Sayangnya Iya

Baca Juga :
    Judul Cerpen Sayangnya Iya

    Pada fase akhir masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis menjadi sangat aktif menggerakkan lempeng lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Sehingga menyebabkan daratan terpecah-pecah. Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yang terpisah satu dengan lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Banda. Sebagian pecahannya bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur, Lombok dan sebagian Maluku Tenggara. Sama halnya dengan daratan, budayanya juga terpecah-pecah. Namun sesuai dengan semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Walaupun di bagian barat, orang-orangnya kebanyakan berambut agak lurus dan kulit sawo matang. Sedangkan di bagian tengah dan timur, kebanyakan mereka berambut agak keriting —bisa jadi ikal— dan kulit hitam pekat, namun ada juga yang berkulit sawo matang. Tetapi, mereka semua satu. Sesuai dengan pendapat ahli cinta, katanya; Cinta itu menyatukan hal yang berbeda bukan menyamakan hal yang sama.

    Salah satunya Lombok. Di daerah Lombok terdapat banyak suku-suku adat. Contoh, suku adat sasak. Sangiang lahir dan besar disini. Sejahtera dan makmur kehidupannya. Sebab, masyarakat tempat tinggalnya tidak sama dengan masyarakat kota. Tidak ada persaingan disini —walaupun disini banyak pasar- pasar tradisional. Masyarakatnya bahu-membahu, bantu-membantu. Lihat saja, rumah-rumah mereka pun hanya pondok kayu, tidak sama bukan dengan rumah-rumah di kota yang bak istana presiden itu? Bahkan beda jauh, sekali. Langit dan bumi tidak mungkin bisa sama, kan? Lahir, besar dan tinggal di pulau yang dijuluki “The sisters of Bali” ini bagai surga dunia bagi Sangiang. Lengkapnya, Sangiang Pandita. Putra dari Pradigta sang tetua adat. Hidupnya sudah hampir tujuh belas tahun. Dia bersekolah di SMA Negeri 1 Lombok, satu-satunya sekolah negeri disini. Saat ia ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, pikirnya hanya satu “Aku ini anak tetua adat, malu jika tidak berpendidikan”. Dengan kalimat itu juga dia merayu Pradigta untuk memberi restu agar ia bisa melanjutkan sekolahnya.

    “Tapi Sangi, Ayah punya banyak kebun, sawah dan tanah yang berlimpah disini. Kamu bisa membantu Ayah mengelola semuanya. Tidak perlu repot-repot bersekolah”. Ujar Pradigta. Tapi apa mau dikata? Sangiang terlanjur lahir dengan darah Pradigta dalam tubuhnya. Itu berarti, dia tidak boleh dibantah. Memang watak Pradigta sekali, keras kepala.
    Namun ada satu hal yang tidak bisa Sangi terima di pulau kelahirannya ini. Satu-satunya tradisi dari sekian banyak tradisi yang paling tidak ia sukai. Sudah bosan Sangi menyuruh ayahnya untuk menghapus tradisi itu. Kalaupun mulut Sangi bisa berkata, mungkin ia akan berucap “Saya letih, Sangi. Tulang-tulang pipi saya terasa pegal. Pita suara saya pun seperti terjepit karena kamu sering sekali teriak. Saya punya usul, kenapa kamu tidak memindahkan fungsi saya ke anggota tubuhmu yang lain, tangan misalnya. Ajaib bukan kalau tangan bisa bicara?” —begitu kira-kira.

    Pagi ini suasananya cerah. Matahari seakan melambai-lambai kepada Sangiang yang baru keluar dari rumah lengkap dengan seragam sekolahnya. Sangiang ikut tersenyum, seakan membalas lambaian dari matahari yang menjadi sahabatnya setiap pagi. Padahal semalam hujan turun deras sekali. Dia pun terpaksa mengorbankan baskom-baskom yang baru saja ia cuci untuk menampung air di dapur karena atap rumahnya bocor dan berlubang. Ayahnya belum sempat membetulkan, sebab ia masih sibuk sebagai panitia pemilihan ketua desa yang akan diselenggarakan seminggu lagi. Dengan tekad yang bulat ia melangkahkan kakinya menuju tujuan awal ia bangun hari ini; sekolah. Sebelum itu jangan lupakan “Bismillah” gumam Sangiang.

