Judul Cerpen Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken (Part 2)
Melanggar Hak Cipta
“Keterlaluan, Bu! Putramu itu ternyata sudah pintar melanggar hak cipta.”
“Tenanglah, Pak. Ini masih pagi. Baru sejam yang lalu imsak.”
Pak Ridwan menghela napas panjang. Sebagai pimpinan sebuah penerbitan ternama di Jogja, ia pasti tak terima kelakuan anak lelakinya yang sudah bujang. Umur putranya akan menginjak tujuh belas beberapa minggu lagi. Jika ketahuan pihak berwajib, maka pasal undang-undang Hak Cipta akan mengenai anaknya. Cepat atau lambat.
Tiga hari yang lalu, Ramlan membuka lemari tua milik ayahnya. Ia mau mencari buku-buku sekolah menengah terbitan tahun sembilan puluhan. Tentu saja milik Ayahnya. Ia tak sengaja menemukan lima buku tulis yang isinya berlembar-lembar cerita pendek. Di sampulnya tertulis: Gubahan Ridwan Halim. Itu milik Ayahnya. Ramlan membacanya di sofa ketika rumah sedang sepi. Ayahnya pergi ke kantor penerbitan. Ibunya juga ke kantor pengadilan negeri -ibunya seorang hakim. Ramlan tak punya adik. Kakak apalagi. Ia anak tunggal. Anak semata wayang.
Ramlan membaca lima buku itu sampai tuntas. Setelah itu, ia tertidur pulas. Dua jam kemudian, ia bangun. Rumah masih sepi. Ramlan segera masuk kamar dan duduk di kursi yang berhadapan dengan komputer miliknya. Ia gesit berselancar di dunia maya. Ia menemukan sebuah situs yang kontennya ialah sekumpulan cerpen minggu yang dikutip dari beberapa koran ternama. Tiba-tiba tebersit dalam pikirannya untuk mengunggah cerpen-cerpen karangan Ayahnya ke web buatannya sendiri. Namun, ia tahu, bahwa ia harus mencantumkan nama Ayahnya sebagai pengarang cerita-cerita itu. Sebab situs buatannya begitu banyak pengunjungnya.
Pak Ridwan membuka situs milik anaknya. Ada beberapa judul post dengan klik terbanyak yang direkomendasikan di bagian kanan blog.
“Lihatlah, Bu. Ulah putramu sendiri. Sebelas cerita pendekku sudah diunggah ke situs miliknya.”
“Tapi, Pak, bukannya ada namamu di bawah judul setiap cerita pendek?”
“Iya, benar. Sebenarnya kesalahan anakmu jadi dua karena itu: mengupload cerpen-cerpen karanganku tanpa seizinku dan membuatku malu.”
“Malu kenapa, Pak?”
“Sebenarnya, tema cerpen yang kutulis itu kisah romantikaku dulu. Ya, nyaris semuanya kisah asmaraku yang gagal.”
“Ih, Bapak! Sebelas cerpen, sebelas kekasih bapak dulu?!” Bu Nuri meminta klarifikasi.
“Iya. Eh, bukan! Bukan begitu maksud Bapak, Bu.”
“Iya, atau bukan?”
“Aduh. Gimana, ya…”
“Malam ini, bapak tidur di luar saja!”
Ramlan baru saja mencuri dengar pertengkaran menggelikan orangtuanya. Ia menyesal mendengar kenyataannya. Ia baru sadar bahwa cerpen-cerpen karangan ayahnya, semuanya tentang percintaan. Ayahnya menjadi tokoh utamanya. Ayahnya malu. Ramlan juga malu. Celakanya, ia tidak tahu cara menghapus postingan yang diuploadnya sendiri.
Lama kelamaan, ia tidak peduli lagi dengan hal itu. Makin hari, makin banyak tawaran dari penerbit-penerbit Jakarta untuk membukukan cerpen-cerpen Ayahnya yang masuk ke dalam ponsel Ramlan.
