Judul Cerpen Cinta Tidak Harus Memiliki
Suasana gaduh dan riuh seketika berhenti ketika guru yang terkenal paling killer itu masuk ke dalam kelas. Aku yang sedang duduk di bangku ujung belakang langsung lari terbirit-birit menuju bangkuku yang ada di baris paling depan. aku duduk dengan rapi sambil memasang muka tak berdosaku. Pak Ali hanya menatapku sekilas kemudian berjalan menuju bangku gurunya. Tapi ternyata guru killer ini nggak berjalan sendirian. Ada seseorang di sebelahnya. Aku mengamatinya dari ujung hingga ujung kepala.
“Siapa ini kok baru lihat, penampilannya keren juga, sangat berbeda dengan teman-temanku yang udik” pikirku dalam hati.
Aku hanya mengamati dengan ekor mataku, sambil pura-pura cuek dan menulis di kertas.
“Anak-anak hari ini ada anak baru, silahkan kamu perkenalkan namamu” kata Pak Ali kepada si anak baru itu.
Anak baru yang dimaksud itu pun menghadap ke arah tempat duduk siswa. Semua anak langsung diam memperhatikan anak baru itu. semua seolah terbius dengan pesonanya yang begitu kuat
“Nama saya Azam Bidin Pratama biasa dipanggil Azam. Saya pindahan dari SMP Tunas Karya”
Mendengar suaranya jantungku jadi bergetar entah kenapa yang jelas ini bukan karena aku punya penyakit jantung. Apalagi setelah dia duduk di bangku sebelahku. Hatiku jadi berdesir. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat aku melirik ke arahnya, aku merasa nervous dan grogi setengah mati. Dia begitu keren dan penuh pesona.
“Fa, kamu yang nulis namanya di buku absen ya” pinta Vita padaku.
“Kenapa nggak kamu aj Vit, kamu kan yang sekretarisnya” jawabku agak males.
“Aku lagi males fa, lagian aku juga udah lupa nama lengkapnya tadi.” Katanya beralasan.
Aku pun mengangguk dan mengambil buku absen di meja guru setelah pelajaran pak Ali selesai. Karena aku lupa aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya.
“Zam, nama lengkapmu tadi siapa?” tanyaku dengan suara bergetar sambil menatap dirinya.
“Azam Bidin Pratama” jawabnya singkat padat dan jelas.
Nama yang selalu terngiang di kepalaku, meski bertahun-tahun telah berlalu. Sambil menatap foto di album kenangan yang sudah lusuh itu. aku mengamati wajahnya yang hanya berukuran 3×4 dan tidak berwarna, tapi aku bisa melihat senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya. Senyuman yang mampu membuatku luluh. Album kenangan itu sudah tidak berbentuk lagi, ada sobekan di bagian sana sini. Bahkan sampul depannya pun sudah hampir copot. Namun aku masih menyimpannya karena hanya dengan inilah aku bisa melihat wajahnya. Hanya dengan mengamati foto yang ada di album kenangan ini.
Aku menutup kembali album kenangan itu sambil mengusap airmataku yang tiba-tiba menetes di pipiku. Aku tidak bisa menahan airmataku ketika mengingat kembali kenangan-kenangan itu. kenangan yang membuatku tidak bisa membuka hatiku untuk orang lain. Terlalu sulit untuk melupakannya dan terlalu sakit untuk mengenangnya.
Kulihat mentari pagi di ufuk timur yang mulai menyebarkan seberkas sinarnya ke penjuru dunia. Aku benci mengawali pagi hari ini dengan mengingatnya karena itu hanya membuatku ingin mengeluarkan airmata saja. Aku pun menutup kembali album kenangan itu dan mulai beranjak dari tempat tidurku. Aku menatap wajahku di cermin. Di cermin itu wajahku tampak mengerikan. Dengan mata yang tembem dan rambut yang berantakan serta wajah berekspresi menyedihkan. Aku benar-benar merasa seperti zombie.
“Apa karena wajahku yang seperti zombie inilah yang membuat Azam menjauhiku” pikirku
“Tapi gue nggak sejelek itu kok, ahh mungkin emang gue yang jelek makanya Azam nggak mau gue hubungi lagi” kataku pada diri sendiri.
Hari-hari ini aku selalu aja mikirin dia si Azam yang tak kutahu di mana dan gimana kabarnya. Aku hanya melihatnya dalam angan dan bayangan. Sejak hari perpisahan itu aku sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya. Meski aku sudah mencoba untuk menghubunginya ratusan kali tetap saja dia tidak pernah sekalipun merespon pesan dariku. Ingin aku menemuinya dan menanyakan padanya tapi apa daya aku tak tahu dimana dirinya.
Aku pun segera mandi dan bergegas untuk kuliah. Pagi ini aku merasa tak begitu bersemangat karena semangatku menguap entah kemana. Aku benar-benar malas untuk kuliah. Jangankan kuliah untuk berfikir saja otakku terasa buntu. Kalau dosen yang ngajar hari ini nggak pelitnya minta ampun, aku mending di rumah aja. Karena aku benar-benar nggak mood hari ini.
Setelah selesai aku pun mengambil sepeda motor bututku. Saat aku mengendarai sepeda motor aku teringat sesuatu.
“Ya ampun aku lupa hari ini kan disuruh ngumpulin buku buat referensi, ahh aku mesti ke perpustakaan niihh” keluhku.
