Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken

Baca Juga :
    Judul Cerpen Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken

    Batal Mudik

    Aku baru selesai mandi dan masih mencoba mengeringkan rambut dengan handuk biru yang baru dibelikan istriku. Aku juga sedang mengenakan baju putih polos yang biasanya kukenakan sebagai baju dalam. Bagian bawah tubuhku kulilitkan handuk juga. Warnanya putih.
    “Pa! Papa! Ke sini, Sayang, cepat!” Dari halaman rumah, Istriku memanggil.
    “Sebentar, Sayang!” Aku bergegas ke sana. Berlari kecil sambil memegangi lilitan handuk. Sebenarnya, aku kurang suka dipanggil Papa, Bapak, atau Ayah oleh istri sendiri. Tetapi, apa boleh buat, istriku sudah mengandung anak pertama kami. Sudah satu windu lamanya.
    Aku tiba di halaman. Istriku terlihat panik. Bingung. “Ada apa?”
    Ia diam. Merasa ditunggu jawabannya, ia lekas berkata, “lihat sendiri roda mobil kita! Keempat ban mobil kita dicuri maling!”

    Mencuri dari Pencuri

    “Aku punya ide, Coy!” Kataku bersemangat.
    “Coba ceritakan. Jangan ngawur, Dan!” Timpalku.
    “Tentu saja tidak!” Dani berkilah. “Pertama-tama, kau harus membeli lagi dongkrak sadel sepeda.”
    “Amboi, mahal kau tahu? 35.000 Rupiah lagi uangku akan hilang.”
    “Kau ingin tahu di mana pencuri barang milikmu bersembunyi, kan?”
    “Tentu saja! Tanganku sudah gatal ingin menghajarnya habis-habisan.”
    “Kalau begitu, cepat beli di bengkel Sepeda Kita.”
    “Milik Pakde Kuncoro? Aih, nanti kena marah lagi.”
    “Ketimbang ….” Ia melirik ke bawah sadel sepedaku. Tidak ada penahannya. Hilang.
    “Baiklah.” Aku mengalah. Dani tersenyum puas.



    Aku hanya bisa menunduk jadi bulan-bulanan kemarahan Pakde Kuncoro. Dia bilang, aku tidak bisa jaga barang. Tentu saja tidak, itu dicuri, tidak mungkin kuhilangkan sendiri! Bantahku dalam hati. Dalam satu hari ke depan jika ia melihatku kembali ke bengkel kepunyaannya, ia tak segan-segan memerintahkan ini-itu. Ia mengancam akan membocorkan rahasia terbesar dariku: kalah tiga kali main catur melawan anaknya yang masih tujuh tahun. Mengingat umurku sudah lima belas tahun, ia terkekeh. Aku kesal menahan marah dan malu tak tanggung-tanggung.



    “Ini! Rencana selanjutnya apa?” Kataku sambil menyerahkan barang yang baru saja kubeli.
    “Selanjutnya, kita pasangkan lagi ke tempat seharusnya. Di bawah sadel sepeda. Harus kuat. Agar ada waktu beberapa jenak si maling kesusahan memutar-lepaskannya dan kita keluar dari persembunyian.”
    “Ceritanya, kita memancing dia datang lagi?” Tanyaku.
    “Ya.”
    “Kita akan bersembunyi di mana, Dan?”
    “Di balik mobil, di garasi rumahmu.”
    “Kapan dia datang?”
    “Sebentar lagi. Mungkin tengah hari. Di saat orang sedang tidur siang.”
    “Oh, oke, oke. Semoga kita berhasil.” Kataku sambil menyodorkan tinju.
    “Siap, Coy!” Ia membalas tinjuku.



    Jantungku berdebar. Aku tak sabar melihat wajah seorang pencuri yang sudah satu caturwulan belum pernah kuketahui. Sekali melihat wajahnya, kami pasti tahu di mana rumahnya berada. Kampung kami kecil. Letaknya di pinggir Pantai Utara Jawa. Tidak ada rumah teman sepermainan kami yang tidak kami ketahui. Tidak ada satu rumah pun yang tidak kami ingat nama kepala keluarganya.

