Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken (Part 3)

Baca Juga :
    Judul Cerpen Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken (Part 3)

    Membunuh Kemacetan

    Sudi sudah mendengar kabar bahwa Ken kena sidang. Ia tahu, kawannya itu akan bertindak apapun agar ide dalam kepalanya tumbuh kembali. Seperti Tati yang pernah punya tangan dingin -yang mampu menghidupkan bunga-bunga- dan mencoba menjadi ringan tangan untuk membangkitkan tangan dinginnya yang lama hilang. Kisah Ken sama halnya dengan Tati. Ia mau menulis cerita kembali seperti dulu. Ia ingin jari-jarinya lincah menerjemahkan keinginan hati dan pikirannya. Ia ingin mengekspresikan dirinya bersama sepi. Oh, iya, aku lupa, Sudi juga membaca cerita tentang tangan dingin Tati di sebuah situs internet: Cerpenmu.com, kalau tidak salah. Ken yang mengusulkannya. Cerita-cerita karangan Ken juga ada di sana.
    Adanya lebaran sama dengan adanya mudik. Pulang kampung. Berlibur. Sudi melakukan kebiasaan itu bertahun-tahun. Ia juga ikut andil mengosongkan bundaran Hotel Indonesia. Ia akan berkunjung ke kampung halaman selama seminggu ke depan.

    Sehari sebelum hari raya, ia berangkat dengan mobilnya. Dari Jakarta ke Banyuwangi. Sebenarnya, Sudi terlambat. Semestinya, ia mangkat bersama munculnya matahari di kaki langit. Sekarang sudah jam tujuh pagi. Kebiasaan buruk Sudi adalah terlambat karena mengulur-ulur waktu. Kata “nanti” selalu hidup dalam kepalanya.
    Saat ini, Sudi terjebak kemacetan. Awalnya, ia masih sabar. Satu jam kemudian, ia menurunkan kaca dan mengeluarkan kepala untuk sekadar tahu sampai sejauh mana mobil-mobil dan kendaraan motor lain mengular. Lalu, ia menaikkan lagi kaca mobil dan memilih menunggu tenang di mobil sambil mewanti-wanti kalau-kalau mobil di depannya bergerak barang beberapa senti. Tiga puluh menit kemudian, ia lupa. Bahwa tidak baik bagi kesehatan menyalakan AC di ruang tertutup sempit seperti mobil. Sudi mematikan AC. Ia juga khawatir bahan bakar mobilnya akan terkuras jika AC tetap nyala. Sudi menurunkan lagi kaca mobil karena gerah setelah dua puluh menit.

    Tiba-tiba, kesabaran Sudi habis. Sudah dua jam ia menunggu. Jalan bebas hambatan masih diserang kemacetan. Rest area masih jauh. Kemacetan diberitakan makin panjang. Sudi mengutuk matahari yang terik, mobil di depannya yang belum lagi bergerak, dahaga yang datang tiba-tiba, lapar yang mengganggu ketenangannya, pemerintah yang tidak bisa mengurangi kemacetan, dan hal-hal lain yang makin jauh dari tentang kemacetan.
    Matahari masuk dari kaca mana saja. Dari depan, dari kanan, dari kiri dan belakang. Sudi menduga itu faktor pemantulan cahaya oleh spion mobil dan motor. Keringat mengalir deras di tubuh Sudi. Makin lama makin deras dan menguyupi badannya. Dehidrasi makin kuat mencengkram kerongkongannya yang kering kerontang. Ia tak bisa lagi mengumpat dalam hati.
    “Sialan! Cepatlah jalan. Ini jalan bukan milik nenek moyang kalian! Banyak orang yang mau pergi dari sini. Ayolah! Bergerak. Kami semua mau cepat sampai.”
    Makin banyak Sudi berkata-kata, ia semakin kehausan. Tadi ia tidak membawa air minum. Keterlambatannya adalah alasannya. Mata Sudi sudah berkunang-kunang. Ia pingsan.