Aku pun membelokkan arah sepeda motorku menuju perpustakaan yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampusku. Jalanan sudah mulai ramai berbagai jenis kendaraan yang berlalu lalang. Setelah sampai, ternyata perpustakaan sudah mulai agak ramai. Aku pun masuk dan mencari-cari buku tentang hukum. Lumayan lama aku mencari buku yang disuruh sama dosenku, namun belum ketemu juga.
“Mana sih bukunya, susah banget, katanya di sini ada mana buktinya nggak ada tuh” gerutuku kesal.
Karena lumayan lelah aku pun mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang membaca buku. Tak sengaja mataku mengamati seseorang yang berdiri di samping rak buku sambil memegang sebuah buku tebal. Aku mengamatinya lebih lama lagi karena sepertinya aku nggak asing dengan wajahnya itu. dan benar saja dugaanku. Dia adalah orang yang selama ini aku tunggu.
Lututku langsung gemetaran, bahkan buku yang aku pegang langsung terjatuh dan menimbulkan suara gedebuk. Sontak saja pengunjung yang lain menoleh ke arahku karena mereka merasa terganggu dengan suara yang aku timbulkan. dan dia pun ikut menoleh ke arahku. Aku segera mengambil bukuku dan sembunyi di balik rak buku untuk menenangkan detak jantungku yang tak karuan.
“Apakah dia mengenaliku tadi?” pikirku.
Aku ingin sekali menghampirinya dan menanyakan kenapa selama ini dia tidak pernah mau membalas pesan dariku. Aku ingin sekali memarahinya karena telah membuatku bertanya-tanya dengan tingkahnya yang tak bisa kumengerti. Tapi semua rencana yang dulu kurencanakan itu menguap entah kemana. Aku benar-benar tidak punya keberanian untuk menghampirinya. Memandangnya saja aku tak sanggup. Aku kembali mengintip dari sela-sela rak buku. Alangkah terkejutnya diriku saat melihat dia sudah tidak sendiri lagi.
“Zam, aku sudah dapet bukunya nih, kita langsung balik aja yuk” kata gadis yang ada di sampingnya.
“Tapi aku belum nemu bukunya Rin” jawab Azam sambil mencari-cari buku di rak.
“Emangnya kamu cari buku apa sih?” tanya gadis itu lagi.
“Buku tentang hukum karangannya Satjipto Rahardjo” jawab Azam
“OH buku tentang hukum, kalau buku tentang hukum ya di sebelah sana zam, ayo aku cariin” ajak gadis itu
“Oh di sebelah sana ya, aku nggak tahu, maklum aku baru pertama kali ke perpustakaan ini” jawabnya.
Aku masih sembunyi di balik rak buku, sedangkan aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat dan kemudian aku sadar jika itu adalah langkah kaki Azam dan gadis itu. aku segera berbalik dan ingin segera berlari tapi terlambat karena mereka sudah tepat ada di sampingku.
Azam menatapku, aku pun langsung berbalik ke arah lain mengalihkan pandangannya dariku, pura-pura mencari buku dan pura-pura tidak peduli dengan kehadiran mereka.
“Nah di sini zam, aku tinggal dulu ya mau cari buku di sebelah sana” katanya sambil berbalik menuju rak yang berisi novel-novel.
Kini hanya tinggal aku dan Azam berdua di balik rak buku. Aku jadi bingung dan salah tingkah sendiri. aku melirik ke arah Azam, dan dia juga sedang melihat ke arahku. Aku tak berani untuk menoleh ke arahnya. Aku pun pura-pura sibuk mencari buku dan pura-pura tidak memedulikannya. Jarak kami begitu dekat, namun aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun bahkan untuk sekedar mengatakan “hai” saja aku tak bisa.
Semua kata-kata yang kurangkai jika aku bertemu dengannya sudah tidak tersisa lagi di otakku, menguap entah kemana. Detak jantungku semakin keras. Aku mencoba menarik napas untuk mengurangi detak jantungku yang tak karuan.
Inilah adalah moment yang aku impikan selama ini. bisa bertemu dengan Azam dan bisa berhadapan dengannya. Tapi kenapa aku tak sanggup untuk mengeluarkan suaraku. Aku melirik ke arahnya lagi, dia sepertinya terlalu sibuk mencari buku.
“Dia sepertinya tidak memedulikanku dech, dia juga tidak mau menyapaku. Atau mungkin dia sudah lupa denganku, atau mungkin dia memang pura-pura tidak mengenalku” batinku.
Aku kembali sibuk mencari buku dan mencoba untuk tidak memedulikannya. Meski jauh di dasar hatiku aku ingin sekali menyapa dan menanyakan kabarnya. Tapi melihat mukanya yang sedingin es di kutub utara aku urungkan niat itu.
“Udah dapet bukunya zam?” tanya gadis itu.
“Udah rin, nih” kata Azam sambil memperlihatkan buku yang dibawanya.
Saat aku menoleh ke arah mereka gadis itu mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Aku yang diamati merasa risih sendiri. tapi aku sepertinya mengenal gadis ini deh.
“Syifa?” tanya gadis itu sambil sedikit menjerit.
Aku diam sejenak sambil memikirkan kenapa gadis ini bisa tahu namaku. Setelah kuamati aku baru ingat.
“Karin” kataku.
“Eh loe apa kabar fa? Gue nggak nyangka bisa ketemu loe di sini” tanyanya
“Baik kok rin” jawabku singkat.
