Judul Cerpen Anabel (Part 2)
Kami berjelan tergesa menuju kamarku dan melihat Anabel yang menjerit-jerit ketakutan. Aku menarik Anabel ke pelukanku dan menepuk-nepuk pundaknya agar tenang. Anabel masih terisak di pelukanku sedangkan Andra melihat sekeliling kamarku mencari penyebab Anabel menjerit. Perlu beberapa menit hingga Anabel benar-benar tenang dan berhenti menangis.
“Anak itu sudah tenang sekarang jadi aku akan kembali ke kamarku” ucap Andra sambil menguap.
“Tinggalah disini” ucapku sambil menarik lengannya.
Andra langsung tertawa mendengar ucapanku sampai-sampai aku harus menendang kakinya agar berhenti tertawa.
“Wow wow kamu ngajak aku tidur bareng nih?” ucapnya menggodaku.
Aku mendelik padanya tapi dia malah cekikikan lagi.
“Berhenti tertawa, kalau tak mau juga tidak apa-apa, hush pergi sana” ucapku ketus.
“Ckckck bilang aja kalau mau tidur bareng kenapa sih” ucapnya sambil memposisikan tubuhnya tidur di sampingku.
Sebenarnya aku ingin menyangkalnya tapi entahlah aku merasa sangat takut saat ini, aku merasa ada orang yang mengawasiku sejak tadi jadi daripada ketakutan sendirian disini biarlah Andra bepikir semaunya. Aku membaringkan Anabel dan ikut berbaring di sampingnya.
Andra sudah tertidur sejak kepalanya menyentuh bantal beberapa menit lalu, aku mencoba menutup mataku dan tertidur tapi entahlah rasa kantukku hilang entah kemana. Aku berbalik menatap ke arah Andra orang yang sudah selama 2 tahun terikat secara hukum denganku. Bagaimana hubungan kami? ah yah kami hanya teman satu sekolah saat SMA dan kebetulan orangtua kami berteman juga jadi karena alasan keamanan dan pergaulan mereka memaksa kami menikah sebagai persyaratan untuk kuliah di luar kota. Aku dan Andra tipe orang yang tidak terlalu tertarik terhadap hubungan percintaan lawan jenis jadi saat keluarga kami menikahkan kami yah oke-oke aja. Setelah kami menikah, kami hidup sebagai teman serumah, temen jalan-jalan dan teman makan bersama yap kita tidak terlibat hubungan perasaan hanya sekedar teman bahkan kami sepakat agar tidak tidur bersama agar kami tidak terlibat dengan permainan perasaan yang membuat kami canggung. Andra tidak seperti laki-laki kebanyakan, hampir seluruh waktunya dia habiskan sendirian untuk bermain game, belajar dan membantu menjalankan bisnis keluarganya dari jarak jauh. Andra juga bukan orang yang rewel dia tak pernah mencampuri urusanku apapun yang aku lakukan selagi aku menyiapkan pakaian dan makanan untuknya dia tak pernah melarang, katanya selagi aku bisa mempertanggung jawabkan segala yang aku lakukan maka lakukan saja.
Entah sejak kapan aku tertidur sampai mataku kembali terbuka pada jam 3 dini hari karena suara gemericik air. Aku melihat ke kiri dan kananku, Anabel dan Andra masih terlelap di mimpi mereka masing-masing. Aku beranjak dari tempat tidur dan perlahan menuju kamar mandi, aku membuka kamar mandi perlahan dan ternyata tidak ada siapa-siapa disana. Aku menghela nafas lega karena mungkin hanya perasaanku, aku merasa haus jadi kuputuskan untuk pergi mengambil air di dapur. Selewat aku melihat siluet seseorang yang berlari dari ruang tengah menuju belakang rumah, aku diam mematung karena kaget campur takut entahlah aku tak tahu itu nyata atau hanya ilusiku saja. Aku masih diam di tempat ketika ku mendengar langkah seseorang mendekatiku.
“Hai kenapa sudah di dapur pagi buta begini?” tanya Andra menyapaku.
“Ada orang lain selain kita di rumah ini” bisikku.