    Sejam kemudian, orang di belakangnya berteriak-teriak membunyikan klakson. Mereka meminta agar Sudi menjalankan mobilnya. Tapi tidak ada jawaban. Sepuluh menit, sebelas menit. Tiga belas, empat belas menit. Masih tidak ada respon. Mobil Sudi terlihat sepi. Tidak ada siluet kepala Sudi di depan setir yang tampak dilihat dari kaca belakang. Orang-orang yang menunggu jawaban tadi, sudah tidak sabar. Mereka turun dan membanting pintu mobil mereka sendiri. Kancing kemeja mereka terbuka semua. Kemeja mereka berkibar ditiup angin panas. Mereka menghampiri mobil Sudi dan kaget bukan main.
    Lelaki bertubuh tinggi itu tergeletak di dalam mobilnya. Kakinya menginjak rem, kepalanya jatuh di kursi di sebelah kursi kemudi. Seorang pria memastikan denyut nadi dan hembusan napasnya. Ia menggeleng.
    “Orang ini…,” katanya, “Sudah meninggal dunia!”
    Beberapa orang tergelak. Tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Bisa saja, itu akan terjadi pada mereka. Cepat atau lambat, jika kemacetan ini tidak lekas-lekas selesai.

    Sabtu pagi hari yang cerah. Tukang antar koran menyelipkan satu eksemplar koran beraroma baru yang baru terbit hari itu. Salman mengusap-usap matanya. Ia terbangun setelah deru motor tukang antar koran menjauhi rumahnya.
    Salman berjalan ke arah pagar dengan terhuyung-huyung. Langkahnya limbung. Melihat headline koran pagi itu, matanya terbelalak. Di sana tertulis: Lima Belas Orang Meninggal Akibat Kemacetan Di Jalan Tol.
    Seketika, Salman memiliki rencana lain yang mencurigakan. Ia ingin satu hal pagi itu: membunuh kemacetan. Ia menghubungi seorang teman ayahnya yang pandai membuat bom plastik.
    Tempo hari, Salman mencuri empat roda mobil. Pemiliknya adalah orang-orang yang berencana mudik. Semua empat roda itu, ia ledakkan di tanah yang gersang. Salman tidak sendiri, ia punya banyak kawan yang selalu membantunya.

    Sabtu sore hari yang muram. Ken bersedih dan memakai baju hitam. Ia tersedu-sedu memeluk gundukan tanah yang masih sangat baru. Di nisannya tercetak nama Sudi. Orang yang begitu dekat dengannya dalam segala hal. Sudi yang mau bermain dengan Ken ketika dua orangtuanya seharian bekerja. Sudi yang mau memancarkan ide-ide untuk cerita baru Ken. Sudi yang sering memberikan semangat bagi Ken di waktu Ken terpuruk karena gagal. Sudi adalah teman dan sahabat bagi Ken.
    Kau tahu? Sudi adalah adik dari ayah Ken. Sudi adalah pamannya.

    Catatan Kecil yang Ia Tulis Di Hari Minggu

    Sejak membaca sebuah buku-buah tangan dari kakak yang baru pulang berlibur ke kota, aku mulai menulis cerita pendek yang sangat pendek. Di twitter, ia dinamai fiksi mini. Aku jarang mengikutinya karena jarang tahu jadwalnya. Ketinggalan tepatnya. Aku memilih membuat cuitan dengan tagar serupa – #fiksimini.

    CUIT. Ada yang janggal dengan cuitan ini. Kau bisa menebaknya? Aku sendiri, tidak. Di sisi bawah kotak tweet ini, ada angka. Warnanya sudah merah. Ya, tweet ini tanpa tagar seperti yang telah kukatakan akan kusematkan dan melebihi 140 karakter.

    TAJAM. Aku merasa ada yang tidak benar. Di kamarku, terbaring musang. Di luar jendela ruamhku, di samping rumah, ada harimau yang matanya mendelik. Tajam ke arahku.

    SERAM(A). Setelah membaca postingan itu, aku menjadi ngeri sendiri. Ia rela dipukul dengan alat yang tumpul. Dia bilang, dia senang dan baik-baik saja. Kini, suaranya kian merdu. Dia bangga dengan itu. Dia adalah Serama. Dia bukan orang. Dia bukan perempuan atau lelaki. Serama adalah gendang.

    BIDUK. Di sebuah tasik di kampung kami, sejak kemarin, secara mistis, satu biduk atau sampan tiba-tiba ada di sana. Tidak ada yang tahu siapa yang membawanya. Mungkin dibuat seseorang. Mungkin juga itu keajaiban dunia yang baru.