Ramlan depresi. Akan banyak pasal dalam undang-undang yang bakal ditanggung di pundaknya. Walaupun bayangan royalti penulis yang besar terus ada di hadapan mata. Akhirnya, ia menukar SIM Card miliknya sendiri dan punya Ayahnya.
Menipu Penculik
Televisi sedang ramai mengoarkan berita modus penculikan. Rencana si penculik: menyuruh seorang anak tak dikenal yang bakal diupah permen atau uang merah untuk menangis di tengah jalan. Biar calon korban akan merasa iba, maka anak itu harus berjenis kelamin perempuan usia balita yang suka menangis jika dibentak atau didatangi orang yang asing dan belum pernah ditemui. Calon korban akan menolong anak yang pintar menangis tersebut. Di kesempatan itulah si penculik akan membekap korban dengan sapu tangan berisi opium atau obat bius lainnya. Calon korban sudah menjadi korban. Jika beruntung, ia hanya akan dibuang di tempat sepi. Jika nasibnya nahas, ia akan dibunuh dan dimutilasi.
Koran memberitakan hal yang sama. Tapi lebih menggambarkan kronologi hilangnya seseorang. Jumat, Agustus 2015. Bio (23/L) berjalan sendirian di jalan Ashoka. Seorang warga, Jaro (42/L), melihatnya menolong seorang anak kecil. Perempuan. Masih kecil. Ia membantu si adik kecil untuk menemukan rumahnya atau paling tidak orangtuanya. Korban malah diajak ke tempat si penculik. Ia dibius. Kepalanya diberi tudung hitam. Tubuhnya ditaruh di bagasi mobil Jeep. Hitam metalik. Platnya kode daerah Jakarta. B 8751 CA. Polisi sedang mengadakan pencarian, khawatir di penculik membunuh korbannya. Atau menghilangkannya tanpa bekas dari mata dunia: di bakar hidup-hidup, abunya dibiarkan ditelan ombak Laut Jawa atau Samudera Hindia. Motifnya mungkin hasrat membunuh yang ditimbulkan masalah pribadi di keseharian si penculik. Mungkin juga, salah satu orang yang sangat disayangi si penculik mengalami hal yang sama. Bisa jadi motif balas dendam. Dendam yang selama ini belum tunai dibayarkan.
Menurut kesaksian, penculik tidak sendirian. Ada satu lagi temannya. Yang satu berkulit putih pucat. Satunya lagi, temannya, kulit keling. Tubuh keduanya gempal. Tinggi. Ditaksir, yang seorang berumur kepala tiga. Seorang lagi yang kulit keling, kira-kira empat puluhan.
Perempuan mungil yang jadi umpan itu tidak bisa mengatakan petunjuk apapun. Ia diancam. Ia masih mengalami syok. Butuh sebulan lamanya untuk penyembuhannya.
Itulah yang dibaca Salman di bagian headline surat kabar harian di hari Sabtu lalu. Ia suka baca koran. Ia juga berlangganan. Sehabis membaca berita itu, muncul satu gagasan kecil dalam kepalanya.
Salman bertamu ke rumah Rahmat. Ia mau membicarakan sedikit hal yang bukan perihal pelajaran selama lima hari kemarin. Bukan. Ada yang jauh lebih penting dari itu, ternyata. Salman membawa satu eksemplar koran yang dibacanya pagi tadi.
“Ada apa, Man, tiba-tiba ke sini?” Rahmat menyambut dengan pertanyaan.
“Kau, kan, kawanku, Mat. Bisakah kau membantuku?”
“Bisa. Kapan pun kau mau. Tapi, membantu untuk apa?”
Salman menaruh koran yang dibawanya ke atas meja kaca warna hitam. Rahmat membacanya.
“Menangkap penculik?” Tanya Rahmat memastikan.
“Hanya menjebak. Polisi yang akan menangkap mereka.”
“Bagaimana rencanamu?”
Ditanya seperti itu, Salman menceritakan segala yang sudah ia susun dalam kepalanya.
Usai itu, ia balas bertanya: “Karang taruna kita masih aktif kan? Nanti malam, kita ke rumah Pak Jaro!”
“Kau tahu rumahnya, Man?”
