Permen Yang Pahit

Baca Juga :
    Judul Cerpen Permen Yang Pahit

    “Semua orang pernah berumur lima tahun. Menjadi anak kecil dimana bermain, berlari dan berpetualang adalah hal yang sangat menyenangkan. Namun, semakin bertembah dewasa kenanangan itu perlahan mulai hilang. Sudah ratusan kali kucoba untuk mengingat semuanya. Tapi, hanyalah samar dan sangat buram.”

    Namaku Evalia Natasha. Seorang gadis biasa dengan tinggi 163 cm dan berat badan 48 kg. Minggu lalu, sebuah surat tiba di rumahku. Itu adalah surat hasil tes transfer pelajar yang diadakan tiga bulan yang lalu. Surat itu memberitahukan bahwa aku ditransfer ke SMA Violeta Hapsari Burhan Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan SMA Visarhan. Kebanyakan murid disana adalah murid-murid terbaik dari berbagai bidang. Tentunya sekolah itu hanya bisa dimasuki oleh murid-murid berprestasi dan anak-anak dari golongan kelas atas. Seperti anak dari pejabat terkenal.
    Tentu saja aku senang sekali bisa berkesempatan belajar disana. Tetapi, yang paling membuatku senang adalah akhirnya aku bisa kembali ke kota kelahiranku, Yogyakarta. Sepuluh tahun yang lalu, karena pekerjaan Papa, aku terpaksa meninggalkan teman-temanku di Yogyakarta dan tumbuh besar di Jakarta. Aku penasaran. Apa dengan kembali ke Yogyakarta aku akan mengingat masa kecilku?

    Senin, 22 Desember 2016
    Hari ini aku sudah berada di Yogyakarta, bersiap untuk berangkat ke sekolah baruku. Disini aku memutuskan untuk hidup mandiri, tanpa Mama dan Papa. Aku menetap di sebuah Apartement yang disediakan sekolah ini. Namanya adalah Apartement Visarhan, lokasinya pun tidak jauh dari sekolah.

    Sesampainya di sekolah, aku langsung menemui wali kelasku Bu Shifa di kantor guru. “Sekarang kamu bisa mulai mengikuti pelajaran. Kamu masuk di kelas 2-C.” kata Bu Shifa kepadaku. Aku hanya mengangguk dan langsung pergi menuju kelas 2-C. Saat akan keluar dari ruang guru, tiba-tiba seseorang menabrakku sampai aku terjatuh. “Maaf ya, aku nggak sengaja.” Kata siswa itu sambil membantu mengambil buku-bukuku yang jatuh dan kemudian langsung berlari pergi. Aku pun langsung segera menuju ke kelas 2-C.

    Sesampainya di kelas 2-C
    “Selamat pagi teman-teman, perkenalkan namaku Evalia Natasha. Pindahan dari SMA Negeri 42 Jakarta.” Ucapku memperkenalkan diri. Tiba-tiba pintu kelas terbuka. BRAK! “Maaf bu, saya terlambat.” Ucap seorang siswa yang baru saja masuk kelas. Ternyata dia adalah siswa yang menabrakku tadi. “Loh? Kamu yang tadi kan?” herannya setelah melihatku “I-iya. Murid baru. Panggil aja Evalia.” Kataku sambil mengulurkan tangan. Siswa itu menjabat tanganku, “Namaku Adelio Reynand. Ketua kelas sekaligus Ketua OSIS di sekolah ini. Panggil saja aku Rey.” Katanya sambil tersenyum. Entah kenapa jantungku tiba-tiba jadi berdegup kencang. “Dia tampan” rambutnya sangat rapi, serta postur tubuh yang tinggi sekitar 172 cm. Bu Shifa pun langsung menyuruhku duduk di bangku paling barat sebelah jendela. Rey pun juga duduk di bangkunya.

