Judul Cerpen Mengalun
Tap… tap…
1… 2… 3… tap… tap… 1… 2… 3… 4… angkat tangan kanan. Turunkan. Seblak. 1… 2… tap… tap…
Semua gerakan itu terlihat sempurna di mataku, benar-benar menyatu dengan alunan musik yang ada. Selama beberapa saat aku terpana, sampai tiba-tiba ibu berhenti. Beliau menyadari kehadiranku dan berbalik, lalu tersenyum.
“Belum tidur, Din?”, beliau mematikan tapenya dan berjalan menghampiriku.
Aku menggeleng. “Belum, Bu”, jawabku singkat. Ibu melihat gelas kosong yang ada di tanganku, lalu tertunduk. “Sudah larut, Bu. Istirahat saja. Gerakan ibu sudah bagus kok,” lanjutku.
Sekarang ibu yang menggeleng.
“Ibu masih harus latihan, biar lebih luwes. Maklum, ibu kan sudah tua… badan ibu sudah kaku. Coba kalau Dinda, pasti bisa lebih bagus,” Ibu baru akan meletakkan tangan di pundakku, tapi aku menghindar.
“Dinda mau tidur, Bu,” Aku berpaling dan meninggalkan ibuku. Seharusnya ibu tidak mengatakan kalimat itu karena beliau sudah tahu aturannya. Aku tidak menari. Tidak lagi.
Aku masuk kamar dan menutup pintu di belakangku. Mataku berkaca-kaca, hal yang selalu terjadi ketika aku tahu aku telah menyakiti hati ibuku. Aku membanting diriku di atas kasur dan tidur telentang, menatap langit-langit kamar. Dengan kasar aku mengusap air mataku yang mulai mengalir. Aku tidak menari lagi, bisikku pada diriku sendiri. Aku sudah berhenti.
Dulu, waktu aku masih kecil dan belum bisa memutuskan mau jadi apa, aku menari. Aku melakukannya karena ibu adalah seorang penari. Dan aku menikmatinya. Aku memenangkan banyak kejuaraan tari, baik tunggal maupun berkelompok. Hal itu membuat ibuku sangat bangga. Beliau mengatakan kalau aku berbakat alam, bahwa aku memang terlahir untuk menari. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kecintaanku pada seni tari memudar. Perlahan tapi pasti, aku mulai tidak menyukainya. Aku mulai menganggapnya kuno, jadul, dan mulai mempertanyakan alasanku menari. Puncaknya adalah saat aku kelas 2 SMP, aku berdebat dengan ibuku, membuat beliau murka sampai menamparku. Sakit hati, saat itu juga aku memutuskan untuk berhenti menari.
Sejak saat itu, hubunganku dengan ibu menjadi kaku. Aku tahu beliau menyesal telah menamparku, dan beliau juga sudah meminta maaf. Tapi aku tidak ingin menari kembali. Aku selalu menghindar bila ibu mulai menunjukkan gelagat ingin mengajakku menari. Meskipun begitu, sebenarnya aku tidak benar-benar membenci seni tari. Pada kenyataannya, aku masih senang melihat ibu menari. Di mataku, gerakan ibu benar-benar indah dan gemulai, selalu menyatu sempurna dengan alunan musik yang ada. Mengalun, begitu aku menyebutnya, meskipun aku tahu itu bukan istilah yang tepat.
Aku terbangun jam 05.30 pagi, tapi segera tertidur lagi begitu ingat kalau hari ini aku tidak akan pergi ke sekolah. Aku sudah izin kemarin. Hari ini aku dan ibuku akan terbang ke Belanda. Alasan beliau berlatih sampai larut malam kemarin adalah karena beliau diminta untuk mengisi acara di peringatan kerja sama bilateral Indonesia-Belanda, yang akan dilaksanakan di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di kota Amsterdam. Hal itu tentu sangat membanggakan, karena di Indonesia sendiri ibuku tidak begitu terkenal. Kebetulan koordinator acara tersebut adalah Mas Adit, tetanggaku waktu masih tinggal di Solo, yang sekarang kuliah S2 jurusan Bahasa Jawa di Universitas Leiden, Belanda. Menurutku Mas Adit baik sekali karena masih mengingat kami.