Kulirik Azam yang sedang membuang muka seolah-olah tidak peduli dengan kehadiranku.
“Oh ya fa kenalin nih pacar gue namanya Azam” kata Syifa dengan bangga.
Aku terdiam sejenak karena Azam tak sedikit pun menoleh ke arahku. Aku melirik Karin.
“Zam, nih kenalin temenku waktu SMA namanya Syifa” kata Karin pada Azam.
“Ayo langsung balik aja yuk rin, aku udah laper nih” kata Azam mengajak Karin pergi.
“Tapi zam, kamu kan belum kenalan dengan temenku” kata Karin mencoba menolak ajakan Azam.
“Udahlah rin, itu nggak penting ayo kita pergi saja dari sini” Azam langsung menggandeng tangan Karin pergi meninggalkanku yang masih diam terpaku menatap kepergian mereka.
Aku nggak percaya dengan apa yang diucapkan Azam tadi. Dia menganggapku ornag yang tidak penting. Aku menarik nafas sambil mencoba menahan airmataku yang hampir keluar. Dia bahkan tidak mau mengenalku. Apa dia memang tidak ingin aku hadir dalam hidupnya. Apa dia memang sudah benar-benar membenciku. Semua pikiran itu berkecamuk di kepalaku mengiringi langkah kakiku pergi meninggalkan perpustakaan itu. langkahku terhenti saat menuju tempat parkir. Aku melihat Karin dan Azam yang sedang berdebat. Aku pun mengamati perdebatan mereka dari balik tembok.
“Zam kenapa tadi nggak mau kenalan sama Syifa sih” kata Karin
“Aku udah kenal kok” jawab Azam santai.
“Apa??? Kamu udah kenal sama Syifa?” tanya Karin dengan ekspresi terkejut sama terkejutnya dengan diriku saat ini.
“Ya dia temenku waktu SMP” jawabnya dengan dingin
“Tapi kenapa kamu tadi Cuma diem aja saat ketemu sama dia?” tanya Karin lagi.
“Aku lagi males ajar rin, aku kan udah bilang kalau aku lagi laper” jawab Azam.
“Kamu bohong kan zam, pasti kamu nyembunyiin sesuatu, atau jangan-jangan dia itu orang yang membuatmu nggak bisa move on iya kan?” Karin menumpahkan semua luapan emosinya.
Aku yang mendengar itu langsung saja tak sanggup menahan air mataku. Air mataku mengalir deras di pipiku.
“Udahlah rin, aku lagi nggak mau berdebat sama kamu. Dia itu Cuma temen rin nggak lebih. Lagian kalau aku nggak bisa move on aku nggak mungkin kan pacaran sama kamu” jawab Azam dengan suara yang tinggi.
“Bohong, kamu mau jadi pacar aku karena terpaksa iya kan? Karena kamu Cuma kasihan sama aku iya kan?” nada suara Karin tidak kalah tingginya dengan Azam.
Aku yang mendengar itu mencoba menarik nafas dalam-dalam mencoba menahan airmataku agar tidak semakin deras. Aku masih diam mendengarkan semua pembicaraan mereka.
“Udahlah rin, nggak usah bahas ini lagi, mendingan kita pulang aja ya, aku anter ya” ajak Azam.
“Nggak usah aku bisa pulang sendiri” kata Karin sambil berbalik meninggalkan Azam.
Bukannya mengejar, Azam justru hanya diam menatap kepergian Karin.
Aku pun menuju sepeda motor yang ada di tempat parkir. Saat aku mau menghidupkan motor tiba-tiba ada tangan kekar yang memegang tanganku. Saat aku melihat siapa yang memegang tanganku aku kaget karena tangan itu adalah milik Azam.
“Lepasin!!! aku mau pergi” kataku meronta sambil mencoba melepaskan tanganku.
“Aku nggak akan ngelepasin kamu sebelum kamu mau dengerin aku dulu” katanya dengan nada memerintah.
Aku memikirkan perkataannya sebentar, seharusnya aku senang karena Azam mau menghampiriku tapi karena gengsiku dan aku terlanjur sakit hati dengan perkataannya tadi. Aku pun berusaha menolaknya.
“Memangnya kamu mau ngomong apa, bukannya tadi kamu bilang aku ini orang yang nggak penting ya” jawabku.
“Bukan maksudku kayak gitu fa, makanya aku mau ngejelasin semuanya ke kamu. Ayo ikut aku” katanya sambil mnarik tanganku ke sebuah taman di dekat gedung perpustakaan itu.
Azam kemudian mengajakku duduk di salah satu bangku yang ada di taman itu. bangku itu berhadapan langsung dengan sebuah danau kecil dan di belakangnya ada pohon yang cukup besar. Benar-benar tempat yang indah dan sejuk. Selama beberapa saat kami hanya diam menikmati pemandangan yang ada di depan kami. Air yang tenang berwarna kehijauan serta semilir angin yang lembut membuat kami terlena dan melupakan kejadian tadi. Udara siang yang panas tidak terasa. Kemudian aku teringat dan menoleh ke arah Azam yang menatap lurus ke arah danau tersebut.
“Kamu mau ngomong apa zam?” tanyaku menyadarkannya.
“Kamu tahu fa, saat pertama kali kita bertemu kau pura-pura menundukkan kepalamu dan pura-pura tidak peduli padaku. Waktu itu aku sudah tahu jika kau diam-diam suka melirikku dari balik ekor matamu” dia berhenti.
