Judul Cerpen Ranah Itu Bertuan, Malam Diperuntukkan
Yang kutahu dirinya adalah anak dari keluarga terpandang. Entah itu benar ataupun salah, aku pun kurang yakin. Terlebih kulihat beberapa warga selalu menundukkan kepala acapkali orangtua Janni lewat.
Hari bersambung di malam itu, dengan sebuah pesta semarak di kediamannya. Lampu remang, makanan, serta hiburan begitu sorak-sorakkan oleh pemuda dan pemudi dikala itu. Tak satupun dari mereka para warga yang tak ingin ketinggalan pesta itu, yang hanya dilakukan setahun sekali, pas panen raya tiba.
Semua orang, tak terkecuali anak-anak dan lansia. Semua berbondong-bondong menuju kediaman pak Aves, ayah Janni. Tak terhiraukan betapa meriahnya suasana malam itu. Dendangan lagu beserta aneka makanan yang telah dipersiapkan seluruh warga, dengan membawa masing-masing sepuluh macam makanan. Hari pun terpenuhi tawa bangga semua warga. Malam yang indah diperuntukkan karena hasil panan raya yang sungguh melimpah ruah, panen besar di sepanjang tahun ini.
“Malam pak…” Ucap Runa, seorang bocah perempuan yang hanya memakai selendang sebagai penutup tubuhnya, terlebih wajahnya yang terlihat semrawut.
“Lho…” Ucap ayah Janni kaget melihat Runa menyapanya “Sama siapa kamu ke sini?” Tanyanya setengah menghardik
“Saya seorang, pak” Jawab Runa menundukkan kepala.
“Saya ingin ikut menikmati pestanya, pak. Saya ingin merasakan…”
“Bawa apa kamu kesini..” Tanya pak Aves memperhatikannya “Hanya tangan kosong, kok ingin masuk..” Ucapnya sinis, melihat Runa mengangguk-anggukan kepala.
Telah terbiasa Runa menerima hujatan seperti ini. Sifatnya yang keras kepala membuatnya tak gentar, meski setiap hari harus menerima ucapan-ucapan seperti itu, bahkan makian. Dari kecil dirinya telah ditinggalkan kedua orangtuanya. Perkara yang lazim terjadi, membuat kedua orangtuanya harus berpisah dan menitipkannya kepada neneknya. Usia yang telah lanjut, diri yang telah rapuh, dengan harus menanggung beban dari buah anaknya itu. Sementara mereka pergi entah kemana, meninggalkan Runa seorang diri.
Suara bunyian pesta telah membuatnya mematung di depan gerbang rumah ini. Bunyi-bunyian dari ragam hiburan begitu menguatkan tekatnya untuk masuk, meski beberapa kali ia harus menerima ucapan sinis dari pemilik rumah ini. Namun, keteguhan hatinya begitu kuat, meski hanya sekedar melihat dari kejauhan mata. Kendati rasa penasarannya akan hiburan yang selama ini belum pernah ia temui, dan ia dengar.
“Saya hanya ingin masuk, pak… boleh kan” Wajahnya begitu memelas hingga membuat pak Aves tak mempu melihatnya.
“Saya rela, kalau saya harus menjadi buruh cuci piring sendirian. Tapi tolong izinkan saya untuk masuk” Rengeknya begitu memelas.
Rengekan yang begitu melas, membuatnya tak tega harus membiarkannya sendirian di luar. Angin dingin di malam itu seakan telah mengisyaratkan untuknya memperbolehkan Runa untuk masuk, sekedar melihat. Toh tak ada yang bisa ia lakukan.
“Tapi jangan buat keributan, ya…” Pak Aves sedikit menelan ludahnya.
Terdengar begitu riang dari seorang bocah perempuan itu. Tawanya lepas, seolah dirinya mendapatkan sebuah kebebasan. Geraknya begitu lugas dengan kaki-kaki kecil yang tak sabar ingin masuk, matanya membulat binar. Mungkin baru pertama kali ini dirinya melihat dari jarak dekat apa yang sedari dulu ia bayangkan. Keramaian, hiruk pikuk warga akan hiburan yang begitu riang. Mungkin inilah kali pertama, ia merasakan senang, meski setelahnya harus menjadi buruh cuci seharian, namun itulah harga yang pas bagi dirinya yang sekedar ingin menikmati, tanpa harus bersusah payah. Terlebih ia tak punya apa-apa untuk ia bawa sebagai jamuan.