Aku dan ibuku berangkat dari Stasiun Gambir pukul 17.00 dan sampai di Bandara Soekarno Hatta pukul 17.30. Keberangkatan kami pukul 19.45, jadi selama menunggu, aku dan ibuku pergi ke restoran cepat saji untuk makan malam, walaupun nanti di pesawat juga akan ada makan malam. Pesawat kami tidak langsung menuju ke Belanda, maklum, belum ada penerbangan langsung Jakarta-Amsterdam, jadi kami harus ganti pesawat di Kuala-Lumpur, Malaysia. Perjalanan di udara memakan waktu kurang-lebih 14 jam. Aku tertidur pulas di pesawat, tapi ibu tidak. Beliau tidak begitu suka terbang. Aku jadi khawatir dengan kesehatan ibuku, bagaimana kalau beliau jatuh sakit di sana.
Karena waktu yang berbeda, kami tiba di Belanda pukul 05.45 pagi. Acaranya akan dilaksanakan malam hari, jadi masih ada waktu seharian penuh untuk istirahat. Mas Adit dan salah satu teman Belanda-nya menjemput kami di bandara, dan langsung mengantarkan kami ke hotel. Semua biaya akomodasi sudah ditanggung panitia, jadi kami tidak perlu khawatir. Ibuku yang mengalami jet lag langsung tertidur pulas, tapi aku yang sudah tidur 12 jam lebih, memutuskan untuk berjalan-jalan dan menikmati suasana sejuk kota Amsterdam. Mas Adit sibuk, jadi dia tidak bisa menemaniku. Sebagai gantinya, dia meminta tolong pada teman Belanda-nya, Boudewijn Caspar, untuk menemaniku.
Karena nama depannya yang terlalu sulit untuk kuucapkan, aku memanggilnya Caspar. Dia cowok tinggi pucat berambut pirang yang mukanya cukup pasaran di Belanda, tapi kalau buat ukuran orang Indonesia, ya, ganteng lah. Sesuai dengan nama depannya yang berarti sopan dan ramah, Caspar sangat sopan dan ramah terhadapku. Untung saja dia mahir berbahasa Inggris, jadi kami dapat bercakap-cakap. Aku menghabiskan waktuku di pusat kota; berfoto dan makan. Hampir tiap jajanan aku coba, mumpung ada kesempatan. Karena terlalu sibuk bersenang-senang aku jadi lupa pada ibuku, sampai Mas Adit meneleponku.
“Din, ibumu masuk rumah sakit, beliau demam tinggi,”
“Apa?”
Selama beberapa saat aku tertegun, tidak percaya pada ucapan Mas Adit. Tapi akhirnya aku tersadar, dan dengan panik langsung pergi menuju ke rumah sakit.
Mas Adit sudah di sana, tampak lelah. Sekarang sudah pukul 15.30, persiapan acara seharusnya sudah matang dan gladi bersih harusnya sudah dilaksanakan juga, akan tetapi ibuku tak sadarkan diri. Mas Adit bilang petugas hotel menemukan ibu pingsan di depan pintu kamar mandi saat sang petugas sedang mengantarkan makan siang.
“Maaf, Din, ini salah Mas Adit, seharusnya keberangkatan kalian 2 hari yang lalu, biar ada waktu istirahat buat ibumu… ”
“Enggak kok Mas, biasanya ibu juga nggak apa-apa. Dinda yang salah Mas, seharusnya Dinda jagain ibu tadi,” ucapku penuh penyesalan. Seharusnya aku memang tidak bersenang-senang dahulu, karena aku tahu ibu tidak istirahat semalam, dan beliau juga mengalami jet lag. Sekarang, aku benar-benar merasa seperti anak durhaka. Tanpa sadar tangisku pecah melihat ibu terbaring pucat tak berdaya di ranjang rumah sakit. Mas Adit menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku, sementara Caspar hanya hanya dapat terdiam.
“So, how about the show? Bagaimana dengan pertunjukannya?”, akhirnya Caspar memecah keheningan yang ada.
“We have no choice but to cancel the traditional dance show. Kita tidak punya pilihan lain, pertunjukkan seni tarinya harus dibatalkan.” Kata Mas Adit dengan berat. Ia pasti sangat kecewa karena acara yang disusunnya dengan susah payah jadi kacau. Aku tak tega melihat wajahnya yang lelah itu kini tampak lebih memprihatinkan karena putus asa.
“Sebenarnya… Mas… Dinda mungkin bisa gantiin ibu.” Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku sebelum aku menyadarinya. Mungkin karena perasaan bersalah terhadap Ibu dan Mas Adit.