Aku hanya menengok ke arahnya dan diam. Entah kenapa dia menceritakan itu semua sekarang.
“Kamu tahu fa, sejak itu aku sudah suka padamu. Saat kau menanyakan nama lengkapku kau begitu malu-malu untuk bertanya. Waktu itu aku ingin tertawa” lanjutnya sambil tersenyum.
“Sejak itu aku sering memperhatikanmu fa, aku tahu jika kamu juga sering memerhatikanku. Kau pura-pura mengajak ngobrol Ulin padahal aku tahu kamu hanya ingin melirikku kan. Aku tahu fa, jika kau juga suka padaku. Sama sepertiku. Saat hari perpisahan itu aku ingin mengungkapkan perasaanku padamu. Tapi entah kenapa aku tidak punya keberanian untuk itu” tambahnya.
Aku hanya mendengarkan semua yang dia katakan sambil memutar kenangan yang telah bertahun-tahun berlalu. aku tak tahu harus berkata apa. Aku juga nggak mengerti kenapa Azam menceritakan semua ini dan baru mengatakan perasaannya sekarang. Aku diam menunggu Azam melanjutkan kata-katanya.
“aku ingin sekali menemuimu dan bercanda seperti dulu lagi, tapi ibuku justru mengirimku ke luar kota untuk melanjutkan sekolah di sana. Sampai akhirnya ibuku menyuruhku untuk pacaran sama Karin. Awalnya aku menolak karena aku nggak memiliki perasaan apapun ke Karin. Tapi setelah aku tahu umur Karin tidak panjang lagi akhirnya aku menerimanya dan ngejalanin hubungan tanpa rasa cinta” katanya sambil menghela napas panjang.
Sejenak kami saling diam sambil memandang indahnya danau sambil menyelami pikiran masing-masing. Aku tak tahu harus berkata apa. Semua ini terlalu rumit dan mengejutkanku. Untuk beberapa saat kami hanya diam.
“Bulan depan aku akan menikah” kata-kata itu bagai petir yang menyambar.
“Ka… ka.. l..llo gitu selamat zam” kataku sambil mencoba menyembunyikan airmataku yang hampir saja keluar.
Aku mencoba tersenyum sambil mengajaknya untuk berjabat tangan. namun saat dia menjabat tanganku aku tak kuasa untuk menahan airmataku. Aku menangis menumpahkan semua perasaanku yang tak mampu kuucapkan. Airmata ini yang mewakili semua isi hatiku. azam pun menyandarkan kepalaku di dadaku.
“Maafkan aku fa, yang selama ini menghindar darimu. karena aku nggak ingin kamu terluka karena berharap padaku. Selama ini kukira dengan menghindarimu aku bisa melupakanmu fa, tapi ternyata aku salah. Aku masih saja terus memikirkanmu dan tidak bisa melupakan kenangan bersamamu” kata-katanya itu membuat tangisku bertambah keras dan airmataku mengalir begitu deras.
Hanya airmata yang keluar mewakili kesedihanku. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Tenggorokanku terasa kering. Namun akhirnya aku mencoba untuk membuka mulutku.
“Bolehkah aku meminta sesuatu padamu zam?” tanyaku smabil menengadah menatap wajahnya yang terlihat tegar.
“Apa fa?” tanyanya lagi dengan suara yang hampir tak bisa kudengar.
“Tolong katakan jika kamu mencintaiku zam. Dari dulu aku ingin mendengar kalimat itu dari mulutmu” kataku sambil terisak menahan tangisku
Azam mentapku begitu dalam dan lembut. Dari matanya kulihat ada kesediahan yang dia pendam. Aku kembali menatapnya dengan dalam dan tajam.
“Aku mencintaimu fa” katanya dengan suara terisak. Aku menoleh ke arahnya dan kulihat matanya mengeluarkan airmata.
Seharusnya aku bahagia mendengar ucapan Azam barusan, karena itu adalah kalimat yang aku tunggu selama ini. tapi aku justru ingin menangis saat mendengar ucapan itu. aku sadar jika ucapan itu seperti sebuah ucapan perpisahan. Justru kata ini menyadarkanku jika aku tidak bisa bersamanya selamanya. Kalimat itu yang menyadarkanku jika aku tidak bisa memilikinya karena dia telah menjadi milik orang lain
Tiba-tiba kurasakan ada air yang jatuh membasahi rambutku. Aku menengadah dan melihat Azam yang menangis. Aku tak tahu kenapa dia menangis seperti itu. bahkan airmatanya mengalir begitu deras.
“Kamu kenapa zam?” tanyaku sambil terisak.
“Aku nggak tahu fa, kenapa Tuhan bisa setega ini pada kita. Kenapa kita nggak bisa memiliki satu sama lain padahal kita saling mencintai fa. Kenapa?” jawabnya dengan sesenggukan.
“Sudahlah zam, mungkin ini memang yang terbaik untuk kita. Aku yakin Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik. Kamu harus yakin pada-Nya” kataku menghiburnya.
Aku pura-pura tabah di depannya. Padahal aku juga ingin berteriak dan bertanya pada TUhan kenapa Dia setega ini padaku dan Azam. Padahal aku juga tak sanggup menerima kenyataan yang begitu menyakitkan. Kenyataan yang pahit dan sulit untuk kuterima. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya.