Salman berjalan sendirian di Jalan Ashoka. Jalanan sepi. Lengang. Sesuai saran Pak Jaro tadi malam, ia mesti lewat antara waktu tengah hari sampai jam tiga. Penculik pasti akan berburu korban di waktu dan tempat sepi. Pak Jaro yakin itu. Hari ini hari yang sama seperti yang diberitakan di koran itu. Jumat. Masih di bulan Agustus.
Dari kejauhan, Salman melihat seorang anak kecil berjongkok di tengah jalan. Kedua tangannya seperti mengusap-usap kedua matanya. Ia menangis. Kesepian juga, mungkin, pikir Salman. Ia hendak menolongnya. Sekadar tahu apa benar-benar anak kecil itu menangis atau hanya dibuat-buat dengan obat tetes mata.
Semakin dekat, Salman menjadi tahu sesuatu. Anak kecil itu, perempuan! Salman ikut berjongkok. Ia mau menanyakan sebuah hal dan mencoba menghibur anak kecil itu.
“Cup-cup-cup. Sudah, jangan menangis. Adik kecil yang manis, di mana ibu-bapakmu?” Tanya Salman mencoba ramah. Ia berusaha mengalihkan kedua lengan anak kecil itu dari matanya.
Ia masih menangis. Benar-benar menangis rupanya. Air mata yang nyata keluar mengalir dari pelupuknya. Tangisannya keras. Bersamaan dengan jatuhnya dahan dan daun pohon Jati yang meranggas di musim Kemarau.
Salman mengangkat pinggang anak kecil itu. Membuatnya mampu berdiri dan mau diajak berjalan. “Tidak ada yang perlu ditakuti. Lihatlah ke atas, ada pesawat. Kamu ingin juga, kan, terbang melihat dan memegang awan?” Bujuk Salman biar ia berhenti menangis.
Anak kecil itu mengangguk. Tangannya mencoba menggapai-gapai telinga Salman. Salman mengerti. Ia membungkuk dan menyerahkan telinganya dibisiki sesuatu. “Aku ingin memegang awan dan membawanya pulang, Bang. Pasti rasanya seperti gulali warna pink, kan?”
“Ya, benar.” Tanpa sadar, anak kecil itu sudah reda tangisnya.
“Abang, baik. Tidak jahat,” katanya. Masih dengan berbisik. “Abang mau kukenalkan dengan teman yang sama baiknya dengan Abang?”
“Tentu saja, mau.” Ucap Salman sambil menyeringai.
“Ayo, ikutlah.” Ia menggenggam tangan Salman, memaksanya mengikutinya. Salman menurut.
Mereka tiba di sebuah mobil. Warna hitam metalik. Dua orang itu mendatangi Salman dan anak itu. Salman tenang. Ia tidak takut walaupun ia tahu nyawanya terancam.
Seorang yang berkulit cerah berkata. “Dasar bodoh. Kau pasti tidak pernah nonton tivi!”
“Pasti juga tidak baca berita di koran! Kau tertipu bulat-bulat! Kerja bagus, Nak!” Ujar seorang kawan penculik yang berkulit keling.
Salman masih tenang. Sebuah sapu tangan akan membekapnya dari belakang. Ia menunduk. Kakinya yang sebelah kanan menyapu tulang kering seorang yang berkulit gelap. Ia rubuh. Salman mencoba berlari dari tempat sempit di pinggir jalan itu. Ia memancing mereka ke tengah jalan yang tetap lengang.
Dua orang itu berlari mengejar Salman. Baru saja akan menangkap bahu Salman, seorang yang berkulit cerah menginjak sesuatu dan tersandung. Ia tersungkur. Sejurus kemudian, kaki kirinya seperti tertarik, dan … ia tergantung dengan kepala di bawah. Temannya kaget bukan kepalang. Ia membabi buta. Amarahnya meledak-ledak. Terlihat dari matanya yang saga dan mukanya yang merah padam. Salman bersiul nyaring-nyaring. Seseorang muncul di belakangnya: Rahmat. Bersama Pak Jaro. Saksi penting kasus penculikan minggu lalu.
