Judul Cerpen Semangat Yang Tak Pudar
Sore ini angin terasa lembut saat ia membelai dan dunia seakan sangat sejuk.
Seorang remaja laki-laki bernama Ferdian asyik duduk di teras rumahnya. Ia memainkan seruling peninggalan ayahnya yang terbuat dari bambu. Seakan setiap orang yang mendengarnya menjadi terbuai karena merdunya.
“Ferdian, berhentilah memainkan seruling itu, bukannya ibu sudah melarangmu.” ungkap ibunya.
Ferdian berhenti memainkan seruling itu dan berkata pada ibunya, “Kenapa Ayah melarang memainkan ini Bu?”
“Pasti ada sebabnya mendiang ayahmu melarang.” jawab ibunya.
“Aku tak mengerti bu, aku sangat suka memainkan ini.” ucap Ferdian.
“Sudahlah, simpan seruling itu dan jangan mainkan lagi!” seru ibunya.
Ferdian mengikuti perintah ibunya, ia lalu menyimpan seruling itu dengan seribu pertanyaan yang ada dalam fikirannya. Ferdian selalu menuruti kata-kata ibunya, baginya ibunyalah orang satu-satunya yang ada dalam hidupnya yang punya kasih sayang yang tak terbatas untuk dirinya. Dia seorang anak yang baik juga pintar di sekolahnya.
Baru saja ia menerima amplop kelulusan dengan nilai yang memuaskan dari SMAnya. Ia ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi yang sudah lama diimpikannya. Ibunya mendukung sepenuhnya keinginan Ferdian, meskipun Ferdian harus pergi meninggalkannya sendirian.
Di Palembang kota tempat tinggal Ferdian dan ibunya akan diadakan seleksi untuk menjadi pemain sepak bola di TIMNAS. Ferdian juga sangat suka main sepak bola, menjadi pemain sepak bola di TIMNAS adalah salah satu harapan yang sangat besar bagi Ferdian.
Ferdian mencoba meminta izin pada ibunya untuk mengikuti seleksi sepak bola itu. Namun ibunya tidak mau memberi izin. Ferdian sangat kecewa. Ia terus mencoba untuk membujuk ibunya, namun selalu gagal.
“Ibu tidak menginginkanmu menjadi pemain sepak bola nak, ibu ingin kamu fokuskan dulu untuk menuntut ilmu dan menggapai cita-citamu, yang membuat ibu bahagia itu nanti jika kamu sudah berhasil nak.” ungkap ibunya saat Ferdian tetap ngotot ingin mengikuti seleksi sepak bola itu.
Ferdian tidak bisa menerima keputusan ibunya karena ia sangat ingin menjadi salah satu pemain sepak bola di TIMNAS. Baginya ini kesempatan besar yang tidak boleh disia-siakan. karena itu ia berfikir untuk tidak lagi menuruti nasehat ibunya. Ia ingin tetap mengikuti seleksi itu.
Keesokan harinya, Ferdian diajak oleh Rendy untuk mengikuti seleksi itu. Tentu saja Ferdian langsung menerima tawaran Rendy.
Mereka akan berangkat bersama nanti siang. Ferdian tidak meminta izin pada ibunya terlebih dahulu, tanpa sepengetahuan ibunya, ia diam-diam pergi bersama teman-temannya. Dengan lima sepeda motor mereka pun berangkat ke tempat seleksi itu. Ferdian diboncengi oleh temannya Rendy. Sepeda motor mereka melaju dengan kencangnya. Sudah beberapa kali Ferdian menyuruh Rendy untuk tidak terlalu kencang, namun Rendy tak tidak menghiraukan perkataan Ferdian.
Tiba di persimpangan jalan Rendy tak dapat menghindarkan sebuah mobil yang datang dari simpang itu. Blukk… saat itulah terjadi kecelakaan dengan dahsyatnya. Ferdian dan Rendy dibawa ke rumah sakit. Namun sayang, di perjalanan menuju rumah sakit Rendy sudah tak bernyawa lagi.
Saat Ibu Ferdian tahu bahwa anaknya di rumah sakit ia sangat sedih, ia lalu menemui Ferdian di rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit ternyata Ferdian dalam keadaan koma sehingga kesedihan ibunya semakin bertambah. Tak henti-hentinya ia berdoa untuk anaknya.
Ibu Ferdian sadar bahwa ia tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, ia berusaha mencari pinjaman, tapi tak seorang pun tetanganya yang mau memberi pinjaman.
“Bu Lida lagi butuh uang ya? kalau dipinjamkan apa Bu Lida bisa bayar?” ucap salah seorang tetangganya kepada ibu Ferdian, begitu juga dengan tetangganya yang lain, membuat ibu Ferdian semakin sangat sedih.
Untunglah ada bu RT yang kasihan melihat Ferdian dan ibunya, bu RT bersedia meminjamkan uang kepada ibunya Ferdian.