Andra berjalan ke arah ruang tengah yang sedang kutatap dan menyalakan lampu dan ternyata tidak ada siapa-siapa. Andre menarikku untuk kembali tidur, dia bilang mungkin aku sedikit tertekan karena kejadian kemarin jadi agak paranoid dan menyuruhku untuk banyak-banyak istirahat dan berpikiran positif. Aku mengangguk setuju dengan ucapannya dan menuruti perintahnya untuk istirahat.
Hari berganti hari, seminggu sudah Anabel tinggal bersamaku, pembunuh orangtuanya belum juga ditemukan meskipun sudah dilakukan autopsi tetap saja polisi belum menemukan bukti yang bisa mengarahkan ke tersangka apalagi tidak ada satupun orang yang mencurigakan di sekeliling orangtua Anabel yang berpotensi sebagai tersangka mengingat orangtua Anabel dikenal orang-orang sebagai orang baik. Polisi seperti menemui jalan buntu untuk menyelesaikan kasus ini apalagi Anabel satu-satunya saksi hidup kejadian itu belum juga mau bicara, dia masih sama seperti seminggu lalu belum mau bicara meskipun sudah tak menangis histeris ketika bertemu polisi tapi dia tetap menempel padaku dan tak mau turun dari pangkuanku.
Anabel semakin nempel padaku bahkan terpaksa aku juga harus membawanya ke kampus. Anabel masih belum mau bicara tapi ketika di kampus dia tak menunjukan mata gusar dan penuh rasa takutnya seperti saat di rumah. Temanku menyarankan untuk membelikan alat gambar untuk Anabel jadi meskipun dia belum mau bicara setidaknya kita bisa tahu apa yang dia pikirkan lewat gambar-gambar yang dia buat.
Semenjak malam itu aku merasa ada orang lain yang tinggal di rumahku selain Anabel dan Andra tapi Andra tak percaya ucapanku, dia memintaku untuk jangan berpikiran aneh-aneh dan berkonsultasi dengan psikolog untuk menghilangkan trauma karena melihat situasi di TKP saat itu.
Semenjak malam itu aku berbagi kamar dengan Andra dan Anabel, hampir setiap malam aku sering mendengar suara pergerakan orang tapi anehnya saat aku keluar sudah tidak ada siapa-siapa. Keanehan terus terjadi dari mulai piring, gelas dan sendok yang hilang, makanan yang cepat sekali berkurang di kulkas, sampai baju asing yang tergantung di jemuran bajuku. Awalnya Andra tak percaya tapi setelah baju asing yang kudapatkan kuperlihatkan pada Andra barulah dia curiga apa yang kurisaukan benar adanya.
Aku dan Andra memeriksa seluruh ruangan tapi tak ada siapapun bahkan Andra mengganti semua kunci pintu keluar untuk memastikan tak ada lagi orang yang masuk ke rumah kami. Sebelum tidur Andra menyuruhku untuk membangunkannya jika mendengar suara aneh.
Malam itu saat kami terlelap tidur aku meraba ke sebelah kiriku dan ternyata Anabel tidak ada. Aku langsung bangun dan membangunkan Andra juga untuk mencari Anabel, Aku menyalakan lampu semua ruangan dan menanggil-manggil nama Anabel hingga suara isak tangisnya menuntun kami menemukannya.
Anabel berjongkok di samping mesin cuci dengan tangan yang berlumuran darah dan pintu keluar yang terbuka.
“Ya tuhan Anabel apa yang terjadi?” jeritku histeris.
Anabel menunduk sambil menangis, seseorang melukai pergelangan tangan kecilnya dan mengeluarkan banyak darah. Andra mengendong Anabel mengikat tangannya yang terluka untuk menghentikan pendarahan dan menyuruhku untuk menunggunya di mobil karena dia akan mengambil uang dan handphone ke dalam rumah. Aku terlalu panik untuk mendengar perkataannya jadi aku hanya mengangguk saja, setelah dia pergi barulah aku sadar bagaimana jika orang yang melukai Anabel ada di dalam rumah dan melukai Andra. Aku sangat panik di antara mencari Andra atau tetap di sini menunggu bersama Anabel.