    ‘tok tok tok’
    Sangiang mengetuk pintu rumah seseorang. Setelah tiga kali ketukan, pintu kayu itu terbuka. Tampaklah seorang gadis yang keluar dari balik pintu. Rambutnya panjang dibiarkan terurai melewati pinggangnya. Tidak dikuncir sama sekali. Kulitnya gelap tapi bentuk wajahnya tirus. Mata Sangiang menyipit. Ada yang salah dengan sahabatnya. Bukan, bukan karena wajahnya yang tirus itu. Tapi matanya. Lihat, matanya sembab kehitam-hitaman. Kentara sekali jika gadis ini habis menangis.
    “Nar, kamu menangis?” tanya Sangiang.
    “Tidak” Dinar menggeleng cepat. Dia maju mendekati tempat Sangiang berdiri. Tidak ingin mencampuri urusan sahabatnya, Sangiang berusaha paham. Bukan karena ia tidak peduli pada Dinar, tapi ya… bukannya manusia punya hak asasinya masing-masing?
    “Kamu tidak sekolah, Nar?” tanya Sangiang lagi.
    “Tidak”
    “Kamu sakit? Mana suratmu? Biar aku saja yang membawanya”
    “Tidak”
    “Ada kosakata lain selain ‘tidak’, Nar? Aku bosan mendengarnya. Terhitung sudah tiga kali kamu mengatakan itu”. Sangiang mencoba mengejek. Tapi Dinar malah menundukkan kepalanya. “Dinar” panggil Sangiang.
    Dinar langsung mengangkat kepalanya. Sangiang mendapati mata sahabatnya itu masih basah di sekitar bulu mata. Sorot matanya memancarkan kesedihan. Sangiang bisa merasakan itu, ia terlalu peka sebagai manusia. Apalagi wanita.
    “Sangiang” ucap seseorang yang baru saja keluar dari pintu kayu itu.
    “Bibi” Sanging berusaha mencapai tangan wanita paruh baya yang berdiri tak jauh darinya dan Dinar.
    “Kamu belum berangkat sekolah, Sangi?”
    “Ini Sangi mau berangkat. Mampir dulu ke rumah Dinar, ingin mengajaknya pergi bersama. Tapi sepertinya Dinar tidak sekolah”
    Ibu Dinar tersenyum. Ia merapatkan tubuhnya dengan Dinar. Memegangi kedua bahu Dinar bersamaan. “Dia tidak bersekolah lagi, Sangi. Sebentar lagi dia akan menikah. Semalam Thaim sudah menculiknya”
    Kata-kata yang baru saja Ibu Dinar ucapkan terasa memukul akal sehat Sangi sekarang. Mungkin ini penyebab ada yang salah dengan Dinar pagi ini. Ia melihat wajah Ibu sahabatnya berseri-seri seperti baru saja mendapat arisan warga desa yang diadakan seminggu sekali. Berbeda dengan Dinar. Walaupun ia tersenyum, tapi pasti ia sedih. Sangi tahu itu. Sudah dikatakan, Sangi terlalu peka sebagai manusia. Apalagi statusnya sebagai sahabat dari kecil Dinar. Sangi tahu Dinar terluka. Iya, gadis itu terluka.

    Sejak tadi Sangi tak henti-hentinya berpikir tentang tradisi di desanya ini. Seharusnya tradisi itu dihapus dari dulu. Banyak kemudaratan yang timbul karenanya. Dari pagi sampai pulang sekolah, Sangi hanya diam. Di sekolah pun ia banyak diam. Bahkan dia tidak mendengarkan penjelasan guru bahasa Indonesianya tentang pembahasan soal-soal try out untuk menghadapi ujian nasional mereka. Ia terlalu letih. Bukan Sangi, tapi otaknya terlalu letih. Hatinya juga. Apalagi saat ia kembali mengingat ucapan sahabatnya tadi pagi; “Sangi, aku minta maaf ya. Aku tidak bisa mewujudkan impian kita lagi. Kamu bisa kan, sendiri saja? Aku percaya kamu Sangi. Aku doakan semoga kamu bisa lulus dan jadi dokter sesuai impian kita. Ayahku masih belum sembuh. Dia sering sekali sesak napas. Setelah jadi dokter, kamu bisa kan mengobatinya? Aku percaya kamu, kamu pasti bisa Sangi. Jangan lupa datang ke acara pernikahanku. Oh ya, semangat Sangi. Ingat, langit masih tinggi.”