Pak Jaro mengangkat kedua tangan dan bertepuk tangan nyaring. Sekumpulan orang datang. Ada lima belas polisi berjajar dengan tameng dan rompi anti peluru. Ada dua puluh satu anggota karang taruna yang mahir bela diri dan sudah mengambil kuda-kuda siap serang. Ada tujuh belas petani yang memegang cangkul dan sabit. Ada kepala desa dan puluhan kepala keluarga. Mereka, penculik itu, terkepung. Mereka pasti tidak menyangka akan digadang puluhan orang. Penculik itu, tiba-tiba air mukanya pucat. Tubuh mereka lunglai.
Salman mendekat. Dan berkata sembari berbisik. “Kalian pasti tidak baca koran juga. Di balik headline koran sabtu lalu, ada berita besar: Salman Juara Tiga Kali Berturut-turut dalam Kejuaraan Karate Tingkat Kabupaten!”
“Kali ini, kalian yang tertipu! Bukan kami!” Hardik kepala desa.
Polemik Surat Tilang
Ken ternganga melihat jam sudah melewati pukul tujuh. Ia harus tiba di sekolah lima belas menit lagi. Jika tidak, akan ada sanksi yang jadi sarapan tambahannya nanti. Ken mengeluarkan motor barunya dari garasi setelah direstui ibunya untuk berangkat. Ken menghidupkan motor automatic kepunyaannya. Rodanya melaju melewati pagar rumahnya yang tinggi.
Ken ngebut. Ken tidak peduli dengan keselamatan diri dan orang sekitarnya. Ia hanya peduli pada waktu yang makin sedikit untuk tiba di depan sekolah. Ken menerobos lampu merah. Di belakangnya, seorang polisi meniup peluit. Ken lupa, hari ini ada razia. Tapi ia merasa aneh, tadi ada pengendara lain yang tidak mengenakan helm di kepalanya. Orang itu baik-baik saja, bahkan setelah lampu hijau menyala, polisi tidak memberikan peringatan atau surat tilang.
“Selamat pagi, Adik!” Kata polisi itu.
Ken bingung. Ia ketakutan. “Se, selamat pagi, juga, Pak!” Katanya terbata-bata.
“Adik tahu kesalahan Adik apa?”
“Iya, Pak.”
“Adik mau berdamai saja untuk mempersingkat waktu? Mengingat Adik akan terlambat jika motor Adik kami tahan atau perlu mengambil surat tilang!”
“Tidak bisa, Pak. Saya ingin menjunjung integritas saja.”
“Lebih baik Adik berikan saja uangnya. Hanya 50.000 ribu Rupiah.”
“Lebih baik saya tabung, Pak. Banyak buku di Gramedia atau toko buku lain yang menunggu saya beli!”
“Adik yakin? Tidak memikirkannya baik-baik dulu. Pertimbangkanlah, uang damai atau sidang dan membayar ratusan ribu?”
“Bagaimana kalau dua-duanya, Pak?”
“Jangan membuat saya tertawa, Dik!”
“Saya tidak melucu, Pak. Saya akan berikan saksi di pengadilan bahwa ada seorang polisi yang mencoba menawari saya untuk suap-menyuap. Lagipula, kejadian hari ini bisa saya tuliskan dalam cerpen, lalu saya setorkan ke koran untuk dimuat di hari minggu. Honornya bisa saya cairkan, lalu saya belikan buku lagi. Itu sangat menguntungkan, Pak.”
“Adik punya bukti?”
“Punya, Pak. Saya rekam penawaran Bapak barusan. Boleh saya minta surat tilangnya, Pak? Oh, iya. Ini, sedekah dari saya untuk Bapak. Pergunakan baik-baik, Pak.”
Setelah perdebatan itu, akhirnya, Ken datang terlambat. Namun ia tersenyum bangga. Ia akan disidang! Rasa penasarannya bakal segera terpenuhi.
