Judul Cerpen Ketika Perjalanan Adalah Cerita
‘Naik kereta api tutt.. tutt.. tut.’
Siapapun pasti tidak asing dengan lagu itu. Sampai sekarangpun, masih banyak anak yang gemar menyanyikan lagu tersebut. Kereta api adalah transportasi yang merakyat dan juga nyaman, buktinya, masih menjadi primadona ketika mudik, benar bukan? Dan, mulai tidak enak lagi ketika harus merelakan Bapak tercinta untuk posko. Sedih mudik tanpa Bapak, rasanya tidak lengkap. Tapi mau bagaimana lagi? Itu kewajiban pegawai Kereta Api saat-saat hari besar di Indonesia. Bisa dibilang, keluarga murni keluarga kereta api. Kok bisa? Ayah dan ibu pun bertemu di Kereta Api, dan dua–duanya pun juga sama–sama pegawai Kereta Api, bedanya sekarang Ibu sudah pensiun. Bapak? Masih mengabdi sampai sekarang. Rasanya mempunyai seorang ayah yang berkarier di dunia perkeretaapian itu sesuatu. Campur aduk. Apalagi kalau dengar bapak dipindah instansi yang jauh dari rumah.
Okelah, dulu sempat dekat di rumah. Tepatnya Manager PT. Reska Purwokerto. Tapi, tidak lama sudah dipindah lagi ke Bandung. Saat dengar bapak mau ke Bandung, malam-malam menangis di kamar. Kepada siapa nanti harus ngalem (red: mengadu) kalau kena marah Ibu? Begitulah sekiranya pemikiran anak kelas 5 SD. Saat awal Bapak di Bandung, pulang ke rumah seminggu sekali. Yang membuat saya dan adik saya senang adalah ketika Bapak membawa jajanan khas dari Bandung ataupun kerap kali Bapak membelikan pakaian. Walaupun tidak tahu apa kedudukan Bapak di Bandung, tapi saya sedikit mengerti karena tak jarang Ibu memberi tahu tentang Bapak. Sepertinya, kami harus menghela nafas panjang kembali.
Belum genap 3 tahunan di Bandung, Bapak sudah harus dipindah ke Madiun. Dan yang membuat kami sedih, di daerah membuat Bapak lebih disibukkan dan pulang hanya 2 minggu sekali. Awalnya berat sekali, apalagi, lebaran saat itu menjadi lebaran pertama tanpa Bapak. Ibu sempat menangis sedih, namun, harus tetap Ikhlas. Iri rasanya melihat orang-orang yang bisa berkumpul lengkap bersama keluarga.
Dan, tahun 2015. Saya baru saja masuk SMA. Dan mendapat kabar tidak mengenakkan, Bapak dipindah ke Aceh? Apa? Aceh? Ujung dari Indonesia? Terus, gimana? Mungkin seperti itu yang ada di kepala saya. Syock itu pasti. Dag dig dug. Untung, sebelum Bapak ke Aceh, sempat menjenguk saya. Rasanya tidak ikhlas, melepas Bapak sejauh itu hanya untuk sesuap nasi. Alhamdulillah, tidak bertahan lama, kurang dari 1 tahun di Aceh, Bapak sudah bisa kembali ke Bandung. Lega rasanya. Mungkin, saya yang bisanya hanya minta uang dan mendo’akan Bapak tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaan Bapak bekerja di PT. Kereta Api Indonesia. Kadang, ada pemikiran ingin mengikuti jejak bapak bekerja di sana, tapi, Bapak selalu bilang, jangan asal ikut–ikut. Kalau mau ikut–ikut, ikutin kemauan dan passion sendiri. Itu yang saya suka dari Bapak. Beliau orang yang tidak suka mengekang anaknya, dan mendukung dengan dukungan setinggi mungkin.
