Rindu Menyempurnakan Separuh Agama

Baca Juga :
    Judul Cerpen Rindu Menyempurnakan Separuh Agama

    Pagi hari disertai hujan yang tak kunjung reda membuat manusia enggan untuk beraktivitas. Untungnya hari ini hari minggu, waktuku libur mengajar. Aku membuka jendela kamar sambil mengingat sesuatu. Tak terasa air mata ini mengalir begitu saja. Entah kenapa air mata ini selalu muncul ketika aku mengingat peristiwa dua tahun yang lalu.

    “Hiiiimaaa” suara ibuku memanggilku. Segera kuusap air mata yang masih membasahi pipi sembari menuju ke tempat asal suara.
    “Iya bu?” tanyaku pada ibu.
    “Nak, kamu kenapa? habis nangis ya?” sepertinya air mata tadi menyisakan bekas di wajah
    “Tidak apa-apa kok bu, ibu kenapa memanggil Hima?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
    “Nak, ibu ini orangtuamu. Cobalah terbuka dengan ibu! ibu tahu kamu belum bisa melupakan Faris, tapi tidakah kau menginginkan untuk menikah?” sepertinya ibu mengerti apa yang aku fikirkan.
    Aku hanya terdiam mendengar kata-kata ibuku
    “Sudah dua tahun ini dia tak ada kabar. Meskipun dia sudah mengkhitbahmu, tapi kalian belum menikah. Kamu berhak mencari seseorang yang bisa menjadi imammu nak. Jika kau masih menunggu Faris. Sampai kapan kau akan menunggunya?”
    “Bu, bang Faris itu pergi ke papua untuk berdakwah. Tugas itu tidak mudah bu, mungkin saat ini dia harus berfokus pada tugasnya tersebut” air mataku mengalir kembali
    “Ibu hanya tidak ingin anak ibu yang cantik selalu menangis, setidaknya jika kamu mendapatkan pengganti Faris kamu bisa move on nak” Ibu menyeka air mataku. “Ibu lihat Rizal menyukaimu dan dia anak yang baik. Kemarin ayahnya datang kepada ibu ingin mengkhitbahmu” lanjut ibu.
    “Aku menginginkan waktu dua minggu bu”
    “Ya sudah, kamu tenangkan fikiranmu dulu. Semoga kamu memikirkan ini dengan baik”.

    Bang Faris adalah kakak tingkatku waktu kuliah. Dia pria yang sangat baik. Bahkan dialah yang mengenalkanku tentang islam lebih dalam. Aku yang dulu tak berjilbab kini selalu memakainya. Dia juga sering sekali menasehatiku. Aku yang dulu suka membantah perintah ibuku, sekarang lebih sering mendengarkannya. Aku yang dulu cerewet, dan banyak yang berkata sekarang aku lebih terlihat anggun dan tak banyak bicara. Ketika ada temannya yang meminta tolong pasti, dia akan membantunya. Dia juga sering memberikan ceramah pada acara-acara keagamaan di kampus. Entah apa yang membuat dia pada akhirnya mengkhitbahku. Memang dialah sosok suami yang aku nantikan selama ini. Namun entah kenapa dia tiba-tiba menghilang seperti ini. Tapi aku merasa dia akan kembali lagi dan pasti akan kembali. Lalu bagaimana aku bicara dengan ibu mengenai Rizal itu, apa alasanku untuk menolaknya. Dia memang terlihat baik tapi, ada sesuatu yang mengganjal. Nanti malam aku akan melakukan shalat istikharah. Semoga Alloh akan menunjukkan jalan yang terbaik.