Cerpen Karangan: Rasyad Fadhilah
Facebook: Rasyad Fadhilah
Melanggar Hak Cipta
“Keterlaluan, Bu! Putramu itu ternyata sudah pintar melanggar hak cipta.”
“Tenanglah, Pak. Ini masih pagi. Baru sejam yang lalu imsak.”
Pak Ridwan menghela napas panjang. Sebagai pimpinan sebuah penerbitan ternama di Jogja, ia pasti tak terima kelakuan anak lelakinya yang sudah bujang. Umur putranya akan menginjak tujuh belas beberapa minggu lagi. Jika ketahuan pihak berwajib, maka pasal undang-undang Hak Cipta akan mengenai anaknya. Cepat atau lambat.
Tiga hari yang lalu, Ramlan membuka lemari tua milik ayahnya. Ia mau mencari buku-buku sekolah menengah terbitan tahun sembilan puluhan. Tentu saja milik Ayahnya. Ia tak sengaja menemukan lima buku tulis yang isinya berlembar-lembar cerita pendek. Di sampulnya tertulis: Gubahan Ridwan Halim. Itu milik Ayahnya. Ramlan membacanya di sofa ketika rumah sedang sepi. Ayahnya pergi ke kantor penerbitan. Ibunya juga ke kantor pengadilan negeri -ibunya seorang hakim. Ramlan tak punya adik. Kakak apalagi. Ia anak tunggal. Anak semata wayang.
Ramlan membaca lima buku itu sampai tuntas. Setelah itu, ia tertidur pulas. Dua jam kemudian, ia bangun. Rumah masih sepi. Ramlan segera masuk kamar dan duduk di kursi yang berhadapan dengan komputer miliknya. Ia gesit berselancar di dunia maya. Ia menemukan sebuah situs yang kontennya ialah sekumpulan cerpen minggu yang dikutip dari beberapa koran ternama. Tiba-tiba tebersit dalam pikirannya untuk mengunggah cerpen-cerpen karangan Ayahnya ke web buatannya sendiri. Namun, ia tahu, bahwa ia harus mencantumkan nama Ayahnya sebagai pengarang cerita-cerita itu. Sebab situs buatannya begitu banyak pengunjungnya.
Pak Ridwan membuka situs milik anaknya. Ada beberapa judul post dengan klik terbanyak yang direkomendasikan di bagian kanan blog.
“Lihatlah, Bu. Ulah putramu sendiri. Sebelas cerita pendekku sudah diunggah ke situs miliknya.”
“Tapi, Pak, bukannya ada namamu di bawah judul setiap cerita pendek?”
“Iya, benar. Sebenarnya kesalahan anakmu jadi dua karena itu: mengupload cerpen-cerpen karanganku tanpa seizinku dan membuatku malu.”
“Malu kenapa, Pak?”
“Sebenarnya, tema cerpen yang kutulis itu kisah romantikaku dulu. Ya, nyaris semuanya kisah asmaraku yang gagal.”
“Ih, Bapak! Sebelas cerpen, sebelas kekasih bapak dulu?!” Bu Nuri meminta klarifikasi.
“Iya. Eh, bukan! Bukan begitu maksud Bapak, Bu.”
“Iya, atau bukan?”
“Aduh. Gimana, ya…”
“Malam ini, bapak tidur di luar saja!”
Ramlan baru saja mencuri dengar pertengkaran menggelikan orangtuanya. Ia menyesal mendengar kenyataannya. Ia baru sadar bahwa cerpen-cerpen karangan ayahnya, semuanya tentang percintaan. Ayahnya menjadi tokoh utamanya. Ayahnya malu. Ramlan juga malu. Celakanya, ia tidak tahu cara menghapus postingan yang diuploadnya sendiri.
Lama kelamaan, ia tidak peduli lagi dengan hal itu. Makin hari, makin banyak tawaran dari penerbit-penerbit Jakarta untuk membukukan cerpen-cerpen Ayahnya yang masuk ke dalam ponsel Ramlan.
Ramlan depresi. Akan banyak pasal dalam undang-undang yang bakal ditanggung di pundaknya. Walaupun bayangan royalti penulis yang besar terus ada di hadapan mata. Akhirnya, ia menukar SIM Card miliknya sendiri dan punya Ayahnya.
