Judul Cerpen Cinta Datang Terlambat
Di sepanjang perjalanan pulang sekolah, aku hanya terdiam, mulutku terkunci. Telingaku tuli, tak kuhiraukan deru-deru kendaraan yang berseliweran di sampingku. Sengatan matahari yang begitu panas tak kuhiaraukan. Otakku terus perputar-putar. Semakin lama semakin kencang berputar. Untung saja nggak keluar dari kepalaku.
Sampainya di rumah, aku melangkahkan kakiku yang udah mau putus menuju kamar dan kuhempaskan begitu saja tubuhku yang kecil ini di kasurku yang empuk seperti donat kentang itu. Hehe
Fiuhh.. aku mendesah. Aku mencoba memejamkan mata. Tapi kenapa kejadian di sekolah tadi seolah-olah membuntuti fikiranku.
“rara, aku boleh nggak ngomong sesuatu ke kamu?”
“ya boleh lah ndu, ngomong apa sih? cepetan keburu kiamat nih. Hehe”
“hmmm… sebenarnya aku… a…kuu. aku sayang kamu ra. A.. aku…”
Tanpa pikir panjang aku langsung menampar muka si pandu. Pandu seakan bersalah. Kemudian aku lari meninggalkannya.
Itulah bencana besar dalam hidupku. Kenapa sahabatku yang telah sangat lama aku kenal itu tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Seorang pandu mengatakan cinta pada rara. Oh my god! Aku nggak bisa bayangin itu.
Tiba-tiba aku terhenyak dari ranjangku.
“eh..eh tunggu dulu. Tadi kan pandu cuma ngomong kalo dia.. dia sayang sama aku. Tapi kan sayang seperti apa aku belum jelas. Aduh! Dasar oonnya si rara.” Aku membatin. Aku sangat menyesali perbuatanku tadi pada si pandu. Gimana ini? Tuhan bantu aku. Kepalaku udah mulai retak ini.
Setelah semalaman fikiranku berkutat memikirkan si pandu. Pagi ini aku ingin menanyakan dan menjelaskan pada si pandu. Apa maunya dan apa maksudku.
“pagi jelek. Kenapa manyun.” Tiba-tiba mas rayhan muncul di hadapanku dan mengacak-acak rambutku.
“hiih apaan sih mas. Mau tau aja. Sana-sana.” Aku mengusir masku yang super kepo.
“huuh.. dasar anak kecil. Kayak kecebong.”
“biarin. Dasar serigala bermata empat.” Memang bermata empat, soalnya masku itu berkacamata. Sok cakep. Padahal sih.. enggak.
Selesai sarapan aku langsung melesat terbang.. terbang dan terbang. Hingga “bruukk”
“aduuh..” aku meronta. Kakiku tiba-tiba lunglai. Kira-kira apa yang aku tabrak. Masa iya pasukan semut merah yang menyerangku. Aku mencoba bangun. Aku melihat ulurun tangan di depan mataku. Langsung saja aku sambar. Ketika nyawaku udah nyatu semua. Tiba-tiba…
“kamu nggak papa ra?”
Oh my god! Pandu?. kok ada dia.
“ra…” setengah berteriak pandu memanggilku.
“oh.. ha. iya nggak papa kok. Thanks ya udah nolongin tadi.” Kataku bingung.
“iya. Lain kali hati-hati dong. Masa ada tiang sebesar ini kamu terjang. Apa mau aku belikan kacamata kuda. Biar jalannya nggak tengak-tengok.”
“iya deh bapak pandu.”
Aku berjalan beriringan dengannya dan sedikit-sedikit kita pun tertawa.
“ra.. nanti istirahat kita makan bareng yuk.” Ajak pandu.
“oke. Baiklah kamu yang traktir ya.”
“hmmm… baiklah. Uangku ini cukuplah untuk memberi nutrisi pada cacing perutmu, lagian tubuh sekecil kamu mana muat makan banyak-banyak. Hehe.”