    ‘Ingat, langit masih tinggi. Langit masih tinggi’ Kata-kata itu terus saja berputar-putar di kepalanya. Seperti kaset rusak. Kalau bisa teriak, Sangi ingin teriak. Sekali… saja. Siapa tahu beban hati dan otaknya hilang. Tangannya kuat-kuat mencengkram rok abu-abu panjang yang ia kenakan. Napasnya berat. Satu tetes air mata jatuh di pipinya, langsung di tepis kasar oleh Sangi. Ia tidak boleh menangis. Tidak boleh.

    “Paman, lihat Ayah saya?” tanyanya pada seorang laki-laki yang berjalan berlawanan arah darinya.
    “Tadi paman lihat di kantor kepala desa, memangnya ada perlu apa Sangi?”
    “Tidak. Sangi hanya ingin bertemu” Setelah mengucapkan terima kasih dan salam, Sangi kembali melanjutkan perjalanannya. Bukan ke rumah, tapi kantor kepala desa.



    “Ini tradisi nenek moyang kita, kalau dihapus tradisi mana lagi yang ingin kamu lestarikan?” ucap Pradigta.
    “Tapi, Ayah… harusnya sebagai tetua adat, Ayah bisa tau mana tradisi yang baik dan buruk. Ini buruk sekali Ayah. Ayah tau Dinar, sahabat Sangi. Sebentar lagi dia akan menikah. Semalam Thaim menculiknya, padahal kami sama-sama punya impian jadi dokter”
    “Dinar mau menikah? Bagus sekali. Sudah lama ibunya cerita pada Ayah, kapan anaknya menikah. Tapi sekarang terjawablah semuanya. Sekarang tinggal kamu, kapan kamu mau menikah Sangi?”
    Matanya membesar. Telinganya masih menangkap perkataan dengan baik. Ayahnya mau dirinya cepat-cepat menikah? Iya? Padahal umurnya belum genap tujuh belas tahun.
    “Sangi mau pulang”. Dengan cepat Sangi keluar dari kantor kepala desa ini. Napasnya memburu. Degup jantungnya tidak karuan. Normal wanita mempunyai detak jantung 85-90 kali permenit. Mungkin sekarang detak jantung Sangi sudah lebih dari batas normal itu.
    ‘Sudah, Sangi.’ Otaknya mengingatkan. ‘Lebih baik kamu fokus pada impianmu dan Dinar. Ingat, langit masih tinggi’ tambah otaknya.
    Lagipula, siapa pemuda yang ingin menculiknya untuk dinikahi? Kecuali satu nama. Niam Parawansa, salah satu calon kepala desa di sini.

    Suatu malam Sangi terjaga dari lelapnya bunga tidur. Niatnya ingin buang hajat. Celakanya lagi, tampungan air di belakang sudah habis. Ini pasti ulah matahari yang panasnya menyengat dua hari ini. Padahal minggu kemarin hujan turun dengan derasnya. ‘El-nino kali ini buruk sekali’ pikir Sangi. Kakinya terus saja melangkah, menginjak rumput-rumput kering. Tujuannya hanya satu, wc umum di ujung sana. Karena hari sudah sepertiga malam, desa ini jadi sepi. Hawa-hawa menakutkan mengikuti Sangi. Neuronnya refleks mengirim sinyal agar kakinya cepat-cepat melangkah dan pergi dari sini. Andai saja bulan terang, Sangi sudah menggunakan kakinya untuk lari, bukan berjalan. Matanya takut-takut melihat sekeliling. Pasalnya, sekarang ia berada di jalan yang kanan kirinya di tanami pohon pisang. Apalagi masyarakat di desanya sering menceritakan makhluk-makhluk tak kasat mata yang mereka jumpai di sekitar sini. Aduh… makin takutlah Sangi. Sampai ada suara ranting patah dari belakangnya, Sangi berhenti. Dia menoleh ke belakang. Dan langsung saja ada yang membekap mulutnya. Dan, oh tidak! Sangi tidak ingat apa-apa lagi.



