Album Merah Marun

Baca Juga :
    Judul Cerpen Album Merah Marun

    Dunia telah berubah. Kenangan terus tercipta dan banyak tawa serta tangis yang terangkum di dalamnya. Rio berdiri memangku album foto bewarna merah marun di bawah bulan dan bintang yang tersenyum ramah. Walaupun hatinya tetap basah dan tak tahu kapan bisa bahagia menerima semuanya.

    Rio rindu, itu sudah pasti. Sejak 5 tahun yang lalu tak pernah bertemu. Padahal janji telah mereka ikrarkan agar bisa bersama selamanya. Ternyata butuh lebih dari cinta untuk membuat semua itu. Keyakinan untuk bertahan, keikhlasan untuk merelakan dan kebahagian tanpa kehadiran.

    Rio tersenyum ketika jarinya menyentuh dahi di permukaan plastik foto tersebut. Turun ke pipi kemudian dagu. Tetesan air mata tak mampu dia tahan dan jatuh membasahi plastik. Dadanya terasa sesak melihat senyuman hangat pada foto tersebut.

    Rio tidak pernah menyalahkan takdir, yang dia sesalkan adalah tidak menikmati setiap waktu dalam takdir tersebut. Seandainya dia mampu mengulang waktu yang telah terjadi, seandainya dia mampu membingkai wajah menakjubkan itu dan merekam setiap guratan senyumnya.

    Rio memutuskan untuk tidur dalam dekapan selimut yang sebenarnya tidak mampu untuk menghangatkan jiwanya. Matanya memejam dan berharap dengan mimpi agar membawa dia dan tetap tinggal disana.

    Paginya Rio bersiap pergi ke sekolah. Dia memutuskan untuk sarapan pagi dengan roti bakar yang berlapiskan cokelat, persis dengan orang itu. Dia sendiri lagi, dan tak tahu sampai kapan hal ini akan selesai.

    Pulang dari sekolah, Rio membuka pintunya perlahan. Berharap akan datang suatu keajaiban, dimana keramaian datang dan menjemputnya. Namun lagi-lagi sunyi tetap tinggal dan tidak mau pergi, Rio menangis lagi untuk yang kesekian kalinya.

    Hingga dia menutup pintu dan bersender pada kayunya. Dia meluruh jatuh ke lantai dan meringkuk sesenggukan. Rio sudah tidak tahan, mengapa orang itu membuat janji namun tidak dia tepati sendiri?

    Rio mengambil album merah marun dari tas ransel dan membukanya. Dengan tangan gemetar, dia membalikkan tiap lembar foto hingga terisak pada saat dirinya menemukan foto bertuliskan tanggal 5 tahun yang lalu.

    Dia menggeleng keras dan meletakkan album merah marun begitu saja di lantai. Lalu dia menyembunyikan wajahnya pada sela kedua tangan yang memeluk kedua lututnya. Raungan frustasi dan kekesalan terdengar memenuhi ruangan itu, Rio benar-benar menyerah. Jika Tuhan memang ingin mengambil semuanya, Rio akan mengikhlaskan.

    Belaian hangat pada rambut Rio membuat dia semakin menangis. Halusinasi yang terlampaui tinggi terhadap angannya menguasai Rio hingga mengira dirinya menjadi gila.

    Suara bariton itu terdengar, Rio tertegun sementara. Suaranya terdengar jelas dan nyata, bahkan belaian tadi semakin hangat pada kulit kepala Rio. Dia mengangkat kepalanya dan terkejut dengan apa yang ada di depannya.

    Rio mengusap kedua matanya keras untuk memastikan apakah ini mimpi atau realita. Namun setelah melakukan itu, sosok di depannya tak kunjung menghilang.

    Dengan berlinang air mata, Rio langsung menghempaskan tubuhnya begitu saja ke depan. Memeluk tubuhnya dengan sangat erat dan menguncinya agar dia tak pergi lagi dari hidup Rio.

    Rio mengeluarkan lembar foto yang bertuliskan tanggal 5 tahun yang lalu dan menyerahkan kepada orang tersebut. Dia tersenyum sebentar dan membalikkan lembar foto. Orang itu membaca tulisan disana dan sesekali mengusap air matanya yang ternyata juga jatuh sama seperti Rio.

    Orang itu membantu Rio untuk bangun dan mereka berpelukan sekali lagi dengan lama dan erat seperti tak ada pelukan lain di kemudian hari.

    Orang itu berbicara, “Rio sudah makan?” Dengan menggerakkan bibir dan tangannya. Rio menggeleng dan orang tersebut tersenyum serta membawa Rio ke meja makan.

    Hari ini Rio tidak sendiri lagi, bagian semangat hidupnya telah kembali. Rio tidak tidur sendiri lagi, tidak makan sendiri lagi, tidak menonton TV sendiri lagi. Akhirnya sunyi memberi restu kepada Rio agar bahagia dan tak sendiri.

    Lembar foto itu terbuka dan menampilkan tulisan yang tadi dibaca orang itu.

    “My Family, ayah bunda dan aku.

    Aku sayang ayah, jangan tinggalkan aku lagi. Aku telah sendiri selama ini, ayah telah berjanji akan kembali tapi tak pernah menepatinya. Kalau ayah tugas di luar negeri, bawa aku ikut bersama ayah. Apakah ayah malu mempunyai anak seperti aku sehingga tidak mengajakku?

    Bunda telah pergi yah, setiap hari aku melihat foto bunda dan membelainya mulai dari dahi, pipi, hingga dagu. Dia tidak tertawa seperti biasanya jika aku melakukan hal itu. Dia tidak memarahiku lagi jika aku tidur terlalu larut malam. Dia telah pergi, benar-benar pergi.

    Aku sendiri yah, temani aku.”

    Cerpen Karangan: Aldi Murti Firdaus
    Blog: aldimurtifirdaus.blogspot.com

    Artikel Terkait

    Album Merah Marun
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email