“dasar lu.. ya udah aku masuk kelas dulu ya. Sampai nanti.” Aku langsung masuk kelas XI IPA.
“ya udah. Selamat belajar ya cantik.” Tak kuhiraukan omongan si pandu.
Bla.. bla .. bla.. pelajaran matematika dimulai dan bla.. bla.. bla matematika pun usai. Pelajaran selanjutnya geografi. Syukurlah! Gurunya nggak ada. Jadi bisa ngerumpi sama temen-teman. Hehehe!
Tett.. tett.. teett
Yee.. istirahat pun tiba. Perutku yang dari tadi bernyanyi-nyanyi, udah nggak sabar untuk diisi. “sabar ya cacing sayang.” Batinku.
“mau kemana ra?” tanya si ayu, teman sebangku.
“laper. Mau ke kantin lah. Masa ke toilet.” Selorohku.
“nitip minuman ya. Yang seger pokoknya.”
“siipp… ntar aku bawain. Di toilet juga masih banyak kok. Santai aja.”
Aku langsung dilempar buku sama ayu, secepat kilat pun aku ngilang. Hahaha.. kasihan deh lu nggak kena. Pandu! Ya. Mana si pandu. Katanya mau nraktir tuh anak.
“heeh!”. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. Sontak saja aku kaget.
“aduh pandu. Kebiasaan banget sih datang tiba-tiba. Ntar ngilang pun tiba-tiba.”
“kayak apaan dong kalo gitu?”
“tau ah.. ayo makan. Udah nyanyi dari tadi nih.”
“siapa yang nyanyi ra?”
“ya cacing perutku lah. Cepetan.”
“ya udah kamu pesen apa?”
Bla.. bla.. bla aku menyebutkan makanan dan minuman untuk aku dan pandu.
Selang beberapa menit, 2 mangkok bakso dan 2 es jeruk telah siap di depan mata. Saatnya perang dengan mereka. Setelah makan, aku pun bertanya pada pandu tentang kemarin.
“ndu. Kamu kemarin ngomong apa? Maaf ya aku nampar kamu?” raut mukaku langsung berubah begitu pula dengan pandu.
“iya gak papa ra. Aku ngerti. Sebenarnya udah lama aku menyimpan semua rasaku ini. Kita bersahabat udah lama kan ra. Tapi entah kenapa aku merasa aneh dengan hatiku ini. Maafin aku ya ra. Aku nggak bermaksud gitu ke kamu.”
Jantungku berdetak begitu kencang. Air mataku menganak sungai. Badanku dingin. Ingin rasanya aku pingsan disini.
“Ra kamu nggak papa kan?”
“udah deh ndu, mulai sekarang jangan cari-cari aku lagi. Kamu cari cewek lain saja. Aku benci kamu. Maafin aku. Aku pergi.”
“tapi ra… tunggu ra.”
Aku terus berlari, pandu terus mengejarku. Aku masuk ke toilet cewek dan otomatis pandu nggak akan berani ngikutin aku.
Sejak kejadian makan di kantin itu, nggak ada lagi celotehan dari pandu yang mengisi telingaku. Tak ada lagi cerita-cerita konyol, tak ada lagi pesan, tak ada lagi perhatian dan tentunya tak ada lagi traktiran. Makan siang itu seakan menjadi makan terakhir aku sama pandu. Aku sedih. Kenapa? Ya jelas aku sedih, sahabatku itu kini udah benar-benar menjauh, jauh, jauh sangat jauh dariku. Tapi ini semua juga salahku. Aku yang udah nyuruh dia pergi. Aku yang udah ngusir dia. Bodohnya kamu rara!
Aku kembali melihat album fotoku bersama pandu. Aku mengingat semua. Detik-detik yang pernah kulalui bersamanya. Kini semua hanya tinggal kenangan.
“pandu kamu kemana sih, aku butuh kamu.” Pintaku dalam hati.
“ndu, aku kangen kamu ndu. Maafin aku. Aku udah jahat ndu.”