    Aku keringat dingin. Sesekali Dani mengintip keadaan sepedaku. Ia menggelengkan kepala. Belum ada yang dicuri. Aku juga melihatnya. Benda itu masih di sana. Sudah lewat tengah hari. Orang-orang sudah pulang dari Shalat Dzuhur di masjid. Kami masih tetap penasaran dan bersemangat menunggu.
    Ketika menunggu sesuatu, aku menjadi tahu bahwa menunggu itu membosankan.
    Sangat tidak enak merasa dijemukan.

    Tiba-tiba, ada langkah yang mendekat. Orang itu melihat sekelilingnya. Merasa aman dan tak ada yang melihat, ia mendekat ke arah sepedaku. Tubuhnya tinggi. Kulitnya sawo matang. Wajahnya kalau dilihat-lihat, kami amat mengenalnya. Dia sering menjadi lawanku dan Dani jika bermain sepakbola di lapangan dekat masjid. Dia kapten timnya. Dia sering jadi korban sombrero milik Dani dan nutmeg milikku. Timnya juga sering kami kalahkan. Mungkin karena itu ia merasa dipermalukan dan melakukan tindakan tak terpuji itu. Aku dan Dani saling memandang. Heran. Dani menaruh telunjuknya di depan bibirnya. Telunjuknya satu lagi menyuruhku ke sisi lain mobil. Mungkin ia hendak melakukan sesuatu.

    Setelah sukses melepaskan penahan sadel yang baru dipasang dan dibeli tadi, ia kabur. Larinya kencang.
    “Bagaimana ini, Dan?” Tanyaku sembari berbisik.
    “Tidak masalah. Nanti sore kita main bola di lapangan, kan?” Dani bicara normal ketika melihat pencuri itu sudah pergi jauh.
    “Iya. Lalu, apa kita punya bukti?”
    “Sudah jelas, kan?” Dua jarinya menunjuk pada dua matanya dan mataku. Kemudian, ia menunjukkan ponselnya yang berisi rekaman aksi pencurian barang milikku. Kami sama-sama tersenyum sinis. Rencana kami di ambang kesuksesan yang nyata.
    “Boleh aku usul satu hal?” Tanyaku.
    “Kenapa tidak?”
    “Transferkan video itu ke ponsel milikku, komputer punyamu dan punyaku. Lalu, unggah ke akun google drive milikmu dan share linknya ke akun gmail-ku. Biar aman. Kalau saja dia mencuri waktu untuk mencoba menghapus video itu suatu ketika atau secepatnya.”
    Dani mengangguk. Kami Shalat Dzuhur, lalu melaksanakan rencana usulanku sebelum Ashar tiba.

    Selesai Shalat Ashar, aku mengapit bola Adidas Brazuca asli yang digunakan selama Piala Dunia 2014 di Brazil yang kubeli dengan harga miring di internet. Sebab ongkos kirimnya gratis, aku membeli dua buah lagi: Adidas Jabulani yang aktif ditendang pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, dan Adidas Teamgeist yang dipakai pada perhelatan turnamen akbar Piala Dunia 2006 di Berlin, Jerman; dan berlari bersemangat ke lapangan bersama kawan dekatku, Dani. Rencana terakhir akan segera dimulai.