“Bener, Din?” tiba-tiba mata Mas Adit kembali bersinar, “… kamu beneran mau gantiin ibumu?”,
Semangat Mas Adit yang tiba-tiba menyala kembali membuatku takut. Aku hanya bisa meringis mengiakan.
“Oh iya, Mas Adit lupa, kamu kan pinter nari juga… dulu waktu kecil kamu sering juara, sekarang kamu pas lebih hebat!” Kalimat Mas Adit serasa mencambukku. Bagaimana kalau dia tahu sudah 3 tahun lebih aku tidak menari? Aku tidak berani membayangkannya. Mungkin lebih baik kalau dia tidak tahu.
“Kalo gitu, tolong Mas Adit, ya, Din. Soalnya acara ini penting banget buat Mas,” lanjutnya.
“Eh, iya Mas, tapi Dinda nggak sebagus itu kok, ibu Dinda jauh lebih bagus,” ujarku terbata-bata. Mati aku, batinku. Aku kan tidak pernah mempelajari tari yang akan ibu bawakan. Seharusnya aku berpikir dulu sebelum berucap. Bagaimana kalau acaranya malah jadi hancur?
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dari mulut? begitu terus-menerus. 5 menit lagi aku tampil, tapi aku belum bisa menghilangkan kegugupanku. Bagaimana tidak? berlatih saja tidak pernah. Aku telah mengenakan kostum dan full make up. Untung saja postur tubuhku dan postur ibu tak jauh beda, aku hanya harus mengecilkan bagian pinggangnya sedikit. Tapi, Ya Tuhan, aku tidak bisa menghilangkan perasan gugupku. Usahaku untuk mengingat gerakan yang biasa ibu lakukan sia-sia. Terlintas di benakku untuk kabur saja, tapi nanti bagaimana dengan Mas Adit? Dia telah begitu baik pada kami, aku tak bisa mengecewakannya.
Aku mengintip dari balik panggung, dan melihat wajah-wajah asing para tamu undangan yang tengah fokus mendengarkan pidato dari Duta Besar Indonesia. Tubuhku gemetaran hebat karena gugup dan panik, bajuku telah basah oleh keringat dingin. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri.
Panggilan untukku tampil sudah disuarakan, tapi aku belum bisa bergerak. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Aku tersentak kaget.
“Semangat, ya! Gak usah gugup gitu, kamu pasti bisa kok!” Mas Adit tersenyum hangat menyemangatiku, begitu juga Caspar.
“Good luck, I know you can do it!”, ujarnya kalem.
Aku ingin menangis, seharusnya kukatakan saja pada mereka yang sebenarnya. Apakah sekarang sudah terlambat untuk itu? Sepertinya begitu, karena alunan gamelan sudah mulai terdengar. Aku sudah terlanjur basah, jadi sekalian saja mencebur. Masalah malu, itu urusan nanti, toh tak semua orang kenal tarian yang akan kubawakan, jadi tidak apa kalau salah satu-dua gerakan, atau dalam kasusku pasti akan lebih dari itu. Aku berbalik dan memejamkan mataku, berdoa. Sambil menggigit bibir bawah, kuambil langkah pertamaku. Cahaya yang menyilaukan menyambutku di atas panggung. Dengan percaya diri, aku lenggokkan tubuhku sesuai irama musik yang mengalun. Mengalun. Aku tersadar. Yang harus aku lakukan hanya mengalun.
Tap… tap…
1… 2… 3… tap… tap… 1… 2… 3… 4… angkat tangan kanan. Turunkan. Seblak. 1… 2… tap… tap…
Selama 7 menit penuh aku hanya mendengarkan musik dan membiarkan tubuhku bergerak sesuka hati. Aku menikmatinya, seperti dulu. Ternyata ini lebih mudah daripada yang kuduga. Tubuhku rupanya masih ingat bagaimana cara menari, bahkan dapat mempraktikkan gerakan yang hanya kulihat dari latihan ibu, hanya saja mungkin tidak seluwes itu. Para penonton terdiam, mungkin melihat keganjilan dalam gerakanku. Masa bodoh. Yang penting aku sudah tampil. Nanti aku akan meminta maaf pada Mas Adit dan mengatakan yang sebenarnya; bahwa aku telah lama berhenti menari. Sebagai permintaan maaf, mungkin aku akan mengembalikan upah menarinya. Ya, dengan begitu pasti beres.
