Anabel (Part 3)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Anabel (Part 3)

    Tak berapa lama Andra datang dengan nafas ngos-ngosan.
    “Anabel dia bicara, dia menceritakan semuanya” ucapku.
    Andra memandangku bingung.
    “Abangnya… Anabel bilang abangnya pelaku pembunuhan itu dan dia bilang abangnya akan membunuh kita juga” ucapku sedih.
    “Abang? bukankah polisi bilang Anabel anak tunggal, lalu bagaimana mungkin dia punya abang?” tanya Andra heran.
    Aku menggeleng tak tahu, Andra segera menelpon polisi dan menyuruh polisi kembali menyelediki keluarga Anabel, dia juga menceritakan Anabel bicara tentang abangnya. Polisi berterima kasih dan akan mengumpulkan data lain tentang orangtua Anabel, mereka juga menghimbau agar kami tinggal dulu di rumah sakit untuk keamanan. Anabel terlihat lebih tenang sekarang, dia juga mulai bicara ketika menginginkan sesuatu.

    Polisi kembali menemui jalan buntu karena tak ada data yang menunjukan jika keluarga itu memiliki anak lain selain Anabel dan tetangga sekitar rumah baru maupun rumah lama mereka tak ada yang tahu jika mereka memiliki anak selain Anabel, selain itu juga tak ada data jika mereka pernah mengadopsi anak.
    “Anabel abangnya Anabel itu orang seperti apa?” tanyaku pada Anabel yang sibuk menggambar.
    Anabel menghentikan aktivitasnya, matanya bergerak-gerak ketakutan dan dia mulai terisak. Aku mendekat dan memeluknya tampaknya abangnya sudah memberikan trauma dan ketakutan yang besar pada diri Anabel.
    “Tidak apa-apa sayang, abangmu tidak ada di sini, dia tidak akan menyakitimu lagi” hiburku.
    Anabel masih terisak dalam pelukanku, perlahan-lahan tangisnya mereda, dia menatap ke arahku.
    “Bi Tina bilang abang orang baik tapi dia kesepian, aku tak pernah melihat wajahnya karena wajahnya selalu tertutup jaket hitamnya hanya bi Tina yang bisa datang ke atap nemuin abang” jelasnya disela isakannya yang masih terdengar.
    “Bi Tina? Atap? Siapa bi Tina? atap maksudnya abang selama ini tinggal di atap?” tanyaku heran.
    Anabel mengangguk tapi dia tak menceritakan siapa bi Tina, aku pun tidak bisa memaksa dia bicara karena takut dia menangis lagi. Aku menceritakan apa yang dibicarakan Anabel pada Andra tapi justru itu membuatnya semakin membingungkan. Andra akan menelepon polisi tapi tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, aku beranjak untuk membuka pintu dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di hadapanku. Wanita itu tersenyum padaku dan aku pun tersenyum padanya.
    “Cari siapa bu?” tanyaku ramah.
    “Apa benar non Anabel dirawat disini?” tanyanya balik.
    “Iya anda siapa?”
    “Saya pembantu rumah tangga di rumah orangtuanya tapi sejak 3 bulan lalu saya cuti karena suami saya sakit” jelasnya.
    Aku mengangguk mendengar penjelasannya dan memberinya jalan agar dia bisa masuk dan melihat Anabel. Aku duduk di samping ranjang Anabel dan mengusap wajahnya agar terbangun, Anabel terbangun dan menjerit bahagia ketika melihat wanita paruh baya itu dan memanggil wanita itu bi Tina. Anabel sepertinya dekat dengan wanita paruh baya itu, dia juga langsung mau bicara pada wanita itu. Setelah bercengkrama dengan Anabel, bi Tina berbicara denganku, dia banyak-banyak berterima kasih karena aku sudah mau merawat Anabel. Dia juga menceritakan tentang Anabel dan segala hal yaang disukai serta yang tidak disukainya.

    “Bibi kenal kakaknya Anabel?” tanyaku hati-hati.
    Bi Tina menegang ketika aku bertanya tentang abangnya Anabel, awalnya dia mengelak tapi setelah aku menceritakan keadaannya dia malah menangis. Bi Tina tak percaya jika Boy kakaknya Anabel membunuh orangtuanya dan melukai Anabel karena Boy yang dia kenal adalah anak yang baik. Bi Tina menceritakan Boy terlahir cacat, dia memiliki kulit yang bersisik di seluruh tubuhnya, sebelah matanya tidak berfungsi, telinganya kecil sebelah dan bibirnya
    sumbing. Orangtuanya malu dengan keadaan anaknya jadi mereka menyembunyikan sejak lahir hingga sekarang dia berusia 20 tahun. Boy anak yang baik dan tak pernah protes dengan keadaannya dan dia juga sangat menyayangi orangtua dan adiknya, bi Tina tak percaya dia melakukan kejahatan sekeji itu karena bahkan dia tak berani membunuh seekor kecoa.