Sudah semalam Ferdian tak sadar dari komanya, hal ini membuat ibunya sangat cemas. Lalu beberapa jam kemudian berkat pertolongan Allah, Ferdian pun siuman. Ia melihat ibunya sudah berlinang air mata di depannya. Ia pun meminta maaf pada ibunya karena tidak mau mendengarkan kata-kata ibunya. Ibunya hanya mengangguk pelan.
Saat Ferdian tahu kalau kakinya patah, ia mulai menangis penuh penyesalan. Jangankan main sepak bola untuk melangkah pun nanti ke kuliah ia tak bisa. Ibunya hanya bisa menyuruhnya untuk sabar.
“Ini salahku ibu” gumam Ferdian.
“Sudahlah Nak, mungkin ini sudah ketetapan Allah, kita harus bisa menerimanya.” ucap ibunya.
“Tapi Bu, kenapa semua terjadi padaku bu?” ucap Ferdian.
“Sudah nak, jangan mengeluh lagi.” ucap ibunya.
Ferdian begitu terpukul atas kejadian itu. Saat ia sudah keluar dari rumah sakit. Ia berusaha untuk membantu Ibunya membuat kerupuk dari biji Melinjo.
Inilah satu-satunya usaha ibu Ferdian.
Ferdian tidak jadi melanjutkan ke perguruan tinggi karena ia tak bisa berjalan. Ferdian hanya menerima kenyataan untuk tidak kuliah. Ia hanya tekun membantu ibunya agar dapat melunasi hutang-hutangnya.
Ibu Ferdian punya kebun Melinjo yang cukup luas. Sehingga saat panen ia bisa mendapatkan banyak biji Melinjo. Biji Melinjo itu ia olah dan akhirnya bisa membuat kerupuk bervariasi rasa. Dengan semangat dan kerja keras mereka berdua, akhirnya banyak juga orang yang bekerja dengan mereka yang membuat usaha mereka semakin berkembang.
Lama-kelamaan mereka dapat mengumpulkan uang, sehingga dapat melunasi hutang-hutangnya dan untuk biaya pengobatan kaki Ferdian sehingga ia kembali berjalan.
Ia berjanji akan selalu menuruti kata ibunya dan akhirnya Ferdian dapat melanjutkan untuk kuliah dan berpisah dari ibunya. Ibunya percaya bahwa Ferdian akan selalu mengingat kata-kata ibunya.
Cerpen Karangan: Mei Defrita Ratna Sari
Facebook: Dhea Meidefrita Ratna Sari
Sore ini angin terasa lembut saat ia membelai dan dunia seakan sangat sejuk.
Seorang remaja laki-laki bernama Ferdian asyik duduk di teras rumahnya. Ia memainkan seruling peninggalan ayahnya yang terbuat dari bambu. Seakan setiap orang yang mendengarnya menjadi terbuai karena merdunya.
“Ferdian, berhentilah memainkan seruling itu, bukannya ibu sudah melarangmu.” ungkap ibunya.
Ferdian berhenti memainkan seruling itu dan berkata pada ibunya, “Kenapa Ayah melarang memainkan ini Bu?”
“Pasti ada sebabnya mendiang ayahmu melarang.” jawab ibunya.
“Aku tak mengerti bu, aku sangat suka memainkan ini.” ucap Ferdian.
“Sudahlah, simpan seruling itu dan jangan mainkan lagi!” seru ibunya.
Ferdian mengikuti perintah ibunya, ia lalu menyimpan seruling itu dengan seribu pertanyaan yang ada dalam fikirannya. Ferdian selalu menuruti kata-kata ibunya, baginya ibunyalah orang satu-satunya yang ada dalam hidupnya yang punya kasih sayang yang tak terbatas untuk dirinya. Dia seorang anak yang baik juga pintar di sekolahnya.
Baru saja ia menerima amplop kelulusan dengan nilai yang memuaskan dari SMAnya. Ia ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi yang sudah lama diimpikannya. Ibunya mendukung sepenuhnya keinginan Ferdian, meskipun Ferdian harus pergi meninggalkannya sendirian.
Di Palembang kota tempat tinggal Ferdian dan ibunya akan diadakan seleksi untuk menjadi pemain sepak bola di TIMNAS. Ferdian juga sangat suka main sepak bola, menjadi pemain sepak bola di TIMNAS adalah salah satu harapan yang sangat besar bagi Ferdian.
Ferdian mencoba meminta izin pada ibunya untuk mengikuti seleksi sepak bola itu. Namun ibunya tidak mau memberi izin. Ferdian sangat kecewa. Ia terus mencoba untuk membujuk ibunya, namun selalu gagal.
“Ibu tidak menginginkanmu menjadi pemain sepak bola nak, ibu ingin kamu fokuskan dulu untuk menuntut ilmu dan menggapai cita-citamu, yang membuat ibu bahagia itu nanti jika kamu sudah berhasil nak.” ungkap ibunya saat Ferdian tetap ngotot ingin mengikuti seleksi sepak bola itu.