Alunan gamelan berhenti, begitu pula tarianku. Aku tidak sanggup melihat penonton, jadi aku hanya memandangi lantai panggung. Aku menunduk sebentar untuk memberi hormat dan sebagai ucapan terima kasih karena telah menonton, saat keriuhan itu terdengar. Aku mendongak, dan melihat para hadirin berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah. Standing applause. Tidak percaya, aku menengok ke sisi panggung di mana Mas Adit dan Caspar tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca. Bagaimana mungkin aku lupa rasanya? Dulu aku sering mendapat sambutan meriah saat pertunjukkan tari; tapi bukan itu, bukan itu yang kucari. Bagaimana mungkin aku melupakan bahwa menari itu menyenangkan?
“You’re awesome. Kau luar biasa!”, Caspar menyambutku.
Aku belum bisa berkata-kata, alih-alih menjawab, aku malah menangis.
“Kamu hebat, Din. Mas belum pernah melihat tarian yang seperti itu… ”
Karena tarian itu memang ngawur, batinku. Tapi aku tidak mengatakannya. Aku jadi teringat ibu.
“Ibu… ?”
“Oh, iya. Tadi rumah sakit menelepon. Ibumu sudah sadar. Beliau cuma kurang istirahat, karena muntah-muntah jadi dehidrasi. Tekanan darahnya rendah, tapi udah baikan kok sekarang. Kalo kamu mau ke rumah sakit duluan, nanti Caspar yang antar, soalnya Mas masih sibuk.” Jawab mas Adit, bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku hanya mengangguk. Aku segera berganti pakaian dan bergegas ke rumah sakit. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu ibuku dan mengatakan kalau aku akan menari lagi. Keputusanku kali ini atas pilihanku sendiri, bukan karena ibu atau paksaan orang lain. Aku akan menari karena aku menikmatinya.
Dalam perjalanan itu, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Boudewijn Caspar pasti heran karena beberapa saat lalu aku tak bisa berhenti menangis. Masa bodoh. Aku sangat senang karena telah membuat keputusan sendiri.
Cerpen Karangan: Dianika
Facebook: Ikaya Dian
Tap… tap…
1… 2… 3… tap… tap… 1… 2… 3… 4… angkat tangan kanan. Turunkan. Seblak. 1… 2… tap… tap…
Semua gerakan itu terlihat sempurna di mataku, benar-benar menyatu dengan alunan musik yang ada. Selama beberapa saat aku terpana, sampai tiba-tiba ibu berhenti. Beliau menyadari kehadiranku dan berbalik, lalu tersenyum.
“Belum tidur, Din?”, beliau mematikan tapenya dan berjalan menghampiriku.
Aku menggeleng. “Belum, Bu”, jawabku singkat. Ibu melihat gelas kosong yang ada di tanganku, lalu tertunduk. “Sudah larut, Bu. Istirahat saja. Gerakan ibu sudah bagus kok,” lanjutku.
Sekarang ibu yang menggeleng.
“Ibu masih harus latihan, biar lebih luwes. Maklum, ibu kan sudah tua… badan ibu sudah kaku. Coba kalau Dinda, pasti bisa lebih bagus,” Ibu baru akan meletakkan tangan di pundakku, tapi aku menghindar.
“Dinda mau tidur, Bu,” Aku berpaling dan meninggalkan ibuku. Seharusnya ibu tidak mengatakan kalimat itu karena beliau sudah tahu aturannya. Aku tidak menari. Tidak lagi.
Aku masuk kamar dan menutup pintu di belakangku. Mataku berkaca-kaca, hal yang selalu terjadi ketika aku tahu aku telah menyakiti hati ibuku. Aku membanting diriku di atas kasur dan tidur telentang, menatap langit-langit kamar. Dengan kasar aku mengusap air mataku yang mulai mengalir. Aku tidak menari lagi, bisikku pada diriku sendiri. Aku sudah berhenti.
Dulu, waktu aku masih kecil dan belum bisa memutuskan mau jadi apa, aku menari. Aku melakukannya karena ibu adalah seorang penari. Dan aku menikmatinya. Aku memenangkan banyak kejuaraan tari, baik tunggal maupun berkelompok. Hal itu membuat ibuku sangat bangga. Beliau mengatakan kalau aku berbakat alam, bahwa aku memang terlahir untuk menari. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kecintaanku pada seni tari memudar. Perlahan tapi pasti, aku mulai tidak menyukainya. Aku mulai menganggapnya kuno, jadul, dan mulai mempertanyakan alasanku menari. Puncaknya adalah saat aku kelas 2 SMP, aku berdebat dengan ibuku, membuat beliau murka sampai menamparku. Sakit hati, saat itu juga aku memutuskan untuk berhenti menari.