Menipu Penculik
Televisi sedang ramai mengoarkan berita modus penculikan. Rencana si penculik: menyuruh seorang anak tak dikenal yang bakal diupah permen atau uang merah untuk menangis di tengah jalan. Biar calon korban akan merasa iba, maka anak itu harus berjenis kelamin perempuan usia balita yang suka menangis jika dibentak atau didatangi orang yang asing dan belum pernah ditemui. Calon korban akan menolong anak yang pintar menangis tersebut. Di kesempatan itulah si penculik akan membekap korban dengan sapu tangan berisi opium atau obat bius lainnya. Calon korban sudah menjadi korban. Jika beruntung, ia hanya akan dibuang di tempat sepi. Jika nasibnya nahas, ia akan dibunuh dan dimutilasi.
Koran memberitakan hal yang sama. Tapi lebih menggambarkan kronologi hilangnya seseorang. Jumat, Agustus 2015. Bio (23/L) berjalan sendirian di jalan Ashoka. Seorang warga, Jaro (42/L), melihatnya menolong seorang anak kecil. Perempuan. Masih kecil. Ia membantu si adik kecil untuk menemukan rumahnya atau paling tidak orangtuanya. Korban malah diajak ke tempat si penculik. Ia dibius. Kepalanya diberi tudung hitam. Tubuhnya ditaruh di bagasi mobil Jeep. Hitam metalik. Platnya kode daerah Jakarta. B 8751 CA. Polisi sedang mengadakan pencarian, khawatir di penculik membunuh korbannya. Atau menghilangkannya tanpa bekas dari mata dunia: di bakar hidup-hidup, abunya dibiarkan ditelan ombak Laut Jawa atau Samudera Hindia. Motifnya mungkin hasrat membunuh yang ditimbulkan masalah pribadi di keseharian si penculik. Mungkin juga, salah satu orang yang sangat disayangi si penculik mengalami hal yang sama. Bisa jadi motif balas dendam. Dendam yang selama ini belum tunai dibayarkan.
Menurut kesaksian, penculik tidak sendirian. Ada satu lagi temannya. Yang satu berkulit putih pucat. Satunya lagi, temannya, kulit keling. Tubuh keduanya gempal. Tinggi. Ditaksir, yang seorang berumur kepala tiga. Seorang lagi yang kulit keling, kira-kira empat puluhan.
Perempuan mungil yang jadi umpan itu tidak bisa mengatakan petunjuk apapun. Ia diancam. Ia masih mengalami syok. Butuh sebulan lamanya untuk penyembuhannya.
Itulah yang dibaca Salman di bagian headline surat kabar harian di hari Sabtu lalu. Ia suka baca koran. Ia juga berlangganan. Sehabis membaca berita itu, muncul satu gagasan kecil dalam kepalanya.
Salman bertamu ke rumah Rahmat. Ia mau membicarakan sedikit hal yang bukan perihal pelajaran selama lima hari kemarin. Bukan. Ada yang jauh lebih penting dari itu, ternyata. Salman membawa satu eksemplar koran yang dibacanya pagi tadi.
“Ada apa, Man, tiba-tiba ke sini?” Rahmat menyambut dengan pertanyaan.
“Kau, kan, kawanku, Mat. Bisakah kau membantuku?”
“Bisa. Kapan pun kau mau. Tapi, membantu untuk apa?”
Salman menaruh koran yang dibawanya ke atas meja kaca warna hitam. Rahmat membacanya.
“Menangkap penculik?” Tanya Rahmat memastikan.
“Hanya menjebak. Polisi yang akan menangkap mereka.”
“Bagaimana rencanamu?”
Ditanya seperti itu, Salman menceritakan segala yang sudah ia susun dalam kepalanya.
Usai itu, ia balas bertanya: “Karang taruna kita masih aktif kan? Nanti malam, kita ke rumah Pak Jaro!”
“Kau tahu rumahnya, Man?”