Suara tangisan dan rintihan Anabel perlahan menghilang dan dia menutup matanya.
“Anabel sayang bangun nak, Anabel… Anabel…” teriaku frustasi melihat Anabel tak sadarkan diri.
Aku berteriak memanggil Andra tak berapa lama Andra datang dan langsung tancap gas menuju rumah sakit.
Sepanjang perjalanan aku berusaha untuk tenang meskipun tanganku sudah gemetaran sedangkan Andra sibuk menelepon polisi sambil menyetir dan menceritakan situasinya. Sesampainya di rumah sakit Anabel langsung ditangani dan aku hanya terduduk lemas melihat mereka membawa Anabel masuk. Andra mendekat dan menarikku agar bangun dan duduk di kursi.
“Ini sangat menakutkan” ucapku lirih.
“Tenanglah semua akan baik-baik saja” hibur Andra.
Lama kami menunggu akhirnya dokter yang merawat Anabel keluar juga dan menemui kami. Dokter bilang keadaan Anabel tidak terlalu parah, lukanya tidak memotong pembuluh darah pentingnya, lukanya akan senbuh dakam beberapa hari.
Lepas kepergian dokter polisi datang mengintrogasi kami, Andra menceritakan kornologisnya tapi polisi bilang tak ada tanda-tanda orang masuk ke rumah kami bahkan tak ada sidik jari orang asing di rumah kami dan tak ada barang bukti yang dipakai untuk melukai Anabel.
“Jadi maksud anda tak ada tanda-tanda orang melukai Anabel? lalu darimana Anabel bisa mendapatkan luka di pegelangan tangannya?” Tanyaku heran.
“Yah seperti kasus pembunuhan orangtuanya yang tanpa jejak, orang yang melukai Anabel pun sepertinya orang yang sama. Tapi pertanyaannya kenapa orang itu melukai Anabel sekarang padahal saat membunuh orangtuanya dia tak menyentuhnya sama sekali?” jelas Pak Polisi.
Baik polisi apalagi aku dan Andra sama-sama tak mendapatkan pencerahan sedikitpun, polisi menyuruh kami tinggal di rumah sakit sementara karena sepertinya rumah kami tak aman untuk saat ini. Aku masuk ke ruang rawat Anabel dan melihat gadis kecil itu masih terlelap, aku duduk di sampingnya dan mengelus rambutnya sayang. Andra masuk membawa makanan dan memelukku.
“its okay everything gone be fine” bisiknya.
Aku menangis mendengar ucapannya, entahlah aku merasa lelah mengikuti alur petak umpet yang dibuat si pembunuh. Aku takut pada sesuatu yang belum pernah kulihat dan terlibat pada sesuatu yang tak kuketahui namun kehadirannya terlalu nyata untuk kupungkiri. Andra masih memeluku ketika Anabel sadar dan menatap ke arah kami, matanya berkaca-kaca untuk pertama kali dia bicara.
“Dia bohong…” ucapnya.
“Dia? dia siapa sayang?” tanyaku halus.
Anabel tidak bicara lagi tapi malah menangis lagi, aku mendekat dan memeluknya, menenangkannya agar berhenti menangis. Setelah dia berhenti menangis dia terus menatapku, aku tak berkata apapun dan balas menatapnya sambil tersenyum. Perlahan Anabel menyentuh tanganku dan menggenggamnya sambil berbisik.
“Dia melihat kita selalu melihat kita” bisiknya.
Aku menatapnya tak mengerti tapi tak memaksanya untuk bicara lebih banyak.
“Tidak apa-apa sayang semua akan baik-baik saja” hiburku.