    Jam istirahat, pukul 10:30
    “Hai Evalia. Sudah lama ya kita tidak pernah bertemu.” Kata seorang gadis berambut pendek. “Apa kamu masih mengingatku?” tanyanya “Mm.. aku tidak ingat. Maaf ya.” Jawabku “Bagaimana denganku?” Tanya gadis lainnya. Gadis ini sangat imut, rambutnya yang terurai dan memakai bando bunga. “Aku juga tidak ingat. Apa kalian teman masa kecilku?” Jawabku sambil kembali bertanya. “Iya val. Wajar juga kalau kamu lupa. Namaku Christy dan dia ini Cindy.” Jawab gadis berambut pendek itu.
    Kami bertiga pun mengobrol dan pergi ke kantin sekolah. Disana aku membeli segelas lemon tea dan langsung duduk di meja dekat pintu. “Jadi menurutmu, Rey itu orangnya gimana?” Tanya Christy tiba-tiba. Aku terbelalak kaget, “Kenapa tiba-tiba kamu tanya begitu?” “Kamu juga, kenapa sekaget itu? Aku kan cuman bertanya.” Balas Christy sambil memakan roti pesanannya. “Pasti kamu langsung jatuh cinta kan saat melihat Rey. Semua orang di sekolah ini begitu kok” Kata Cindy “Nggak mungkin lah sekali lihat aku langsung jatuh cinta.” Balasku “Yah, lebih baik kalo kamu suka beneran sama Rey, kamu langsung kirim surat cinta aja. Keburu Rey diambil orang lain loh.” Ucap Cindy. “Hah!? Jadi Rey itu GGS?” kagetku “Apa maksudnya GGS?” bingung Christy “Ganteng Ganteng Single.” Suasana pun menjadi hening.

    Di apartement aku asyik membaca buku. Aku pun teringat saran Christy dan Cindy untuk membuat surat cinta. “Mungkin nggak masalah kalau aku coba buat.” Pikirku. Aku pun langsung menulis surat cintaku untuk Rey, meskipun isinya adalah salinan dari internet.

    Keesokan harinya, aku langsung menaruhnya di loker sepatu milik Rey. “Jadi kamu beneran ngasih Rey surat cinta?” Kaget Christy “Kamu yakin kan taruh itu di loker Rey?” Tanya Cindy ikut-ikutan. “Yakin dong. Awalnya aku memang nggak yakin itu lokernya Rey. Tapi setelah aku cek, bener kok itu nomor 17.” Jawabku gembira. “APA!? NOMOR 17!?” terika Christy dan Cindy bebarengan “I-iya” jawabku gagap “Aduh val, itu bukan lokernya rey! Loker rey itu nomor 16. Gimana sih kamu!” Resah Christy “Mendingan sekarang kamu ambil surat itu, jangan sampai surat itu dibaca sama yang punya loker.” Perintah Cindy.

    Aku pun langsung berlari menuju tempat loker. Aku membuka loker nomor 17 dan mengambil surat cintaku lagi. Tapi, tiba-tiba seseorang menarik pundakku dan mendobrakkan tubuhku di jejeran loker. “Hei! Siapa kamu yang berani membuka lokerku seenaknya!?” Teriak orang itu marah. Aku sangat takut melihat wajahya. Dia murid sekolah ini, laki-laki dengan rambut berwarna pirang dan bola mata biru. “Ma-Maaf.” Kataku dan langsung berlari ketakutan.

    “Sudahlah val, nggak usah frustasi begitu. Salah kamu juga teledor” Ucap Christy. “Bukan itu masalahnya Chris, tapi surat cintaku hilang” ucapku. “Hilang? Udah diambil sama yang punya loker?” Tanya Christy “Tadi aku sempat pegang surat itu. Tapi yang punya loker datang, aku langsung lari ketakutan. Gimana kalau surat itu sampai tersebar?” ucapku sedih. “Val, pemilik loker nomor 17 itu namanya Sebastian Oscara. Dari yang aku dengar, hari ini dia memang udah balik ke Indonesia. Dia itu bule, asli dari Canada dan sekaligus anak pemilik sekolah ini” kata Cindy memberitahu. “Aku nggak peduli siapa dia. Aku lebih khawatir dengan suratku. Apa jangan-jangan jatuh ya waktu aku kabur?” pikirku. “Ya udah, coba aja kamu tanya ke Bastian, mungkin dia yang bawa” saran Cindy kepadaku.