Salman berjalan sendirian di Jalan Ashoka. Jalanan sepi. Lengang. Sesuai saran Pak Jaro tadi malam, ia mesti lewat antara waktu tengah hari sampai jam tiga. Penculik pasti akan berburu korban di waktu dan tempat sepi. Pak Jaro yakin itu. Hari ini hari yang sama seperti yang diberitakan di koran itu. Jumat. Masih di bulan Agustus.
Dari kejauhan, Salman melihat seorang anak kecil berjongkok di tengah jalan. Kedua tangannya seperti mengusap-usap kedua matanya. Ia menangis. Kesepian juga, mungkin, pikir Salman. Ia hendak menolongnya. Sekadar tahu apa benar-benar anak kecil itu menangis atau hanya dibuat-buat dengan obat tetes mata.
Semakin dekat, Salman menjadi tahu sesuatu. Anak kecil itu, perempuan! Salman ikut berjongkok. Ia mau menanyakan sebuah hal dan mencoba menghibur anak kecil itu.
“Cup-cup-cup. Sudah, jangan menangis. Adik kecil yang manis, di mana ibu-bapakmu?” Tanya Salman mencoba ramah. Ia berusaha mengalihkan kedua lengan anak kecil itu dari matanya.
Ia masih menangis. Benar-benar menangis rupanya. Air mata yang nyata keluar mengalir dari pelupuknya. Tangisannya keras. Bersamaan dengan jatuhnya dahan dan daun pohon Jati yang meranggas di musim Kemarau.
Salman mengangkat pinggang anak kecil itu. Membuatnya mampu berdiri dan mau diajak berjalan. “Tidak ada yang perlu ditakuti. Lihatlah ke atas, ada pesawat. Kamu ingin juga, kan, terbang melihat dan memegang awan?” Bujuk Salman biar ia berhenti menangis.
Anak kecil itu mengangguk. Tangannya mencoba menggapai-gapai telinga Salman. Salman mengerti. Ia membungkuk dan menyerahkan telinganya dibisiki sesuatu. “Aku ingin memegang awan dan membawanya pulang, Bang. Pasti rasanya seperti gulali warna pink, kan?”
“Ya, benar.” Tanpa sadar, anak kecil itu sudah reda tangisnya.
“Abang, baik. Tidak jahat,” katanya. Masih dengan berbisik. “Abang mau kukenalkan dengan teman yang sama baiknya dengan Abang?”
“Tentu saja, mau.” Ucap Salman sambil menyeringai.
“Ayo, ikutlah.” Ia menggenggam tangan Salman, memaksanya mengikutinya. Salman menurut.
Mereka tiba di sebuah mobil. Warna hitam metalik. Dua orang itu mendatangi Salman dan anak itu. Salman tenang. Ia tidak takut walaupun ia tahu nyawanya terancam.
Seorang yang berkulit cerah berkata. “Dasar bodoh. Kau pasti tidak pernah nonton tivi!”
“Pasti juga tidak baca berita di koran! Kau tertipu bulat-bulat! Kerja bagus, Nak!” Ujar seorang kawan penculik yang berkulit keling.
Salman masih tenang. Sebuah sapu tangan akan membekapnya dari belakang. Ia menunduk. Kakinya yang sebelah kanan menyapu tulang kering seorang yang berkulit gelap. Ia rubuh. Salman mencoba berlari dari tempat sempit di pinggir jalan itu. Ia memancing mereka ke tengah jalan yang tetap lengang.
Dua orang itu berlari mengejar Salman. Baru saja akan menangkap bahu Salman, seorang yang berkulit cerah menginjak sesuatu dan tersandung. Ia tersungkur. Sejurus kemudian, kaki kirinya seperti tertarik, dan … ia tergantung dengan kepala di bawah. Temannya kaget bukan kepalang. Ia membabi buta. Amarahnya meledak-ledak. Terlihat dari matanya yang saga dan mukanya yang merah padam. Salman bersiul nyaring-nyaring. Seseorang muncul di belakangnya: Rahmat. Bersama Pak Jaro. Saksi penting kasus penculikan minggu lalu.