Keadaan Anabel semakin hari semakin membaik, dia mengisi waktunya dengan menggambar ketika aku dan Andra pergi kuliah dan polisi menjaganya dari luar. Aku melihat gambar-gambar hasil Anabel, di setiap gambar Anabel menggambar seseorang berbaju hitam atau tangan hitam yang mengawasi dari belakang. Aku memperlihatkan gambar Anabel pada Andra,
“Sepertinya dia yang dimaksud Anabel adalah seseorang yang dia kenal dan orang itu sepertinya tinggal di rumah kita juga saat Anabel masuk ke rumah kita” ucapku
“Tapi polisi bilang tak ada siapapun di rumah kita, bukankah kita juga sudah memeriksanya dan tak ada siapapun di rumah selain kita”
“Itulah keanehannya, tadi Anabel bilang dia ada dan selalu mengawasi kita dan kurasa dia tak mungkin bohong, lihatlah gambar-gambar yang dia buat juga menunjukan kalau dia sedang diintai oleh seseorang”
Andra menatap gambar-gambar itu dengan seksama,
“Jika memang benar ada penghuni asing di rumah kita, kenapa tidak kita pancing dia keluar” gumamnya.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
Andra tersenyum dan bangkit pamit untuk mempersiapkan segalanya meskipun aku tak tahu apa yang dia siapkan sebenarnya.
Malam itu Andra tak kembali ke rumah sakit, aku terus meneleponnya tapi dia tidak mengangkatnya dan malah mengirim sms agar aku jangan khawatir padanya. Semalaman aku tak tidur karena mengkhawatirkannya, entahlah aku terbiasa selalu bersamanya dan saat dia tak ada rasanya ada yang tidak beres dengan hatiku apalagi situasinya sedang tak aman sekarang.
Pagi hari Andra akhirnya datang ke rumah sakit,
aku langsung memeluknya dan menghujaninya dengan pertanyaan tapi dia malah semakin mempererat pelukannya dan menggumamkan maaf berulang kali.
“Kamu benar, seseorang mencuri makanan kita semalam dan dia sama sekali tidak meninggalkan sidik jari bahkan tak ada jejak kaki yang ditinggalkannya” ucapnya.
Aku memandangnya tak percaya ternyata perasaanku selama ini tak selah memang benar ada orang asing di dalam rumahku. Andra menceritakan semalam dia menyimpan makanan di kulkas dan menghitungnya dulu bahkan memotretnya, tapi di pagi hari makanan itu sudah banyak berkurang tapi tak ada jejak sidik jari siapapun padahal dia sudah memasang selotip di pegangan kulkas. Dilantaipun tak ada jejak kaki lain selain jejak kakinya padahal dia sengaja mengepel lantai dengan banyak debu agar jejak kaki orang terlihat jelas.
“jadi maksudmu ada orang asing yang tinggal di rumah kita tapi dia seperti siluman yang tak bisa terdeteksi?” tanyaku menyimpulkan.
Andra mengangguk menanggapi pertanyaanku, aku menatapnya bingung dan dia pun sama bingungnya seperti ku.
“Anabel, dia pasti tahu tentang orang itu, apa dia sudah bicara lagi?” tanya Andra.
Aku hanya menggeleng, yah Anabel tak pernah bicara lagi setelah saat itu bahkan matanya kembali melirik ketakutan sejak dua hari lalu. Andra mengacak rambutnya frustasi lalu mengajakku untuk sarapan karena dia lapar yah dalam kondisi seperti ini pun dia masih memikirkan untuk mengisi perutnya.
Pulang sarapan dengan Andra aku kembali ke ruang rawat Anabel, anak itu sedang menatap ke arah luar jendela dengan sendu, aku mendekat dan mengelus kepalanya dia berbalik ke arahku dengan bersimbah air mata.
“Maaf aku salah… maaf” bisiknya.
“hai… sayang tidak apa-apa kenapa harus minta maaf?” tanyaku lembut.
“Dia… dia akan membunuh kalian” isaknya.
“Dia? Dia siapa sayang?”
“Dia abang… abangku” jawabnya semakin terisak.
“dia membunuh papah dan mamah sekarang dia mau bunuh kalian juga” isaknya tak jelas.
Aku menarik tubuh Anabel ke pelukanku, gadis kecil itu terus terisak, aku menggapai handphoneku dan segera menghubungi Andra agar kembali ke ruangan rawat Anabel.