    “Dimana aku?!!” teriak Sangi setelah kesadarannya pulih. Celaka! Dia tidak bisa keluar dari sini. Tangan dan kakinya terikat. Sekali lagi, kedua-duanya benar-benar terikat.
    ‘cklek’
    Ada yang membuka pintu. Tapi dimana orangnya?
    “Siapapun tolong aku!! Aku hanya orang biasa. Cuma anak tetua adat. Ya… walaupun banyak tanahnya, itu punya Ayahku bukan punyaku. Sungguh, aku juga tidak gemuk-gemuk sekali!” teriak Sangiang
    Setelah itu pintu terbuka. “Niam?”
    “Apa kabar Sangi?”
    “Kamu?”
    “Sudah lama kita tidak bertemu. Maaf ya, saya terlalu sibuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Tapi sungguh, saya benar-benar tidak berniat melupakanmu”. Niam membuka ikatan tali di kaki dan tangan Sangi.
    “Jadi bagaimana Sangi? Kamu menerimanya?”
    “Menerima? Menerima apa?”
    “Lamaran, saya sudah menculikmu. Jadi, kamu mau menerima lamaran saya?”
    Oh, tidak! Sangi sampai lupa. Sekarang dia diculik bukan? Itu artinya…
    “Diammu saya anggap jawaban ‘iya’, Sangi”
    “Hei! Apa-apaan kamu? Hidupku bukan di tanganmu! Aku tidak kenal penculikan, lamaran, dan apapun itu. Sudah, aku mau pulang!”
    Dengan cepat ia berjalan menuju pintu yang masih terbuka. Baru saja ia ingin keluar. Sayang, bapaknya Niam menghalangi. Selanjutnya disusul Pradigta, ayahnya Sangi.
    “Ada apa denganmu, Sangi?” tanya ayahnya.
    “Dia tidak menerima lamaran saya, tetua. Dia tidak mau membalas perasaan saya” jawab Niam dingin. Cepat-cepat Sangi melihat ke arah Niam, ‘siapa yang tidak mau membalas perasaannya?’ batin Sangi.
    “Dia sudah tidak menghormati tradisi kita lagi” tambah Niam. Baiklah, kali ini Sangi lupa semuanya. Apalagi soal niat buang hajat tadi.
    “Siapa yang berucap seperti itu? Aku menghormati tradisi dan budaya kita. Kecuali yang satu ini. Sudah berulang kali Sangi katakan, Sangi tidak setuju dengan ini!”
    “Sangi! Apa-apaan kamu? Bertahun-tahun kamu sekolah hanya untuk ini? Dengar Sangi, dari kecil sudah Ayah katakan, jika ada seorang laki-laki mendatangi Ayah untuk melamarmu itu namanya pelecehan. Niam mengikuti tradisi nenek moyang kita, dia menculikmu dan Bapaknya sudah menyampaikan lamaran Niam kepadaku. Lalu, maumu apa lagi?”
    “Sangi mau sekolah”
    “Sangi! Ka—”
    “Cukup Ayah! Aku sudah katakan, aku mau sekolah dan menjadi dokter sesuai impianku. Apa itu salah? Kalau salah, katakan dimana salahnya. Sangi sedih melihat masyarakat disini harus pergi jauh-jauh ke kota untuk berobat. Biaya rumah sakit itu mahal, apalagi ditambah biaya ke kotanya. Itulah sebabnya Sangi ingin menjadi dokter. Coba kalian pikir, apa ada gadis-gadis di desa ini yang berhasil melanjutkan pendidikannya seperti Sangi? Contohnya saja Dinar. Impian dia sama dengan Sangi. Dokter. Lalu setelah dia diculik dia harus mau menerima lamaran itu. Kalau tidak, itu namanya meremehkan tradisi dan siap-siap pergi dari desa ini. Sangi tidak menyalahkan tradisi kita. Tapi Sangi menyalahkan pemuda-pemudanya. Mereka juga harusnya tau, bukan cuma mereka yang ingin berpendidikan, tapi perempuannya juga. Andai saja Niam tidak terpilih jadi kepala desa atau masa jabatannya sudah habis, kami mau makan apa? Batu? Kerikil? Atau pasir? Tidakkan? Kalau Sangi jadi dokter, kami masih punya harapan hidup. Sangi sudah menjelaskan semuanya. Perkara kalian tidak paham, Sangi tidak peduli. Baiklah, Sangi ingin pulang. Besok harus ujian. Selamat malam.”

    Sudah sepuluh menit yang lalu Sangi selesai mengerjakan ujiannya. Tapi ia belum berniat mengumpulkan kepada penjaga. Dia diam, tapi otaknya bekerja. Ada sesuatu yang masih mengganjal pikirannya. Ucapan Niam semalam, “Sangi. Maaf, saya hampir menghancurkan impian kamu. Tapi tenang saja. Saya akan kembali menculik kamu setelah kamu berhasil jadi dokter. Saya juga tahu isi pikiranmu. Selain dokter, saya juga impianmu, bukan?”.
    “Sayangnya, iya Niam. Sayangnya, iya” gumam Sangiang.

    Cerpen Karangan: Achrahma Liyudza
    Facebook: Achrahma Lyz

    Artikel Terkait

    Sayangnya Iya
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email