    BANGLADESH. Kemarin, aku sempat mampir ke sebuah situs. Beberapa fakta tentang orang Bengal. Salah satunya: mereka sering menanyakan jika kau bertamu ke rumahnya, “apa yang kau makan?” Atau “apa kau sendirian?”

    SIPADAN. Kawanku, Jon, marah-marah sendiri. Setelah kutanya, ia mengaku emosi karena salah satu pulau tak berpenghuni milik bunda pertiwi telah dicuri. Ia punya pemikiran baru: membawa pulang Serawak dan Sabah pada negeri ini sebagai gantinya.

    ABJAD. Baru saja aku berdebat bersama Taci tentang cara membunyikan huruf “e” saat mengeja abjad: a-b-c-d-e hingga z. Aku berkukuh bahwa “e” harus dibunyikan seperti “e” pada daerah, kontes, ekuator, dan rela. Taci bersikeras kalau “e” harus dikatakan seperti “e” pada kelas, melas, peras, ceruk, dan ke.

    DAN KE. Penulisan sebenarnya bukan “dan ke” melainkan danke. Danke dalam bahasa Jerman memiliki arti “terima kasih”. Terima kasih telah ingin membaca catatan kecil yang sederhana ini.

    K. Miki sudah tidak tahan. Ia ingin membenarkan bahwa “tidak”, “tak”, atau kata lain yang berakhiran “k”, tidak dibaca dengan bunyi “k” sempurna, melainkan hanya tipis saja; yaitu dibaca tida’! Miki sudah memberitahukan itu berkali-kali. Tapi mereka tidak paham. Mereka menyebut Miki sebagai tunawicara.

    LEBAH. Barusan Tio menelepon. Katanya, ia disengat lebah. Aku bergidik. Ceritanya, ia melompat-lompat di atas meja, yang ia tidak tahu di bawahnya ada sarang lebah. Tanpa menunggu terlewatnya banyak waktu, tiga lebah kecil terbang mengelilinginya. Dua dekat kepala, satu di dekat betisnya. Dua menyengat telinga, yang satu lagi menyengat pantatnya. Ia lari tunggang langgang. Untuk menghindari sengatan lebih banyak di badannya, ia naik ke atas pohon nangka. Dia naik sampai ranting paling tinggi. Ketika menggeser duduknya ke arah batang, kakinya menyenggol sesuatu yang besar. Sesuatu-yang-besar itu bergoyang-goyang. Tio menghentikan goyangannya dengan kakinya agar tidak jatuh.
    Tio melihat ke kakinya, sekadar melihat apa yang telah disepaknya. Ia terbelalak dan tersenyum sendiri sembari bergumam, “kau tidak bercanda, bukan? Hahaha.” Gila! Itu sarang lebah. Kali ini lebah madu. Kau tahu kan, seberapa besar sarang lebah madu, dan telah dapat menebak apa yang terjadi setelah itu?
    Ya, sengatan pedas berkali-kali di kakinya.

    Tio bergegas turun. Berusaha kabur. Kali ini, telapak tangan dan lehernya. Lalu, kepalanya. Ia terjatuh, dan pingsan. Ia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi setelahnya. Semuanya, tentu saja, gelap. Orang lain, orangtuanya, mungkin tahu kisah seterusnya. Tio benar-benar tidak siuman. Banyak perban dan salep nimbrung di badannya. Pasti sakit, batinku. Ngilu. Perih. Ketakutan. Serasa disetrum berkali-kali. Atau seperti digigit puluhan semut api. Masih terasa, sepertinya. Sepertinya, ia trauma. Membayangkannya, aku jadi terserang fobia ringan pada lebah.
    Esok, aku akan melihat benjolan-benjolan di wajah Tio dan menemaninya seharian. Ketika aku datang, ia menonton film kartun tentang seekor lebah yang mencari ibunya di channel Cartoon Network. Channel yang selalu atau jadi pilihan utamanya ketika menyalakan televisi semenjak ia kecil. Untuk hal ini, kata Tio, tidak apa-apa. Ia belum tahu kisah selanjutnya dan bagaimana akhirnya.

    DIRECTION(S). Bukan, aku bukan penggemar berat 1D. Aku hanya ingin mengemukakan fakta tentang diri sendiri. Aku tidak tahu kiri-kanan, dulu. Aku hanya tahu Lor, Kidul, Wetan, dan Kulon. Itu yang sering diajarkan dan paling tidak jarang kudengar. Sekarang, aku harus memetikkan jari kedua tangan. Petikan yang paling kuat dan terdengar nyaring, itu pasti kanan.

