. Lagi pula kamu kan biasa main ke apartemen aku. Tiap hari juga boleh.”
“Okay, pasti. Apartemennya dimana?”
“Di dekat kantor sih. Apartemen Bougenville.”
“Gak jauh dari kantor kamu ya berarti. Kalo jalan kaki Cuma 10 menitan.”
“Yap, kalo lari Cuma 5 menit.”
“Mulai ngelawak deh. Pindah kapan?”
“Minggu, kenapa?”
“Gak bisa selain hari itu? Aku jadi gak bisa bantuin kamu. Aku harus ke Bogor nemuin calon client.”
“Gak papa. Aku udah minta bantuan sama sahabat-sahabat aku kok.”
Hari pertama aku kerja di kantor yang sama dengan posisi yang berbeda. Sebelumnya staff personalia sekarang sekretaris perusahaan. Makin sibuk aja deh pikirku.
Sepulang kantor tiba-tiba Abi sudah menungguku di depan gerbang kantor.
“Hi, Yol. You look so different now.”
“Thanks. Kamu lagi nunggu siapa?”
“Nunggu kamulah. Aku pengen bales traktiran kamu waktu itu sekalian main ke your apartment. Boleh kan?”
“Boleh. Kita makan dimana?”
“Gimana kalo makan sate Madura yang di dekat apartemen kamu”
“Oke.”
Setelah makan kita langsung menuju ke apartmenku di lantai 9. Kami pun masuk dan aku menyuguhkan teh hangat untuknya.
“Ini foto siapa, Yol?”
“Ini foto adikku aku, Daniel. Tahun ini dia masuk kuliah loh?”
“Oh iya? Masuk kemana?”
“Dia apply ke ITB gitu. Pengen jadi insinyur katanya.”
“Kalo yang ini orangtua kamu?”
“Iya, mama dan papa aku.”
“Mereka beruntung ya punya anak seperti kamu. Udah cantik, mandiri, pintar dan punya kepribadian yang easy going lagi.”
“Hahaha… jadi malu. Lagian lebay banget sih muji aku.”
“Seriusan, aku kagum sama kamu.”
“Aku juga.”
“Yol, aku punya good news sama bad news nih. Mau denger gak?”
“Maulah. Apaan tuh?”
“Aku dapat kontrak dari WWF dan jadi fotografer resmi mereka selama setahun.”
“Wow… amazing congrats ya, Bi. But apa bad news nya?”
“Bad newsnya adalah aku harus ngikuti agenda mereka. Jadi aku harus keliling dunia selama setahun itu bareng beberapa fotografer dari negara lain.”
Mendengar kabar itu, mataku berkaca-kaca membayangkan setahun terpisah dari Abi. Aku takut kita tak bisa bertemu lagi.
“Maksudnya kamu mau ninggalin aku selama setahun gitu?”
“I’m so sorry, Yol. I must be professional. This is my dream to around the world.”
“I understand but…”
Aku menangis terisak dipelukannya dan memeluknya erat seakan tak mau dia beranjak dariku. Malam itu aku dan Abi menghabiskan malam yang syahdu itu berdua. Melupakan status kami yang belum terikat.
Tanggal 22 September adalah tanggal Abi harus berangkat mewujudkan impian masa kecilnya. Aku mendapat dispensasi untuk mengantar Abi ke bandara.
“Yola, I love you so much.”
“I love you so much too, Bi.”
“Aku janji aku akan kembali untuk kamu dan aku mau sekembalinya aku nanti kita bisa bertunangan.”
“Aku mau, Bi. Aku mau.”
Kami pun berciuman dan saling berpelukan. Seakan itu adalah pertemuan terakhir kami. Kami sadar kekuatan cinta kami sedang diuji.
Setahun sejak “perpisahan” kami. Abi mengirimi pesan melalui Facebook jika dia akan mendapat cuti sekitar 3 minggu dan dia akan kembali ke Indonesia segera. Sontak semua kegalauan hati yang selama ini aku rasain tiba-tiba berubah jadi rasa syukur yang tiada henti. Aku membayangkan aku berlutut di depanku sambil memegang cincin untuk melamarku. It will be the sweetest moment ever.
2 hari setelah itu aku terbangun dengan perasaan bahagia karena itu adalah hari Abi tiba di Jakarta setelah setahun “menghilang”. Seperti biasa di pagi hari aku menyalakan TV sambil minum teh. Tiba-tiba saluran berita yang aku tonton memberitakan bahwa pesawat Turkish Airlines dengan tujuan Jakarta jatuh di Laut Cina Selatan sekitar jam 3.07. Sontak aku terkaget dan cangkir teh yang aku pegang jatuh dan pecah. Langsung secepat kilat kuraih smartphoneku dan mencoba menghubungi Abi dan yang aku khawatirkan terjadi sambil menunggu telepon diangkat, televisi menampilkan manifest penumpang pesawat tersebut. Kutunggu beberapa saat nama Abi tidak muncul namun di daftar terakhir nama Abi muncul. Gagang telepon yang aku pegang jatuh dan aku menangis menjerit-jerit bahkan sampai tetangga kost-an berdatangan.
Rani dan Winda tetangga kost-anku menawarkan untuk mengantarkan aku ke Bandara Soetta untuk mengklarifikasi kebenaran berita tersebut.
Sesampainya di bandara, aku langsung berlari sekencang-kencangnya ke pusat informasi bandara. Disitu sudah ada banyak keluarga korban yang sama-sama merasakan kepanikan dan kesedihan yang mendalam itu.
Tak lama kemudian salah satu petugas bandara mengumumkan nama-nama korban yang telah teridentifikasi. Dan… nama Abi benar menjadi salah satu korban bencana itu. Tangisku pun tak bisa terbendung. Aku marah, sedih, kecewa, semuanya bercampur jadi satu. Entah tak bisa terbayang lelaki yang begitu kucintai pergi selama-lamanya. Mungkin ini memang takdirku untuk mencintai tapi tak bisa memiliki. The End.
Cerpen Karangan: Decky Dharmawan Mantik
Facebook: Decky Dharmawan Mantik
Perpisahan
4/
5
Oleh
Unknown