Tak kuhiraukan bulir-bulir bening yang berjatuhan. Tanpa kusadari tangisku semakin kencang. Dan itu mengundang Si Serigala datang menghampiriku.
“lho si jelek kenapa, kok nangis gitu. Tambah jelek tuh.” Ledek mas Rayhan
“apaan sih mas.. aku lagi sedih banget nih..”
“ada apa sih emangnya? Cerita dong sama masnya yang ganteng ini.”
“mas. Gimana kalo ada seorang yang suka sama kita. Tapi kita menolaknya dan menyuruhnya ngilang gitu aja. Dan orang itu memang benar-benar ngilang..”
“menurut mas, itu sih berlebihan. Kalo seumpama kamu nggak suka ya harusnya sikapmu nggak boleh seperti itu. Kamu juga harus tetap menjaga tali persahabatan dengannya bukannya malah nyuruh dia ngilang.”
“tapi mas. Gimana kalo yang ngomong itu si pandu?”
“haa? Pandu sahabat kamu itu?”
“he em mas. Udah 2 bulan ini aku nggak hubungan sama dia. Aku bingung mas?”
“oh begitu. Banyak-banyak berdo’a aja kalo gitu. Selamat malam jelek.”
Mas rayhan pergi sambil menarik hidungku yang pesek ini.
“dasar serigala.” teriakku.
Hari-hari kulewati tanpa pandu. Aku galau. Dan kini aku selalu memikirkannya. Sebenarnya apa yang saat ini kurasakan. Mungkinkah aku ini juga jatuh cinta padanya. Aku sangat menikmati setiap detik dengannya. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya. Namun kini, dia udah hilang.
Di suatu pagi di sekolah, ayu menghampiriku.
“ra.. ada surat nih.” Ayu menyerahkan sepucuk surat padaku.
“dari siapa yu?”
“udah liat aja sendiri.”
Perlahan-lahan aku membuka dan membacanya. Aku terhenyak.
“pan.. pandu. Pandu! Nggak mungkin. Ini nggak mungkin kan yu?” ayu hanya diam.
“pandu. Maafin aku ndu. Aku nyesel ndu. Aku sayang kamu ndu. Kenapa kamu tinggalin aku ndu.”
“sabar ra. Kamu harus bisa relain pandu untuk selama-lamanya ra.” Ayu memelukku.
“tapi yu. Kenapa pandu nggak cerita sama aku. Aku sahabatnya yu.”
Ternyata selama ini pandu sakit. Dia. Dia nggak pernah cerita ke aku. Jika paru-parunya terdapat flek yang cukup parah. Aku semakin tak percaya. Ini mimpi!
Pulang sekolah, keadaanku semakin kacau. Panas menyerang. Aku masih mengenggam surat terakhir dari pandu. Pantas saja aku nggak pernah lihat dia di sekolah, dan bodohnya lagi aku nggak ngecek ke rumahnya. Aku bodoh! Sangat bodoh!
“pandu, jika waktu ini dapat diputar aku ingin tetap bersamamu. Kini baru kusadari aku sangat menyayangimu ndu. Panduu… kembalilah. Aku menunggumu ndu.”
“kenapa cinta ini datang terlambat ya tuhan.”
Fikiranku masih kacau. Aku udah sampai di gerbang rumah. Tiba-tiba tubuhku lemas, kaki dan tanganku lunglai. Mataku berat. Kepalaku seakan mau pecah. Hingga tiba-tiba. Bruuukk!
Gelap. Semua gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Mataku buta. Mulutku bungkam dan telingaku tuli. Hingga sosok pandu datang menghampiriku. Dia memelukku mengatakan bahwa dia masih sayang padaku. Aku harap ini bukan mimpi. Sekejap pandu menghilang. Keadaan kembali gelap. Hingga aku bisa mendengar suara mas rayhan yang memanggilku dan menangis. Aku terbangun. Dan berteriak “aku sayang kamu pandu. Jangan tinggalin aku!”