Sejak saat itu, hubunganku dengan ibu menjadi kaku. Aku tahu beliau menyesal telah menamparku, dan beliau juga sudah meminta maaf. Tapi aku tidak ingin menari kembali. Aku selalu menghindar bila ibu mulai menunjukkan gelagat ingin mengajakku menari. Meskipun begitu, sebenarnya aku tidak benar-benar membenci seni tari. Pada kenyataannya, aku masih senang melihat ibu menari. Di mataku, gerakan ibu benar-benar indah dan gemulai, selalu menyatu sempurna dengan alunan musik yang ada. Mengalun, begitu aku menyebutnya, meskipun aku tahu itu bukan istilah yang tepat.
Aku terbangun jam 05.30 pagi, tapi segera tertidur lagi begitu ingat kalau hari ini aku tidak akan pergi ke sekolah. Aku sudah izin kemarin. Hari ini aku dan ibuku akan terbang ke Belanda. Alasan beliau berlatih sampai larut malam kemarin adalah karena beliau diminta untuk mengisi acara di peringatan kerja sama bilateral Indonesia-Belanda, yang akan dilaksanakan di kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di kota Amsterdam. Hal itu tentu sangat membanggakan, karena di Indonesia sendiri ibuku tidak begitu terkenal. Kebetulan koordinator acara tersebut adalah Mas Adit, tetanggaku waktu masih tinggal di Solo, yang sekarang kuliah S2 jurusan Bahasa Jawa di Universitas Leiden, Belanda. Menurutku Mas Adit baik sekali karena masih mengingat kami.
Aku dan ibuku berangkat dari Stasiun Gambir pukul 17.00 dan sampai di Bandara Soekarno Hatta pukul 17.30. Keberangkatan kami pukul 19.45, jadi selama menunggu, aku dan ibuku pergi ke restoran cepat saji untuk makan malam, walaupun nanti di pesawat juga akan ada makan malam. Pesawat kami tidak langsung menuju ke Belanda, maklum, belum ada penerbangan langsung Jakarta-Amsterdam, jadi kami harus ganti pesawat di Kuala-Lumpur, Malaysia. Perjalanan di udara memakan waktu kurang-lebih 14 jam. Aku tertidur pulas di pesawat, tapi ibu tidak. Beliau tidak begitu suka terbang. Aku jadi khawatir dengan kesehatan ibuku, bagaimana kalau beliau jatuh sakit di sana.
Karena waktu yang berbeda, kami tiba di Belanda pukul 05.45 pagi. Acaranya akan dilaksanakan malam hari, jadi masih ada waktu seharian penuh untuk istirahat. Mas Adit dan salah satu teman Belanda-nya menjemput kami di bandara, dan langsung mengantarkan kami ke hotel. Semua biaya akomodasi sudah ditanggung panitia, jadi kami tidak perlu khawatir. Ibuku yang mengalami jet lag langsung tertidur pulas, tapi aku yang sudah tidur 12 jam lebih, memutuskan untuk berjalan-jalan dan menikmati suasana sejuk kota Amsterdam. Mas Adit sibuk, jadi dia tidak bisa menemaniku. Sebagai gantinya, dia meminta tolong pada teman Belanda-nya, Boudewijn Caspar, untuk menemaniku.
Karena nama depannya yang terlalu sulit untuk kuucapkan, aku memanggilnya Caspar. Dia cowok tinggi pucat berambut pirang yang mukanya cukup pasaran di Belanda, tapi kalau buat ukuran orang Indonesia, ya, ganteng lah. Sesuai dengan nama depannya yang berarti sopan dan ramah, Caspar sangat sopan dan ramah terhadapku. Untung saja dia mahir berbahasa Inggris, jadi kami dapat bercakap-cakap. Aku menghabiskan waktuku di pusat kota; berfoto dan makan. Hampir tiap jajanan aku coba, mumpung ada kesempatan. Karena terlalu sibuk bersenang-senang aku jadi lupa pada ibuku, sampai Mas Adit meneleponku.