Cerpen Karangan: Asfaa Nadhom
Facebook: Oeuwniel Mubarok
Yang kutahu dirinya adalah anak dari keluarga terpandang. Entah itu benar ataupun salah, aku pun kurang yakin. Terlebih kulihat beberapa warga selalu menundukkan kepala acapkali orangtua Janni lewat.
Hari bersambung di malam itu, dengan sebuah pesta semarak di kediamannya. Lampu remang, makanan, serta hiburan begitu sorak-sorakkan oleh pemuda dan pemudi dikala itu. Tak satupun dari mereka para warga yang tak ingin ketinggalan pesta itu, yang hanya dilakukan setahun sekali, pas panen raya tiba.
Semua orang, tak terkecuali anak-anak dan lansia. Semua berbondong-bondong menuju kediaman pak Aves, ayah Janni. Tak terhiraukan betapa meriahnya suasana malam itu. Dendangan lagu beserta aneka makanan yang telah dipersiapkan seluruh warga, dengan membawa masing-masing sepuluh macam makanan. Hari pun terpenuhi tawa bangga semua warga. Malam yang indah diperuntukkan karena hasil panan raya yang sungguh melimpah ruah, panen besar di sepanjang tahun ini.
“Malam pak…” Ucap Runa, seorang bocah perempuan yang hanya memakai selendang sebagai penutup tubuhnya, terlebih wajahnya yang terlihat semrawut.
“Lho…” Ucap ayah Janni kaget melihat Runa menyapanya “Sama siapa kamu ke sini?” Tanyanya setengah menghardik
“Saya seorang, pak” Jawab Runa menundukkan kepala.
“Saya ingin ikut menikmati pestanya, pak. Saya ingin merasakan…”
“Bawa apa kamu kesini..” Tanya pak Aves memperhatikannya “Hanya tangan kosong, kok ingin masuk..” Ucapnya sinis, melihat Runa mengangguk-anggukan kepala.
Telah terbiasa Runa menerima hujatan seperti ini. Sifatnya yang keras kepala membuatnya tak gentar, meski setiap hari harus menerima ucapan-ucapan seperti itu, bahkan makian. Dari kecil dirinya telah ditinggalkan kedua orangtuanya. Perkara yang lazim terjadi, membuat kedua orangtuanya harus berpisah dan menitipkannya kepada neneknya. Usia yang telah lanjut, diri yang telah rapuh, dengan harus menanggung beban dari buah anaknya itu. Sementara mereka pergi entah kemana, meninggalkan Runa seorang diri.
Suara bunyian pesta telah membuatnya mematung di depan gerbang rumah ini. Bunyi-bunyian dari ragam hiburan begitu menguatkan tekatnya untuk masuk, meski beberapa kali ia harus menerima ucapan sinis dari pemilik rumah ini. Namun, keteguhan hatinya begitu kuat, meski hanya sekedar melihat dari kejauhan mata. Kendati rasa penasarannya akan hiburan yang selama ini belum pernah ia temui, dan ia dengar.
“Saya hanya ingin masuk, pak… boleh kan” Wajahnya begitu memelas hingga membuat pak Aves tak mempu melihatnya.
“Saya rela, kalau saya harus menjadi buruh cuci piring sendirian. Tapi tolong izinkan saya untuk masuk” Rengeknya begitu memelas.
Rengekan yang begitu melas, membuatnya tak tega harus membiarkannya sendirian di luar. Angin dingin di malam itu seakan telah mengisyaratkan untuknya memperbolehkan Runa untuk masuk, sekedar melihat. Toh tak ada yang bisa ia lakukan.
“Tapi jangan buat keributan, ya…” Pak Aves sedikit menelan ludahnya.
Terdengar begitu riang dari seorang bocah perempuan itu. Tawanya lepas, seolah dirinya mendapatkan sebuah kebebasan. Geraknya begitu lugas dengan kaki-kaki kecil yang tak sabar ingin masuk, matanya membulat binar. Mungkin baru pertama kali ini dirinya melihat dari jarak dekat apa yang sedari dulu ia bayangkan. Keramaian, hiruk pikuk warga akan hiburan yang begitu riang. Mungkin inilah kali pertama, ia merasakan senang, meski setelahnya harus menjadi buruh cuci seharian, namun itulah harga yang pas bagi dirinya yang sekedar ingin menikmati, tanpa harus bersusah payah. Terlebih ia tak punya apa-apa untuk ia bawa sebagai jamuan.
Cerpen Karangan: Asfaa Nadhom
Facebook: Oeuwniel Mubarok
Ranah Itu Bertuan, Malam Diperuntukkan
4/
5
Oleh
Unknown