Cerpen Karangan: Sri Pujiati
Facebook: Oryza Sativa
Suasana gaduh dan riuh seketika berhenti ketika guru yang terkenal paling killer itu masuk ke dalam kelas. Aku yang sedang duduk di bangku ujung belakang langsung lari terbirit-birit menuju bangkuku yang ada di baris paling depan. aku duduk dengan rapi sambil memasang muka tak berdosaku. Pak Ali hanya menatapku sekilas kemudian berjalan menuju bangku gurunya. Tapi ternyata guru killer ini nggak berjalan sendirian. Ada seseorang di sebelahnya. Aku mengamatinya dari ujung hingga ujung kepala.
“Siapa ini kok baru lihat, penampilannya keren juga, sangat berbeda dengan teman-temanku yang udik” pikirku dalam hati.
Aku hanya mengamati dengan ekor mataku, sambil pura-pura cuek dan menulis di kertas.
“Anak-anak hari ini ada anak baru, silahkan kamu perkenalkan namamu” kata Pak Ali kepada si anak baru itu.
Anak baru yang dimaksud itu pun menghadap ke arah tempat duduk siswa. Semua anak langsung diam memperhatikan anak baru itu. semua seolah terbius dengan pesonanya yang begitu kuat
“Nama saya Azam Bidin Pratama biasa dipanggil Azam. Saya pindahan dari SMP Tunas Karya”
Mendengar suaranya jantungku jadi bergetar entah kenapa yang jelas ini bukan karena aku punya penyakit jantung. Apalagi setelah dia duduk di bangku sebelahku. Hatiku jadi berdesir. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat aku melirik ke arahnya, aku merasa nervous dan grogi setengah mati. Dia begitu keren dan penuh pesona.
“Fa, kamu yang nulis namanya di buku absen ya” pinta Vita padaku.
“Kenapa nggak kamu aj Vit, kamu kan yang sekretarisnya” jawabku agak males.
“Aku lagi males fa, lagian aku juga udah lupa nama lengkapnya tadi.” Katanya beralasan.
Aku pun mengangguk dan mengambil buku absen di meja guru setelah pelajaran pak Ali selesai. Karena aku lupa aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya.
“Zam, nama lengkapmu tadi siapa?” tanyaku dengan suara bergetar sambil menatap dirinya.
“Azam Bidin Pratama” jawabnya singkat padat dan jelas.
Nama yang selalu terngiang di kepalaku, meski bertahun-tahun telah berlalu. Sambil menatap foto di album kenangan yang sudah lusuh itu. aku mengamati wajahnya yang hanya berukuran 3×4 dan tidak berwarna, tapi aku bisa melihat senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya. Senyuman yang mampu membuatku luluh. Album kenangan itu sudah tidak berbentuk lagi, ada sobekan di bagian sana sini. Bahkan sampul depannya pun sudah hampir copot. Namun aku masih menyimpannya karena hanya dengan inilah aku bisa melihat wajahnya. Hanya dengan mengamati foto yang ada di album kenangan ini.
Aku menutup kembali album kenangan itu sambil mengusap airmataku yang tiba-tiba menetes di pipiku. Aku tidak bisa menahan airmataku ketika mengingat kembali kenangan-kenangan itu. kenangan yang membuatku tidak bisa membuka hatiku untuk orang lain. Terlalu sulit untuk melupakannya dan terlalu sakit untuk mengenangnya.
Kulihat mentari pagi di ufuk timur yang mulai menyebarkan seberkas sinarnya ke penjuru dunia. Aku benci mengawali pagi hari ini dengan mengingatnya karena itu hanya membuatku ingin mengeluarkan airmata saja. Aku pun menutup kembali album kenangan itu dan mulai beranjak dari tempat tidurku. Aku menatap wajahku di cermin. Di cermin itu wajahku tampak mengerikan. Dengan mata yang tembem dan rambut yang berantakan serta wajah berekspresi menyedihkan. Aku benar-benar merasa seperti zombie.
“Apa karena wajahku yang seperti zombie inilah yang membuat Azam menjauhiku” pikirku
“Tapi gue nggak sejelek itu kok, ahh mungkin emang gue yang jelek makanya Azam nggak mau gue hubungi lagi” kataku pada diri sendiri.
Hari-hari ini aku selalu aja mikirin dia si Azam yang tak kutahu di mana dan gimana kabarnya. Aku hanya melihatnya dalam angan dan bayangan. Sejak hari perpisahan itu aku sudah tidak pernah bertemu lagi dengannya. Meski aku sudah mencoba untuk menghubunginya ratusan kali tetap saja dia tidak pernah sekalipun merespon pesan dariku. Ingin aku menemuinya dan menanyakan padanya tapi apa daya aku tak tahu dimana dirinya.
Aku pun segera mandi dan bergegas untuk kuliah. Pagi ini aku merasa tak begitu bersemangat karena semangatku menguap entah kemana. Aku benar-benar malas untuk kuliah. Jangankan kuliah untuk berfikir saja otakku terasa buntu. Kalau dosen yang ngajar hari ini nggak pelitnya minta ampun, aku mending di rumah aja. Karena aku benar-benar nggak mood hari ini.
Setelah selesai aku pun mengambil sepeda motor bututku. Saat aku mengendarai sepeda motor aku teringat sesuatu.
“Ya ampun aku lupa hari ini kan disuruh ngumpulin buku buat referensi, ahh aku mesti ke perpustakaan niihh” keluhku.