Cerpen Karangan: Nina
Facebook: min hyu na
Kami berjelan tergesa menuju kamarku dan melihat Anabel yang menjerit-jerit ketakutan. Aku menarik Anabel ke pelukanku dan menepuk-nepuk pundaknya agar tenang. Anabel masih terisak di pelukanku sedangkan Andra melihat sekeliling kamarku mencari penyebab Anabel menjerit. Perlu beberapa menit hingga Anabel benar-benar tenang dan berhenti menangis.
“Anak itu sudah tenang sekarang jadi aku akan kembali ke kamarku” ucap Andra sambil menguap.
“Tinggalah disini” ucapku sambil menarik lengannya.
Andra langsung tertawa mendengar ucapanku sampai-sampai aku harus menendang kakinya agar berhenti tertawa.
“Wow wow kamu ngajak aku tidur bareng nih?” ucapnya menggodaku.
Aku mendelik padanya tapi dia malah cekikikan lagi.
“Berhenti tertawa, kalau tak mau juga tidak apa-apa, hush pergi sana” ucapku ketus.
“Ckckck bilang aja kalau mau tidur bareng kenapa sih” ucapnya sambil memposisikan tubuhnya tidur di sampingku.
Sebenarnya aku ingin menyangkalnya tapi entahlah aku merasa sangat takut saat ini, aku merasa ada orang yang mengawasiku sejak tadi jadi daripada ketakutan sendirian disini biarlah Andra bepikir semaunya. Aku membaringkan Anabel dan ikut berbaring di sampingnya.
Andra sudah tertidur sejak kepalanya menyentuh bantal beberapa menit lalu, aku mencoba menutup mataku dan tertidur tapi entahlah rasa kantukku hilang entah kemana. Aku berbalik menatap ke arah Andra orang yang sudah selama 2 tahun terikat secara hukum denganku. Bagaimana hubungan kami? ah yah kami hanya teman satu sekolah saat SMA dan kebetulan orangtua kami berteman juga jadi karena alasan keamanan dan pergaulan mereka memaksa kami menikah sebagai persyaratan untuk kuliah di luar kota. Aku dan Andra tipe orang yang tidak terlalu tertarik terhadap hubungan percintaan lawan jenis jadi saat keluarga kami menikahkan kami yah oke-oke aja. Setelah kami menikah, kami hidup sebagai teman serumah, temen jalan-jalan dan teman makan bersama yap kita tidak terlibat hubungan perasaan hanya sekedar teman bahkan kami sepakat agar tidak tidur bersama agar kami tidak terlibat dengan permainan perasaan yang membuat kami canggung. Andra tidak seperti laki-laki kebanyakan, hampir seluruh waktunya dia habiskan sendirian untuk bermain game, belajar dan membantu menjalankan bisnis keluarganya dari jarak jauh. Andra juga bukan orang yang rewel dia tak pernah mencampuri urusanku apapun yang aku lakukan selagi aku menyiapkan pakaian dan makanan untuknya dia tak pernah melarang, katanya selagi aku bisa mempertanggung jawabkan segala yang aku lakukan maka lakukan saja.
Entah sejak kapan aku tertidur sampai mataku kembali terbuka pada jam 3 dini hari karena suara gemericik air. Aku melihat ke kiri dan kananku, Anabel dan Andra masih terlelap di mimpi mereka masing-masing. Aku beranjak dari tempat tidur dan perlahan menuju kamar mandi, aku membuka kamar mandi perlahan dan ternyata tidak ada siapa-siapa disana. Aku menghela nafas lega karena mungkin hanya perasaanku, aku merasa haus jadi kuputuskan untuk pergi mengambil air di dapur. Selewat aku melihat siluet seseorang yang berlari dari ruang tengah menuju belakang rumah, aku diam mematung karena kaget campur takut entahlah aku tak tahu itu nyata atau hanya ilusiku saja. Aku masih diam di tempat ketika ku mendengar langkah seseorang mendekatiku.
“Hai kenapa sudah di dapur pagi buta begini?” tanya Andra menyapaku.
“Ada orang lain selain kita di rumah ini” bisikku.