Ferdian tidak bisa menerima keputusan ibunya karena ia sangat ingin menjadi salah satu pemain sepak bola di TIMNAS. Baginya ini kesempatan besar yang tidak boleh disia-siakan. karena itu ia berfikir untuk tidak lagi menuruti nasehat ibunya. Ia ingin tetap mengikuti seleksi itu.
Keesokan harinya, Ferdian diajak oleh Rendy untuk mengikuti seleksi itu. Tentu saja Ferdian langsung menerima tawaran Rendy.
Mereka akan berangkat bersama nanti siang. Ferdian tidak meminta izin pada ibunya terlebih dahulu, tanpa sepengetahuan ibunya, ia diam-diam pergi bersama teman-temannya. Dengan lima sepeda motor mereka pun berangkat ke tempat seleksi itu. Ferdian diboncengi oleh temannya Rendy. Sepeda motor mereka melaju dengan kencangnya. Sudah beberapa kali Ferdian menyuruh Rendy untuk tidak terlalu kencang, namun Rendy tak tidak menghiraukan perkataan Ferdian.
Tiba di persimpangan jalan Rendy tak dapat menghindarkan sebuah mobil yang datang dari simpang itu. Blukk… saat itulah terjadi kecelakaan dengan dahsyatnya. Ferdian dan Rendy dibawa ke rumah sakit. Namun sayang, di perjalanan menuju rumah sakit Rendy sudah tak bernyawa lagi.
Saat Ibu Ferdian tahu bahwa anaknya di rumah sakit ia sangat sedih, ia lalu menemui Ferdian di rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit ternyata Ferdian dalam keadaan koma sehingga kesedihan ibunya semakin bertambah. Tak henti-hentinya ia berdoa untuk anaknya.
Ibu Ferdian sadar bahwa ia tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, ia berusaha mencari pinjaman, tapi tak seorang pun tetanganya yang mau memberi pinjaman.
“Bu Lida lagi butuh uang ya? kalau dipinjamkan apa Bu Lida bisa bayar?” ucap salah seorang tetangganya kepada ibu Ferdian, begitu juga dengan tetangganya yang lain, membuat ibu Ferdian semakin sangat sedih.
Untunglah ada bu RT yang kasihan melihat Ferdian dan ibunya, bu RT bersedia meminjamkan uang kepada ibunya Ferdian.
Sudah semalam Ferdian tak sadar dari komanya, hal ini membuat ibunya sangat cemas. Lalu beberapa jam kemudian berkat pertolongan Allah, Ferdian pun siuman. Ia melihat ibunya sudah berlinang air mata di depannya. Ia pun meminta maaf pada ibunya karena tidak mau mendengarkan kata-kata ibunya. Ibunya hanya mengangguk pelan.
Saat Ferdian tahu kalau kakinya patah, ia mulai menangis penuh penyesalan. Jangankan main sepak bola untuk melangkah pun nanti ke kuliah ia tak bisa. Ibunya hanya bisa menyuruhnya untuk sabar.
“Ini salahku ibu” gumam Ferdian.
“Sudahlah Nak, mungkin ini sudah ketetapan Allah, kita harus bisa menerimanya.” ucap ibunya.
“Tapi Bu, kenapa semua terjadi padaku bu?” ucap Ferdian.
“Sudah nak, jangan mengeluh lagi.” ucap ibunya.
Ferdian begitu terpukul atas kejadian itu. Saat ia sudah keluar dari rumah sakit. Ia berusaha untuk membantu Ibunya membuat kerupuk dari biji Melinjo.
Inilah satu-satunya usaha ibu Ferdian.
Ferdian tidak jadi melanjutkan ke perguruan tinggi karena ia tak bisa berjalan. Ferdian hanya menerima kenyataan untuk tidak kuliah. Ia hanya tekun membantu ibunya agar dapat melunasi hutang-hutangnya.
Ibu Ferdian punya kebun Melinjo yang cukup luas. Sehingga saat panen ia bisa mendapatkan banyak biji Melinjo. Biji Melinjo itu ia olah dan akhirnya bisa membuat kerupuk bervariasi rasa. Dengan semangat dan kerja keras mereka berdua, akhirnya banyak juga orang yang bekerja dengan mereka yang membuat usaha mereka semakin berkembang.
Lama-kelamaan mereka dapat mengumpulkan uang, sehingga dapat melunasi hutang-hutangnya dan untuk biaya pengobatan kaki Ferdian sehingga ia kembali berjalan.
Ia berjanji akan selalu menuruti kata ibunya dan akhirnya Ferdian dapat melanjutkan untuk kuliah dan berpisah dari ibunya. Ibunya percaya bahwa Ferdian akan selalu mengingat kata-kata ibunya.
Cerpen Karangan: Mei Defrita Ratna Sari
Facebook: Dhea Meidefrita Ratna Sari
Semangat Yang Tak Pudar
4/
5
Oleh
Unknown