THE END
Cerpen Karangan: Enno Febri
Facebook: Enno Febrianty
Di sepanjang perjalanan pulang sekolah, aku hanya terdiam, mulutku terkunci. Telingaku tuli, tak kuhiraukan deru-deru kendaraan yang berseliweran di sampingku. Sengatan matahari yang begitu panas tak kuhiaraukan. Otakku terus perputar-putar. Semakin lama semakin kencang berputar. Untung saja nggak keluar dari kepalaku.
Sampainya di rumah, aku melangkahkan kakiku yang udah mau putus menuju kamar dan kuhempaskan begitu saja tubuhku yang kecil ini di kasurku yang empuk seperti donat kentang itu. Hehe
Fiuhh.. aku mendesah. Aku mencoba memejamkan mata. Tapi kenapa kejadian di sekolah tadi seolah-olah membuntuti fikiranku.
“rara, aku boleh nggak ngomong sesuatu ke kamu?”
“ya boleh lah ndu, ngomong apa sih? cepetan keburu kiamat nih. Hehe”
“hmmm… sebenarnya aku… a…kuu. aku sayang kamu ra. A.. aku…”
Tanpa pikir panjang aku langsung menampar muka si pandu. Pandu seakan bersalah. Kemudian aku lari meninggalkannya.
Itulah bencana besar dalam hidupku. Kenapa sahabatku yang telah sangat lama aku kenal itu tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Seorang pandu mengatakan cinta pada rara. Oh my god! Aku nggak bisa bayangin itu.
Tiba-tiba aku terhenyak dari ranjangku.
“eh..eh tunggu dulu. Tadi kan pandu cuma ngomong kalo dia.. dia sayang sama aku. Tapi kan sayang seperti apa aku belum jelas. Aduh! Dasar oonnya si rara.” Aku membatin. Aku sangat menyesali perbuatanku tadi pada si pandu. Gimana ini? Tuhan bantu aku. Kepalaku udah mulai retak ini.
Setelah semalaman fikiranku berkutat memikirkan si pandu. Pagi ini aku ingin menanyakan dan menjelaskan pada si pandu. Apa maunya dan apa maksudku.
“pagi jelek. Kenapa manyun.” Tiba-tiba mas rayhan muncul di hadapanku dan mengacak-acak rambutku.
“hiih apaan sih mas. Mau tau aja. Sana-sana.” Aku mengusir masku yang super kepo.
“huuh.. dasar anak kecil. Kayak kecebong.”
“biarin. Dasar serigala bermata empat.” Memang bermata empat, soalnya masku itu berkacamata. Sok cakep. Padahal sih.. enggak.
Selesai sarapan aku langsung melesat terbang.. terbang dan terbang. Hingga “bruukk”
“aduuh..” aku meronta. Kakiku tiba-tiba lunglai. Kira-kira apa yang aku tabrak. Masa iya pasukan semut merah yang menyerangku. Aku mencoba bangun. Aku melihat ulurun tangan di depan mataku. Langsung saja aku sambar. Ketika nyawaku udah nyatu semua. Tiba-tiba…
“kamu nggak papa ra?”
Oh my god! Pandu?. kok ada dia.
“ra…” setengah berteriak pandu memanggilku.
“oh.. ha. iya nggak papa kok. Thanks ya udah nolongin tadi.” Kataku bingung.
“iya. Lain kali hati-hati dong. Masa ada tiang sebesar ini kamu terjang. Apa mau aku belikan kacamata kuda. Biar jalannya nggak tengak-tengok.”
“iya deh bapak pandu.”
Aku berjalan beriringan dengannya dan sedikit-sedikit kita pun tertawa.
“ra.. nanti istirahat kita makan bareng yuk.” Ajak pandu.
“oke. Baiklah kamu yang traktir ya.”
“hmmm… baiklah. Uangku ini cukuplah untuk memberi nutrisi pada cacing perutmu, lagian tubuh sekecil kamu mana muat makan banyak-banyak. Hehe.”
“dasar lu.. ya udah aku masuk kelas dulu ya. Sampai nanti.” Aku langsung masuk kelas XI IPA.