Aku pun membelokkan arah sepeda motorku menuju perpustakaan yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampusku. Jalanan sudah mulai ramai berbagai jenis kendaraan yang berlalu lalang. Setelah sampai, ternyata perpustakaan sudah mulai agak ramai. Aku pun masuk dan mencari-cari buku tentang hukum. Lumayan lama aku mencari buku yang disuruh sama dosenku, namun belum ketemu juga.
“Mana sih bukunya, susah banget, katanya di sini ada mana buktinya nggak ada tuh” gerutuku kesal.
Karena lumayan lelah aku pun mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang membaca buku. Tak sengaja mataku mengamati seseorang yang berdiri di samping rak buku sambil memegang sebuah buku tebal. Aku mengamatinya lebih lama lagi karena sepertinya aku nggak asing dengan wajahnya itu. dan benar saja dugaanku. Dia adalah orang yang selama ini aku tunggu.
Lututku langsung gemetaran, bahkan buku yang aku pegang langsung terjatuh dan menimbulkan suara gedebuk. Sontak saja pengunjung yang lain menoleh ke arahku karena mereka merasa terganggu dengan suara yang aku timbulkan. dan dia pun ikut menoleh ke arahku. Aku segera mengambil bukuku dan sembunyi di balik rak buku untuk menenangkan detak jantungku yang tak karuan.
“Apakah dia mengenaliku tadi?” pikirku.
Aku ingin sekali menghampirinya dan menanyakan kenapa selama ini dia tidak pernah mau membalas pesan dariku. Aku ingin sekali memarahinya karena telah membuatku bertanya-tanya dengan tingkahnya yang tak bisa kumengerti. Tapi semua rencana yang dulu kurencanakan itu menguap entah kemana. Aku benar-benar tidak punya keberanian untuk menghampirinya. Memandangnya saja aku tak sanggup. Aku kembali mengintip dari sela-sela rak buku. Alangkah terkejutnya diriku saat melihat dia sudah tidak sendiri lagi.
“Zam, aku sudah dapet bukunya nih, kita langsung balik aja yuk” kata gadis yang ada di sampingnya.
“Tapi aku belum nemu bukunya Rin” jawab Azam sambil mencari-cari buku di rak.
“Emangnya kamu cari buku apa sih?” tanya gadis itu lagi.
“Buku tentang hukum karangannya Satjipto Rahardjo” jawab Azam
“OH buku tentang hukum, kalau buku tentang hukum ya di sebelah sana zam, ayo aku cariin” ajak gadis itu
“Oh di sebelah sana ya, aku nggak tahu, maklum aku baru pertama kali ke perpustakaan ini” jawabnya.
Aku masih sembunyi di balik rak buku, sedangkan aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat dan kemudian aku sadar jika itu adalah langkah kaki Azam dan gadis itu. aku segera berbalik dan ingin segera berlari tapi terlambat karena mereka sudah tepat ada di sampingku.
Azam menatapku, aku pun langsung berbalik ke arah lain mengalihkan pandangannya dariku, pura-pura mencari buku dan pura-pura tidak peduli dengan kehadiran mereka.
“Nah di sini zam, aku tinggal dulu ya mau cari buku di sebelah sana” katanya sambil berbalik menuju rak yang berisi novel-novel.
Kini hanya tinggal aku dan Azam berdua di balik rak buku. Aku jadi bingung dan salah tingkah sendiri. aku melirik ke arah Azam, dan dia juga sedang melihat ke arahku. Aku tak berani untuk menoleh ke arahnya. Aku pun pura-pura sibuk mencari buku dan pura-pura tidak memedulikannya. Jarak kami begitu dekat, namun aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun bahkan untuk sekedar mengatakan “hai” saja aku tak bisa.
Semua kata-kata yang kurangkai jika aku bertemu dengannya sudah tidak tersisa lagi di otakku, menguap entah kemana. Detak jantungku semakin keras. Aku mencoba menarik napas untuk mengurangi detak jantungku yang tak karuan.
Inilah adalah moment yang aku impikan selama ini. bisa bertemu dengan Azam dan bisa berhadapan dengannya. Tapi kenapa aku tak sanggup untuk mengeluarkan suaraku. Aku melirik ke arahnya lagi, dia sepertinya terlalu sibuk mencari buku.
“Dia sepertinya tidak memedulikanku dech, dia juga tidak mau menyapaku. Atau mungkin dia sudah lupa denganku, atau mungkin dia memang pura-pura tidak mengenalku” batinku.
Aku kembali sibuk mencari buku dan mencoba untuk tidak memedulikannya. Meski jauh di dasar hatiku aku ingin sekali menyapa dan menanyakan kabarnya. Tapi melihat mukanya yang sedingin es di kutub utara aku urungkan niat itu.
“Udah dapet bukunya zam?” tanya gadis itu.
“Udah rin, nih” kata Azam sambil memperlihatkan buku yang dibawanya.
Saat aku menoleh ke arah mereka gadis itu mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Aku yang diamati merasa risih sendiri. tapi aku sepertinya mengenal gadis ini deh.
“Syifa?” tanya gadis itu sambil sedikit menjerit.
Aku diam sejenak sambil memikirkan kenapa gadis ini bisa tahu namaku. Setelah kuamati aku baru ingat.
“Karin” kataku.
“Eh loe apa kabar fa? Gue nggak nyangka bisa ketemu loe di sini” tanyanya
“Baik kok rin” jawabku singkat.
Kulirik Azam yang sedang membuang muka seolah-olah tidak peduli dengan kehadiranku.