Andra berjalan ke arah ruang tengah yang sedang kutatap dan menyalakan lampu dan ternyata tidak ada siapa-siapa. Andre menarikku untuk kembali tidur, dia bilang mungkin aku sedikit tertekan karena kejadian kemarin jadi agak paranoid dan menyuruhku untuk banyak-banyak istirahat dan berpikiran positif. Aku mengangguk setuju dengan ucapannya dan menuruti perintahnya untuk istirahat.
Hari berganti hari, seminggu sudah Anabel tinggal bersamaku, pembunuh orangtuanya belum juga ditemukan meskipun sudah dilakukan autopsi tetap saja polisi belum menemukan bukti yang bisa mengarahkan ke tersangka apalagi tidak ada satupun orang yang mencurigakan di sekeliling orangtua Anabel yang berpotensi sebagai tersangka mengingat orangtua Anabel dikenal orang-orang sebagai orang baik. Polisi seperti menemui jalan buntu untuk menyelesaikan kasus ini apalagi Anabel satu-satunya saksi hidup kejadian itu belum juga mau bicara, dia masih sama seperti seminggu lalu belum mau bicara meskipun sudah tak menangis histeris ketika bertemu polisi tapi dia tetap menempel padaku dan tak mau turun dari pangkuanku.
Anabel semakin nempel padaku bahkan terpaksa aku juga harus membawanya ke kampus. Anabel masih belum mau bicara tapi ketika di kampus dia tak menunjukan mata gusar dan penuh rasa takutnya seperti saat di rumah. Temanku menyarankan untuk membelikan alat gambar untuk Anabel jadi meskipun dia belum mau bicara setidaknya kita bisa tahu apa yang dia pikirkan lewat gambar-gambar yang dia buat.
Semenjak malam itu aku merasa ada orang lain yang tinggal di rumahku selain Anabel dan Andra tapi Andra tak percaya ucapanku, dia memintaku untuk jangan berpikiran aneh-aneh dan berkonsultasi dengan psikolog untuk menghilangkan trauma karena melihat situasi di TKP saat itu.
Semenjak malam itu aku berbagi kamar dengan Andra dan Anabel, hampir setiap malam aku sering mendengar suara pergerakan orang tapi anehnya saat aku keluar sudah tidak ada siapa-siapa. Keanehan terus terjadi dari mulai piring, gelas dan sendok yang hilang, makanan yang cepat sekali berkurang di kulkas, sampai baju asing yang tergantung di jemuran bajuku. Awalnya Andra tak percaya tapi setelah baju asing yang kudapatkan kuperlihatkan pada Andra barulah dia curiga apa yang kurisaukan benar adanya.
Aku dan Andra memeriksa seluruh ruangan tapi tak ada siapapun bahkan Andra mengganti semua kunci pintu keluar untuk memastikan tak ada lagi orang yang masuk ke rumah kami. Sebelum tidur Andra menyuruhku untuk membangunkannya jika mendengar suara aneh.
Malam itu saat kami terlelap tidur aku meraba ke sebelah kiriku dan ternyata Anabel tidak ada. Aku langsung bangun dan membangunkan Andra juga untuk mencari Anabel, Aku menyalakan lampu semua ruangan dan menanggil-manggil nama Anabel hingga suara isak tangisnya menuntun kami menemukannya.
Anabel berjongkok di samping mesin cuci dengan tangan yang berlumuran darah dan pintu keluar yang terbuka.
“Ya tuhan Anabel apa yang terjadi?” jeritku histeris.
Anabel menunduk sambil menangis, seseorang melukai pergelangan tangan kecilnya dan mengeluarkan banyak darah. Andra mengendong Anabel mengikat tangannya yang terluka untuk menghentikan pendarahan dan menyuruhku untuk menunggunya di mobil karena dia akan mengambil uang dan handphone ke dalam rumah. Aku terlalu panik untuk mendengar perkataannya jadi aku hanya mengangguk saja, setelah dia pergi barulah aku sadar bagaimana jika orang yang melukai Anabel ada di dalam rumah dan melukai Andra. Aku sangat panik di antara mencari Andra atau tetap di sini menunggu bersama Anabel.