“Din, ibumu masuk rumah sakit, beliau demam tinggi,”
“Apa?”
Selama beberapa saat aku tertegun, tidak percaya pada ucapan Mas Adit. Tapi akhirnya aku tersadar, dan dengan panik langsung pergi menuju ke rumah sakit.
Mas Adit sudah di sana, tampak lelah. Sekarang sudah pukul 15.30, persiapan acara seharusnya sudah matang dan gladi bersih harusnya sudah dilaksanakan juga, akan tetapi ibuku tak sadarkan diri. Mas Adit bilang petugas hotel menemukan ibu pingsan di depan pintu kamar mandi saat sang petugas sedang mengantarkan makan siang.
“Maaf, Din, ini salah Mas Adit, seharusnya keberangkatan kalian 2 hari yang lalu, biar ada waktu istirahat buat ibumu… ”
“Enggak kok Mas, biasanya ibu juga nggak apa-apa. Dinda yang salah Mas, seharusnya Dinda jagain ibu tadi,” ucapku penuh penyesalan. Seharusnya aku memang tidak bersenang-senang dahulu, karena aku tahu ibu tidak istirahat semalam, dan beliau juga mengalami jet lag. Sekarang, aku benar-benar merasa seperti anak durhaka. Tanpa sadar tangisku pecah melihat ibu terbaring pucat tak berdaya di ranjang rumah sakit. Mas Adit menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku, sementara Caspar hanya hanya dapat terdiam.
“So, how about the show? Bagaimana dengan pertunjukannya?”, akhirnya Caspar memecah keheningan yang ada.
“We have no choice but to cancel the traditional dance show. Kita tidak punya pilihan lain, pertunjukkan seni tarinya harus dibatalkan.” Kata Mas Adit dengan berat. Ia pasti sangat kecewa karena acara yang disusunnya dengan susah payah jadi kacau. Aku tak tega melihat wajahnya yang lelah itu kini tampak lebih memprihatinkan karena putus asa.
“Sebenarnya… Mas… Dinda mungkin bisa gantiin ibu.” Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku sebelum aku menyadarinya. Mungkin karena perasaan bersalah terhadap Ibu dan Mas Adit.
“Bener, Din?” tiba-tiba mata Mas Adit kembali bersinar, “… kamu beneran mau gantiin ibumu?”,
Semangat Mas Adit yang tiba-tiba menyala kembali membuatku takut. Aku hanya bisa meringis mengiakan.
“Oh iya, Mas Adit lupa, kamu kan pinter nari juga… dulu waktu kecil kamu sering juara, sekarang kamu pas lebih hebat!” Kalimat Mas Adit serasa mencambukku. Bagaimana kalau dia tahu sudah 3 tahun lebih aku tidak menari? Aku tidak berani membayangkannya. Mungkin lebih baik kalau dia tidak tahu.
“Kalo gitu, tolong Mas Adit, ya, Din. Soalnya acara ini penting banget buat Mas,” lanjutnya.
“Eh, iya Mas, tapi Dinda nggak sebagus itu kok, ibu Dinda jauh lebih bagus,” ujarku terbata-bata. Mati aku, batinku. Aku kan tidak pernah mempelajari tari yang akan ibu bawakan. Seharusnya aku berpikir dulu sebelum berucap. Bagaimana kalau acaranya malah jadi hancur?
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dari mulut? begitu terus-menerus. 5 menit lagi aku tampil, tapi aku belum bisa menghilangkan kegugupanku. Bagaimana tidak? berlatih saja tidak pernah. Aku telah mengenakan kostum dan full make up. Untung saja postur tubuhku dan postur ibu tak jauh beda, aku hanya harus mengecilkan bagian pinggangnya sedikit. Tapi, Ya Tuhan, aku tidak bisa menghilangkan perasan gugupku. Usahaku untuk mengingat gerakan yang biasa ibu lakukan sia-sia. Terlintas di benakku untuk kabur saja, tapi nanti bagaimana dengan Mas Adit? Dia telah begitu baik pada kami, aku tak bisa mengecewakannya.
Aku mengintip dari balik panggung, dan melihat wajah-wajah asing para tamu undangan yang tengah fokus mendengarkan pidato dari Duta Besar Indonesia. Tubuhku gemetaran hebat karena gugup dan panik, bajuku telah basah oleh keringat dingin. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri.
Panggilan untukku tampil sudah disuarakan, tapi aku belum bisa bergerak. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Aku tersentak kaget.