    Seperti biasa, pukul 7 pagi aku harus siap-siap berangkat ke sekolah untuk mengajar. karena motorku bannya bocor, akhirnya aku naik angkot saja. Sepulang dari mengajar aku mampir ke sebuah toko sepatu dekat sekolah. Sepatuku yang kupakai sudah cukup kusam karena memang sudah dua tahun aku pakai, tapi aku masih sangat menyukai sepatu ini. Sepatu yang diberikan oleh bang Farid. Tak lama aku memilih sepatu, karena memang aku tidak terlalu ribet dalam memilih barang. Aku berjalan ke tepi jalan untuk menunggu angkot. Ada anak kecil berumur 5 tahun berjalan di seberang jalan sambil membawa boneka. Dia begitu lucu dengan dua rambutnya yang dikepang dua. Ia berjalan sendirian. Tiba-tiba ada sebuah motor dengan kecepatan tinggi menyrempet anak kecil itu. Ia pun terjatuh dan menangis karena kesakitan. Aku segera menghampirinya, kulihat lukanya cukup parah. Aku melihat di dekat situ ada musolla segera aku menuju ke sana sambil menggendongnya. Ia masih tetap menangis. Aku berhenti di depan teras musola dan kuobati lukanya tadi. Untungnya aku tadi membawa obat. Tangisannya mulai reda.

    “Adek kok sendirian, mamanya mana?” aku mulai bertanya padanya.
    “Mama lagi kerja” Ya Alloh kenapa dia tega meninggalkan anaknya yang masih kecil demi pekerjaan, dan anaknya ditiggalkan sendirian.
    Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya mendekati kami
    “Maaf mbak, ini anak majikan saya. Tadi masih saya tinggal sebentar untuk belanja”
    “Dia tadi keserempet motor di jalan, jadinya saya membawanya ke sini.”
    “Ya Alloh, makasih ya mbak sudah menolongnya.”
    Aku pun mengangguk dengan tersenyum.
    Ia pun menggendong anak kecil tadi. Aku pun menuju musola untuk sholat dhuhur karena memang aku belu sholat dhuhur.

    Selesai sholat aku kembali menunggu angkot. Lama sekali angkot belum juga datang. Sudah setengah jam aku menuggu angkot. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, jalanan pun mendadak sepi. Akhirnya aku kembali ke musholla sambil menungu shalat ashar. Ku lihat para jama’ah tak cukup banyak, namun sholat justru terasa begitu khusyuk. Sedikit demi sedikit jama’ah sholat meninggalkan musholla. Aku duduk terdiam di depan musholla. Tiba-tiba ada seorang pria bertanya.
    “Mbaknya mau pulang?” suaranya terdengar samar-samar. Aku tak bisa melihat wajahnya karena hujan yang cukup deras.
    “Iya mas, nunggu angkot lama sekali” jawabku
    “Rumahnya di mana mbak?” ia bertanya kembali.
    “Di jalan mangga no. 15 mas” dia diam agak lama. Entah apa yang difikirkan. Tapi sepertinya dia orang baik-baik. Aku tadi melihat dia jama’ah di musolla ini juga.
    “Ya sudah mbak bareng saya aja, ini pasti angkot nggak bakal lewat. Soalnya hujannya deras banget” Pria tadi menawariku.
    Aku masih bingung. Tapi kalau nggak bareng sama mas ini nanti nggak bisa pulang lagi.
    “Iya deh” kataku sambil mengangguk.
    Dia pun mengambil motornya. Dingin mulai menusuk kulit karena hujan yany semakin deras. Jarakku dengannya cukup jauh karena aku tahu kita bukan muhrim. Kalau saja keadaan tak seperti ini aku tak mungkin mengiyakan untuk pulang bersama.

    Tak terasa motor pria itu sudah berada di depan rumahku.
    “Mbak sudah sampai, ini kan rumahnya” pria itu memberi tahuku.
    “Oh, iya mas.” Aku turun dari motornya dan mengucapkan terima kasih. Sebenarnya aku menawarinya untuk mampir, tapi sepertinya dia buru-buru. Dia meminta nomor ponselku. Aku pikir untuk apa, tapi akhirnya aku memberinya mungkin saja lain kali dia yang butuh bantuan aku bisa membalas kebaikannya.