Suara tangisan dan rintihan Anabel perlahan menghilang dan dia menutup matanya.
“Anabel sayang bangun nak, Anabel… Anabel…” teriaku frustasi melihat Anabel tak sadarkan diri.
Aku berteriak memanggil Andra tak berapa lama Andra datang dan langsung tancap gas menuju rumah sakit.
Sepanjang perjalanan aku berusaha untuk tenang meskipun tanganku sudah gemetaran sedangkan Andra sibuk menelepon polisi sambil menyetir dan menceritakan situasinya. Sesampainya di rumah sakit Anabel langsung ditangani dan aku hanya terduduk lemas melihat mereka membawa Anabel masuk. Andra mendekat dan menarikku agar bangun dan duduk di kursi.
“Ini sangat menakutkan” ucapku lirih.
“Tenanglah semua akan baik-baik saja” hibur Andra.
Lama kami menunggu akhirnya dokter yang merawat Anabel keluar juga dan menemui kami. Dokter bilang keadaan Anabel tidak terlalu parah, lukanya tidak memotong pembuluh darah pentingnya, lukanya akan senbuh dakam beberapa hari.
Lepas kepergian dokter polisi datang mengintrogasi kami, Andra menceritakan kornologisnya tapi polisi bilang tak ada tanda-tanda orang masuk ke rumah kami bahkan tak ada sidik jari orang asing di rumah kami dan tak ada barang bukti yang dipakai untuk melukai Anabel.
“Jadi maksud anda tak ada tanda-tanda orang melukai Anabel? lalu darimana Anabel bisa mendapatkan luka di pegelangan tangannya?” Tanyaku heran.
“Yah seperti kasus pembunuhan orangtuanya yang tanpa jejak, orang yang melukai Anabel pun sepertinya orang yang sama. Tapi pertanyaannya kenapa orang itu melukai Anabel sekarang padahal saat membunuh orangtuanya dia tak menyentuhnya sama sekali?” jelas Pak Polisi.
Baik polisi apalagi aku dan Andra sama-sama tak mendapatkan pencerahan sedikitpun, polisi menyuruh kami tinggal di rumah sakit sementara karena sepertinya rumah kami tak aman untuk saat ini. Aku masuk ke ruang rawat Anabel dan melihat gadis kecil itu masih terlelap, aku duduk di sampingnya dan mengelus rambutnya sayang. Andra masuk membawa makanan dan memelukku.
“its okay everything gone be fine” bisiknya.
Aku menangis mendengar ucapannya, entahlah aku merasa lelah mengikuti alur petak umpet yang dibuat si pembunuh. Aku takut pada sesuatu yang belum pernah kulihat dan terlibat pada sesuatu yang tak kuketahui namun kehadirannya terlalu nyata untuk kupungkiri. Andra masih memeluku ketika Anabel sadar dan menatap ke arah kami, matanya berkaca-kaca untuk pertama kali dia bicara.
“Dia bohong…” ucapnya.
“Dia? dia siapa sayang?” tanyaku halus.
Anabel tidak bicara lagi tapi malah menangis lagi, aku mendekat dan memeluknya, menenangkannya agar berhenti menangis. Setelah dia berhenti menangis dia terus menatapku, aku tak berkata apapun dan balas menatapnya sambil tersenyum. Perlahan Anabel menyentuh tanganku dan menggenggamnya sambil berbisik.
“Dia melihat kita selalu melihat kita” bisiknya.
Aku menatapnya tak mengerti tapi tak memaksanya untuk bicara lebih banyak.
“Tidak apa-apa sayang semua akan baik-baik saja” hiburku.
