Judul Cerpen Memento
Ini pagi yang biasa. Hari yang biasa. Melakukan rutinitas selama 5 hari di tempat yang bernama sekolah. Ya, apalagi kalau bukan belajar. Aku hanya seorang remaja biasa, yang duduk di kelas 1 SMP, di suatu sekolah negeri di Jakarta. Aku punya cukup banyak teman, baik yang sekelas maupun tidak, meskipun kuakui aku kurang sering bergaul.
Di antara mereka, ada seorang temanku yang cantik, baik, namun tidak terlalu pintar. Namanya Caroline. Dia berasal dari kelas lain. Ketika pertama kali melihatnya, aku dibuat terkesima karena tidak seperti perempuan lain, dia tampak seperti malaikat.
“Halo, aku Dimas” Kataku memulai percakapan.
“Halo, aku Caroline” Jawabnya dengan lembut.
“Kamu kelas berapa?”
“Itu disitu.” Sambil menunjuk kelasnya.
“Oh, kita kelasnya dekat juga ya.”
“Iya”
Singkat cerita, seiring dengan waktu, aku berteman baik dengannya. Dia sering bertanya tentang PR, kadang dia juga membantuku. Tetapi, seseorang pernah berkata, bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang bersahabat tidak akan pernah benar-benar bersahabat. Akan ada dari mereka yang memiliki rasa. Dan itu terjadi padaku.
Awalnya, aku tidak langsung mengutarakannya. Aku mendekatinya secara perlahan-lahan. Meski dia tampak tak merespon, tetapi Bu Susy, guru Bahasa Indonesiaku, sering mencomblangkanku dengan Caroline. Dia mengatakan, bahwa aku disukai olehnya. Mendengar hal itu, aku langsung mengelak, meski dalam hati aku sebenarnya gembira.
Bulan demi bulan berlalu, kami hanya punya hubungan teman. Dan kami menjadi panitia dalam acara sekolah, di bidang kebersihan, dengan aku sebagai pemimpin dan Caroline sebagai pencatat pengeluaran. Dia jarang masuk kerja karena dilarang oleh orangtuanya. Namun, suatu hari, aku menemukan name tagnya tergeletak begitu saja di atas meja. Aku lantas mengambilnya dengan niat mengembalikannya.
Menjelang kenaikan kelas, aku tidak banyak berbicara dengannya. Tetapi aku sempat mengumpulkan menemaninya mengumpulkan tugas terakhirnya sebelum kami naik kelas. Sepanjang libur kenaikan kelas, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, tetapi aku sering memikirkan Caroline.
Akhirnya, aku kelas 2 SMP!! Hari pertama sekolah adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu. Tetapi sejenak aku memikirkan Caroline, berencana mengembalikan name tagnya. Tetapi seharian itu aku tidak bertemu dengannya.
“Paling dia belum masuk” Pikirku.
Tetapi hingga beberapa hari kemudian, aku masih tak kunjung melihatnya. Sampai Sila, teman perempuanku yang juga teman Caroline, memberitahukan hal yang mengejutkanku.
“Dia ‘kan udah pindah ke Manado, Mas. Dia bilang kepadaku.” Katanya.
Ketika kudengar hal itu, raut wajahku langsung berubah. Aku seakan tak percaya dengan apa yang kudengar. Hatiku bergejolak tak karuan.
“Dia pindah tapi gak bilang-bilang?!” Kataku kesal bercampur sedih.
Aku serasa ingin menangis. Mengapa dia pergi bahkan sebelum aku bisa mengucapkan selamat tinggal? Sambil memegang name tagnya, aku termenung dalam sedih.
Sejak saat itu aku jadi lebih murung dari sebelumnya, namun aku menyembunyikan semua perkaraku sendiri. Dan itu berlangsung selama berminggu-minggu. Tidak ada yang tahu mengenai masalahku ini. Tidak ada yang tahu kecuali Sila, yang notabene tahu tentang hubungan kami, dan dia juga yang memberitahukan bahwa Caroline sudah pindah.
“Belakangan, kamu murung melulu” Katanya suatu hari, di bulan September.