    Dani mengenakan jaket berbahan parasut untuk menyimpan ponselnya. Di balik jaketnya ia memakai kostum kesebelasan Italia versi kandang. Sementara aku memakai kostum tim kesayanganku: tim nasional Jerman.
    Orang yang tadi ketangkap basah “mata” kami sedang mencuri barang milikku, sedang duduk di teras masjid bersama timnya dan timku dan Dani. Begitu melihat aku dan Dani datang membawa bola, ia langsung mengajak kawan-kawan yang lain ke lapangan. Ketika dia sudah mendekati kami, kami memintanya menepi ke bawah rindang akasia di tepi lapangan. Ia bersetuju.
    Aku menganggukkan kepala kepada Dani, memberi isyarat untuk memutarkan video itu; menunjukkan padanya. Dani balas mengangguk. Ia masih bingung maksud kami atau mungkin pura-pura linglung.
    “Lihatlah video ini.” Kata Dani.
    Lalu video singkat berdurasi kurang dari satu menit itu diputar. Ia terbelalak tak percaya.
    “Kami punya buktinya. Mengakulah, Ion.” Saran Dani.
    “Kalian pasti bercanda. Tidak mungkin aku melakukannya. Video itu sudah pasti kalian poles dan mengeditnya dengan Adobe Premiere.” Dion berkilah. Pakde Kuncoro pasti malu bukan kepalang jika tahu anak sulungnya sudah berprofesi sebagai maling. Maling barang milik orang yang pernah dipermalukan anak bungsunya dalam main catur sekaligus sering kena omelannya.
    “Tidak. Video itu direkam tadi siang. Butuh waktu lama bagi kami untuk melakukan editing pada video karena kami masih pemula dan belum tahu cara menggunakannya. Ada empat mata saksi yang tahu tindak-tandukmu tadi siang. Aku dan Dani.” Bantahku.
    “Menyerahlah. Umurmu di atas dua belas tahun, hukum sudah runcing ke arah dirimu.” Tambah Dani.
    “Percayalah. Itu bukan aku yang melakukannya. Hahaha.” Alis dan kerut dahinya mencerminkan bahwa dirinya cemas. Cuping hidungnya kembang-kempis. Sudah sembilan kali ia garuk-garuk telinga. Bola matanya bergerak-gerak sekali ia berkata-kata. Jelas sekali ia berbohong.
    “Jangan terus menerus menutupi kebohongan. Aku percaya, saat ini, kau tidak tenang. Bapakmu pasti akan marah padamu. Kecuali…” Kataku sengaja kupotong.
    “Kecuali apa?” Tanyanya cepat.
    “Kau mau mengaku, meminta maaf padaku, dan mengembalikan barang kepunyaanku yang pernah kau curi.”
    “Kau mau mengalah, Ion?” Kata Dani.
    Ia bersandar lemas pada batang akasia. Lalu, mengakui kesalahannya. “Benar. Aku yang mencuri. Aku akui. Aku minta maaf. Aku merasa merawat dendam karena selalu saja kalah dari kalian. Dalam skill, dalam permainan sepakbola yang belum pernah kumenangkan. Choirul bisa mengambil miliknya kembali di rumahku sehabis ini.” Choirul adalah namaku. Hanya Dani yang sering memanggilku Coy.
    “Terima kasih, kawan, sudah mau bekerja sama dengan kami.” Kata Dani sambil menepuk pundak Dion.
    “Tapi, kalian tidak mengatakannya pada Bapakku, kan?”
    “Tentu saja…”
    “Ya!” Tandasku.
    Tiba-tiba, mukanya menjadi muram. Secepat kilat, Dion menyambar ponsel milik Dani dan membawanya kabur. “Kalau begitu, aku akan coba menghapusnya!” Katanya sambil tertawa dan mengangkat tinggi-tinggi ponsel Dani.
    “Sia-sia! Aku sudah menyimpan backupnya ke google drive. Aku dan Coy akan mengunggahnya ke sosial media.” Kata Dani lantang.
    “Tidak sulit bagi kami menyerahkannya pada Pak Kuncoro!”

    Tangan Dingin Tati Hilang

    Sebulan yang lalu, Juni, pohon-pohon dan bunga-bunga yang ditanamnya mesti tumbuh. Tidak ada yang layu. Nihil yang mati. Orang-orang kampung menjulukinya Tati-si-tangan-dingin. Rumahnya tepat di sebelah rumahku. Setiap pagi dan sore, aku menyaksikan Tati menyiram tanaman-tanaman miliknya dari balik jendela atau dari beranda rumah. Setiap air yang disiramnya, seolah-olah memancarkan kehidupan bagi bunga-bunga. Ada kesegaran di sana bagi mereka. Membuat mereka bersemangat merekah cerah dan tidak bosan untuk tumbuh subur.
    Aku pikir, bunga-bunga miliknya senang pula memandangi wajah ayu perempuan jawa itu.
    Tetapi, sudah seminggu sebelum Hari Raya, Tati merantau ke negeri tetangga. Malaysia. Ekonomi keluarga penyebabnya. Ayahnya sudah meninggal setahun yang lalu di bulan Oktober. Ia tinggal di rumah kecilnya bersama ibunya yang seorang pedagang kelontongan. Namun hasil penjualan ibunya tidaklah cukup untuk biaya sekolahnya yang selangit. Tati belajar di sekolah negeri paling favorit di kotanya, Malang, setahun sebelum Ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia.
    Lulus sekolah menengah pertama, ia putuskan mengadu nasib ke Malaysia. Ia penganut taat pepatah rumput tetangga jauh lebih hijau.