    Aku tak memaksa bi Tina untuk berbicara lebih banyak tentang Boy tapi dari informasi bi Tina akhirnya kepolisian menemukan kamar tempat tinggal Boy selama ini, di kamar itu pula ditemukan benda tajam yang digunakan untuk membunuh orangtua Anabel tapi sayang dia sudah tak berada di tempat itu, tak ada foto bahkan sidik jari yang bisa menuntun para polisi menemukan dia terlebih dia tak memiliki identitas yang terdaftar. Polisi mencari di seluruh area perumahan dan menghimbau semua orang untuk melaporkan jika ada orang mencurigakan ada di sekitar tempat ini.

    Keadaan Anabel sudah membaik, akhirnya kami pun pulang ke rumah, keadaan rumah masih sama seperti terakhir kali aku tinggalkan hanya saja persediaan makanan benar-benar kosong. Ragu-ragu aku masuk ke kamarku, tak ada yang berubah hanya saja ada bau yang menyengat dari kasurku, entahlah bau apa itu tapi bau anyir menyengat mendominasi. Aku berteriak memanggil Andra dan memperlihatkan apa yang kulihat pada Andra. Andra menyibakkan selimut dan banyak noda di atas seprai selain itu ada juga pakaianku yang berserakan termasuk pakaian dalamku. Aku mengerenyit heran melihatnya, apa mungkin penjahat itu juga orang m*sum, ya ampun ini benar-benar mengerikan.

    Aku membuang semua barang yang aku yakini sudah disentuh tangan si pembunuh, entahlah aku merasa sangat jijik melihat barang-barang itu mengingat pembunuh itu sudah menyentuhnya. Karena tidak ada persediaan makanan akhirnya kami memesan makanan saja untuk makan malam. Aku sengaja memesan makan malam lebih untuk si pembunuh itu dan menyimpannya di dapur. Karena kamarku yang sudah tersentuh orang asing itu jadi kami tidur di kamar Andra.

    Tengah malam aku mendengar seperti langkah seseorang yang diseret, aku membangunkan Andra dan mengajaknya untuk melihat keluar. Perlahan kami keluar dari kamar dan berjalan mengendap-endap sampai aku melihat siluet orang yang duduk di meja makan dalam kegelapan. Andra perlahan berjalan dan menyalakan lampu, aku memekik kaget melihat seseorang ah tidak dia lebih menyerupai monster dibandingkan orang, dia berbalik ke arah kami dan menatap garang. Aku berjalan mendekati Andra yang sama kagetnya melihat orang itu, dia membeku dan menarik tanganku agar berlindung di balik tubuhnya.

    Orang asing itu berdiri dari duduknya, dia tak seberapa tinggi tapi punggungnya menonjol, kulit bersisik memenuhi sebagian wajahnya, dia memakai sarung tangan dan kaos kaki hitam serta baju hitam. Orang itu memegang pisau di tangan kanannya dan menyeringai aneh karena bibirnya sedikit sumbing. Dia berjalan mendekat semakin mendekat.
    “Siapa kau? kenapa ada di rumahku?” Tanya Andra berusaha terlihat tegas meskipun jelas-jelas dia ketakutan.
    Orang itu tak menjawab tapi malah semakin mendekat, orang itu melirik ke arahku dan tersenyum aneh, aku hanya menunduk dan mengeratkan genggaman tanganku dengan Andra. Takut ya rasa takutku membuat keringatku bercucuran dan jantungku berpacu kencang, sekuat mungkin aku bertahan agar tidak pingsan saking takutnya. Orang itu mengayunkan pisaunya hendak menusuk Andra beruntung Andra bisa menendang tangan orang itu hingga pisaunya terlempar jauh. Orang itu menatap garang ke arah Andra lalu menarik kerah piyama Andra dan membantingnya. Aku menjerit kaget ketika tubuhku juga ikut terbanting karena tangan kami bertautan.
    Orang itu beralih menatapku dan mendekat hendak menyentuhku, aku menjerit ketakutan tapi dia semakin mendekat hampir menyentuhku sampai suara jeritan Anabel menghentikannya. Orang itu beralih melihat Anabel yang menjerit dan berlari ke sampingku.
    “Jangan-jangan bunuh lagi” isak Anabel.
    Orang itu menatap Anabel dan menariknya, aku dan Andra juga menarik Anabel agar tidak dibawa orang itu. Anbel menjerit kesakitan, aku memohon agar dia melepaskan Anabel tapi orang itu tak mau dengar dan semakin kuat menarik Anabel. Teriakan Anbel memicu keributan di luar, para tetangga dan polisi berdatangan ke rumah dan menyorotkan lampu. Mendengar keributan orang, dia melepaskan pegangannya dan mundur, dia terlihat ketakutan dan terus mundur beruntung polisi segera memborgol tangannya sebelum dia pergi jauh.