Keadaan Anabel semakin hari semakin membaik, dia mengisi waktunya dengan menggambar ketika aku dan Andra pergi kuliah dan polisi menjaganya dari luar. Aku melihat gambar-gambar hasil Anabel, di setiap gambar Anabel menggambar seseorang berbaju hitam atau tangan hitam yang mengawasi dari belakang. Aku memperlihatkan gambar Anabel pada Andra,
“Sepertinya dia yang dimaksud Anabel adalah seseorang yang dia kenal dan orang itu sepertinya tinggal di rumah kita juga saat Anabel masuk ke rumah kita” ucapku
“Tapi polisi bilang tak ada siapapun di rumah kita, bukankah kita juga sudah memeriksanya dan tak ada siapapun di rumah selain kita”
“Itulah keanehannya, tadi Anabel bilang dia ada dan selalu mengawasi kita dan kurasa dia tak mungkin bohong, lihatlah gambar-gambar yang dia buat juga menunjukan kalau dia sedang diintai oleh seseorang”
Andra menatap gambar-gambar itu dengan seksama,
“Jika memang benar ada penghuni asing di rumah kita, kenapa tidak kita pancing dia keluar” gumamnya.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
Andra tersenyum dan bangkit pamit untuk mempersiapkan segalanya meskipun aku tak tahu apa yang dia siapkan sebenarnya.
Malam itu Andra tak kembali ke rumah sakit, aku terus meneleponnya tapi dia tidak mengangkatnya dan malah mengirim sms agar aku jangan khawatir padanya. Semalaman aku tak tidur karena mengkhawatirkannya, entahlah aku terbiasa selalu bersamanya dan saat dia tak ada rasanya ada yang tidak beres dengan hatiku apalagi situasinya sedang tak aman sekarang.
Pagi hari Andra akhirnya datang ke rumah sakit,
aku langsung memeluknya dan menghujaninya dengan pertanyaan tapi dia malah semakin mempererat pelukannya dan menggumamkan maaf berulang kali.
“Kamu benar, seseorang mencuri makanan kita semalam dan dia sama sekali tidak meninggalkan sidik jari bahkan tak ada jejak kaki yang ditinggalkannya” ucapnya.
Aku memandangnya tak percaya ternyata perasaanku selama ini tak selah memang benar ada orang asing di dalam rumahku. Andra menceritakan semalam dia menyimpan makanan di kulkas dan menghitungnya dulu bahkan memotretnya, tapi di pagi hari makanan itu sudah banyak berkurang tapi tak ada jejak sidik jari siapapun padahal dia sudah memasang selotip di pegangan kulkas. Dilantaipun tak ada jejak kaki lain selain jejak kakinya padahal dia sengaja mengepel lantai dengan banyak debu agar jejak kaki orang terlihat jelas.
“jadi maksudmu ada orang asing yang tinggal di rumah kita tapi dia seperti siluman yang tak bisa terdeteksi?” tanyaku menyimpulkan.
Andra mengangguk menanggapi pertanyaanku, aku menatapnya bingung dan dia pun sama bingungnya seperti ku.
“Anabel, dia pasti tahu tentang orang itu, apa dia sudah bicara lagi?” tanya Andra.
Aku hanya menggeleng, yah Anabel tak pernah bicara lagi setelah saat itu bahkan matanya kembali melirik ketakutan sejak dua hari lalu. Andra mengacak rambutnya frustasi lalu mengajakku untuk sarapan karena dia lapar yah dalam kondisi seperti ini pun dia masih memikirkan untuk mengisi perutnya.
Pulang sarapan dengan Andra aku kembali ke ruang rawat Anabel, anak itu sedang menatap ke arah luar jendela dengan sendu, aku mendekat dan mengelus kepalanya dia berbalik ke arahku dengan bersimbah air mata.
“Maaf aku salah… maaf” bisiknya.
“hai… sayang tidak apa-apa kenapa harus minta maaf?” tanyaku lembut.
“Dia… dia akan membunuh kalian” isaknya.
“Dia? Dia siapa sayang?”
“Dia abang… abangku” jawabnya semakin terisak.
“dia membunuh papah dan mamah sekarang dia mau bunuh kalian juga” isaknya tak jelas.
Aku menarik tubuh Anabel ke pelukanku, gadis kecil itu terus terisak, aku menggapai handphoneku dan segera menghubungi Andra agar kembali ke ruangan rawat Anabel.
Cerpen Karangan: Nina
Facebook: min hyu na
Anabel (Part 2)
4/
5
Oleh
Unknown