“Oh ya fa kenalin nih pacar gue namanya Azam” kata Syifa dengan bangga.
Aku terdiam sejenak karena Azam tak sedikit pun menoleh ke arahku. Aku melirik Karin.
“Zam, nih kenalin temenku waktu SMA namanya Syifa” kata Karin pada Azam.
“Ayo langsung balik aja yuk rin, aku udah laper nih” kata Azam mengajak Karin pergi.
“Tapi zam, kamu kan belum kenalan dengan temenku” kata Karin mencoba menolak ajakan Azam.
“Udahlah rin, itu nggak penting ayo kita pergi saja dari sini” Azam langsung menggandeng tangan Karin pergi meninggalkanku yang masih diam terpaku menatap kepergian mereka.
Aku nggak percaya dengan apa yang diucapkan Azam tadi. Dia menganggapku ornag yang tidak penting. Aku menarik nafas sambil mencoba menahan airmataku yang hampir keluar. Dia bahkan tidak mau mengenalku. Apa dia memang tidak ingin aku hadir dalam hidupnya. Apa dia memang sudah benar-benar membenciku. Semua pikiran itu berkecamuk di kepalaku mengiringi langkah kakiku pergi meninggalkan perpustakaan itu. langkahku terhenti saat menuju tempat parkir. Aku melihat Karin dan Azam yang sedang berdebat. Aku pun mengamati perdebatan mereka dari balik tembok.
“Zam kenapa tadi nggak mau kenalan sama Syifa sih” kata Karin
“Aku udah kenal kok” jawab Azam santai.
“Apa??? Kamu udah kenal sama Syifa?” tanya Karin dengan ekspresi terkejut sama terkejutnya dengan diriku saat ini.
“Ya dia temenku waktu SMP” jawabnya dengan dingin
“Tapi kenapa kamu tadi Cuma diem aja saat ketemu sama dia?” tanya Karin lagi.
“Aku lagi males ajar rin, aku kan udah bilang kalau aku lagi laper” jawab Azam.
“Kamu bohong kan zam, pasti kamu nyembunyiin sesuatu, atau jangan-jangan dia itu orang yang membuatmu nggak bisa move on iya kan?” Karin menumpahkan semua luapan emosinya.
Aku yang mendengar itu langsung saja tak sanggup menahan air mataku. Air mataku mengalir deras di pipiku.
“Udahlah rin, aku lagi nggak mau berdebat sama kamu. Dia itu Cuma temen rin nggak lebih. Lagian kalau aku nggak bisa move on aku nggak mungkin kan pacaran sama kamu” jawab Azam dengan suara yang tinggi.
“Bohong, kamu mau jadi pacar aku karena terpaksa iya kan? Karena kamu Cuma kasihan sama aku iya kan?” nada suara Karin tidak kalah tingginya dengan Azam.
Aku yang mendengar itu mencoba menarik nafas dalam-dalam mencoba menahan airmataku agar tidak semakin deras. Aku masih diam mendengarkan semua pembicaraan mereka.
“Udahlah rin, nggak usah bahas ini lagi, mendingan kita pulang aja ya, aku anter ya” ajak Azam.
“Nggak usah aku bisa pulang sendiri” kata Karin sambil berbalik meninggalkan Azam.
Bukannya mengejar, Azam justru hanya diam menatap kepergian Karin.
Aku pun menuju sepeda motor yang ada di tempat parkir. Saat aku mau menghidupkan motor tiba-tiba ada tangan kekar yang memegang tanganku. Saat aku melihat siapa yang memegang tanganku aku kaget karena tangan itu adalah milik Azam.
“Lepasin!!! aku mau pergi” kataku meronta sambil mencoba melepaskan tanganku.
“Aku nggak akan ngelepasin kamu sebelum kamu mau dengerin aku dulu” katanya dengan nada memerintah.
Aku memikirkan perkataannya sebentar, seharusnya aku senang karena Azam mau menghampiriku tapi karena gengsiku dan aku terlanjur sakit hati dengan perkataannya tadi. Aku pun berusaha menolaknya.
“Memangnya kamu mau ngomong apa, bukannya tadi kamu bilang aku ini orang yang nggak penting ya” jawabku.
“Bukan maksudku kayak gitu fa, makanya aku mau ngejelasin semuanya ke kamu. Ayo ikut aku” katanya sambil mnarik tanganku ke sebuah taman di dekat gedung perpustakaan itu.
Azam kemudian mengajakku duduk di salah satu bangku yang ada di taman itu. bangku itu berhadapan langsung dengan sebuah danau kecil dan di belakangnya ada pohon yang cukup besar. Benar-benar tempat yang indah dan sejuk. Selama beberapa saat kami hanya diam menikmati pemandangan yang ada di depan kami. Air yang tenang berwarna kehijauan serta semilir angin yang lembut membuat kami terlena dan melupakan kejadian tadi. Udara siang yang panas tidak terasa. Kemudian aku teringat dan menoleh ke arah Azam yang menatap lurus ke arah danau tersebut.
“Kamu mau ngomong apa zam?” tanyaku menyadarkannya.
“Kamu tahu fa, saat pertama kali kita bertemu kau pura-pura menundukkan kepalamu dan pura-pura tidak peduli padaku. Waktu itu aku sudah tahu jika kau diam-diam suka melirikku dari balik ekor matamu” dia berhenti.