    Orang itu berteriak dengan suara anehnya dan memberontak ketika polisi menariknya, warga yang melihat dia ditarik keluar menatap ngeri melihatnya, tapi ada juga yang memukulnya karena telah membuat resah warga. Aku melihat keramaian di luar dari balik jendela, Anabel sudah tertidur di pangkuan Andra karena lelah menangis. Polisi berterima kasih karena kami mereka bisa menangkapnya dan akan memberitahukan perkembangan kasusnya pada kami.
    Berita penangkapan pembunuh disiarkan disetiap stasiun berita, Anabel terlihat sedih melihat berita itu.

    “Kenapa sedih begitu?” tanyaku
    “Abang hidup di atap sejak dulu dan sekarang dia harus hidup di penjara, kasihan sekali dia” ucapnya sedih.
    “Sayang, pak polisi akan menjaga abangmu jadi jangan khawatir abangmu akan baik-baik saja di sana” hiburku.
    Anabel mengangguk mendengar perkataanku, kepada polisi Boy, anak itu akhirnya mengaku jika dia memang membunuh orangtuanya karena mereka memperlakukan dia dengan cara yang tidak manusiawi. Dia marah karena orangtuanya mengurungnya di atap hanya karena dia cacat, dia juga marah karena orangtuanya memutus dia dengan dunia luar bahkan orangtuanya menganggap dia sebagai monster bukan manusia.

    Apa yang dilakukan Boy memang tidak dibenarkan tapi perlakuan orangtuanya juga salah. Boy dia hanya seorang anak manusia yang ingin hidup layaknya manusia pada umumnya, karena dia tak berhasil mendapatka apa yang dia mau hingga tumbuhlah jiwa kriminal di hatinya hingga tega membunuh orangtuanya sendiri. 20 tahun terisolasi dari dunia luar, yah itu bukan hal mudah bagi seorang anak. Hanya karena dia terlahir cacat bukan berarti seseorang harus diasingkan justru sebagai orangtua atau orang terdekat harusnya lebih memperhatikan dan memberikan semangat agar mereka tidak berkecil hati.

    Mendengar kisah hidup orang itu, aku merasa sangat kasihan padanya yah dia hanyalah korban dari keegoisan dan gengsi orangtuanya dan karena rasa gengsi itulah akhirnya orangtua Anabel terbunuh. Aku bukan merutuki orang yang sudah mati atau menganggap mereka pantas mati dengan cara seperti itu hanya saja apa yang mereka lakukan pada anaknya sendiri benar-benar tidak berperikemanusiaan. Tidak ada anak yang ingin terlahir cacat begitupun juga anak itu, dia tak bisa memilih terlahir seperti apa karena tuhanlah yang berkehendak akan hidup manusia.

    Andra mendekat ke arahku dan memelukku, karena kehidupan kami yang mendadak jadi luar biasa kami semakin dekat dan bersyukur memiliki satu sama lain. Yah karena kami saling memiliki kami sanggup bertahan, aku tak bisa bayangkan jika aku sendirian menjalani hidup seperti kemarin. Anabel mendekat dan ikut memelukku, aku tersenyum dan membalas pelukannya. Anabel gadis kecil inilah korban sebenarnya peristiwa ini, di usianya yang masih kecil dia harus mengalami nasib naas yang menimpa keluarganya padahal dia hanya anak berusia 5 tahun dan tidak tahu apa-apa.

    Aku dan Andra sepakat untuk merawat Anabel bersama untuk waktu yang tak bisa dipastikan, entahlah bagaimana orangtua kami menanggapi semua ini tapi bukankah tak ada salahnya berbuat baik dengan menjaga dan membesarkan anak yatim piatu seperti Anabel. Anabel yah karena hadirnyalah aku mengalami hal yang tak terduga dalam hidupku, yah meskipun sedikit menakutkan tapi setidaknya itu memberi warna berbeda dalam hidupku. Dan karena Anabel pula aku dan Andra sadar betapa berharganya kami saling memiliki setelah menganggap pernikahan kami sesuatu yang tak penting.

    THE END

    Cerpen Karangan: Nina
    Facebook: min hyu na

    Artikel Terkait

    Anabel (Part 3)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email