    “Aku akan bekerja di sana sekaligus sekolah di sana.” Katanya penuh ambisi.
    “Jadi tenaga kerja? Imigran gelap?”
    “Ya. Apalagi yang bisa kulakukan untuk memerbaiki nasibku dan nasib keluargaku sendiri? Ada Paman dan Bibiku yang tinggal di sana. Mungkin mereka bisa membantuku mengurus paspor dan tiket pesawat.”
    “Semoga saja. Apa ibumu merestui?”
    “Awalnya tidak. Tapi aku terus mendesak. Tiga hari kemudian, ibuku mengiyakan niatku. Esok, aku harus berangkat. Ini Juni. Hujan masih akan turun beberapa hari ke depan. Selanjutnya, ibuku yang akan menyiram bunga-bunga kesayanganku. Aku harap, setelah setengah tahun atau setahun kepulanganku, bunga-bunga milikku masih tumbuh subur menyambutku dari ranah rantau. Semoga.”
    Itulah percakapan kami yang masih lekat dalam kepalaku sebelum kepergiannya.



    Desember tahun ini menjadi bulan kepulangan Tati. Sudah enam bulan tiap pagi dan sore setelah ibunya menyiram dan merawat bunga-bunga Tati, ibu Tati duduk di teras rumahnya menunggu Tati muncul di depan pintu pagar mungil rumahnya. Sore itu, tanggal 11 Desember, Tati memenuhi kerinduan ibunya. Ibu-anak itu berpelukan erat. Ibunya masih mengenali dirinya, meski Tati tampak berbeda. Ia terlihat lebih kurus dari enam bulan yang lalu. Walaupun wajahnya tampak segar-bugar. Ibunya tak peduli. Ibunya hanya ingin anaknya terus bersamanya.
    “Terima kasih, Bu, sudah menjaga bunga-bunga ini untukku.”
    “Ya. Terima kasih kembali, sudah pulang menemui ibu dan rumahmu yang dulu. Meski ibu tahu beberapa hari lagi, kau akan pergi lagi.”
    Tati mengangguk. Di pelupuknya yang tergenang, jatuh bulir-bulir air mata. Sama seperti ibunya yang juga terharu.



    Tati rutin kembali melakukan kebiasaannya dulu. Menyirami bunga-bunganya tiap sore dan pagi hari. Aku menemuinya di pagi hari tanggal 13 Desember di waktu ia menjatuhkan bertetes-tetes air di atas mahkota bunga yang mekar.
    “Akhirnya kau pulang.” Sapaku. Kami berpelukan.
    “Aku harus menemui ibu. Aku kangen pada Ayah, dan mau menziarahi pusaranya.” Ucapnya.
    “Sekarang, kau warga negara Malaysia?”
    “Memang begitu seharusnya.”
    “Paman dan Bibimu baik kepadamu?”
    “Ya. Tapi tidak dengan majikanku. Jika ada pekerjaanku yang tidak beres, ia langsung memukuli tangan dan betisku dengan rotan. Tapi tidak apa-apa. Memang aku yang salah.”
    Benar. Aku melihat bekas pukulan di tangannya. Entah itu benar atau salah, aku tidak tahu. Aku pikir, itu kekerasan pada anak dibawah umur. Tati, menurutku, telah dianggap sebagai budak.

    Sehari sebelum keberangkatannya, tanggal 18 Desember, kembali ke Malaysia, ada keributan kecil di rumah Tati. Aku melihat bunga-bunganya jadi layu. Daun dan batangnya menguning. Ada yang mati. Ada yang sekarat. Aku tahu, Tati pasti bersedih. Sangat sedih. Tetangga-tetangga mendesas-desuskan kematian bunga-bunganya disebabkan tangannya yang sering dilukai majikannya. Mereka bilang, “tangan dingin Tati sudah lenyap.”
    Bagiku, tangan dingin Tati masih ada. Suatu saat, ia akan mendapatkannya kembali.

    Cerpen Karangan: Rasyad Fadhilah
    Facebook: Rasyad Fadhilah

    Artikel Terkait

    Mozaik Kisah Orang Orang Di Sekitar Ken
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email