“Gak¸ biasa aja.”
“Udahlah, gak usah pura-pura. Kamu kangen Caroline ‘kan?” Aku hanya terdiam.
“Ya, aku kangen banget sama dia. Dia gak hilang-hilang dari otakku” Kataku sedikit terisak.
“Tuh ‘kan bener, sudahlah, ‘kan dia bukan tujuan hidupmu. Jangan terlalu dipikirin.”
“Ya, aku tahu itu, tapi tetap saja…”
“Ya, sekarang coba aja buat lupain dia. ‘Kan masih banyak cewek lain.”
“Ya, termasuk kamu” Kataku sedikit bercanda.
“Heh, apaan sih?” Jawabnya. Kami berdua sedikit tertawa, sambil menikmati angin sepoi-sepoi di pinggir balkon.
Aku masih tak bisa lepas dari cengkraman kenangan itu hingga beberapa minggu. Sampai aku melihat suatu kutipan dari serial TV yang sering kutonton. Ada seorang tokohnya yang mengatakan bahwa hidup adalah jalan panjang menuju sebuah tujuan. Jatuhkan beban beratmu dan nikmati berjalan dengan tangan kosong.
Setelah aku melihatnya, aku sadar, kesedihanku hanya akan jadi penghambat menuju tujuan hidupku yang sebenarnya, yang masih jauh di ujung sana. Jadi, aku memutuskan melepaskan beban berat di hatiku itu.
Ketika kuputuskan hal itu, aku merasa lebih bebas. Hatiku menjadi jauh lebih damai dari sebelumnya. Kemudian aku teringat akan name tagnya. Ketika melihatnya, aku kembali teringat dia, dan menjadikannya sebagai memento, atau kenang-kenangan akannya. Benda ini akan membuatku selalu mengingatnya. Sambil menatap langit biru disertai tiupan angin sepoi-sepoi, aku percaya dan bertekad akan menemuinya lagi, suatu saat, suatu waktu, di masa depan. Pasti.
Beberapa bulan kemudian
“WOI!!”
Suara teriakan seseorang membuyarkan lamunanku. Ck, padahal aku sedang serius mencari inspirasi untuk tugas membuat puisi. Padahal PR membuat puisi tinggal 3 minggu lagi.
“Gak usah teriak-teriak, dong” Kataku.
“Kamu dipanggil dari tadi gak nyahut-nyahut, ya aku teriak. Tadinya kalau kamu gak nyahut juga, aku mau siram pakai air seember.” Kata Sila dengan sedikit kesal.
“Emang berani?” Tantangku.
“Ya beranilah, sini cobain ya.”
“Jangan marah-marah mulu dong. Iya iya, maaf. Ada apa sih manggil-manggil?”
“Itu lho, besok ada yang ulang tahun, ‘kan?”
“Memang ada yang… OH IYA!! Caroline besok ulang tahun.”
“Kamu gak mau ngucapin?”
“Ya, tapi nanti. Lewat Facebook aja.”
“Oh, ya sudah.”
Besoknya, aku mengucapkan selamat ulang tahun kepada Caroline lewat Facebook. Meskipun hanya dibaca, aku sudah cukup senang. Mungkin dia masih ingat, mungkin juga tidak, dan meskipun tidak, aku akan tetap berharap padanya.
Sambil merenungkan itu, aku melihat ke lapangan sekolah lewat balkon sembari menikmati angin sepoi-sepoi. Tiba-tiba Sila ada di sampingku.
“Bengong aja.” Katanya memulai percakapan.
“Sudah ngucapin selamat ulang tahun ke Caroline?” Lanjutnya.
“Sudah.”
“Terus?”
“Cuma diread. Tapi gak apa-apa. Yang penting sudah ngucapin.”
“Hm.. ya udah deh, aku ke kelas dulu ya.” Katanya sambil tersenyum.
“Ya.”
Ketika melihatnya berlalu, aku seperti pertama kali melihat Caroline. Kemudian aku kembali melihat ke langit, dan tersenyum.
“Mungkinkah?”