    Aku semakin bingung karena tinggal dua hari aku akan memberi keputusan mengenai pinangan Rizal. Kemarin pria yang mengantarkanku pulang akan mengajakku bertemu siang ini di pantai. Katanya dia butuh bantuanku. Akhir-akhir ini kami cukup dekat. Setelah meminta nomor ponselku waktu itu, dia jadi sering menghubungiku. Dia bilang namanya maulana. Nama itu mengingatkanku pada seseorang. Kedekatan kami bukan apa-apa karena yang selama ini kami bahas adalah pengetahuan mengenai islam. Dia cukup pintar dalam masalah agama. Aku sering bertanya padanya mengenai apa yang tak aku tahu. Entah kenapa aku merasa aku pernah mengenalnya. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku tak tahu itu. Kulihat jam yang ada di tanganku. Aku segera pamit pada ibu. Aku pun melaju bersama motor mungilku.

    Perjalanan hanya setengah jam aku pun sudah sampai. aku segera turun dan semakin mendekat ke bibir pantai. Kutoleh kanan kiri, aku belum melihatnya. Yang terlihat hanyalah Masjid yang cukup megah yang tak jauh dari pinggir pantai. Masjid ini begitu unik. Bangunanya dipenuhi ukiran kaligrafi yang indah dengan gaya klasik yang mengingatkanku pada masa-masa para wali menyebarkan agama islam. Jarang-jarang ada masjid di pinggir pantai seperti ini. Kualihkan pandanganku ke pantai. Deburan ombak menghasilkan bunyi yang cukup keras. Semilir angin pantai membuat jilbabku berkibar. Kudengar ada suara langkah kaki yang semakin mendekat. Aku menolehnya.

    “Maaf aku membuatmu lama menunggu” Rupanya pria itu sudah datang. Dia memakai topi dan kacamata hitam. Wajahnya tak terlihat jelas tapi aku sangat mengenal suara ini. Aku menggeleng mendengar pertanyaannya.
    “Benarkah kau tak lama menungguku Hima?” Dia melepaskan topinya dan membuka kacamatanya. Aku tersentak. Air mataku meleleh. Terasa jiwa ini seperti tumbuhan kering yang terguyur hujan. Aku tak percaya dia telah kembali. Bang Farisku yang pergi telah kembali.
    “Kau jangan menangis, karena aku belum bisa menghapus airmatamu.”
    “Hima, maafkan bang Faris yang telah lama meninggalkanmu. Bang Faris pergi karena ini merupakan tugas bang Faris untuk berdakwah. Maafkan bang Faris tidak bisa menghubungimu, ceritanya begitu panjang, tapi sekarang aku sudah kembali.” Dia terus berkata sedangkan aku masih tetap diam dengan airmataku yang masih mengalir.
    “Aku tak menyangka kau begitu setia. Padahal kita belum menikah apalagi kalau kau menjadi istriku” ia terus berkata.
    “Belum jadi istri saja aku sudah kau tinggal selama ini, bagaimana kalau menjadi istrimu?”
    aku mendebat pujiannya.
    “Kalau kau menjadi istriku aku tak akan meninggalkanmu, aku akan membawamu kemanapun aku pergi, ikutlah denganku” dia mengajakku mendekati masjid. Dia mengajakku masuk. Aku kaget disana sudah ada ibu, ayah, kedua orangtua bang Faris, dan beberapa orang. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja dan seorang penghulu.
    “Hima, maukah kamu menjadi khadijahku?” aku bingung dan masih terdiam. Kulihat ibu, dia tersenyum padaku. Aku pun mengangguk dengan sebuah senyuman meskipun airmata ini tak kunjung reda.

    Cerpen Karangan: Shukhufim Mukarromah
    Facebook: Fishukhufim Mukarromah

    Artikel Terkait

    Rindu Menyempurnakan Separuh Agama
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email