Pak Jaro mengangkat kedua tangan dan bertepuk tangan nyaring. Sekumpulan orang datang. Ada lima belas polisi berjajar dengan tameng dan rompi anti peluru. Ada dua puluh satu anggota karang taruna yang mahir bela diri dan sudah mengambil kuda-kuda siap serang. Ada tujuh belas petani yang memegang cangkul dan sabit. Ada kepala desa dan puluhan kepala keluarga. Mereka, penculik itu, terkepung. Mereka pasti tidak menyangka akan digadang puluhan orang. Penculik itu, tiba-tiba air mukanya pucat. Tubuh mereka lunglai.
Salman mendekat. Dan berkata sembari berbisik. “Kalian pasti tidak baca koran juga. Di balik headline koran sabtu lalu, ada berita besar: Salman Juara Tiga Kali Berturut-turut dalam Kejuaraan Karate Tingkat Kabupaten!”
“Kali ini, kalian yang tertipu! Bukan kami!” Hardik kepala desa.
Polemik Surat Tilang
Ken ternganga melihat jam sudah melewati pukul tujuh. Ia harus tiba di sekolah lima belas menit lagi. Jika tidak, akan ada sanksi yang jadi sarapan tambahannya nanti. Ken mengeluarkan motor barunya dari garasi setelah direstui ibunya untuk berangkat. Ken menghidupkan motor automatic kepunyaannya. Rodanya melaju melewati pagar rumahnya yang tinggi.
Ken ngebut. Ken tidak peduli dengan keselamatan diri dan orang sekitarnya. Ia hanya peduli pada waktu yang makin sedikit untuk tiba di depan sekolah. Ken menerobos lampu merah. Di belakangnya, seorang polisi meniup peluit. Ken lupa, hari ini ada razia. Tapi ia merasa aneh, tadi ada pengendara lain yang tidak mengenakan helm di kepalanya. Orang itu baik-baik saja, bahkan setelah lampu hijau menyala, polisi tidak memberikan peringatan atau surat tilang.
“Selamat pagi, Adik!” Kata polisi itu.
Ken bingung. Ia ketakutan. “Se, selamat pagi, juga, Pak!” Katanya terbata-bata.
“Adik tahu kesalahan Adik apa?”
“Iya, Pak.”
“Adik mau berdamai saja untuk mempersingkat waktu? Mengingat Adik akan terlambat jika motor Adik kami tahan atau perlu mengambil surat tilang!”
“Tidak bisa, Pak. Saya ingin menjunjung integritas saja.”
“Lebih baik Adik berikan saja uangnya. Hanya 50.000 ribu Rupiah.”
“Lebih baik saya tabung, Pak. Banyak buku di Gramedia atau toko buku lain yang menunggu saya beli!”
“Adik yakin? Tidak memikirkannya baik-baik dulu. Pertimbangkanlah, uang damai atau sidang dan membayar ratusan ribu?”
“Bagaimana kalau dua-duanya, Pak?”
“Jangan membuat saya tertawa, Dik!”
“Saya tidak melucu, Pak. Saya akan berikan saksi di pengadilan bahwa ada seorang polisi yang mencoba menawari saya untuk suap-menyuap. Lagipula, kejadian hari ini bisa saya tuliskan dalam cerpen, lalu saya setorkan ke koran untuk dimuat di hari minggu. Honornya bisa saya cairkan, lalu saya belikan buku lagi. Itu sangat menguntungkan, Pak.”
“Adik punya bukti?”
“Punya, Pak. Saya rekam penawaran Bapak barusan. Boleh saya minta surat tilangnya, Pak? Oh, iya. Ini, sedekah dari saya untuk Bapak. Pergunakan baik-baik, Pak.”
Setelah perdebatan itu, akhirnya, Ken datang terlambat. Namun ia tersenyum bangga. Ia akan disidang! Rasa penasarannya bakal segera terpenuhi.
Cerpen Karangan: Rasyad Fadhilah
Facebook: Rasyad Fadhilah
Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken (Part 2)
4/
5
Oleh
Unknown