Cerpen Karangan: Dimas Ignatius
Facebook: Dimas Ignatius
Ini pagi yang biasa. Hari yang biasa. Melakukan rutinitas selama 5 hari di tempat yang bernama sekolah. Ya, apalagi kalau bukan belajar. Aku hanya seorang remaja biasa, yang duduk di kelas 1 SMP, di suatu sekolah negeri di Jakarta. Aku punya cukup banyak teman, baik yang sekelas maupun tidak, meskipun kuakui aku kurang sering bergaul.
Di antara mereka, ada seorang temanku yang cantik, baik, namun tidak terlalu pintar. Namanya Caroline. Dia berasal dari kelas lain. Ketika pertama kali melihatnya, aku dibuat terkesima karena tidak seperti perempuan lain, dia tampak seperti malaikat.
“Halo, aku Dimas” Kataku memulai percakapan.
“Halo, aku Caroline” Jawabnya dengan lembut.
“Kamu kelas berapa?”
“Itu disitu.” Sambil menunjuk kelasnya.
“Oh, kita kelasnya dekat juga ya.”
“Iya”
Singkat cerita, seiring dengan waktu, aku berteman baik dengannya. Dia sering bertanya tentang PR, kadang dia juga membantuku. Tetapi, seseorang pernah berkata, bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang bersahabat tidak akan pernah benar-benar bersahabat. Akan ada dari mereka yang memiliki rasa. Dan itu terjadi padaku.
Awalnya, aku tidak langsung mengutarakannya. Aku mendekatinya secara perlahan-lahan. Meski dia tampak tak merespon, tetapi Bu Susy, guru Bahasa Indonesiaku, sering mencomblangkanku dengan Caroline. Dia mengatakan, bahwa aku disukai olehnya. Mendengar hal itu, aku langsung mengelak, meski dalam hati aku sebenarnya gembira.
Bulan demi bulan berlalu, kami hanya punya hubungan teman. Dan kami menjadi panitia dalam acara sekolah, di bidang kebersihan, dengan aku sebagai pemimpin dan Caroline sebagai pencatat pengeluaran. Dia jarang masuk kerja karena dilarang oleh orangtuanya. Namun, suatu hari, aku menemukan name tagnya tergeletak begitu saja di atas meja. Aku lantas mengambilnya dengan niat mengembalikannya.
Menjelang kenaikan kelas, aku tidak banyak berbicara dengannya. Tetapi aku sempat mengumpulkan menemaninya mengumpulkan tugas terakhirnya sebelum kami naik kelas. Sepanjang libur kenaikan kelas, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, tetapi aku sering memikirkan Caroline.
Akhirnya, aku kelas 2 SMP!! Hari pertama sekolah adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu. Tetapi sejenak aku memikirkan Caroline, berencana mengembalikan name tagnya. Tetapi seharian itu aku tidak bertemu dengannya.
“Paling dia belum masuk” Pikirku.
Tetapi hingga beberapa hari kemudian, aku masih tak kunjung melihatnya. Sampai Sila, teman perempuanku yang juga teman Caroline, memberitahukan hal yang mengejutkanku.
“Dia ‘kan udah pindah ke Manado, Mas. Dia bilang kepadaku.” Katanya.
Ketika kudengar hal itu, raut wajahku langsung berubah. Aku seakan tak percaya dengan apa yang kudengar. Hatiku bergejolak tak karuan.
“Dia pindah tapi gak bilang-bilang?!” Kataku kesal bercampur sedih.
Aku serasa ingin menangis. Mengapa dia pergi bahkan sebelum aku bisa mengucapkan selamat tinggal? Sambil memegang name tagnya, aku termenung dalam sedih.
Sejak saat itu aku jadi lebih murung dari sebelumnya, namun aku menyembunyikan semua perkaraku sendiri. Dan itu berlangsung selama berminggu-minggu. Tidak ada yang tahu mengenai masalahku ini. Tidak ada yang tahu kecuali Sila, yang notabene tahu tentang hubungan kami, dan dia juga yang memberitahukan bahwa Caroline sudah pindah.
“Belakangan, kamu murung melulu” Katanya suatu hari, di bulan September.
“Gak¸ biasa aja.”