“ya udah. Selamat belajar ya cantik.” Tak kuhiraukan omongan si pandu.
Bla.. bla .. bla.. pelajaran matematika dimulai dan bla.. bla.. bla matematika pun usai. Pelajaran selanjutnya geografi. Syukurlah! Gurunya nggak ada. Jadi bisa ngerumpi sama temen-teman. Hehehe!
Tett.. tett.. teett
Yee.. istirahat pun tiba. Perutku yang dari tadi bernyanyi-nyanyi, udah nggak sabar untuk diisi. “sabar ya cacing sayang.” Batinku.
“mau kemana ra?” tanya si ayu, teman sebangku.
“laper. Mau ke kantin lah. Masa ke toilet.” Selorohku.
“nitip minuman ya. Yang seger pokoknya.”
“siipp… ntar aku bawain. Di toilet juga masih banyak kok. Santai aja.”
Aku langsung dilempar buku sama ayu, secepat kilat pun aku ngilang. Hahaha.. kasihan deh lu nggak kena. Pandu! Ya. Mana si pandu. Katanya mau nraktir tuh anak.
“heeh!”. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. Sontak saja aku kaget.
“aduh pandu. Kebiasaan banget sih datang tiba-tiba. Ntar ngilang pun tiba-tiba.”
“kayak apaan dong kalo gitu?”
“tau ah.. ayo makan. Udah nyanyi dari tadi nih.”
“siapa yang nyanyi ra?”
“ya cacing perutku lah. Cepetan.”
“ya udah kamu pesen apa?”
Bla.. bla.. bla aku menyebutkan makanan dan minuman untuk aku dan pandu.
Selang beberapa menit, 2 mangkok bakso dan 2 es jeruk telah siap di depan mata. Saatnya perang dengan mereka. Setelah makan, aku pun bertanya pada pandu tentang kemarin.
“ndu. Kamu kemarin ngomong apa? Maaf ya aku nampar kamu?” raut mukaku langsung berubah begitu pula dengan pandu.
“iya gak papa ra. Aku ngerti. Sebenarnya udah lama aku menyimpan semua rasaku ini. Kita bersahabat udah lama kan ra. Tapi entah kenapa aku merasa aneh dengan hatiku ini. Maafin aku ya ra. Aku nggak bermaksud gitu ke kamu.”
Jantungku berdetak begitu kencang. Air mataku menganak sungai. Badanku dingin. Ingin rasanya aku pingsan disini.
“Ra kamu nggak papa kan?”
“udah deh ndu, mulai sekarang jangan cari-cari aku lagi. Kamu cari cewek lain saja. Aku benci kamu. Maafin aku. Aku pergi.”
“tapi ra… tunggu ra.”
Aku terus berlari, pandu terus mengejarku. Aku masuk ke toilet cewek dan otomatis pandu nggak akan berani ngikutin aku.
Sejak kejadian makan di kantin itu, nggak ada lagi celotehan dari pandu yang mengisi telingaku. Tak ada lagi cerita-cerita konyol, tak ada lagi pesan, tak ada lagi perhatian dan tentunya tak ada lagi traktiran. Makan siang itu seakan menjadi makan terakhir aku sama pandu. Aku sedih. Kenapa? Ya jelas aku sedih, sahabatku itu kini udah benar-benar menjauh, jauh, jauh sangat jauh dariku. Tapi ini semua juga salahku. Aku yang udah nyuruh dia pergi. Aku yang udah ngusir dia. Bodohnya kamu rara!
Aku kembali melihat album fotoku bersama pandu. Aku mengingat semua. Detik-detik yang pernah kulalui bersamanya. Kini semua hanya tinggal kenangan.
“pandu kamu kemana sih, aku butuh kamu.” Pintaku dalam hati.
“ndu, aku kangen kamu ndu. Maafin aku. Aku udah jahat ndu.”
Tak kuhiraukan bulir-bulir bening yang berjatuhan. Tanpa kusadari tangisku semakin kencang. Dan itu mengundang Si Serigala datang menghampiriku.