    PURA-PURA. Ia pura-pura tidak mendengar. Pura-pura tidak tahu. Lama kelamaan ia menjadi lupa, apa yang tidak dipedulikannya. Lama kelamaan, ia benar-benar tidak tahu apa yang sudah dilewatkannya.

    FREEKICK. Lastri baru tertarik dengan sepakbola setelah tahu ada tim yang bekerja keras dan punya kerja sama yang solid agar menjadi juara. Ia begitu terharu melihat perjuangan itu. Baru-baru ini, ia menonton sebuah laga yang menurutnya aneh. Pertama-tama, ia salahkan wasit. Lalu, pemain belakang yang melakukan backpass ke kiper. Selanjutnya, si kiper itu sendiri; yang menangkap bola operan temannya tepat di depan gawang. Apa wasit sudah gila? Sekarang, tim lawan melakukan tendangan bebas tepat di depan garis gawang. Tujuh pemain, dari tim yang dibanggakan Lastri, berjajar di garis gawang. Empat pemain melakukan tipuan tendangan: melangkahi bola berkali-kali. Pemain kelima, di belakang empat pemain tadi, melepaskan tendangan sekencang-kencangnya. Bola masuk. Gawang yang sedari tadi layaknya benteng suatu istana kerajaan yang kuat, akhirnya dapat dijebol. Pendukung fanatik tim lawan mengumandangkan “GOL!!!”. Tim yang didukung Lastri sedih. Lastri dan semua penggemar tim yang juga digemari Lastri kecewa. Bersamaan dengan gol itu, pertandingan berakhir. Tim lawan menang dan mengangkat piala. Lastri tidak tertawa selama dua malam dan terus menangis. Di luar, awan juga menangis. Deras. Sederas alir air mata Lastri.
    Seusai dua hari tidak tertawa, ia akhirnya mencari tahu di internet dan bertanya pada temannya tentang tendangan bebas yang asing bagi pikirannya. Kata temannya -dan juga internet- keputusan wasit itu benar. Lastri menerimanya dengan lapang dada. Tapi, ada satu lagi yang menganggu pikirannya selama ini: apa itu offside? Lastri berusaha mencari tahu lagi dan tetap belum mengerti.

    HILANG. Barangkali perlu aku katakan padamu. Bahwa sebelum bagian ini dibuat, ada bagian yang terhapus atau tidak tersimpan secara tak disengaja. Ketiadaan bagian itu, membuat bagian-bagian yang lain lahir tanpa diduga-duga. Jika kau kehilangan sesuatu, ikhlaskan. Ada
    banyak hal yang lebih baik untuk dirimu dan itu yang kau butuhkan.

    PARFUM. Jika bisa, aku akan menjadi peracik parfum. Tetapi tidak semacam parfum bermerek Hugo, Chanel, Invictus, atau yang lainnya. Aku ingin membuat parfum beraroma hujan yang segar. Sebanyak-banyaknya. Agar aku merasa, hujan bisa aku panggil kapan saja dan bau hujan atau setelahnya bisa aku simpan di semua ruang.

    POSESIF. Shima membolehkanku mengekang keinginan seorang perempuan, tetapi dengan suatu syarat. “Jika kau mau tubuhmu dililit jaring laba-laba milik tarantula raksasa dan digantung terbalik!”, katanya.

    Itulah beberapa catatan kecil yang bisa aku tulis dan beritahukan pada kamu. Maaf, ada beberapa yang nyeleneh. Beberapa lagi melenceng dan awut-awutan. Maklum, aku hanya mencoba memulai menulis. Memulai belajar menulis tentang segala yang aku resahkan dan terus menerus ada di kepala hingga aku benar-benar terdesak dan tak menemukan jalan lain selain menuliskannya.
    Terima kasih dan terimalah rasa hormatku untuk para pembaca yang budiman, yang mampu memilah mana yang akan kalian terima, mana yang akan kalian singkirkan terlebih dulu sementara atau selamanya.
    Terima kasih sudah membaca hingga kalimat-kalimat ini. Terima kasih atas waktunya.

    Cerpen Karangan: Rasyad Fadhilah
    Facebook: Rasyad Fadhilah

    Artikel Terkait

    Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken (Part 3)
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email