“Udahlah, gak usah pura-pura. Kamu kangen Caroline ‘kan?” Aku hanya terdiam.
“Ya, aku kangen banget sama dia. Dia gak hilang-hilang dari otakku” Kataku sedikit terisak.
“Tuh ‘kan bener, sudahlah, ‘kan dia bukan tujuan hidupmu. Jangan terlalu dipikirin.”
“Ya, aku tahu itu, tapi tetap saja…”
“Ya, sekarang coba aja buat lupain dia. ‘Kan masih banyak cewek lain.”
“Ya, termasuk kamu” Kataku sedikit bercanda.
“Heh, apaan sih?” Jawabnya. Kami berdua sedikit tertawa, sambil menikmati angin sepoi-sepoi di pinggir balkon.
Aku masih tak bisa lepas dari cengkraman kenangan itu hingga beberapa minggu. Sampai aku melihat suatu kutipan dari serial TV yang sering kutonton. Ada seorang tokohnya yang mengatakan bahwa hidup adalah jalan panjang menuju sebuah tujuan. Jatuhkan beban beratmu dan nikmati berjalan dengan tangan kosong.
Setelah aku melihatnya, aku sadar, kesedihanku hanya akan jadi penghambat menuju tujuan hidupku yang sebenarnya, yang masih jauh di ujung sana. Jadi, aku memutuskan melepaskan beban berat di hatiku itu.
Ketika kuputuskan hal itu, aku merasa lebih bebas. Hatiku menjadi jauh lebih damai dari sebelumnya. Kemudian aku teringat akan name tagnya. Ketika melihatnya, aku kembali teringat dia, dan menjadikannya sebagai memento, atau kenang-kenangan akannya. Benda ini akan membuatku selalu mengingatnya. Sambil menatap langit biru disertai tiupan angin sepoi-sepoi, aku percaya dan bertekad akan menemuinya lagi, suatu saat, suatu waktu, di masa depan. Pasti.
Beberapa bulan kemudian
“WOI!!”
Suara teriakan seseorang membuyarkan lamunanku. Ck, padahal aku sedang serius mencari inspirasi untuk tugas membuat puisi. Padahal PR membuat puisi tinggal 3 minggu lagi.
“Gak usah teriak-teriak, dong” Kataku.
“Kamu dipanggil dari tadi gak nyahut-nyahut, ya aku teriak. Tadinya kalau kamu gak nyahut juga, aku mau siram pakai air seember.” Kata Sila dengan sedikit kesal.
“Emang berani?” Tantangku.
“Ya beranilah, sini cobain ya.”
“Jangan marah-marah mulu dong. Iya iya, maaf. Ada apa sih manggil-manggil?”
“Itu lho, besok ada yang ulang tahun, ‘kan?”
“Memang ada yang… OH IYA!! Caroline besok ulang tahun.”
“Kamu gak mau ngucapin?”
“Ya, tapi nanti. Lewat Facebook aja.”
“Oh, ya sudah.”
Besoknya, aku mengucapkan selamat ulang tahun kepada Caroline lewat Facebook. Meskipun hanya dibaca, aku sudah cukup senang. Mungkin dia masih ingat, mungkin juga tidak, dan meskipun tidak, aku akan tetap berharap padanya.
Sambil merenungkan itu, aku melihat ke lapangan sekolah lewat balkon sembari menikmati angin sepoi-sepoi. Tiba-tiba Sila ada di sampingku.
“Bengong aja.” Katanya memulai percakapan.
“Sudah ngucapin selamat ulang tahun ke Caroline?” Lanjutnya.
“Sudah.”
“Terus?”
“Cuma diread. Tapi gak apa-apa. Yang penting sudah ngucapin.”
“Hm.. ya udah deh, aku ke kelas dulu ya.” Katanya sambil tersenyum.
“Ya.”
Ketika melihatnya berlalu, aku seperti pertama kali melihat Caroline. Kemudian aku kembali melihat ke langit, dan tersenyum.
“Mungkinkah?”
Cerpen Karangan: Dimas Ignatius
Facebook: Dimas Ignatius
Memento
4/
5
Oleh
Unknown