“lho si jelek kenapa, kok nangis gitu. Tambah jelek tuh.” Ledek mas Rayhan
“apaan sih mas.. aku lagi sedih banget nih..”
“ada apa sih emangnya? Cerita dong sama masnya yang ganteng ini.”
“mas. Gimana kalo ada seorang yang suka sama kita. Tapi kita menolaknya dan menyuruhnya ngilang gitu aja. Dan orang itu memang benar-benar ngilang..”
“menurut mas, itu sih berlebihan. Kalo seumpama kamu nggak suka ya harusnya sikapmu nggak boleh seperti itu. Kamu juga harus tetap menjaga tali persahabatan dengannya bukannya malah nyuruh dia ngilang.”
“tapi mas. Gimana kalo yang ngomong itu si pandu?”
“haa? Pandu sahabat kamu itu?”
“he em mas. Udah 2 bulan ini aku nggak hubungan sama dia. Aku bingung mas?”
“oh begitu. Banyak-banyak berdo’a aja kalo gitu. Selamat malam jelek.”
Mas rayhan pergi sambil menarik hidungku yang pesek ini.
“dasar serigala.” teriakku.
Hari-hari kulewati tanpa pandu. Aku galau. Dan kini aku selalu memikirkannya. Sebenarnya apa yang saat ini kurasakan. Mungkinkah aku ini juga jatuh cinta padanya. Aku sangat menikmati setiap detik dengannya. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya. Namun kini, dia udah hilang.
Di suatu pagi di sekolah, ayu menghampiriku.
“ra.. ada surat nih.” Ayu menyerahkan sepucuk surat padaku.
“dari siapa yu?”
“udah liat aja sendiri.”
Perlahan-lahan aku membuka dan membacanya. Aku terhenyak.
“pan.. pandu. Pandu! Nggak mungkin. Ini nggak mungkin kan yu?” ayu hanya diam.
“pandu. Maafin aku ndu. Aku nyesel ndu. Aku sayang kamu ndu. Kenapa kamu tinggalin aku ndu.”
“sabar ra. Kamu harus bisa relain pandu untuk selama-lamanya ra.” Ayu memelukku.
“tapi yu. Kenapa pandu nggak cerita sama aku. Aku sahabatnya yu.”
Ternyata selama ini pandu sakit. Dia. Dia nggak pernah cerita ke aku. Jika paru-parunya terdapat flek yang cukup parah. Aku semakin tak percaya. Ini mimpi!
Pulang sekolah, keadaanku semakin kacau. Panas menyerang. Aku masih mengenggam surat terakhir dari pandu. Pantas saja aku nggak pernah lihat dia di sekolah, dan bodohnya lagi aku nggak ngecek ke rumahnya. Aku bodoh! Sangat bodoh!
“pandu, jika waktu ini dapat diputar aku ingin tetap bersamamu. Kini baru kusadari aku sangat menyayangimu ndu. Panduu… kembalilah. Aku menunggumu ndu.”
“kenapa cinta ini datang terlambat ya tuhan.”
Fikiranku masih kacau. Aku udah sampai di gerbang rumah. Tiba-tiba tubuhku lemas, kaki dan tanganku lunglai. Mataku berat. Kepalaku seakan mau pecah. Hingga tiba-tiba. Bruuukk!
Gelap. Semua gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Mataku buta. Mulutku bungkam dan telingaku tuli. Hingga sosok pandu datang menghampiriku. Dia memelukku mengatakan bahwa dia masih sayang padaku. Aku harap ini bukan mimpi. Sekejap pandu menghilang. Keadaan kembali gelap. Hingga aku bisa mendengar suara mas rayhan yang memanggilku dan menangis. Aku terbangun. Dan berteriak “aku sayang kamu pandu. Jangan tinggalin aku!”
THE END
Cerpen Karangan: Enno Febri
Facebook: Enno Febrianty
Cinta Datang Terlambat
4/
5
Oleh
Unknown