Saya senang bisa mempunyai Ayah yang bekerja di Kereta Api. Selain mempunyai banyak pengalaman mengenai kereta api, ini juga menjadi semangat saya untuk tetap berjalan melewati hutan dan desa tanpa lelah. Dan tak kenal siang dan malam tetap berjalan ke depan agar sampai di stasiun tujuan. Kereta api juga banyak memberi saya pelajaran tentang kedisiplinan, ketepatan dan juga kecekatan. Seperti halnya ketika ayah bekerja. Tak kenal siang dan malam, tapi yang paling penting, kebersamaan bersama keluarga juga tak pernah dikesampingkan.
Rasanya ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat Ayah memakai seragam Kereta Api. Kereta Api termasuk BUMN yang sering mendapat penghargaan karena kinerjanya yang bagus dan teratur, apalagi seiring berkembangnya teknologi, Kereta Api semakin bisa membuat penumpang merasa dimanjakan. Semua itu tak akan luput dari kerja keras dari seluruh direksi dan juga pegawai. Walaupun banyak sekali orang yang bekerja di Kereta Api, Ayah saya menyimpan banyak penghargaan dalam jiwa saya. Bapak adalah orang yang tak pernah mengajarkan anaknya berprasangka buruk terhadap apapun. Itu kunci sukses Ayah saya. Mulai dari nol, dan kini sudah memiliki posisi yang lumayan mapan. Tapi, apapun itu posisinya, Bapak tetaplah bagian dari kesuksesan PT. Kereta Api Indonesia. Dengan mengucapkan Bapak bekerja di PT. Kereta Api Indonesia saja sudah lebih dari cukup. Tak perlu gengsi dengan pekerjaan orangtua lainnya yang seorang pengusaha. Karena menjadi pegawai PT. Kereta Api Indonesia, sama saja berperan memajukan bangsa. Toh, pengusaha kaya itu juga pasti pernah memakai Kereta yang nyaman bukan? Dari hati kecil saya, saya bersyukur mempunyai ayah yang bekerja di PT. Kereta Api Indonesia. Dan cerita itu akan tetap tersimpan rapi dalam sejarah hidup saya. Aku bangga menjadi anak pegawai Kereta Api, dan akan selalu bangga!
END
Cerpen Karangan: Nur Fauziah AEPR
Facebook: Rahma Jia Aepr
‘Naik kereta api tutt.. tutt.. tut.’
Siapapun pasti tidak asing dengan lagu itu. Sampai sekarangpun, masih banyak anak yang gemar menyanyikan lagu tersebut. Kereta api adalah transportasi yang merakyat dan juga nyaman, buktinya, masih menjadi primadona ketika mudik, benar bukan? Dan, mulai tidak enak lagi ketika harus merelakan Bapak tercinta untuk posko. Sedih mudik tanpa Bapak, rasanya tidak lengkap. Tapi mau bagaimana lagi? Itu kewajiban pegawai Kereta Api saat-saat hari besar di Indonesia. Bisa dibilang, keluarga murni keluarga kereta api. Kok bisa? Ayah dan ibu pun bertemu di Kereta Api, dan dua–duanya pun juga sama–sama pegawai Kereta Api, bedanya sekarang Ibu sudah pensiun. Bapak? Masih mengabdi sampai sekarang. Rasanya mempunyai seorang ayah yang berkarier di dunia perkeretaapian itu sesuatu. Campur aduk. Apalagi kalau dengar bapak dipindah instansi yang jauh dari rumah.
Okelah, dulu sempat dekat di rumah. Tepatnya Manager PT. Reska Purwokerto. Tapi, tidak lama sudah dipindah lagi ke Bandung. Saat dengar bapak mau ke Bandung, malam-malam menangis di kamar. Kepada siapa nanti harus ngalem (red: mengadu) kalau kena marah Ibu? Begitulah sekiranya pemikiran anak kelas 5 SD. Saat awal Bapak di Bandung, pulang ke rumah seminggu sekali. Yang membuat saya dan adik saya senang adalah ketika Bapak membawa jajanan khas dari Bandung ataupun kerap kali Bapak membelikan pakaian. Walaupun tidak tahu apa kedudukan Bapak di Bandung, tapi saya sedikit mengerti karena tak jarang Ibu memberi tahu tentang Bapak. Sepertinya, kami harus menghela nafas panjang kembali.