    Sepulang sekolah aku menunggu Bastian di pintu gerbang. Setelah beberapa menit akhirnya Bastian pun muncul. “Hei, lagi mencari sesuatu?” Tanya Bastian sambil menunjukkan sebuah surat. “Jadi benar ada di kamu? Makasih ya” ucapku bahagia. “Tunggu, mana mungkin aku memberikan ini secara gratis.” Kata Bastian “Mulai detik ini jadilah pesuruhku” Katanya lagi. “Pesuruh? Leluconmu sangat nggak bermutu.” Jawabku kesal. “Kamu benar-benar bodoh ya? Coba bayangkan jika aku menyalin isi surat ini dan menempelkannya di mading sekolah” Ancam Bastian. Akhirnya mau tak mau aku terpaksa menjadi pesuruhya.

    Sudah berhari-hari berlalu, aku pun masih menjadi pesuruh Bastian. Dia menyuruhku membeli makanan, mengerjakan PR, membawakan barang-barangnya, dan sebagainya. Sekarang aku benar-benar lelah. Aku nggak mau lagi menjadi pesuruhnya.
    “Bastian, mulai sekarang, jangan lagi menjadikan aku pesuruhmu!” Ucapku kesal “Oh. Kamu mau surat ini aku tempel di mading?” Kata Bastian mengancamku. “Aku nggak peduli dengan omongan orang sepertimu, yang bisanya cuman mempermainkan orang lain. Yah wajar, itu karena kamu nggak pernah mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh.” Bentakku padanya dan langsung pergi.

    Sesampainya di apartement, aku langsung mandi untuk mrnghilangkan kekesalanku pada Bastian. Setelah mandi, handphoneku tiba-tiba berbunyi. Ternyata Mama menelfonku.
    “Halo ma?”
    “Halo nak, gimana kabarmu?”
    “Baik kok ma. Jangan khawatir.”
    “Apa kamu sudah bertemu teman-teman lamamu? Khususnya Bastian.”
    “Bastian? Bastian anak pemilik sekolah itu? Dia temanku!?”
    “Kamu lupa ya? Dari kecil kamu kan sangat dekat dengan Bastian. Bahkan kalian sempat berkata akan menikah ketika dewasa nanti. Benar-benar lucu.”

    Aku sangat kaget dan tidak percaya dengan ucapan mama. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Saat aku kecil, aku menolong seorang anak laki-laki yang dibully oleh anak-anak yang lain. Anak itu di bully karena berasal dari Negara lain. Dia adalah Bastian. Karena tidak mempunyai teman, Bastian pun hanya bermain denganku. Sering sekali dia memberiku permen, katanya aku ini manis seperti permen. Kita berdua juga saling menyukai dan berjanji akan bersama selamanya dan menikah.
    Tapi, karena harus pindah ke Jakarta, aku pun meninggalkan Bastian. Bagaimana mungkin aku melupakan kenangan yang sangat berharga itu? Bahkan aku telah mengucapkan kata-kata yang sangat jahat pada Bastian.

    Aku langsung bergegas menuju dimana Bastian berada. Sesuai dugaanku, dia masih ada di sekolah. Kulihat tatapannya begitu sedih. Aku langsung menghampirinya. “Bastian” ucapku pelan. Dia menoleh kepadaku, “Balik lagi?” herannya. “Maaf. Maafkan aku sudah melupakan kamu dan berkata jahat padamu.” Ucapku sambil berlinangan air mata. “Bodoh sekali, kenapa baru ingat sekarang?” ucapnya sambil berjalan kepadaku dan memelukku. “Syukurlah, aku kira kamu akan selamanya menjadi permen yang pahit.”

    Aku senang sekali kembali ke Yogyakarta. Akhirnya aku bisa bertemu teman-teman lamaku dan mengingat kenangan indahku yang selalu gagal kucoba ratusan kali. Tentunya yang paling aku syukuri adalah bisa mengingat tentang Bastian, lelaki yang benar-benar aku cintai.

    Cerpen Karangan: Sahanaya Widya Pitaloka
    Blog: sahanay-on.blogspot.com

    Artikel Terkait

    Permen Yang Pahit
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email