“Semangat, ya! Gak usah gugup gitu, kamu pasti bisa kok!” Mas Adit tersenyum hangat menyemangatiku, begitu juga Caspar.
“Good luck, I know you can do it!”, ujarnya kalem.
Aku ingin menangis, seharusnya kukatakan saja pada mereka yang sebenarnya. Apakah sekarang sudah terlambat untuk itu? Sepertinya begitu, karena alunan gamelan sudah mulai terdengar. Aku sudah terlanjur basah, jadi sekalian saja mencebur. Masalah malu, itu urusan nanti, toh tak semua orang kenal tarian yang akan kubawakan, jadi tidak apa kalau salah satu-dua gerakan, atau dalam kasusku pasti akan lebih dari itu. Aku berbalik dan memejamkan mataku, berdoa. Sambil menggigit bibir bawah, kuambil langkah pertamaku. Cahaya yang menyilaukan menyambutku di atas panggung. Dengan percaya diri, aku lenggokkan tubuhku sesuai irama musik yang mengalun. Mengalun. Aku tersadar. Yang harus aku lakukan hanya mengalun.
Tap… tap…
1… 2… 3… tap… tap… 1… 2… 3… 4… angkat tangan kanan. Turunkan. Seblak. 1… 2… tap… tap…
Selama 7 menit penuh aku hanya mendengarkan musik dan membiarkan tubuhku bergerak sesuka hati. Aku menikmatinya, seperti dulu. Ternyata ini lebih mudah daripada yang kuduga. Tubuhku rupanya masih ingat bagaimana cara menari, bahkan dapat mempraktikkan gerakan yang hanya kulihat dari latihan ibu, hanya saja mungkin tidak seluwes itu. Para penonton terdiam, mungkin melihat keganjilan dalam gerakanku. Masa bodoh. Yang penting aku sudah tampil. Nanti aku akan meminta maaf pada Mas Adit dan mengatakan yang sebenarnya; bahwa aku telah lama berhenti menari. Sebagai permintaan maaf, mungkin aku akan mengembalikan upah menarinya. Ya, dengan begitu pasti beres.
Alunan gamelan berhenti, begitu pula tarianku. Aku tidak sanggup melihat penonton, jadi aku hanya memandangi lantai panggung. Aku menunduk sebentar untuk memberi hormat dan sebagai ucapan terima kasih karena telah menonton, saat keriuhan itu terdengar. Aku mendongak, dan melihat para hadirin berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah. Standing applause. Tidak percaya, aku menengok ke sisi panggung di mana Mas Adit dan Caspar tersenyum dan mengacungkan kedua jempolnya. Tanpa sadar mataku berkaca-kaca. Bagaimana mungkin aku lupa rasanya? Dulu aku sering mendapat sambutan meriah saat pertunjukkan tari; tapi bukan itu, bukan itu yang kucari. Bagaimana mungkin aku melupakan bahwa menari itu menyenangkan?
“You’re awesome. Kau luar biasa!”, Caspar menyambutku.
Aku belum bisa berkata-kata, alih-alih menjawab, aku malah menangis.
“Kamu hebat, Din. Mas belum pernah melihat tarian yang seperti itu… ”
Karena tarian itu memang ngawur, batinku. Tapi aku tidak mengatakannya. Aku jadi teringat ibu.
“Ibu… ?”
“Oh, iya. Tadi rumah sakit menelepon. Ibumu sudah sadar. Beliau cuma kurang istirahat, karena muntah-muntah jadi dehidrasi. Tekanan darahnya rendah, tapi udah baikan kok sekarang. Kalo kamu mau ke rumah sakit duluan, nanti Caspar yang antar, soalnya Mas masih sibuk.” Jawab mas Adit, bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku hanya mengangguk. Aku segera berganti pakaian dan bergegas ke rumah sakit. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu ibuku dan mengatakan kalau aku akan menari lagi. Keputusanku kali ini atas pilihanku sendiri, bukan karena ibu atau paksaan orang lain. Aku akan menari karena aku menikmatinya.
Dalam perjalanan itu, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Boudewijn Caspar pasti heran karena beberapa saat lalu aku tak bisa berhenti menangis. Masa bodoh. Aku sangat senang karena telah membuat keputusan sendiri.
Cerpen Karangan: Dianika
Facebook: Ikaya Dian
Mengalun
4/
5
Oleh
Unknown