Belum genap 3 tahunan di Bandung, Bapak sudah harus dipindah ke Madiun. Dan yang membuat kami sedih, di daerah membuat Bapak lebih disibukkan dan pulang hanya 2 minggu sekali. Awalnya berat sekali, apalagi, lebaran saat itu menjadi lebaran pertama tanpa Bapak. Ibu sempat menangis sedih, namun, harus tetap Ikhlas. Iri rasanya melihat orang-orang yang bisa berkumpul lengkap bersama keluarga.
Dan, tahun 2015. Saya baru saja masuk SMA. Dan mendapat kabar tidak mengenakkan, Bapak dipindah ke Aceh? Apa? Aceh? Ujung dari Indonesia? Terus, gimana? Mungkin seperti itu yang ada di kepala saya. Syock itu pasti. Dag dig dug. Untung, sebelum Bapak ke Aceh, sempat menjenguk saya. Rasanya tidak ikhlas, melepas Bapak sejauh itu hanya untuk sesuap nasi. Alhamdulillah, tidak bertahan lama, kurang dari 1 tahun di Aceh, Bapak sudah bisa kembali ke Bandung. Lega rasanya. Mungkin, saya yang bisanya hanya minta uang dan mendo’akan Bapak tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaan Bapak bekerja di PT. Kereta Api Indonesia. Kadang, ada pemikiran ingin mengikuti jejak bapak bekerja di sana, tapi, Bapak selalu bilang, jangan asal ikut–ikut. Kalau mau ikut–ikut, ikutin kemauan dan passion sendiri. Itu yang saya suka dari Bapak. Beliau orang yang tidak suka mengekang anaknya, dan mendukung dengan dukungan setinggi mungkin.
Saya senang bisa mempunyai Ayah yang bekerja di Kereta Api. Selain mempunyai banyak pengalaman mengenai kereta api, ini juga menjadi semangat saya untuk tetap berjalan melewati hutan dan desa tanpa lelah. Dan tak kenal siang dan malam tetap berjalan ke depan agar sampai di stasiun tujuan. Kereta api juga banyak memberi saya pelajaran tentang kedisiplinan, ketepatan dan juga kecekatan. Seperti halnya ketika ayah bekerja. Tak kenal siang dan malam, tapi yang paling penting, kebersamaan bersama keluarga juga tak pernah dikesampingkan.
Rasanya ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat Ayah memakai seragam Kereta Api. Kereta Api termasuk BUMN yang sering mendapat penghargaan karena kinerjanya yang bagus dan teratur, apalagi seiring berkembangnya teknologi, Kereta Api semakin bisa membuat penumpang merasa dimanjakan. Semua itu tak akan luput dari kerja keras dari seluruh direksi dan juga pegawai. Walaupun banyak sekali orang yang bekerja di Kereta Api, Ayah saya menyimpan banyak penghargaan dalam jiwa saya. Bapak adalah orang yang tak pernah mengajarkan anaknya berprasangka buruk terhadap apapun. Itu kunci sukses Ayah saya. Mulai dari nol, dan kini sudah memiliki posisi yang lumayan mapan. Tapi, apapun itu posisinya, Bapak tetaplah bagian dari kesuksesan PT. Kereta Api Indonesia. Dengan mengucapkan Bapak bekerja di PT. Kereta Api Indonesia saja sudah lebih dari cukup. Tak perlu gengsi dengan pekerjaan orangtua lainnya yang seorang pengusaha. Karena menjadi pegawai PT. Kereta Api Indonesia, sama saja berperan memajukan bangsa. Toh, pengusaha kaya itu juga pasti pernah memakai Kereta yang nyaman bukan? Dari hati kecil saya, saya bersyukur mempunyai ayah yang bekerja di PT. Kereta Api Indonesia. Dan cerita itu akan tetap tersimpan rapi dalam sejarah hidup saya. Aku bangga menjadi anak pegawai Kereta Api, dan akan selalu bangga!
END
Cerpen Karangan: Nur Fauziah AEPR
Facebook: Rahma Jia Aepr
Ketika Perjalanan Adalah Cerita
4/
5
Oleh
Unknown