Aku hanya menengok ke arahnya dan diam. Entah kenapa dia menceritakan itu semua sekarang.
“Kamu tahu fa, sejak itu aku sudah suka padamu. Saat kau menanyakan nama lengkapku kau begitu malu-malu untuk bertanya. Waktu itu aku ingin tertawa” lanjutnya sambil tersenyum.
“Sejak itu aku sering memperhatikanmu fa, aku tahu jika kamu juga sering memerhatikanku. Kau pura-pura mengajak ngobrol Ulin padahal aku tahu kamu hanya ingin melirikku kan. Aku tahu fa, jika kau juga suka padaku. Sama sepertiku. Saat hari perpisahan itu aku ingin mengungkapkan perasaanku padamu. Tapi entah kenapa aku tidak punya keberanian untuk itu” tambahnya.
Aku hanya mendengarkan semua yang dia katakan sambil memutar kenangan yang telah bertahun-tahun berlalu. aku tak tahu harus berkata apa. Aku juga nggak mengerti kenapa Azam menceritakan semua ini dan baru mengatakan perasaannya sekarang. Aku diam menunggu Azam melanjutkan kata-katanya.
“aku ingin sekali menemuimu dan bercanda seperti dulu lagi, tapi ibuku justru mengirimku ke luar kota untuk melanjutkan sekolah di sana. Sampai akhirnya ibuku menyuruhku untuk pacaran sama Karin. Awalnya aku menolak karena aku nggak memiliki perasaan apapun ke Karin. Tapi setelah aku tahu umur Karin tidak panjang lagi akhirnya aku menerimanya dan ngejalanin hubungan tanpa rasa cinta” katanya sambil menghela napas panjang.
Sejenak kami saling diam sambil memandang indahnya danau sambil menyelami pikiran masing-masing. Aku tak tahu harus berkata apa. Semua ini terlalu rumit dan mengejutkanku. Untuk beberapa saat kami hanya diam.
“Bulan depan aku akan menikah” kata-kata itu bagai petir yang menyambar.
“Ka… ka.. l..llo gitu selamat zam” kataku sambil mencoba menyembunyikan airmataku yang hampir saja keluar.
Aku mencoba tersenyum sambil mengajaknya untuk berjabat tangan. namun saat dia menjabat tanganku aku tak kuasa untuk menahan airmataku. Aku menangis menumpahkan semua perasaanku yang tak mampu kuucapkan. Airmata ini yang mewakili semua isi hatiku. azam pun menyandarkan kepalaku di dadaku.
“Maafkan aku fa, yang selama ini menghindar darimu. karena aku nggak ingin kamu terluka karena berharap padaku. Selama ini kukira dengan menghindarimu aku bisa melupakanmu fa, tapi ternyata aku salah. Aku masih saja terus memikirkanmu dan tidak bisa melupakan kenangan bersamamu” kata-katanya itu membuat tangisku bertambah keras dan airmataku mengalir begitu deras.
Hanya airmata yang keluar mewakili kesedihanku. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Tenggorokanku terasa kering. Namun akhirnya aku mencoba untuk membuka mulutku.
“Bolehkah aku meminta sesuatu padamu zam?” tanyaku smabil menengadah menatap wajahnya yang terlihat tegar.
“Apa fa?” tanyanya lagi dengan suara yang hampir tak bisa kudengar.
“Tolong katakan jika kamu mencintaiku zam. Dari dulu aku ingin mendengar kalimat itu dari mulutmu” kataku sambil terisak menahan tangisku
Azam mentapku begitu dalam dan lembut. Dari matanya kulihat ada kesediahan yang dia pendam. Aku kembali menatapnya dengan dalam dan tajam.
“Aku mencintaimu fa” katanya dengan suara terisak. Aku menoleh ke arahnya dan kulihat matanya mengeluarkan airmata.
Seharusnya aku bahagia mendengar ucapan Azam barusan, karena itu adalah kalimat yang aku tunggu selama ini. tapi aku justru ingin menangis saat mendengar ucapan itu. aku sadar jika ucapan itu seperti sebuah ucapan perpisahan. Justru kata ini menyadarkanku jika aku tidak bisa bersamanya selamanya. Kalimat itu yang menyadarkanku jika aku tidak bisa memilikinya karena dia telah menjadi milik orang lain
Tiba-tiba kurasakan ada air yang jatuh membasahi rambutku. Aku menengadah dan melihat Azam yang menangis. Aku tak tahu kenapa dia menangis seperti itu. bahkan airmatanya mengalir begitu deras.
“Kamu kenapa zam?” tanyaku sambil terisak.
“Aku nggak tahu fa, kenapa Tuhan bisa setega ini pada kita. Kenapa kita nggak bisa memiliki satu sama lain padahal kita saling mencintai fa. Kenapa?” jawabnya dengan sesenggukan.
“Sudahlah zam, mungkin ini memang yang terbaik untuk kita. Aku yakin Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik. Kamu harus yakin pada-Nya” kataku menghiburnya.
Aku pura-pura tabah di depannya. Padahal aku juga ingin berteriak dan bertanya pada TUhan kenapa Dia setega ini padaku dan Azam. Padahal aku juga tak sanggup menerima kenyataan yang begitu menyakitkan. Kenyataan yang pahit dan sulit untuk kuterima. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya.
Cerpen Karangan: Sri Pujiati
Facebook: Oryza Sativa
Cinta Tidak Harus Memiliki
4/
5
Oleh
Unknown